Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lina Tubagus
"ABSTRAK
Permasalahan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan selama ikatan perkawinan kini dihalalkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 ldquo;Putusan MK rdquo; . Secara daya laku Putusan MK langsung berlaku mengikat saat diputuskan. Namun soal efektivitas menjadi bermasalah karena untuk hal-hal teknis dalam pelaksanaan Putusan MK diperlukan pelaksanaan lebih lanjut tentang pengesahan perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh pencatat perkawinan. Dalam hal ini telah hadir Surat Dirjen untuk mengatasi teknis pelaksanaan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pelaksanaan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK yang ditindaklanjuti oleh Surat Dirjen/Surat Edaran. Hal tersebut menimbulkan tiga pokok masalah. Pertama, mengenai tanggung jawab notaris terhadap pelaksanaan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK. Kedua, bentuk perjanjian perkawinan yang ideal. Ketiga, kedudukan hukum dan kekuatan mengikat Surat Dirjen. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian fact finding dan evaluatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tanggung jawab notaris harus dijalankan sesuai kewenangan dan kewajibannya dalam Pasal 15 dan 16 Undang-Undang Jabatan Notaris dan undang-undang lain yang berlaku dengan cara sebelum perjanjian perkawinan dibuat notaris seyogyanya memverifikasi keterangan dan data harta perkawinan yang suami isteri sampaikan, meminta daftar inventarisasi harta perkawinan suami isteri guna dilampirkan dalam perjanjian perkawinan, memberi penyuluhan hukum serta memuat klausul ldquo;Perjanjian perkawinan yang dibuat selama ikatan perkawinan berikut perubahan dan pencabutannya berlaku sepanjang tidak merugikan pihak ketiga dan harta perkawinan tidak pernah ditransaksikan dengan cara dan bentuk apapun, untuk dan kepada siapapun rdquo;; guna menjembatani bentuk perjanjian perkawinan yang berbeda antara praktik dengan teori, maka idealnya bentuk akta perjanjian perkawinan dibuat notaril guna melindungi kepentingan para pihak, pihak ketiga dan KCS/KUA; kedudukan hukum Surat Dirjen bukanlah peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksanaan sebagaimana dalam ketentuan UU No. 12/2011 dan kekuatan mengikatnya hanya mengikat internal Dukcapil dan Bimas Islam, tidak mengikat notaris dan suami/isteri. Oleh karenanya, untuk menjaga konsistensi dan kepastian hukum, idealnya Putusan MK ditindaklanjuti dengan perevisian Pasal 29 UUP lalu dibuat peraturan pelaksana berbentuk Peraturan Presiden atau minimal Peraturan Dirjen.Kata kunci:Perjanjian Perkawinan, Akta Notaril, Surat Dirjen.

ABSTRACT
The issue of a marriage agreement constructing during the marriage bond is now lawful under the Constitutional Court CC Verdict No. 69 PUU XIII 2015. Validitily, CC Verdict is directly binding when it is decided. But on the effectiveness becomes problematic because for the technical matters in the execution of CC Verdict is required further implementation on the marriage agreement legalization which legalized by marriage registrar. In this case the Directorate General Letter has been present to overcome the technical implementation. This raises three main issues. First, notary responsibility on the marriage agreement implementation post Verdict. Second, ideal marriage agreement form. Third, Directorate General Letter legal standing and binding power. This research uses normative juridical research method with fact finding and evaluative typology. This research results indicate that the notary responsibility should be executed according to the notary authority and obligations on Article 15 and 16 Act of Notary Incumbency and other prevailing laws by way of before the marriage agreement is constructed, the notary should verify the information and data of marriage treasure that is given by the husband and wife, ask the inventory list of husband rsquo s and wife rsquo s marriage treasure to be attached on the marriage agreement, give