Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chandra Herwibowo
Abstrak :
ABSTRAK
Diundangkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uangtelah memberikan suatu dasar bagi penggunaan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di negara Republik Indonesia. Pembuatan undang-undang ini merupakan amanat dari Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni “macam dan harga Mata Uang ditetapkan dengan undang-undang”. Penetapan dan pengaturan tersebut diperlukan untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi macam dan harga Mata Uang.

Pengaturan Pasal 21 jo. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang tersebut telah menimbulkan respon yang beragam dari stakeholders khususnya terkait penerapan pasal tersebut dihubungkan dengan praktek kegiatan usaha perbankan maupun perekonomian antara lain pemberian kredit dalam valas, pasar uang antar bank dalam valas, SKBDN dalam valas, ekspor impor. Adanya potensi permasalahan dilapangan menimbulkan suatu pertanyaan dari stakeholders apa maksud daripada Pasal 21 dan Pasal 23 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan sejauhmana batasannya, kemudian bagaimana terkait kegiatan-kegiatan usaha yang selama ini telahdilakukan dapat tetap dilaksanakan dengan tidak melanggar ketentuan Undang- UndangNomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Menghadapi permasalahan tersebut, Kementerian Keuangan (Pemerintah) kemudian melakukan penafsiran terhadap penggunaan uang Rupiah di Undang- Undang Mata Uang hanya terbatas pada transaksi secara fisik (dengan menggunakan uang kartal). Dengan penafsiran ini maka ketentuan Pasal 21 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menjadi dapat dilaksanakan dan tidak menghambat perekonomian. Namun demikian penafsiran ini menimbulkan konsekuensi bahwa transaksi pembayaran di Wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang tidak menggunakan uang kartal (non tunai) dapat dilakukan dengan valuta asing. Dalam kaitan hal ini akan disadari adanya kekosongan hukum terkait kewajiban penggunaan mata uang Rupiah dalam transaksi keuangan non tunai.
ABSTRACT
The Law number 7 Year 2011 had been appointed concerning to Currency that has provided a basis for the use of Rupiah as legal tender in the Republic of Indonesia. This legislation establishment was the mandate of Article 23B of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 that was "kind and Currency prices were set by law." The determination and arrangements were needed to provide protection and legal certainty for the kind and Currency price.

The setting of Article 21 jo. Article 23 of Law No. 7 of 2011 on the Currency had caused varied responses from stakeholders particularly regarding the application of that article linked to the practice of banking operations and the economy, including the provision of credit in foreign currency, money market in the interbank in foreign currency, SKBDN in the foreign currency, and import export. There was a potential problem in the field that raised a question of stakeholders about what was the purpose of Article 21 and Article 23 of Law No. 7 of 2011 on the currency and the extent of the limit, then how about the related business activities that had been done so that could still be implemented without violating the provisions of Act 7 of 2011 about the currency.

In facing these problems, the Ministry of Finance (Government) then making interpretation in the use of the Rupiah money in Currency Act that was limited to the physical transaction (using the currency). With this interpretation, the provisions of Article 21 and Article 23 of Law No. 7 of 2011 on Currency could be implemented and did not obstruct the economy. However, this interpretation raised the consequence that payment transactions in the Territory of the Republic of Indonesia, which did not use currency (non-cash), could use foreign exchange. Related to this matter, it would be realized that there was a law emptiness related to the liability of Rupiah currency use in non-cash financial transactions.The Law number 7 Year 2011 had been appointed concerning to Currency that has provided a basis for the use of Rupiah as legal tender in the Republic of Indonesia. This legislation establishment was the mandate of Article 23B of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 that was "kind and Currency prices were set by law." The determination and arrangements were needed to provide protection and legal certainty for the kind and Currency price.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rejeki
Abstrak :
ABSTRAK
