Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bram Kilapong
"Latar Belakang. Penggunaan ventilator merupakan intervensi paling banyak digunakan di ICU. Kelemahan otot pernapasan dan otot ekstremitas pada pasien kritis meningkatkan lama penggunaan ventilator. Penelitian ini melihat hubungan antara tebal otot diafragma, tebal otot rektus femoris dan otot bisep brakii sebagai salah satu prediktor lama penggunaan ventilator di ICU, serta melihat kontribusi masing-masing pengaruh tersebut terhadap lama penggunaan ventilator.
Metodologi. Penelitian ini merupakan penelitian observasi analitik dengan desain penelitian kohort longitudinal, yang dilakukan pada pasien baru yang menggunakan ventilator di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo antara kurun waktu Desember 2018 sampai Febuari 2019. Sebanyak 30 sampel yang memenuhi kriteria inklusi diambil dan diikuti selama lima hari perawatan di ICU.
Hasil
Penurunan tebal otot diafragma dan penurunan luas penampang otot biseps brakii dan otot rektus femoris dapat terjadi dalam 24 jam dan bersifat fluktuatif. Penurunan tebal otot diafragma dan penurunan luas penampang otot ekstremitas memiliki kecepatan yang berbeda. Kontribusi penurunan tebal diafragma terhadap lama penggunaan ventilator hanya 31,05%.
Kesimpulan
Perubahan tebal otot diafragma, penurunan luas penampang otot rektus femoris dan penurunan luas penampang otot bisep brakii serta peningkatan kadar CRP darah tidak dapat digunakan sebagai prediktor lama penggunaan ventilator.

Background. Mechanical ventilation is the most common intervention used in ICU. Respiration and extremities muscle weakness in critically ill patients tend to increase duration of mechanical ventilation. This study analyzed the relation among diaphragm muscle thickness, cross section area of rectus femoris and biceps brachii muscle, inflammation and duration of mechanical ventilation. Contribution of each factor as predictor to duration of mechanical ventilation was also analyzed.
Method. This is an analytic observational study with longitudinal cohort design. The sample are newly intubated critically ill patients in Cipto Mangunkusumo National Hospital between December 2018 and February 2019. Thirty samples who met inclusion criteria were recruited and followed up for five days.
Result. Diaphragm muscle thinning, cross sectional area muscle decrease can be seen within 24 hours after initiating ventilator and were highly fluctuative. Diaphragm muscle and extremities muscle cross section area had different rates of decline. Quantitative muscle parameters decline and increase of blood CRP concentration were unable to predict duration of mechanical ventilation. The contribution of diaphragm muscle thinning to duration of mechanical ventilation was 31,05%
Conclusion. Diaphragm muscle thinning, rectus femoris and biceps brachii muscle cross sectional area decline and increased CRP level could not be used to predict duration of mechanical ventilation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57675
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Anita Khairani
"Otot merupakan fungsi dari aktivitas sehari-hari. Seiring bertambahnya usia, perubahan organ tubuh menyebabkan penurunan massa otot yang berakibat pada individu lanjut usia mengalami penurunan kekuatan tubuh sehingga mobilitasnya berkurang, kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, kesulitan menjaga keseimbangan tubuh, meningkatkan resiko seseorang mengidap penyakit. orang lanjut usia mudah jatuh dan mengalami patah tulang. Namun demikian tidak semua metode pengukuran massa otot apendikuler praktis dan murah sehingga diperlukan metode lain yang dapat mengukur massa otot apendikuler dengan biaya yang sederhana, praktis, dan murah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan model prediksi massa otot apendikuler berdasarkan lingkar tengah paha, lingkar betis dan lingkar lengan atas sebagai alternatif pengukuran massa otot pada lansia. Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang dengan jumlah sampel 101 individu berusia ≥60 tahun (37 laki-laki dan 64 perempuan) di Desa Kadumanggu. Model prediksi yang dihasilkan adalah Massa Otot Apendikuler (kg) = (64.171 x Tinggi Badan (m)) + (1.710 x Indeks Massa Tubuh (kg / m2)) - (0.109 x Lingkar Lengan Atas (cm)) + 0.178 x Lingkar Betis (cm)) + (0,033 x Lingkar Paha Tengah (cm)) - (0,535 x Berat Badan (kg)) - (0,065 x Usia (tahun)) - 98,098 untuk pria lanjut usia (R2 = 0,710; LIHAT = 1, 43 kg ; p <0,05) dan Massa Otot Apendikular (kg) = (8,987 x Tinggi Badan (m)) - (0,170 x Indeks Massa Tubuh (kg / m2)) - (0,117 x Lingkar Lengan Atas (cm)) + (0,121 x Lingkar Betis (cm)) - (0,025 x Lingkar Paha Tengah (cm)) + (0,160 x Berat Badan (kg)) - (0,059 x Usia (tahun)) - 6,491 untuk wanita (R2 = 0,700; LIHAT = 1,23 kg; p <0,05). Model prediksi ini menunjukkan bahwa berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, umur, lingkar tengah paha, lingkar betis, dan lingkar lengan atas memiliki hubungan yang signifikan dengan massa otot apendikuler.

Muscle is a function of daily activities. With age, changes in body organs cause a decrease in muscle mass which results in elderly individuals experiencing a decrease in body strength so that their mobility is reduced, difficulty in carrying out daily activities, difficulty maintaining body balance, increasing a person's risk of suffering from disease. elderly people fall easily and have broken bones. However, not all methods of measuring appendicular muscle mass are practical and inexpensive so that another method is needed that can measure appendicular muscle mass at a cost that is simple, practical, and inexpensive. The purpose of this study was to obtain a predictive model for appendicular muscle mass based on mid-thigh circumference, calf circumference and upper arm circumference as an alternative to measuring muscle mass in the elderly. This study used a cross-sectional study design with a total sample of 101 individuals aged ≥60 years (37 males and 64 females) in Kadumanggu Village. The resulting prediction model is Appendicular Muscle Mass (kg) = (64,171 x Body Height (m)) + (1,710 x Body Mass Index (kg / m2)) - (0.109 x Upper Arm Circumference (cm)) + 0.178 x Calf Circumference (cm)) + (0.033 x Mid Thigh Circumference (cm)) - (0.535 x Body Weight (kg)) - (0.065 x Age (years)) - 98.098 for elderly men (R2 = 0.710; VIEW = 1.43 kg; p <0.05) and Appendicular Muscle Mass (kg) = (8.987 x Body Height (m)) - (0.170 x Body Mass Index (kg / m2)) - (0.117 x Upper Arm Circumference (cm)) + (0.121 x Calf Circumference (cm)) - (0.025 x Mid Thigh Circumference (cm)) + (0.160 x Body Weight (kg)) - (0.059 x Age (years)) - 6.491 for women (R2 = 0.700; VIEW = 1.23 kg; p <0.05). This predictive model shows that body weight, height, body mass index, age, mid-thigh circumference, calf circumference, and upper arm circumference have a significant relationship with appendicular muscle mass."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library