Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Akin Duli
Abstrak :
Penelitian ini berjudul "Peninggalan Megalitik di Sillanan, Kabupaten Tana Toraja, Propinsi Sulawesi Selatan, Suatu Rekonstruksi Masyarakat atas Dasar Kajian Etnoarkeologi". Pemiihan topik tersebut, dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu pertimbangan keilmuan, daerah tersebut belum pernah diteliti secara arkeologis, potensi data arkeologis dan data etnografi, data arkeologis yang kompleks dibanding situs lainnya di Tana Toraja, adanya kepercayaan masyarakat bahwa daerah tersebut sebagai kampung tertua, penyelamatan data arkeologi, dan keterjangkauan dalam mengumpulkan data, waktu dan biaya. Temuan yang didapatkan, adalah : menhir (bentuk, tata letak, komposisi berbeda), lumpang batu, lesung batu, altar batu, tahta batu, temu gelang, umpak, batu angsa, teras berundak, pagar batu, karopik, batu batu monolit, dan hang. Temuan-temuan tersebut, tersebar pada enam situs, yaitu situs Tongkonan Layuk, situs Pakpuangan, situs Rante Simbuang, situs Bubun, situs 'Rante Sarapuk, dan situs Liang. Berdasarkan variabilitas temuan tersebut, maka permasalahan yang sangat mendasar adalah fungsi masing-masing temuan dan situs, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pola keletakan temuan dan situs. Tujuan penelitian ini secara umum, adalah untuk merekonstruksi kehidupan komunitas di daerah Sillanan pada masa lampau. Secara khusus tujuan penelitian ini, adalah untuk merekonstruksi sebahagian kecil dari sistem religi komunitas di daerah Sillanan pada masa lampau, terutama sistem religi yang erat kaitannya dengan unsur-unsur peninggalan budaya fisik. Dalam hal ini, adalah merekonstruksi tentang fungsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena peninggalan budaya tersebut. Metode penelitian yang dipergunakan, adalah dengan pendekatan konsep religi dengan interpretasi berdasarkan metode etnoarkeologi. Langkah-langkah penelitian, adalah pengumpulan data, pengolahan data dan interpretasi data. Hasil dari penelitian ini, adalah : 1. Inventarisasi data : a. Situs Tongkonan Layuk : menhir (basso, tumpuang, pesungan banek), lumpang, lesung, umpak, temu gelang, tahta batu, pagar batu, teras berundak, dan fragmen gerabah. Situs ini secara umum berbentuk terasan berundak, terdiri dari tiga teras, yaitu teras I, teras II sembilan petak, teras III tiga petak. b. Situs Pakpuangan : lumpang batu, menhir pesungan banek, dan batu angsa. Secara umum situs ini berbentuk terasan berundak, yang terdiri dari tiga teras. c. Situs Rante Simbuang : menhir ,smbuang, karapik, batu-batu monolit. Situs ini berbentuk tanah lapang. d. Situs Bubun : tiga buah menhir jenis pesungan banek, bentuk situs adalah empat persegi panjang. e. Situs Rante Sarapuk : menhir jenis pesungan banek dan altar batu. Bentuk situs adalah lapangan memanjang timur-barat. f. Situs Liang : Jiang sillik, Jiang erong, Jiang tokek, Jiang pak, patane, dan kandean dulang, wadah erong berbentuk kerbau, perahu, dan persegi. Situs ini berada di tebing perbukitan batu gamping. 2. Hasil Pembahasan Hasil interpretasi, dapat diketahui fungsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pola keletakan masing-masing temuan dan situs, sebagai berikut : a. Temuan yang menjadi fokus utama pada situs Tongkonan Layuk, situs Pakpuangan, situs Rante Simbuang, situs Bubun, situs Rante Sarapuk, adalah menhir, sedangkan temuan-temuan lainnya seperti lumpang, lesung, altar, batu angsa, temu gelang, hanyalah sebagai sarana pundukung dalam pelaksanaan upacara. b. Fungsi menhir, erat kaitannya dengan bentuk, tata letak, komposisi, dan konteks. c. Fungsi temuan dapat dikelompokkan atas : - Sarana upacara pemujaan, seperti : menhir pesungan banek, menhir basse, menhir tumpuang, altar batu, batu angsa, lumpang batu, dan kandean dulang. - Sarana upacara intekrasi dan pengukuhan sosial, seperti menhir basse, menhir simbuang, dan tahta batu. - Batas antara daerah sakral dan profan, seperti : menhir turnpuang, susunan batu terrmu gelang, dan pagar batu. Sarana upacara kematian, seperti menhir simbuang dan karopik - Aktivitas keseharian (profan), seperti : lumpang no. 1, lesung batu, umpak batu, dan fragmen gerabah. - Sarana penguburan, seperti karopik, hang, dan wadah kubur erong. d. Fungsi masing-masing situs, adalah : - Situs Tongkonan Layuk, sebagai situs pemukiman dan upacara - Situs Pakpuangan sebagai situs pemujaan kepada Puang Matua - Situs Rante Simbuang sebagai situs upacara kematian Situs Bubun sebagai - - - Situs upacara pemujaan kepada Puang Matua - Situs Rante Sarapuk sebagai situs upacara pemujaan kepada Deata - Situs Liang sebagai situs penguburan. e. Dalam kepercayaan otang Toraja, antara alam fana dan alam baka tidak jelas batas dan perbedaannya secara tegas dapat dilihat pada pola pemukiman dan pola tata letak kubur, stratifikasi sosial dan stratifikasi dewa (arwah leluhur). f. Refleksi stratifikasi sosial, secara simbolis tampak pada menhir, tahta batu, bentuk-bentuk //wig, bentuk dan tats letak wadah kubur (erong), fungsi ruang tertentu seperti teras-teras dan petak-petak. g. Pola keletakan temuan dan situs, sangat dipengaruhi oleh fungsi dan peranan yang diatur oleh konsep kosmologi yang dipahami oleh masyarakat pendukungnya sebagai sistem gagasan. Kosmos dibagi atas : timur - barat, utara - selatan, atas -- bawah. Kehidupan manusia adalah alam antara, sebagai keseimbangan dan keselarasan yang berpusat pada Tongkonan sebagai simbol kosmos (mikrokosmos). h. Tongkonan sebagai simbol dari tokoh adat, dengan demikian yang menjadi pusat dari mikrokosmos adalah tokoh adat itu sendiri.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T1608
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
L.R. Retno Susanti
Abstrak :
Peninggalan tradisi megalitik tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, yaitu antara lain di daera.h Nias, Batak, Sumatera Barat, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Peninggalan-peninggalan megalitik ditemukan dalam berbagai bentuk dan variasi yang sesuai dengan lingkungan setempat. Hasil karya pendukung tradisi megalitik memperlihatkan berbagai bentuk seperti yang dipergunakan untuk tempat (wadah) pemujaan, antara lain yaitu menhir, area megalitik, dolmen, bangunan berundak, dan tahta batu. Sedangkan bentuk-bentuk tempat (wadah) penguburan seperti kalamba, peti kubur batu, sarkofagus, dan waruga. Peninggalan megalitik baik yang berasal dari masa prasejarah maupun megalitik yang masih berlanjut mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda, namun perbedaan ciri-ciri peninggalan megalitik tidak berarti menunjukkan perikehidupan dan alas pikiran yang berbeda. Peninggalan-peninggalan tradisi megalitik pada umumnya berorientasi pada kultus nenek moyang (ancestor-worship). Hal itu ditandai dengan adanya pemujaan terhadap arwah nenek moyang yang dianggap hidup terus di dunia arwah (Sukendar 1981/198?:79--63). Peninggalan megalitik di Sulawesi Tengah berbeda dengan peninggalan megalitik di Flores atau Timor, atau di Lampung. Peninggalan tradisi megalitik di Lampung berbentuk dolmen dan kadang-kadang ditemukan berbentuk menhir. Di daerah Sulawesi Tengah temuan yang menonjol berbentuk kubur batu yang disebut kalamba. Bersamaan dengan kubur-kubur batu kalamba ditemukan pula area-area menhir, yang biasanya berbentuk silindrik dan pada bagian atasnya terdapat pahatan bergambar muka manusia dengan anggota badan yang digambarkan sangat sederhana dalam bentuk go'resan-goresan atau pahatan. Penemuan monumen megalitik di daerah Wonosari (Gunung Kidul) berupa kubur peti batu, yang biasanya ditemukan bersama-sama dengan area menhir atau menhir. Peninggalan megalitik di dataran tinggi Pasemah memiliki bentuk khas berupa area megalitik bercorak dinamis. Selain area megalitik ditemukan pula bangunan berundak, lesung batu, lumpang batu, kubur peti batu, palung batu, dolmen, menhir polos dan berukir, dan kubur bilik batu. Tinggihari yang terletak di daerah perbukitan merupakan salah satu situs yang terdapat di daerah Pasemah. Peninggalan yang berada di Tinggihari cukup beraneka ragam antara lain berbentuk area megalitik (manusia dan binatang), menhir berukir dan poles, batu berlubang, lumpang batu, batu datar, dan batu pipisan.