Kedudukan Pelapor dan Saksi tindak pidana pencucian uang dalam sistem peradilan pidana berpotensi mendapatkan ancaman dari pihak-pihak yang tidak menginginkan kasusnya terbongkar sehingga mereka tidak berani mengungkapkan kesaksiannya. Kebutuhan atas perlindungan terhadap Pelapor dan Saksi suatu tindak pidana pada umumnya tidak terlepas dari pentingnya peranan Pelapor dan Saksi dalam proses peradilan pidana. Khusus untuk perlindungan bagi Pelapor dan Saksi TPPU, ketentuannya telah ada sejak Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang disahkan pertama kali tahun 2002, selanjutnya diubah pada tahun 2003 hingga pada tahun 2010 disahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menggantikan Undang-Undang yang lama. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif berupa studi kepustakaan yaitu meneliti dokumen berupa literatur buku-buku, peraturanperaturan dan pedoman-pedoman, dan juga melakukan wawancara dengan narasumber. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan : Apa yang menjadi dasar pemikiran dari ketentuan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan Saksi tindak pidana pencucian uang?, Bagaimana pelaksanaan ketentuan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan Saksi TPPU setelah keluarnya Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2010? dan Kendala apa yang akan muncul dalam pelaksanaannya?. Teknis pelaksanaan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan Saksi TPPU mengacu pada PP Nomor 57 Tahun 2003 dan Peraturan Kapolri Nomor 17 Tahun 2005 yang mengamanahkan pelaksanaan pemberian perlindungan khusus bagi Pelapor dan Korban kepada Kepolisian RI. Pada tahun 2006 disahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku sebagai ketentuan payung dalam pemberian perlindungan Pelapor, Saksi dan/atau Korban di tanah air. Undang-Undang tersebut mengamanahkan pemberian perlindungan dilaksanakan oleh lembaga khusus bernama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban ternyata memiliki berbagai kelemahan yang sedikit banyak akan mempengaruhi implementasi dalam pemberian perlindungan. Dalam pelaksanaan pemberian perlindungan bagi Pelapor dan Saksi TPPU, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi lain yang menjadi sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana yakni, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Selain itu LPSK juga dapat bekerja sama dengan PPATK yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
ABSTRACT
The position of Reporting Parties and Witnesses of money laundering in the criminal justice system, potentially under threat from those who do not want the case revealed that they did not dare reveal his testimony. The need for the protection of Reporting Parties and Witnesses of a crime is generally not independent of the importance of the role of Reporting Parties and Witnesses in the criminal justice process. Especially for the protection of Reporting Parties and Witnesses of money laundering, the terms have existed since the law of money laundering was first enacted in 2002, further it was amended in the year 2003. In the year 2010, The Legislature enacted Law No. 8 of 2010 Concerning Prevention and Eradication of Money Laundering legislation replacing the old law. By using the research method of normative juridical in which one of them is library study, which is analysing documents such as books, provisions, guidance, and also interview with experts. This study is aimed at answering some research questions : What was the rationale thought of granting protection for Reporting Parties and Witnesses of money laundering?, How the implementation of the provisions granting protection for Reporting Parties and Witnesses after discharge anti money laundering law No. 8 years 2010? and what obstacles would arise in its implementation?. Technical provisions for the implementation of Reporting Parties and Witnesses Protection of Money Laundering refer to Regulation number 57 in 2003 and Chief of Police rule Number 17 0f 2005 which mandated the implementation of granting special protection to Reporting Parties and Witnesses to The Indonesian Police. In the year 2006 came out Law No. 13 of 2006 on the protection of witnesses and victims, which acted as a main provision to protection Reporting Parties, Witnesses and/or victims in Indonesia. The Law mandated the responsibility for providing protection implemented by specialized institutions called the Witness and Victim Protection Agency (LPSK). The law of protection of the witnesses and victims had a weaknesses that influenced the implementation of granting protection. In the implementation of granting protection for reporting parties and witnesses in Money laundering, LPSK could cooperate with other institutions that included in sub system of criminal justice system such as Police, Attorney, Court, and Prison. Besides, LPSK also could cooperate with PPATK that has duty to prevent and eradicate of money laundering.
