Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Dzatir Rohmah
"Meningitis bakterial dianggap sebagai kasus kegawatdaruratan neurologik dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Mortalitas akibat meningitis bakterial dapat mencapai 34% terutama pada infeksi yang disebabkan oleh S. pneumoniae dan L. meningitidis. Sementara morbiditas pada pasien meningitis bakterial yaitu sekuele neurologis jangka panjang dapat mencapai 50% pada survivor meningitis. Terapi antibiotik dengan penggunaan yang rasional dapat menurunkan angka kematian. Sebaliknya, penggunaan terapi antibiotik yang tidak rasional akan meningkatkan terjadinya resistensi yang berdampak pada peningkatan morbiditas, mortalitas, dan biaya kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas penggunaan antibiotik pada pasien meningitis bakteri dengan metode Gyssens. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode retrospektif cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Fatmawati, Jakarta. Subyek penelitian adalah 27 pasien meningitis bakterial yang memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan evaluasi penggunaan antibiotik diagram alir Gyssen diperoleh hasil 11 (40,7%) subyek menggunakan antibiotik yang tepat dan 16 subyek (59,3%) menggunakan antibiotik yang tidak tepat. Penggunaan antibiotik yang belum tepat tersebar dalam beberapa kategori sebagai berikut yaitu kategori IVc sejumlah 2 subyek (7,4%), kategori IVd sejumlah 2 subyek (7,4%), kategori IIIA sejumlah 3 subyek (11,1%), kategori IIIB sejumlah 1 subyek (3,7%), kategori IIA sebanyak 13 subyek (48,1%), dan kategori IIB sebanyak 3 subyek (11,1%). Penggunaan antibiotik yang sesuai berdasarkan evaluasi menggunakan algoritma Gyssen pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap outcome pasien dengan nilai p=1,000 (nilai p>0.05). Variabel jenis kelamin merupakan variabel yang berpengaruh secara signifikan (p<00,5) terhadap kerasionalan antibiotik pada pasien meningitis bakterial.
......Bacterial meningitis is considered as neurologic emergency with high morbidity and mortality rates. Mortality can reach 34%, especially in infections caused by S. pneumoniae and L. meningitides, while morbidity in bacterial meningitis patients, namely long-term neurologic sequelae, can reach 50% amongst survivors. If antibiotics are used properly, they can lower mortality rates. On the other hand, the irrational use of antibiotic therapy will raise the likelihood of resistance, which raises morbidity, mortality, and costs for health care. This study aims to determine the quality of antibiotic use in bacterial meningitis patients using the Gyssens method. It is an observational study employing the retrospective crosssectional method conducted at Fatmawati General Hospital, Jakarta. The research subjects were 27 patients with bacterial meningitis who met the inclusion criteria. In this study, 40.7% of the subjects had been administered appropriate antibiotics and 59.3% inappropriate ones, which were spread across several categories, namely category IVc for two subjects (7.4%); category IVd for two subjects (7.4%); category IIIA for three subjects (11.1%); category IIIB for one subject (3.7%); category IIA for 13 subjects (48.1%); and category IIB for three subjects (11.1%). The use of appropriate antibiotics based on evaluation using the Gyssens algorithm did not significantly affect patient outcomes (p=1,000). Gender is a variable that has a significant effect (p<00.5) on the rationale for antibiotics in patients with bacterial meningitis."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdini Khairunnisa
"Meningitis merupakan salah satu penyakit menular mematikan yang menyerang otak. Meningitis disebabkan oleh peradangan pada membran meninges (selaput pelindung otak dan sumsum tulang belakang) akibat infeksi yang disebabkan oleh patogen bakteri, virus atau jamur. Salah satu cara untuk memahami dinamika penyebaran penyakit meningitis yaitu dengan menggunakan pemodelan matematika. Oleh karena itu, pada skripsi ini dikonstruksi model matematika penyebaran penyakit meningitis yang memiliki bentuk SVCtvCvIR melalui persamaan diferensial biasa berdimensi enam nonlinear. Pemodelan penyebaran meningitis yang dibuat dalam penulisan skripsi ini mempertimbangkan intervensi vaksinasi. Model SVCtvCvIR ini diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman tentang penyebaran penyakit meningitis guna mengurangi dampak beban penyakit meningitis di masyarakat. Analisis secara analitik maupun numerik dilakukan untuk menentukan titik keseimbangan, berikut dengan jenis kestabilannya serta basic reproduction number (R0). Diperoleh bahwa titik keseimbangan bebas penyakit bersifat stabil jika R0<1 dan tidak stabil jika R0>1. Lebih lanjut, dilakukan simulasi numerik pada model SVCtvCvIR untuk melihat interpretasi dari kajian analitik yang dilakukan sebelumnya. Dari proses numerik yang dilakukan, diperoleh bahwa laju penularan yang rendah serta laju vaksinasi dan pengobatan yang tinggi mampu mengendalikan penyebaran penyakit meningitis.