a legal counseling, and contain the clause Marriage Agreement that is made during the marriage bond and its amendment and revocation prevail as long as not harming the third party and the marriage treasures are never transacted in any manner and form, for and to anyone in order to bridge the difference of marriage agreement form between practice and theory, ideally the form of marriage agreement deed is made in notarial in order to protect the interests of the parties, third parties and KCS KUA and the Directorate General Letter legal standing is not a legislation or implementing regulation in accordance with the provisions of Act No. 12 2011 and its binding power only binds the internal of Dukcapil and Bimas Islam, not binding notary and spouses. Therefore, to maintain legal consistency and legal certainty, ideally the Constitutional Court Verdict is followed up by the revision of Chapter 29 UUP then is made the implementing regulation in the form of Presidential Regulation or at least the Regulation of Directorate General.Keyword Marriage Agreement, Notarial Deed, Directorate General Letter"
2018
T50962
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Octaria
"Tesis ini membahas tentang status dan kedudukan seorang anak yang dihasilkan dari perkawinan yang dilakukan di bawah umur dan akibatnya yang sedang marak terjadi di Indonesia dilihat dari sudut pandang Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Status dan kedudukan yang dibahas dalam tesis ini adalah status dan kedudukan sang anak di mata hukum akibat perkawinan di bawah umur yang dilakukan orang tuanya terhadap nasib sang anak di mata hukum negara. Permasalahan pokok dalam tesis ini adalah bagaimana status perkawinan yang dilakukan di bawah umur di mata hukum negara. Tesis ini juga membahas tentang status dan kedudukan sang anak hasil perkawinan di bawah umur di mata hukum negara serta dampak perkawinan di bawah umur terhadap sang pelaku, anak dan masyarakat sekitarnya. Metode yang digunakan oleh penulis ialah yuridis normatif, yaitu dengan cara membaca, membahas dan menelaah bahan-bahan literatur yang digunakan sebagai acuan dan kemudian dicocokkan dan dianalisa sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan di bawah umur tergolong ke dalam perkawinan yang tidak sah di mata hukum karena tidak memenuhi syarat minimal usia perkawinan yang ditentukan oleh UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan menurut Hukum Islam, ada dua pandangan yang berbeda, yaitu pandangan yang mengatakan bahwa perkawinan itu sah dan pandangan yang menyatakan sebaliknya. Status dan kedudukan sang anak menurut UU Perkawinan adalah anak tidak sah dan tidak berhak mewaris dari ayahnya. Begitu pun menurut Pasal 100 KHI yang menyatakan sang anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan sang ibu yang melahirkan. Menyikapi permasalahan di atas, penulis berpendapat bahwa semua perkawinan yang dilakukan di bawah, apabila sudah terlanjur dilakukan, sebaiknya segera disahkan menurut hukum yang berlaku. Penulis juga menyarankan agar masyarakat tidak melakukan perkawinan di bawah umur maupun perkawinan di bawah tangan karena hal tersebut sangat merugikan pihak perempuan dan anak yang dihasilkan di mata hukum negara.

This thesis discuss about children's status and position according to marriage act number 1/1974, especially the one who conceived from under age marriage which is common practice in Indonesia. This thesis' discussion points on the children's status and position on the law and also discuss about the children?s future according to the state's law. Problem in this thesis is how under aged marriage status is according to state's law. This thesis also discussed about children's position and status according to state's law and the underage marriage's impacts on the subject, children and surrounding environment. Writer is using a juridical normative method by reading, discussing, and researching the literature which is used as basis and then matched and analyzed according to the discussed problem.