2013
T32556
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldian Kukuh Trisetyadi
Abstrak :
PPAT adalah mitra dari BPN tetapi tidak termasuk dalam kategori pegawai kantor pertanahan sehingga PPAT tidak menerima gaji setiap bulan hanya penghargaan, penghargaan yang dimaksud yaitu pemberian uang jasa yaitu paling besar 1% dari nilai transaksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 32 ayat (1) PJPPAT. Pada tahun 2021 Menteri ATR/BPN mengeluarkan aturan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 33 tahun 2021 Tentang Uang Jasa Pembuatan Akta yang membagi nilai dari 1% itu menjadi 4 bagian. Terdapat 2 (dua) rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu pertama, mengenai pengaturan tarif uang jasa dan sanksi terhadap Permen ATR/BPN No. 33 Tahun 2021, dan kedua, mengenai pelaksaan sanksi apabila PPAT melanggar aturan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil dari penelitian ini pertama, menganalisis pengaturan besaran uang jasa pembuatan akta PPAT secara lebih jelas karena adanya klasifikasi yang sudah diatur dalam Permen tersebut dan Permen ini juga menyebutkan pengaturan sanksi yang menyatakan apabila seorang PPAT melanggar ketentuan terhadap uang jasa maka sanksi pelanggaran yang dikenakan berupa pemberhentian sementara paling lama 6 bulan. Kemudian yang kedua, mengenai penerapan pelaksanan sanksi aturan Permen ATR/BPN No. 33 Tahun 2021 melewati prosedur teguran dan peringatan dan langsung pada pemecatan sementara, prosedur pemberhentian atau pemecatan tidak diatur secara rinci di dalam Permen No. 33 Tahun 2021, sedangkan dalam Kode Etik IPPAT apabila seorang PPAT melanggar ketentuan perundang-undangan lainnya yang dengan kewajiban PPAT maka ia melanggar juga Kode Etik, maka tata cara pemberian sanksi dapat menggunakan aturan Kode Etik. ......Land Deed Making Officers (PPAT) is a partner of BPN but is not included in the category of land office employees so that PPAT does not receive a salary every month only awards, the award in question is the provision of service money, which is a maximum of 1% of the transaction value as stipulated in the provisions of Article 32 paragraph (1) of PJPPAT. In 2021 the Minister of ATR/BPN issued a regulation of the Minister of Agrarian affairs and Spatial Planning/Head of the National Defense Agency Number 33 of 2021 concerning Deed Making Services Money which divides the value of the 1% into 4 parts. There are 2 (two) formulations of problems in this study, namely first, regarding the regulation of service money rates and sanct ions against the Minister of ATR/BPN Regulation No. 33 of 2021, and second, regarding the implementation of sanctions if PPAT violates these rules. The research method used is normative juridical with explanatory research typology. The results of this study first, analyze the regulation of the amount of service money for making PPAT deeds more clearly because of the classification that has been regulated in the Regulation and this Regulation also mentions sanctions arrangements that state that if a PPAT violates the provisions for service money, the violation sanctions imposed are in the form of temporary suspension for a maximum of 6 months. Then the second, regarding the application of sanctions for the regulation of the Minister of ATR /BPN Regulation No. 33 of 2021 through reprimand and warning procedures and directly on temporary dismissal, the procedure for dismissal or dismissal is not regulated in detail in Regulation No. 33 of 2021, while in the IPPAT Code of Ethics if a PPAT violates other statutory provisions that with the obligations of the PPAT then he also violates the Code of Ethics, then the procedure for sanctioning can use the rules of the Code of Ethics.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011
346.082 BAN u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011
346.082 BAN u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kahfiya Hasbi
Abstrak :
Skripsi ini akan membahas mengenai kemungkinan penerapan konsep keadilan restoratif ke dalam pengembalian aset tindak pidana pencucian uang. Dewasa ini keadilan restoratif telah menjadi isu yang sangat penting dan merupakan konsep potensial untuk diterapkan sebagai norma. Sejauh ini keadilan restoratif baru diterapkan oleh negara-negara tertentu saja dengan ruang lingkup tindak pidana yang terbatas. Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa dimungkinkan juga untuk menerapkan keadilan restoratif dalam tindak pidana lainnya, seperti tindak pidana perekonomian yang dalam tulisan ini lebih difokuskan lagi kepada tindak pidana pencucian uang. Permasalahan yang timbul adalah peraturan perundang-udangan kita yang kurang mengikuti perkembangan masyarakat dan pandangan banyak ahli bahwa hukuman masih merupakan tindakan utama dalam menanggulangi kejahatan. Untuk pembuatan skripsi ini, penulis menggunakan tipologi penulisan penelitian hukum secara normatif, dengan metode penelitian kepustakaan untuk mengetahui bisakah konsep keadilan restoratif diterapkan ke dalam pengembalian aset tindak pidana pencucian uang di Indonesia. ......This minithesis will discuss about possibility of applying the concept of restorative justice in the return on assets in money laundering. Today, restorative justice has become a very important issue and is a potential concept to be applied as the norm. So far the new restorative justice is applied by certain countries with the scope of the crime are limited. In this paper explained that it is also possible to implement restorative justice in other crimes, such as economic crime which in this paper is more focused on money laundering. Problems that arise are the laws and our invitation less follow the development of society and the view of many experts that the punishment is still the main action in tackling crime. In making this thesis, tha author uses the typology of writing a normative legal research, with methods of library research to find out the concept of restorative justice can be applied to the return of assets on money laundering in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S546