......Meningitis is a deadly infectious disease that attacks the brain. Meningitis is an inflammation of the meninges (the membrane that protects the brain and spinal cord) due to infection caused by bacterial, viral or fungal pathogens. One way to understand the dynamics of the spread of meningitis is to use mathematical modeling. Therefore, in this thesis, a mathematical model of the spread of meningitis is constructed which has the form SVCtvCvIR through a six-dimensional non-linear ordinary differential equation system. The modeling of the spread of meningitis made in this undergraduate thesis considers the vaccination intervention. This model is expected to help provide an understanding of the spread of meningitis in order to reduce the impact of meningitis burden within the community. Analytical and numerical analysis is carried out to determine the equilibrium point, the type of its stability and basic reproduction number (R0). It was found that the disease-free equilibrium point is stable if R0<1, and unstable if R0>1. Furthermore, a numerical simulation was performed on the SVCtvCvIR model to see the interpretation of the previous analytical study. From the numerical process carried out, it was found that the low transmission rate and high vaccination and treatment rates were able to control the spread of meningitis."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jofizal Jannis
"Angka kematian meningitis tidak mengalami penurunan walaupun terdapat penurunan angka kejadian meningitis dan berkembangnya penemuan antibiotik baru. Tujuan penelitian ini adalah melaporkan pola kematian meningitis dan niengetahui faktor yang berhubungan dengan kematian akibat meningitis pada penderita yang dirawat. Penelitian potong lintang menggunakan data rekam medis penderita meningitis yang dirawat di bangsal Neurologi RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dari Januari 1997 - Desember 2005. Data dilaporkan dalam bentuk tekstular dan table, dan kemudian dilakukan analisis mcnggunakan Chi-kuadrat untuk data kategorik dan Student's "t" rest untnk data numerical. Analisis menggunakan program SPSS v 13 for Windows. Penelitian ini mengikutsertakan 273 penderita, yang terdiri dari 81 wanila dan 192 pria, dengan usia antara 12 sampai 78 tahun. Seratuis empat belas penderita meninggal dan 159 hidup. Penurunan kesadaran, terutama sopor (OR 10.44, p 0.000) dun koma (OR 53.333, p 0.000), dan adanya himaparesis (OR 2.068, p 0.009) berhubungan dengan keluaran. Angka kematian meningitis masih tinggi (41.8%). Dari penelitian ini didapatkan tingkat kesadaran dan heiniparesis berhubungan dengan angka kematian. (Med J Indones 2006; 15:236-41).

