Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mario Reggynal
"Latar belakang: Tumor mediastinum merupakan salah satu jenis tumor yang jarang ditemukan dengan variasi klinis yang luas dan histopatologi yang berbeda. Berbagai data seperti usia, jenis kelamin, pemeriksaan radiologi dan penanda tumor harus digabungkan untuk menentukan kemungkinan diagnosis pada pasien. Penanda tumor wajib diperiksa pada kasus tumor mediastinum sehingga pendekatan diagnosis dapat dilakukan dengan lebih baik. Peneliti akan menggunakan berbagai data seperti karakteristik pasien, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penanda tumor  untuk membantu memperoleh prediksi diagnosis jenis tumor mediastinum. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis. Semua pasien dengan diagnosis tumor mediastinum berdasarkan hasil CT scan yang dilakukan biopsi. Data histopatologi jaringan didapat dari laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan. Data usia, jenis kelamin, radiologis, hasil laboratorium dan penanda tumor akan digunakan untuk mengetahui karakteristik setiap jenis tumor. Dilakukan analisis bivariat dan multivariat untuk menentukan variabel yang berpengaruh dan sistem penghitungan skor berdasarkan data tersebut. Hasil: Sebanyak 174 subjek memenuhi kriteria inklusi dengan usia rata-rata 29 tahun, lebih banyak pada laki-laki (67,8%), yang paling banyak adalah limfoma mediastinum (41,4%), berlokasi di anterior (75,9%), tidak memiliki pembesaran KGB (78,7%) dan tidak menginfiltrasi organ sekitarnya (58%). Sistem penghitungan skor yang tertinggi terdapat pada jenis limfoma mediastinum tetapi hanya menunjukkan akurasi sebesar 59%. Kesimpulan: Secara statistik tidak ada sistem penghitungan skor prediksi yang mempunyai kekuatan yang baik karena tumor mediastinum mempunyai kemiripan berdasarkan karakteristik pasien dan bentuk tumor sehingga sulit dibuat suatu sistem penghitungan skor.

Background: Mediastinal tumors are tumors that rarely found compared to other types of tumors. These tumors have many clinical variations with different histopathologies. Various data such as clinical condition, age, gender, radiological examination and tumor markers must be combined to determine the possibility of diagnosis in the patient. Tumor markers must be checked in all cases of mediastinal tumors so that a better diagnostic approach can be taken. This research will use that data to obtain scoring sytsem for the diagnosis of mediastinal tumors. Hopefully this scoring system can help doctors to make a better diagnosis in case of mediastinal tumors. Method: This research used secondary data from medical records. All patients with a diagnosis of mediastinal tumor based on CT scan results performed biopsy. Histopathology data was obtained from the Anatomical Pathology laboratory in the Persahabatan Hospital National Respiratory Center. Age, gender, radiology, laboratory results and tumor markers will be used to determine the characteristics of each type of tumor. Bivariate and multivariate analyzes were carried out to determine the significantly variables and a scoring system based on this data. Results: A total of 174 subjects met the inclusion criteria with an average age 29 years, more males (67.8%), the most common tumor was mediastinal lymphoma (41.4%), located anteriorly (75.9%), did not have lymph node enlargement (78.7%) and did not infiltrate surrounding organs (58%). The highest score of scoring system is for mediastinal lymphoma but only shows an accuracy of 59%. Conclusion: Statistically, there is no specific prediction score calculation system that has good power because mediastinal tumors are similar based on patient characteristics and tumor shape, making it difficult to create a scoring system."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Ayu Indahati
"Latar Belakang: Penegakkan diagnosis sedini dan setepat mungkin menjadi hal utama dalam penatalaksanaan kanker paru. Beberapa penelitian sebelumnya tentang biopsi transtorakal dengan panduan USG menunjukkan akurasi diagnosis yang cukup baik. USG dinilai sebagai modalitas radiologi yang mudah digunakan secara aman, bedside, real-time, mobile dan bebas pajanan radiasi. Saat ini di RSUP Persahabatan Jakarta belum terdapat penelitian tentang biopsi jarum halus transtorakal dengan panduan USG.
Metode Penelitian:  Studi observasional dengan pendekatan potong lintang terhadap subjek dengan tumor paru atau tumor mediastinum yang dilakukan biopsi jarum halus transtorakal dengan panduan ultrasononografi toraks pada bulan April-September 2021. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Peneliti melakukan observasi terhadap karakteristik lesi, karakteristik prosedur dan komplikasi. Diagnosis akhir berdasarkan hasil sitologi biopsi jarum halus transtorakal dengan panduan USG.
Hasil Penelitian: Dari 46 subjek, rerata usia subjek adalah 52 tahun dan didominasi jenis kelamin laki-laki (69,6%) dan jenis tumor terbanyak adalah tumor paru (80,4%). Proporsi kepositifan sitologi biopsi jarum halus transtorakal dengan panduan USG toraks adalah 78,3%. Karakteristik lesi pada subjek dengan hasil sitologi TTNA positif antara lain memiliki rerata diameter lesi 9,61 ± 2,27 cm, lesi di anterosuperior paru (63,9%), memiliki gambaran ekogenitas hipoekoik heterogen (58,3%) dan memiliki kontak dengan pleura (77,8%). Karakteristik prosedur pada subjek dengan hasil sitologi TTNA positif antara lain dilakukan teknik aspirasi (77,8%), pengambilan TTNA sebanyak < 3 set (58,3%), rerata jumlah gelas objek yang terpakai adalah 15 ± 4 dan median kedalaman insersi adalah 4 (2 – 6) cm. Komplikasi pasca tindakan terjadi pada dua subjek yaitu hemoptisis (4%).
Kesimpulan: Biopsi jarum halus transtorakal merupakan metode diagnostik yang invasif minimal dengan proporsi kepositifan yang tinggi (78,3%) dan angka komplikasi yang rendah (4%).

Background: Treatment of multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) using second-line drugs is known to have more side effects. Recent studies have shown concern about bedaquiline and delamanid that can cause a prolonged QT interval. This condition is a known risk factor for Torsades de Pointes, a lethal cardiac arrhythmia. This study sought to observe the condition among such patients treated in the study location.
Methods: This study was a prospective cohort study  of MDR-TB patients receiving bedaquilin in the outpatient clinic and inpatient ward of National Respiratory Referral Hospital Persahabatan, Jakarta, Indonesia between February 2020 to February 2021. Patients received 400 mg on week 0-2 (intensive phase) and followed by 200 mg 3 times per week (continuation phase) of bedaquiline. Sampling was carried out by consecutive sampling and data on subjects who met the inclusion criteria were taken from medical records.
Result: From a total of 71 subjects, all of them met the inclusion criteria. Prolonged QT interval was experienced in 18.3% patients. From eleven patients who experienced prolonged QT interval, two patients required hospitalization: one presented with nausea and gastric upset and one patient presented with dyspnea and palpitation. Prolonged QT interval occurred in initial phase and correlated with drug dosing. A mycobacterial culture conversion at month-6 was observed in those receiving multidrug regimens which include bedaquiline, quinolone, and clofazimine. There was a correlation between prolonged QT interval and hypocalemia. Treatment success rate was 46.5% without prolonged QT. Other outcomes included 4.2% died, 26.8% loss-to-follow up, and 4.1% treatment failed.
Conclusion: The use of bedaquiline MDR-TB appeared to be effective and safe across different settings, although the certainty of evidence was assessed as very low. Hypokalemia was correlated with the outcomes of patients receiving bedaquiline, particularly in those experienced prolonged QT interval.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library