The result of this thesis shows that under aged marriage is illegal according to marriage act number 1/1974. But in the Islamic marriage law, there are two opinions which are contrary. The children's status and position due to marriage law number 1/1974 is unlawful children and therefore have no right to inherit from his father. Due to Islamic marriage law, the children conceived from under aged marriage only legally connected to their biological mother. To solve that problems, writer's suggestion is that the subject of the under aged marriage, if have been done, should be legalize according to the state's law. Writer also suggests that the people should have not considered doing under age married neither unlawful marriage, because the law impact is too degrading for woman and also the children conceived from that marriage.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26159
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Cahyono
"ABSTRAK
Penulisan skripsi ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu mengetahui gambaran secara umum mengenai masalah masalah perkawinan, baik menurut KUH Perdata maupun menurut Undang-Undang Perkawinan (UU.No. 1/1974) dan menperbandingkan mengenai masalah waktu tunggu yang diatur dalam KUH Perdata dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, dalam membahas permasalahan telah dilakukan penelitian sehubungan dengan penulisan skripsi ini. Penelitian yang dimaksud dapat dibedakan menjadi dua, penelitian normatif ( kepustakaan ), yaitu penelitian data yang berasal dari buku-buku dan penelitian empiris (lapangan) yaitu dengan melakukan penelitian kepengadilan untuk mendapatkan keputusan-keputusan yang berkaitan erat dengan pokok permasalahan. Suatu hubungan perkawinan pada hakekatnya berlangsung skekal. Namun demikian hal ini bukan berarti adanya larangan untuk bercerai atau tertutup kemungkinan mengadakan pemutusan hubungan perkawinan. Baik KUH Perdata maupun UU.No.l tahun 1974 mengatur/membolehkan perceraian dengan beberapa alasan tertentu yang telah digariskan. Bagi seorang wanita yang telah putus perkawinannya dan ingin melangsungkan perkawinan yang baru, berkewajiban memenuhi jangka waktu tunggu tertentu (pasal 34 KUH Perdata dan pas.al 11 UU.No. 1/19 74) . Waktu tunggu ini dimaksudkan untuk mencegah percampuran benih (Confusio Sanguinis.). Namun demikian terdapat perbedaan di antara keduanya dalam- hal pengaturannya, di mana pengaturan waktu tunggu menurut UU. No . 1/1974 sudah jauh lebih sempurna, yaitu memperincinya dengan memperhatikan sebab-sebab putusnya perkawinan dan juga keadaan dari si wanita."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elfi Gusliana Ansori
"ABSTRAK
Salah satu prinsip yang menjadi asas dari Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang merupakan hukum positif dalam bidang perkawinan bagi bangsa Indonesia adalah kesadaran hukum agama dan keyakinan masing-masing warga negaranya. Hal ini tercermin dari pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang berbunyi : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ini berarti segala sesuatu yang menyangkut perkawinan bagi pemeluk agama Islam berlaku hukum Islam, termasuk didalamnya mengenai perkawinan yang terjadi diantara dua orang yang berbeda agama dan salah satunya beragama Islam, baik laki-laki maupun perempuannya. Perkawinan seperti itu lebih sering disebut sebagai Perkawinan Antar Agama.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan dan lapangan.
Khusus mengenai Perkawinan Antar Agama ini bagi perempuan islam terdapat larangan mutlak, artinya bahwa bagi seluruh perempuan islam dilarang kawin dengan pria selain beragama Islam. Akan tetapi bagi laki-laki Islam ada pengecualiannya yaitu surat Al Maidah ayat 5. Sedangkan mengenai perkawinan antara laki-laki Islam dengan wanita Kitabiyah ada dua pendapat yang berbeda yaitu ada sebahagian ulama yang mengatakan bahwa perkawinan tersebut adalah halal dan ada sebahagian yang mengatakan bahwa perkawinan tersebut adalah haram.