Mortality rate of meningitis is not decreased even though there is decreasing meningitis rate and advanced development of antibiotics. The purpose of this study is to find out meningitis mortality pattern and to evaluate factors related to meningitis mortality in hospitalized patients. Study was done using retrospective data from medical records of the patients administered in llte Neurology ward of Cipto Mangunkusumo hospital from January 1997 - December 2005. Data were reported descriptively in text* and tables, and analyzed with Chi-square for categorical data and Student's "t" test for numerical data, then for final model using multinomial logistic regression analysis. Two hundred and seventy three patients were included in this study, consisted of 81 female patients and 192 male patients age between 12 to 78 years old. A hundred and fourteen patients died during am! 159 patients lived. Decreased level of consciousness, especially stupor (OR 10.44, p 0.000) and coma (OR 53.333, p 0.000), and presence of motor weakness (OR 2.068, p 0.009) had relationship with outcome. Mortality rate of meningitis is still high (41.8%) because there are some factors that affect its prognosis. From this study, onset, level of consciousness, and motor weakness are predictors for meningitis death. (Med J Indones 2006; 15:236-41)."
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-4-OctDec2006-236
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anja Hesnia Kholis
"[ABSTRAK
Meningitis dan ensefalitis merupakan infeksi sistem saraf pusat yang dapat
mengancam jiwa. Apabila tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan defisit
neurologis dan berdampak pada kehidupan sehari-hari. Tujuan penelitian ini
adalah mengeksplorasi secara mendalam pengalaman hidup pasien postmeningitis
dan ensefalitis terkait kualitas hidupnya. Penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi pada delapan partisipan ini ditentukan dengan teknik
snowball sampling. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam dan catatan
lapangan. Analisis data menggunakan metode Collaizi. Tema yang ditemukan
adalah perubahan fungsi tubuh pasien, masalah sosial yang dihadapi pasien postmeningitis
dan ensefalitis, strategi koping pasien, kebutuhan akan support system
pasien, dan pengalaman pasien selama menerima pelayanan kesehatan. Hasil
penelitian diharapkan sebagai data dasar pengembangan format pengkajian asuhan
keperawatan dan instrumen kualitas hidup neuroinfection.

ABSTRACT
Meningitis and encephalitis are life-threatening infection of the central nervous
system. If it is not treated properly, will lead to neurological deficits and impact
on daily life. The purpose of this study was to explore the life experiences of postmeningitis
and encephalitis patients related to their quality of life. Qualitative
research with phenomenological approach on eight participants involved were
determined by snowball sampling technique. The data was collected by in-depth
interviews and field notes. Collaizi?s method was used to data analysis. The
results of this investigation were: the changes body function of patients; the social
problems faced by post-meningitis and encephalitis patients; the coping strategies
of patients; the need support system of patients, and the experience patients during
receiving health care. The study findings are expected to be the basic for both the
development of nursing care assessment form and instrument of neuroinfection
related to quality of life., Meningitis and encephalitis are life-threatening infection of the central nervous
system. If it is not treated properly, will lead to neurological deficits and impact
on daily life. The purpose of this study was to explore the life experiences of postmeningitis
and encephalitis patients related to their quality of life. Qualitative
research with phenomenological approach on eight participants involved were
determined by snowball sampling technique. The data was collected by in-depth
interviews and field notes. Collaizi’s method was used to data analysis. The
results of this investigation were: the changes body function of patients; the social
problems faced by post-meningitis and encephalitis patients; the coping strategies
of patients; the need support system of patients, and the experience patients during
receiving health care. The study findings are expected to be the basic for both the
development of nursing care assessment form and instrument of neuroinfection
related to quality of life.]"
2015
T44547
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Kirana Wulandari
"ABSTRAK
Pendahuluan : Deteksi Basil Tahan Asam (BTA) Ziehl Neelsen cairan serebrospinal (CSS) di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo tahun 2014 tidak pernah positif. Pewarnaan Auramine-O dapat meningkatkan sensitivitas deteksi BTA. Perlu modifikasi sitosentrifugasi pada pulasan BTA, agar dapat deteksi BTA lebih banyak dan cepat.