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Afra Azzahra
Abstrak :
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sebagai lembaga intelijen keuangan yang bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, salah satu fungsinya berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah melakukan kegiatan pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan dalam kerangka proses intelijen yang merupakan pengembangan analisis untuk menemukan dugaan/indikasi suatu tindak pidana ataupun memperkuat suatu dugaan awal adanya tindak pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif berupa studi kepustakaan yaitu meneliti dokumen berupa literatur buku-buku, peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman, dan juga melakukan wawancara dengan narasumber. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan: Bagaimanakah pelaksanaan pemeriksaan oleh PPATK berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang? Bagaimana kendala yang dihadapi PPATK dalam melaksanakan pemeriksaan yang optimal?. Pemeriksaan terdiri dari 2 (dua) bagian besar, yaitu pemeriksaan proaktif dan pemeriksaan reaktif. Pemeriksaan proaktif adalah pemeriksaan didahului dengan melakukan analisis terhadap laporan transaksi keuangan mencurigakan yang masuk ke PPATK beserta dokumen pendukung, sedangkan pemeriksaan reaktif adalah dalam hal terdapat inquiry (permintaan) dari penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan. Proses atau cakupan pemeriksaan meliputi kegiatan pra-pemeriksaan, pemeriksaan, dan post pemeriksaan. Hasil pemeriksaan memiliki peranan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Dalam pelaksanaannya, PPATK mengalami kendala baik secara internal ataupun eksternal dalam menghasilkan laporan hasil pemeriksaan yang optimal. Kajian terhadap kelembagaan PPATK, peningkatan sumber daya manusia, serta kerjasama dan koordinasi pemangku kepentingan sangat diperlukan dalam pembangunan rezim anti pencucian uang Indonesia. ......Indonesian Financial Transaction and Analysis Centre, as a financial intelligence unit which is established to prevent and eradicate money laundering, has one among some functions according to Law Number 8 Year 2010 concerning the Prevention and Eradication of Money Laundering, that is to conduct examination. Examination is carried out in relation with the intelligence process as the extended activity of analysis which is aimed at finding allegation/indication of particular crime or to support the initial allegation of such crime. By using the research method of normative juridical in which one of them is library study, which is analysing documents such as books, provisions, guidance, and also interview with experts. This study is aimed at answering some problem questions: How is the examination conducted by PPATK according to Law Number 8 Year 2010 concerning the Prevention and Eradication of Money Laundering? How/what are the obstacles faced by PPATK in conducting the optimum examination?. Examination is divided into two, namely proactive examination and reactive examination. Proactive examination is the one which is initiated by performing analysis on the suspicious financial transaction report, along with the supporting documents, which are received by PPATK. Meanwhile, reactive examination is conducted in order to fulfil the information request (inquiry) from the law enforcement agencies. The process or scope of examination consists of three activities i.e., pre-examination, examination, and post-examination. The result of examination has a strategic role in preventing and eradicating money laundering. In performing this activity, PPATK undergoes some obstacles, either internal or external, in generating the optimum report of examination result. The review on PPATK as an organization, the quality improvement of human resources, and also cooperation and coordination among the stakeholders is deemed necessary to establish the Anti-Money Laundering Regime in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30730
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Beatrix Berlina Permata Sari
Abstrak :
ABSTRAK
Di Indonesia kejahatan yang berkembang tidak hanya terbatas pada pengetahuan kejahatan jalanan (street crime) saja akan tetapi sudah timbul juga tentang kejahatan kerah putih (white collar crime) salah satunya adalah mengenai money laundering atau biasa disebut pencucian uang. Tesis ini membahas mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pihak ketiga Yang Menerima Harta kekayaan dari Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana modus orang ketiga dalam tindak pidana pencucian uang. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa selama proses pemeriksaan di persidangan mengenai tindak pidana pencucian uang, sistem pembuktian yang digunakan adalah sama halnya dengan persidangan pada umumnya yaitu berdasarkan alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim karena penerapan pembalikan beban pembuktian tidak selalu digunakan oleh terdakwa untuk membuktikan harta kekakayaannya di persidangan, selain itu perbankan merupakan wadah atau tempat yang sangat mendukung dalam hal terjadinya proses pencucian uang karena dimanfaatkan oleh para pelaku untuk melakukan transaksi perbankannya dengan cepat, aman dan mudah. Kesemua hal tersebut dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1089/Pid.B/2011/PN Jkt Sel tanggal 19 Januari 2012 atas nama terpidana Ismail bin Janim.