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Human statue in the ancient graves at Tanah Batakis a symbol of ancestor. Stance is associated with cult and repellent function of disaster. Making a simple style human statues or often called "primitive" describes the continuity of culture or tradition of megalithic. Simple style of the displayed image illustrates the high art of making statues associated with the objectives related to the old region of Batak ethnic. The exstence of the human statues that can be also be viewed as a from of local wisdom in maintaining the original elements of Batak society.
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Benyamin Lufpi
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T4093
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reko Tjatur B.
Abstrak :
ABSTRAK
Analisis yang memperhatikan situs sebagai satuan ruang penelitian pada tingkat meso telah kerapkali dilakukan dengan berbagai cara dan tujuan. Penelitian kali ini bertujuan untuk menganalisis situs guna mengetahui keteraturan-keteraturan dari temuan dalam situs. Hal tersebut dikaji dengan cara memperhatikan faktor-faktor bentuk dan ukuran batuan, jarak antar batu, dan denah tata letak batu. Kali ini analisis situs tersebut diterapkan pada situs masa megalitik di Desa Belumai, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan. Di dalam situs Belumai yang diteliti tersebut terdapat 103 batu, yang terdiri atas 2 lumpang batu, 1 batu gajah, 1 batu datar, dan 99 batu tegak. Situs ini dipilih dari sejumlah situs di daerah Pasemah karena banyaknya jumlah batuan, terutama batu tegaknya, dan terkonsentrasinya temuan tersebut pada satu lahan datar, sementara daerah sekitarnya berlembah dan berbukit-bukit. Data penelitian dikumpulkan melalui survei lapangan, dengan cara mengukur masing-masing batu serta jarak antar batunya, sedang analisisnya menggunakan analisis pola titik (point pattern analysis). Setelah keletakan ruangnya dalam situs dipetakan, barulah dapat diungkap adanya himpunan batuan. Setiap himpunan tersebut disebut dengan Kelompok, yang terbagi atas Kelompok Utama, Kelompok Kedua, dan Kelompok Lain-lain. Setiap Kelompok tersebut diberi kode 3 angka, sehingga dapat mewakili tata letak batuannya. Angka-angka hasil pengukuran di atas kemudian divisualisasikan dalam bentuk gambar grafik garis, di mana masing-masing Kelompok batuan membentuk pola garis yang tertentu pula. Semakin sejajar grafik garisnya dengan sumbu horisontal maka semakin tampak keteraturan-keteraturannya. Dari bukti-bukti keteraturan tersebutlah dapat diperkirakan adanya norma budaya masyarakat masa megalitik di situs Belumai.
1996
S11883
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hoop, Van Der
Netherland: W. J. Thieme, [t. th.]