Metode: uji diagnostik pulasan BTA CSS Ziehl Neelsen metode non sitosentrifugasi, Cytospin, Cytopro serta Auramine-O Cytopro dibandingkan dengan baku emas biakan TB MGIT.
Hasil: Uji diagnostik BTA Ziehl Neelsen tanpa sitosentrifugasi, tidak dapat dinilai karena BTA tidak terdeteksi di semua sampel. Uji diagnostik Ziehl Neelsen Cytospin dan Cytopro sama yaitu sensitivitas 64%, spesifisitas 85%, NPP 54%, NPN 89 %. Uji diagnostik Auramine-O Cytopro, sensitivitas 91%, spesifisitas 26%, NPP 26%, NPN 91 %.
Kesimpulan: Pulasan BTA CSS metode sitosentrifugasi dapat menggantikan metode non sitosentrifugasi. Pulasan BTA CSS Auramine-O dapat me rule out diagnosis meningitis TB.

ABSTRACT
Introduction: Detection of AFB from CSF with Ziehl Neelsen staining in 2014 at dr Cipto Mangunkusumo general hospital never gives positive result. Staining with Auramine-O smear staining can increase its sensitivity. Acid fast bacilli cytocentrifugation is needed as a modification in AFB slide preparation to gain more bacilli faster.
Methods: Diagnostic perfomance of AFB slide prepared by non cytocentrifugation, Cytospin, Cytopro with Ziehl Neelsen stain, prepared by cytopro with Auramine-O stain are compared to TB MGIT as a gold standard.
Results: Acid fast bacilli slide prepared with non cytocentrifugation method and stained by Ziehl Neelsen cannot be obtained because AFB was not detected in all samples. Acid fast bacilli slide prepared with Cytospin and Cytopro and stained with Ziehl Neelsen has sensitivity (64%), specificity (85%), PPV (54%), 89% NPV. Acid fast bacilli slide prepared with Cytopro and stained with Auramine-O has sensitivity (91%), specificity (26%), PPV (26%), 91 % NPV.
Conclusion: Detection of AFB from CSF with cytocentrifugation method can replace non cytocentrifugation method. Acid fast bacilli slide prepared cytocentrifugation and stained by Auramine-O can rule out Tuberculous meningitis."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tara Wandhita Usman
"Latar Belakang : Gangguan fungsi hati pada meningitis tuberkulosis (MTB) dilaporkan sebesar 9,5- 43,3%. Gangguan hati dapat mempengaruhi tata laksana berupa interupsi pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) yang dapat menyebabkan perburukan klinis dan meningkatkan risiko kematian terutama pada fase intensif. Metode : Studi kohort retrospektif pada pasien MTB untuk mengetahui karakteristik demografi, laboratorium gangguan fungsi hati dan mortalitas baik pada kelompok dengan dan tanpa interupsi OAT fase intensif. Penelurusan rekam medis pada pasien MTB yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Januari 2019 – April 2023. Hasil : Dari 200 subjek yang memenuhi kriteria, sebanyak 145 subjek (72,5%) mengalami gangguan fungsi hati, terdiri dari 88 subjek (60,7%) derajat ringan, 25 subjek (17,2%) derajat sedang, dan 32 subjek (22,1%) derajat berat. Gangguan fungsi hati banyak terjadi pada lak-laki (59,3%), median usia 37 tahun. Interupsi OAT dilakukan pada 43 subjek (29,7%). Perbedaan karakteristik yang bermakna adalah laki-laki (72,1% vs 53,9%, p=0,04), kadar tertinggi serum glutamic ocaloacetic transaminase (SGOT) (195 (10-2.945) vs 53,5 (14-464), p=<0,001) serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) (128 (10-1.268) vs 50 (10-294), p=<0,001), bilirubin total (1,57 (0,34-8,98) vs 1,08 (0,25-2,43), p=<0,001) dan direk (1,11 (0,19-8,05) vs 0,56 (0,12-2,01), p=<0,001). Gangguan fungsi hati derajat berat lebih banyak pada kelompok dengan interupsi (62,8% vs 4,9%, p=<0,001). Mortalitas lebih banyak pada kelompok dengan gangguan fungsi hati (34,5% vs 16,4%, p=0,012) dan pada kelompok dengan interupsi (55,8% vs 44,2%, p=<0,001). Kesimpulan : Gangguan fungsi hati pada MTB lebih banyak ditemukan pada laki-laki dengan usia dekade ketiga. Perbedaan karakteristik bermakna pada kelompok dengan interupsi OAT adalah kadar fungsi hati dan derajat gangguan fungsi hati yang lebih buruk. Mortalitas lebih banyak pada kelompok dengan gangguan fungsi hati dan kelompok dengan interupsi OAT.