Abstract
In Indonesia, the advance crime is not limited by the street crime but the white collar crime has arise is money laundering. This thesis discusses about criminal liability to a third side who receives assets from the proceed of crime money laundering. The goal of my research to knowledge how the third party act in money laundering crime. This research is normative law research and empirical law research. The results of this study is that during the process inspection in court about money laundering crime, evidence system used is the same as the trial in general is based on evidence added with confidence of judges because reversal of the burden of proof as the application is not always used by the defendant to prove his property in court, other than that banking is a container or a place that is very supportive in terms of money laundering process as exploited by the actors to doing banking transaction quickly, securely, easily. All of this, can be seen in the decision letter of Jakarta Selatan district court No. 1089/Pid.B/2011/PN Jkt Sel dated January 19, 2012 in the name of Ismail bin Janim.
2012
T31266
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Pratiwi
Abstrak :
ABSTRAK
Perusahaan pembiayaan sebagai salah satu lembaga keuangan non bank saat ini memegang peranan penting dan strategis dalam memajukan perekonomian negara dan membantu kegiatan ekonomi masyarakat. Jenis-jenis perusahaan pembiayaan adalah sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen, dan usaha kartu kredit. Kegiatan perusahaan pembiayaan lebih menekankan pada fungsi pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Seiring dengan semakin canggihnya tindak pidana pencucian yang memiliki jaringan internasional dan lintas batas negara, perusahaan pembiayaan dapat dijadikan salah satu sarana dan sasaran tindak pidana pencucian uang. Untuk mencegah perusahaan pembiayaan dijadikan sasaran tindak pidana pencucian uang, maka salah satu cara yang ditempuh ialah dengan penerapan prinsip mengenal nasabah. Prinsip mengenal nasabah yang pada awalnya lebih popular dikenal dalam perbankan, dimaksudkan untuk mengenal karakteristik dan profil serta risiko dari nasabah perusahaan pembiayaan dalam setiap transaksi pembiayaan. Prinsip mengenal nasabah pada perusahaan pembiayaan diatur dalam Peraturan Ketua BAPEPAM LK Nomor: PER-05/BL/2011. Pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah pada setiap perusahaan pembiayaan membawa konsekuensi pada penetapan kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan transaksi pembiayaan. Penerapan prinsip mengenal nasabah di perusahaan pembiayaan belum dilakukan maksimal sebagaimana dalam perbankan sehingga masih dibutuhkan pelatihan bagi setiap karyawan perusahaan pembiayaan mengenai prinsip mengenal nasabah pada perusahaan pembiayaan.
ABSTRACT
The finance company as one of non-bank financial institution currently holds an important and strategic role in enhancing the country?s economy and helps the economic activity of community. The types of finance companies are leasing, factoring, consumer finance company, and credit card financing value. The main activity of finance company emphasis on the financing function of providing funds or capital goods by not withdraws funds directly from the community. Along with the increasing sophistication of money laundering which has an international network and cross-border, the finance company may be one of the means and objectives of money laundering. To prevent finance company being targeted money laundering, the Know Your Customer principle shall be applied. Know Your Customer principle which previously more popular in banks intended to know the characteristics and profiles as well as risks of customers of finance company in each financial transaction. Know Your Customer principle in finance company is regulated in Regulation of Head of BAPEPAM LK No: PER- 05/BL/2011. The implementation of Know Your Customer principle application in finance company has consequences on stipulation of policies and procedures with regard to financial transaction of customer. The application of Know Your Customer principle in finance company has not yet implemented to its full potential as in banks that still requires training related to Know Your Customer principle for each employee of finance company.
2012
T30643
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mann, F.A.
London: Humphrey Milford Oxford University Press , 1938
343.032 MAN l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>