571.2 HOO m (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bulaksumur, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2016
930.12 EKS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mario Fransiskus Hia
Abstrak :
Nias merupakan salah satu pulau dengan tinggalan kebudayaan megalitik yang memiliki variasi lokal. Salah satu situsnya adalah Situs Ononamölö Tumba Ana’a yang memiliki tinggalan berupa arca megalitik, patung hewan, menhir, niogadi, dane-dane, dan amorphous. Sebelumnya tidak ada penelitian yang dilakukan secara mendalam di situs ini, hanya sebatas deskripsi ragam megalitik. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana bentuk-bentuk megalitik di Situs Ononamölö Tumba Ana’a terbaru dari hasil pendataan yang sebelumnya dilakukan oleh Balai Arkeologi Sumatera Utara. Kemudian memberikan gambaran bagaimana situs itu berfungsi pada masa lalu berdasarkan tinggalan arkeologis dan data etnografi. Adapun model penelitian arkeologis yang digunakan menurut Ashmore dan Sharer (2010) yang terdiri dari beberapa tahapan. Berdasarkan bentuk, tiap jenis megalitik memiliki ukuran yang berbeda-beda dan tidak ada ornamen yang terdapat di situs tersebut. Berdasarkan tata letak, tinggalan megalitik membentuk linear dengan dua baris yang saling berhadapan di sisi selatan dan sisi utara. Kesimpulan penelitian ini adalah segala bentuk pembangunan megalitik harus melalui owasa (pesta jasa/status sosial) sehingga tidak semua orang bisa melakukannya, serta tidak adanya ornamen menunjukkan keberadaan batu sudah cukup untuk menunjukkan eksistensi di masyarakat. ......Nias is one of the islands with megalithic cultural remains that have local variations. One of the sites is the Ononamölö Tumba Ana'a Site which has remains in the form of megalithic statues, animal statues, menhirs, niogadi, dane-dane, and amorphous. Previously, no in-depth research was conducted on this site, only a description of the megalithic variety. This study aims to provide an overview of the megalithic forms at the latest Ononamölö Tumba Ana'a Site from the results of data collection which were previously carried out by the Archeology Center of North Sumatra. Then it provides an overview of how the site functioned in the past based on archaeological remains and ethnographic data. The archaeological research model used according to Ashmore and Sharer (2010) consists of several stages. Based on the shape, each type of megalith has different sizes and there are no ornaments found on the site. Based on the layout, the megalithic remains are linear with two rows of houses facing each other on the south and north sides. The conclusion of this study is that all forms of megalithic development must go through an owasa (service party/social status), so that not everyone can do it, and the absence of ornaments indicates that the presence of stone is sufficient to show its existence in society.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Triwurjani
Abstrak :
Kajian ini mengungkapkan makna arca-arca megalitik yang terdapat di kawasan Pasemah, Sumatera Selatan. Persebarannya yang luas dan bentuknya yang khas menjadikan kawasan Pasemah sebagai suatu kelompok budaya tersendiri. Penggambaran arca Pasemah, tidak begitu natural tapi jelas menyiratkan individu manusia dengan komponen-komponen dasar seperti kepala, badan, tangan, kaki digambarkan jelas. Cara penggambarannya yang tidak harafiah, seperti mata melotot, hidung datar, mulutnya digambarkan bulat dan besar, seperti bentuk bibir tebal, memakai pakaian prajurit, memakai perhiasan, membawa pedang, menunggang gajah atau kerbau. Beberapa bentuk arca digambarkan tangan kanan lebih besar dari tangan kiri, atau jari tangan digambarkan lebih besar dari tangan, yang semuanya tidak harafiah melainkan mengarah ke simbolis. Proses deskripsi bentuk serta pemerian unsur dalam atribut dilakukan dengan menggunakan metode arkeologi dan proses pemaknaan dilakukan dengan metode semiotik. Kajian ini menggunakan semiotik Roland Barthes, dimana dikembangkan aspek denotasi dan konotasi sebagai alat untuk membedah teks sebagai suatu fenomena budaya. Denotasi adalah pemaknaan yang terlihat dalam tanda apa adanya sebagai sistem primer sedangkan konotasi merupakan makna baru/khusus yang diberikan pemakai tanda sebagai sistem sekunder. Mitos nenek moyang sebagai ?divine power? adalah perilaku yang dipraktekkan bagi manusia yang masih hidup di dunia agar mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan baik di dunia dan di akhirat kelak. Hasil kajian ini menunjukan bahwa bentuk-bentuk arca seperti arca manusia, hewan dan arca manusia dengan hewan merupakan gambaran suatu aktivitas dari suatu kelompok masyarakat yang semuanya memperlihatkan peran dari suatu figur yang ditokohkan, termasuk gambaran mengenai hal-hal yang disukai tokoh-tokoh tersebut ketika masih hidup di dunia. Gambaran orang yang sudah meninggal dalam bentuk arca-arca ini, secara tidak langsung merupakan gambaran aktivitas masyarakat Pasemah ketika masih hidup di dunia. Dengan demikian Kebudayaan Pasemah adalah suatu kebudayaan dimana kehidupan akhirat digambarkan di dunia.