...... Background : Liver dysfunction in tuberculosis meningitis (TBM) has been reported 9,5 – 43,3%. Liver dysfunction could impact to the therapy with interuption of antituberculosis therapy (ATT). That interruption can caused clinical deterioration and increase risk of death, especially in the intensive phase. Methods : Retrospective study on TBM patients to determine the demographic and laboratory characteristics of liver dysfunction and mortality in both groups with and without interruption of intensive phase ATT. Using medical records of TBM patients who admitted at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital from January 2019 to April 2023. Results : Total 200 subjects met the criteria, there were 145 subjects (72.5%) had liver dysfunction, the degree were consist of 88 subjects (60.7%) mild, 25 subjects (17.2%) moderate, and 32 subjects (22.1%) severe. Interruption ATT were in 43 subjects (29.7%). Liver dysfunction was common in male and median age were 37 years. Significant characteristics difference were male (72.1% vs 53.9%, p=0.04), peak level of aspartate transaminase (AST) (195 (10-2945) vs 53.5 (14-464), p=<0.001), alanine aminotransferase (ALT) (128 (10-1268) vs 50 (10-294), p=<0.001), total bilirubin (1.57 (0.34-8.98) vs 1.08 (0.25-2.43), p=<0.001) and direct bilirubin (1.11 (0.19-8.05) vs 0.56 (0.12-2.01), p=<0.001). Severe liver dysfunction more common in group with interruption (62.8% vs 4.9%, p=<0.001). Mortality was higher in liver dysfunction group (34.5% vs 16.4%, p=0.012), and in group with interruption (55.8% vs 44.2%, p=<0.001). Conclusion : Liver dysfunction in TBM more common in male in third decade. Significant characteristics difference were male, higher level of liver function test and degree of liver dysfunction. Mortality was higher in liver dysfunction group and group with interruption"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raesa Yolanda
"Latar Belakang: Meningitis tuberkulosis (TBM) merupakan manifestasi terberat infeksi TB dan prognosisnya bergantung pada kecepatan memulai terapi. Studi ini bertujuan mengetahui alur perjalanan pasien TBM serta faktor-faktor yang memengaruhi keterlambatan dalam mendapatkan pengobatan.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dari pasien TBM yang sudah mendapatkan terapi OAT dan dirawat di RSCM pada bulan Januari 2020 – April 2022. Data diperoleh melalui wawancara terhadap pasien atau pendamping dan telusur rekam medis.
Hasil: Sebanyak 99 orang subjek yang memenuhi kriteria. Terdapat 6 pola alur perjalanan pasien dengan yang terbanyak adalah mengalami gejala umum diikuti gejala neurologis, mencari pertolongan kesehatan, terdiagnosis, dan mendapatkan pengobatan (52,5%). Fasilitas kesehatan pertama terbanyak dikunjungi pasien adalah praktek dokter swasta (L1b) (35,4%). Median jumlah kunjungan yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan pengobatan adalah 6 (4-9) kunjungan dengan durasi keterlambatan sebagai berikut: keterlambatan pasien 17 (3-33) hari, keterlambatan diagnosis 44 (16-101) hari, keterlambatan pengobatan 1 (0-1) hari, dan keterlambatan total adalah 78 (33-170) hari. Faktor yang secara signifikan berhubungan dengan keterlambatan yang lebih panjang (>78 hari) adalah jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan aOR=3,51 (CI95=1,36-9,10; p=0,01) dan pendidikan rendah aOR=0,30 (CI95=0,01-0,89; p=0,03).