Sebagian kesimpulan dapat diungkapkan bahwa perkawinan antar agama adalah merupakan perkawinan yang tidak disukai walaupun telah ada atau jelas dasar hukumnya didalam Al Qur'an."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilyana Djumara Nadjir
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hastuti
"Menurut UU No. 1 Tahun 1974 perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku. Bagi pemeluk Islam perkawinannya baru dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan menurut hukum perkawinan Islam. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah mencatatkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Nikah seperti yang telah diatur dalam Peraturan perundang undangan. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang membuktikan bahwa perkawinan yang dilakukan adalah sah menurut hukum agama dan hukum negara serta untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelanggaran hukum karena hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap lembaga perkawinan yang akan berpengaruh terhadap kedudukan suami istri, anak yang dilahirkan, dan harta benda dalam perkawinan. Di samping itu pencatatan perkawinan dalam hukum Islam sejala dengan perintah Allah di dalam Al-Qur'an. Terhadap pelanggaran ini ada sanksi yang diterapkan oleh pemerintah. Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah membelikan jalan keluar (solusi) terhadap para pihak yang telah terlanjur melakukan perkawinan yang belum tercatat dan menginginkan perkawinannya dinyatakan sah yaitu dengan cara mengajukan permohonan pengesahan (isbat) nikah ke Pengadilan Agama, tetapi permohonan isbat nikah yang dapat diajukan terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan ketentuan dalam Pasal 7. ayat (3) Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian pencatatan perkawinan merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Islam di Indonesia dalam melakukan perkawinan. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder yang bersifat yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang undangan dan norma-norma yang berlaku dan mengikat kehidupan masyarakat. Efektifitas kerjasama dan koordinasi antar berbagai pihak sangat diperlukan dalam mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum di bidang hukum perkawinan, khususnya Hukum Perkawinan Islam di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21293
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryati Ananda
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahria Wijayati
"ABSTRAK
Hukum Perkawinan Islam pada prinsipnya sama bagi seluruh umat islam di Indonesia, bahkah sama pula bagi seluruh umat Islam di dunia. Hanya di dalam pelaksanaannya sering dijumpai perbedaan-perbedaan yang merupakan keanekaragaman, terutama di dalam melangsungkan peminangan dan perayaan perkawinan yang disebabkan. karena pengaruh adat istiadat atau kebiasaan masing-masing daerah, suku, bangsa ysng ber1ain—1ainan ataupun agama nenek moyang. mereka. Penulis menjumpai keunikan, tersendiri di Desa Paciran Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur, di mana yang melakukan peminangan adalah pihak. perempuan, sedangkan masyarakatnya menganut sistem kekerabatan bilateral. Begitu pula halnya dengan perayaan perkawinan, di mana perayaan perkawinan diadakan lebih dari dua kali bagi masyarakat yang mampu, sedangkan, masyarakat di Desa Paciran hampir seluruhnya adalah pemeluk Agama Islam yang taat Melihat permasalahan tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian serta membahas sampai sejauh mana kebolehan seseorang menye1enggarakan perayaan perkawinan dan bagaimana tata cara peminangan menurut syariat Islam. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqo Ayu Garnasi
"Putusnya perkawinan tentu akan mempunyai banyak akibat kepada para pihak. Salah satu akibatnya terhadap pihak perempuan adalah masa ‘iddah. Terhadap perkawinan yang dibatalkan di Pengadilan Agama Depok dan Wonosari dapat penulis teliti apakah masa ‘iddah akibat pembatalan perkawinan dapat diperhitungkan serta apakah Hakim Pengadilan Agama tersebut menerapkan ketentuan hukum mengenai masa ‘iddah dalam putusannya. Penulis akan menganalisis dengan mengacu kepada metode pendekatan yuridis normatif. Karena begitu penting ditetapkannya masa ‘iddah yang harus dijalankan oleh pihak perempuan setelah putus perkawinannya termasuk dari pembatalan perkawinan.

The breakdown of marriage will certainly have a lot due to the parties. One of the women is a result of the waiting period. Against the marriage was canceled in Depok Religious Court and can Wonosari authors carefully whether the waiting period can be taken into account due to the cancellation of marriage and whether the judge courts for applying the legal provisions regarding the waiting period in its decision. The author will analyze with reference to the normative juridical approach. Because it is so important stipulation of the waiting period that must be taken by the woman after the break up of a marriage, including the nullification of the marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55529
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neng Djubaedah
Jakarta: Hecca, 2005
297.431 NEN h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>