This research reveals the meaning of megalithic statues found in the area of Pasemah, South Sumatera. Their extensive distribution and unique shapes have made Pasemah a distinct cultural group. The representation of Pasemah statues is not very natural, but indicates human individual(s) with basic components, such as head, body, hands and feet that are depicted clearly. Examples of their unnatural depictions are for instance bulging eyes, flat nose, round and big mouth with thick lips, as well as donning soldier?s outfit, wearing ornaments, carrying swords, riding an elephant or buffalo. Some statues that are depicted are right hand bigger than left one or fingers are depicted bigger than hand. Everything is not natural, but refers to symbolism. Process of describing form as well as giving elements in attributes were done using archaeological method, while the process of attaching meaning were carried out using semiotic method. The research employed Roland Barthes? semiotic concept, in which aspects of denotation and connotation were developed to analyze text as cultural phenomenon. Denotation is a meaning that is seen in a sign as it is as a primary system, while connotation is a new/special meaning that is given by the user of sign as a secondary system. The myth of ancestor as a ?divine power? is behavior practiced by human beings in the world to achieve safety and well-being in the world and afterworld. The research results reveal that the statue figures, like human figure, animal figure, and human with animal figure are representation of the community activities showing the roles of certain figures during his/her life in the world, including things he/she loved when he/she were still in the world. The representation of deceased people in the statues is indirectly a depiction of the activities of Pasemah communities when they were alive in the world. Therefore, the Pasemah culture is a culture which is the afterworld is depicted in the world.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
D2158
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Handini
Abstrak :
Disertasi ini membahas budaya megalitik Sumba dalam perspektif pembangunan berkelanjutan. Budaya megalitik di Sumba telah menembus batas periode secara teoritis, dan berlangsung hingga kini sebagai sebuah tradisi. Budaya megalitik menyatu dalam keseharian masyarakat Sumba, dengan latar belakang konsepsi religi yang dipandang sebagai warisan nenek moyang yang harus dipegang teguh. Ciri-ciri budaya megalitik yang berintikan pemujaan kepada arwah leluhur (ancestor worship) itu tidak saja terlihat dari pendirian dan pemakaian kubur batu tersebut, tetapi juga dapat dilihat dalam keseharian mereka yang dipengaruhi kepercayaan Marapu, yang merupakan kepercayaan asli orang Sumba. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan partisipasi, wawancara mendalam, studi pustaka dan metode multidimensional scaling (mds) dengan lokus penelitian di Desa Anakalang, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian membuktikan bahwa kubur batu berfungsi sebagai identitas etnik masyarakat Sumba yang belum tergantikan sampai sekarang. Tanpa kubur batu orang Sumba akan kehilangan identitasnya. Kubur batu adalah bukti nyata dari rasa hormat keluarga dan kerabat terhadap leluhur mereka, sehingga mereka mencurahkan segala kemampuan demi mendirikan kubur batu yang layak bagi orang tua atau leluhurnya. Leluhur orang Sumba dengan kearifan lokal telah membuat rambu-rambu yang mengatur pengambilan batu sehingga keberlanjutan tradisi ini dapat terus terjaga sampai generasi mendatang dengan meminimalisir kerusakan lingkungan. ......This dissertation discusses the megalithic culture of Sumba from the Sustainable Development Perspective. The megalithic culture of Sumba itself has surpassed the theoretical periodic boundaries, and take place as a tradition until recently. This culture is integrated into the daily life of people in Sumba with the religious conception background that has been seen as the heritage to be upheld firmly. The characteristic of this practice with the ancestor worship at the core is not only visible from the establishment and the use of stone graves, but also can be seen in the daily life of the community that influenced by Marapu as the traditional belief of Sumbanese People. The data for this research was collected by the participatory observation, in-depth interview, bibliographical studies, and multidimensional scaling (MDS) methods at the research locus of Anakalang Village, Katikuna District, Central Sumba Regency, in the Provincial of East Nusa Tenggara. This research demonstrates that the stone grave has the function as the irreplaceable ethnic identity of People in Sumba until recently. Without the stone grave, the Sumbanese people will lose their identity. Hence, the family and kinsman will provide their best resources to establish the proper stone grave for parents and ancestors as the representation of one respect. At last, the practice itself may be understood as the local wisdom, as the ancestor of Sumbanese people has passed down the costumes to manage the use of stone resources properly; both to have the relation with nature in harmony and to preserve this invaluable heritage for the future generation
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>