Kesimpulan: Pasien TBM di RSCM menjalani kunjungan multipel dan membutuhkan waktu 2,5 bulan sejak mengalami gejala hingga mendapatkan pengobatan dengan keterlambatan terbesar berasal dari sistem kesehatan.
......Background: Tuberculous meningitis (TBM) is the worst manifestation of TB infection. Its prognosis is depend on timely treatment initiation. This study intend to know TBM patient pathway and factors that affect treatment delay.
Methods: This was a crossectional study of TBM patients who have received antituberculous medication and were admitted at the RSCM January 2020-April 2022. Data were obtained from interview to either patient or caregiver and medical reccord.
Results: A total of 99 subjects met the criteria. There were 6 patterns of patient pathway with the most prevalent is having general symptoms followed by neurological symptoms, first healthcare visit, diagnosed, and treated (52.5%). The first healthcare visited by most patients was private doctor's practice (L1b) (35.4%). Median number of visits before recieving treatment was 6 (4-9) visits. Delay duration are as follow: patient delay 17 (3-33) days, diagnosis delay 44 (16-101) days, treatment delay 1 (0-1) day, and total delay 78 (33-170) days. Factors that significantly associated with longer delays were number of visits to healthcare facilities aOR=3.51 (CI95=1.36-9.10; p=0.01) and lower education aOR=0.30 (CI95=0 .01-0.89; p=0.03).
Conclusions: TBM patients experienced multiple visit and had 2.5 months delay from first symptoms to treatment with the longest delay coming from the healthcare system."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edward Nangoy
"Dalam peningkatan mutu berkesinambungan, diperlukan suatu instrumen yang dapat merangkum seluruh kegiatan dan upaya tersebut dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit melalui clinical pathway, dan mampu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pengguna rumah sakit, dengan mutu yang baik serta biaya BLU RS. Prof.DR.R.D. Kandou Manado, saat ini belum memiliki dapat diperkirakan clinical pathway khusus pasien meningitis, yangmerupakan salah satu penyakit neuroinfeksi terbanyak.
Penelitian ini bersifat kuantitatif dan kualitatif, bertujuan membuat clinical pathway dengan mortalitas cukup tinggi, memiliki lama hari rawat panjang, biaya perawatan cukup tinggi, perjalanan penyakit dan hasilnya dapat diperkirakan. meningitis, berdasarkan data karakteristik pasien, kapasitas rumah sakit dan utilisasi pelayanan.
Hasil penelitian ini didapatkan tiga bentuk lembaran clinical pathway, untuk diagnosis meningitis di Departemen Neurologi BLU RSUP Prof.DR.R.D. Kandou yang hasilnya disesuaikan dengan keadaan rumah sakit, dan telah disetujui oleh pimpinan rumah sakit dan Departemen Neurologi divisi neuroinfeksi, untuk dapat digunakan.
......
In order to improve the quality continuosly, an instrument embracing the whole activities in performance of heath service in hospital is needed, through clinical pathway. BLU RSUP Prof.Dr.R.D. Kandou Manado has no clinical pathway yet at the moment, for meningitis patient in particular, which is one of the most common neuro infection disease with high mortality, long lenght of stay, high cost of care, with predictable course of disease and outcome.
Method : This is a qualitative and quantitavie study, which aims to make a clinical pathway for meningitis, according to patien characteristic data, hospital capacity and service utility.
Result of this study is obatained three form of clinical pathway sheets for meningitis patients at neurology department BLU RSUP PROF.DR.R.D. Kandou Manado, which compatible with the hospital condition, approved by hospital administrators and division neuroinfection of Neurology department."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Untari
"ABSTRAK
Keperawatan menurut Mc Mahon merupakan terapi yang melibatkan tiga 3 komponen yaitu partnership, intimate dan reciprocity disetiap tindakan keperawatan. Begitu juga yang harus dilakukan oleh perawat ners spesialis atau perawat lanjutan. Pelaksanaan praktik residensi keperawatan khususnya neurologi dilakukan sebagai bagian dari proses untuk mencapai pendidikan perawat ners spesialis. Perawat ners spesialis dalam memberikan asuhan keperawatan harus memiliki tujuh kompetensi yaitu memberikan pelayanan langsung, konsultasi, kepemimpinan, kolaborasi, pendidikan, penelitian dan pengambil keputusan yang mengedepankan etik. Rangkaian pendidikan spesialis keperawatan ini adalah mengelola kasus utama, menyusun kasus resume yang dilaporkan sebanyak 30 pasien dengan gangguan neurologi, melakukan Eviden based Nursing EBN latihan Menelan dengan madu pada pasien disfagia serta melakukan inovasi membuat video edukasi. Kasus terbanyak selama praktik adalah stroke dan diagnosis keperawatan terbanyak yaitu resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral, gangguan mobilisasi dan gangguan pemenuhan kebutuhan personal hygine.. Rekomendasi: analisis lebih dalam tentang latihan menelan dengan madu dan analisis kognitif, afektif dan psikomotor yang diperoleh saat menggunakan video edukasi pada pasien ABSTRACT
Nursing in Mc Mahon say that nursing is a therapy that involves three 3 components of partnership, intimate and reciprocity in every action of nursing. So also must be done by a specialist nurse nurse or advanced nurse. Implementation of nursing residency practices, especially neurology is done as part of the process to achieve specialist nurse education. The role of nurse specialist in providing nursing care should have seven competencies that is to provide direct services, consultation, leadership, collaboration, education, research and decision makers that put ethics forward. This series of nursing specialist education is managing the main case, compiling 30 reported cases of patients with neurological disorders, performing an Evidence based Nursing EBN and innovating with patients with neurological disorders. The most cases during the practice were stroke and the most common nursing diagnoses were the risk of perfusion of cerebral tissue, impaired mobilization and impaired fulfillment of personal hygine needs. EBN is a swallowing exercise with honey and the implementation of group innovation to make educational videos to increase self awareness and family against the risk of recurrent stroke. Recommendations deeper analysis of swallowing exercises with honey and cognitive, affective and psychomotor analyzes obtained when using educational videos in patients"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdi
"Latar belakang. Sebanyak 1 juta kasus baru dan 625.000 kematian terjadi di dunia setiap
tahunnya akibat meningitis kriptokokus. Perbaikan dalam antiretroviral (ARV) telah
dilaksanakan namun jumlah kasus meningitis kriptokokus masih tinggi. Mortalitas juga masih
tinggi (30-40%) bahkan dengan terapi amfoterisin B. Dengan epidemiologi penyakit yang
tersebar luas dan mortalitas yang substansial, penyakit ini perlu dipikirkan sebagai masalah
kesehatan besar yang memerlukan perhatian global. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
mortalitas meningitis kriptokokus di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan faktor yang
berhubungan.
Metode. Penelitian kohort retrospektif dengan rekam medis di RSUPN Cipto Mangunkusumo
pada subjek dengan meningitis kriptokokus dari tahun 2013-2023. Analisis dilakukan terhadap
data dasar, klinis, pemeriksaan penunjang, dan tata laksana yang dihubungkan dengan
mortalitas 2 minggu.
Hasil. Dari 68 subjek yang melalui kriteria inklusi dan ekslusi, didapatkan mortalitas 2 minggu
sebesar 26,5%. Subjek dengan HIV positif didapatkan sebesar 91% dengan riwayat
penggunaan ARV sebesar 49% dan riwayat putus ARV sebesar 16%. Manifestasi klinis
tersering adalah nyeri kepala (94%) dan muntah (60%). Komorbid tersering yang ditemukan
adalah tuberkulosis paru (49%) dan pneumonia bakterialis (37%). Infeksi PCP berhubungan
dengan mortalitas 2 minggu subjek (OR 14, IK 95% 1,5-135,6, p=0,02). Tinta India ditemukan
positif pada 84% subjek (p=0,029) dan antigen LFA ditemukan positif pada 94% subjek.
Infiltrat pada foto toraks berhubungan dengan mortalitas 2 minggu (OR 12, IK 95% 1,3-115,4,
p=0,03). Frekuensi pungsi lumbal yang lebih jarang berhubungan dengan mortalitas 2 minggu
(p=0,009). Antijamur yang diberikan sebagian besar adalah kombinasi amfoterisin B dan
flukonazol (71%).
Kesimpulan. Mortalitas 2 minggu meningitis kriptokokus sebesar 26,5%. Faktor yang
berhubungan dengan mortalitas adalah infeksi PCP, tinta India positif, infiltrat pada foto
toraks, dan pungsi lumbal yang jarang. Subjek meningitis kriptokokus dengan infeksi HIV
mengalami imunosupresi berat yang ditandai dengan CD4 rendah, riwayat ARV yang rendah,
dan angka putus ARV yang tinggi. Sebagian besar subjek meningitis kriptokokus memiliki
kondisi klinis yang berat sehingga tata laksana seperti pungsi lumbal diperlukan sejak awal.
......Background. Approximately 1 million new cases and 625.000 deaths each year are caused by
Cryptococcal meningitis. Improvement in antiretroviral (ARV) was done but number of
Cryptococcal meningitis cases was still high. In spite of amphotericin B based regimen, the
mortality was still high (30-40%). With worldspread epidemiology and substantial mortality,
this disease is a major health issue which requires global attention. This research aimed to
know Cryptococcal meningitis mortality in Cipto Mangunkusumo National General Hospital
and its associated factors.
Methods. Retrospective cohort research using medical records at Cipto Mangunkusumo
National General Hospital was conducted for Cryptococcal meningitis from 2013 to 2023.
Analysis was performed for baseline, clinical, ancillary test, and treatment data with 2 week
mortality.
Results. Of 68 subjects following inclusion and exclusion criteria, the 2 week mortality was
26,5%. The proportion of HIV positive was 91,2% with 38,5% subjects with history of ARV,
and 16,2% subjects with history of default. Common clinical manifestations were headache
(94%) and vomiting (60%). Common comorbids were pulmonary tuberculosis (49%) and
bacterial pneumonia (36%). PCP was associated with mortality (OR 14, 95% CI 1,5-135,6,
p=0,02). Positive India ink was found in 84,3% subjects (p=0,03) and positive LFA antigen
was found in 94,2% subjectss. Infiltrate in chest x ray was associated with mortality (OR 12,
95% CI 1,3-115,4, p=0,03). Infrequent lumbal puncture was associated with mortality
(p=0,009). Majority of antifungal regimen given was combination of amphotericin B and
fluconazole (71%).
Conclusions. The 2 week mortality of Cryptococcal meningitis was 26,5%. Associated factors
were PCP, positive India ink, infiltrate in chest x ray and infrequent lumbal puncture.
Cryptococcal meningitis subjects with HIV infection had severe immunosupression reflected
by low CD4, low ARV usage, and high ARV defaulters. Majority of cryptococcal meningitis
subjects had severe clinical conditions so optimal treatment like lumbal puncture was needed
earlier."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>