Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Budi Santosa
Abstrak :
Latar Belakang Dalam periode 1950-an sampai dengan 1960-an, istilah ekonomi yang sering digunakan untuk menjelaskan tentang pembangunan adalah, pertama kemampuan dari suatu negara untuk meningkatkan kapasitas ekonominya yang diukur dari pertumbuhan pendapatan nasional kotor (GNP) dan GNP perkapita. Kedua, adanya perubahan dari struktur produksi dan penyerapan tenaga kerja dari sektor pertanian kesektor industri dan jasa. Pada masa itu Sjahrir menyebutnya sebagai masa "orientasi pada GNP". Sedangkan masa setelah itu disebut dengan masa "pasca GNP", dimana persoalan tentang kesempatan kerja, pemerataan pendapatan dan kebutuhan pokok digunakan sebagai indikator pembangunan yang penting disamping GNP atau GNP perkapita. Dimasa orientasi pada GNP, teori-teori pertumbuhan ekonomi seperti model Harrod-Domar, Rostow dan Lewis menjadi sangat popular dan digandrungi oleh para ahli pembangunan yang mana teori-teori tersebut mefokuskan perhatian pada kemampuan untuk memobilisasi tabungan agar dapat memenuhi kebutuhan investasi yang cukup untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Diakhir masa orientasi pada GNP, para ahli ekonomi mulai meragukan tentang manfaat pertumbuhan GNP dalam pembangunan ekonomi, sebab di Negara berkembang menujukkan gejala adanya kemiskinan absolut, ketimpangan pembagian pendapatan dan pengangguran yang cenderung semakin meningkat, walaupun pertumbuhan GNP bertambah secara stabil. Hasil penyelidikan empiris dari Kusnets tentang pola kurva U yang terbalik dari hubungan antara pertumbuhan dengan pemerataan telah membarikan wawasan baru kepada para ahli ekonomi pembangunan tentang apa yang sesungguhnya terjadi, tetapi tidak tentang apa yang mungkin terjadi atau yang harus terjadi di negara-negara berkembang. Bahkan menurut Todaro masalah kemiskinan dan ketimpangan pembagian pendapatan bukan hanya merupakan hasil dari proses pertumbuhan ekonomi semata, tetapi lebih dari itu tergantung pada karakteristik dari pertumbuhan ekonomi, politik dan kelembagaan 'yang berlaku dalam membagikan hasil pertumbuhan ,pada masing-masing kelompok penduduk.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antoni
Abstrak :
Pengeluaran pemerintah dan penerimaan pemerintah tercermin dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang disusun oleh pemerintah dan dtsetujui oleh DPR, yang merupakan salah satu instrumen perencanaan tahunan yang dijabarkan dalam Repelita. RAPBN memuat rencana penerimaan dan pengeluaran pemerintah selama satu tahun anggaran atahu tahun fiskal adalah antara tanggal 1 April sampai tanggal 31 Maret tahun berikutnya. Selisih pembiayaan pengeluaran pemerintah diluar pinjaman dengan total pengeluaran di Indonesia adalah negatif. Berarti terjadi defisit anggaran, defisit ini akan dibiayai dengan hutang baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dampak dari hutang akan menambah jumlah uang beredar dan akan menimbulkan inflasi. Ketidakstabitan dalam neraca pembayaran luar negeri. salah satunya disebabkan oleh defisit dalam neraca transaksi berjalan. Beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain kebijaksanaan pemerintah sendiri maupun asing yang mengakibatkan perubahan dalam permintaan dan penawaran valuta asing. Untuk mengatasi defisit neraca pembayaran Indonesia terutama disebabkan oleh defisit transaksi berjalan, pemerintah harus melaksanakan berbagai terobosan untuk menigkatkan ekspor yang diciptakan melatui kebijaksanaan deregulasi dan mendorong penurunan impor dengan menggunakan tarif terhadap impor berupa peningkatan pajak impor dan mendorong peningkatan ekspor dengan meiakukan devaluasi. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh "Evan Tanner" tentang " The effect government spending on the current account, output and expenditures : Evidence from Latin Amerika", dengan ruang lingkup yang dibahas adalah pengeluaran pemerintah, transaksi Berjalan dan pendapatan nasional di Indonesia. Dengan tujuan penelitian ini adaiah untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah, transaksi berjalan, nilai kurs riit dan pendapatan nasional di Indonesia dan mengetahui peranan perubahan nilai kurs riil mata uang domestik terhadap valuta asing terhadap transaksi berjafan Indonesia serta mengetahui seberapa besar pengaruh kebijaksanaan devaluasi terhadap pengeluaran pemerintah , pendapatan nasional dan transaksi berjalan di Indonesia. Sebagai skenario yang diambil dalam kasus Indonesia adalah devaluasi tahun 1978, tahun 1983 dan tahun 1986. Sedangkan Periode waktu (observasi) yang dilakukan adalah selama 25 tahun (PJP.1,1969/70 - 1994/95) terhadap date International Financial Statistic (IPS) dari berbagai terbitan. Untuk melakukan estimasi digunakan dengan metoda Statistika dan Ekonometrik dengan data time series yang menggunakan program TSP. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa hubungan antara variabel bebas (pengeluaran pemerintah, rasio kurs riil, implisit harga ekspor terhadap share nontraded goods dan rasio harga ekspor dan harga impor) secara bersama-sama mempcngaruhi posisi pendapatan nasional yang ditunjukkan koefisien korelasi yang cukup kuat dan berarti. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi R2 sebesar 88,87% dan nilai F-test sebesar 55,7357. Sedangkan pengaruh kebijaksanaan devaluasi sebagai dummy variabel, terlihat bahwa hasil pengujian empiris hubungan pengeluaran pemerintah, rasio kurs riil terhadap share dan rasio harga ekspor dan harga impor terhadap pendapatan nasional tidak jauh berbeda dengan persamaan tan pa kebijaksanaan devaluasi. Artinya terdapat korelasi positif, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi R2 sebesar 96,16%. Sedangkan pengaruh pendapatan nasional (GDP) dengan pengeluaran pemerintah, rasio kurs riil terhadap share nontraded goods, rasio harga ekspor dan harga impor dalam bentuk transformasi logaritma adalah signifikan atau berarti. Hal ini ditunjukkan koefisien pengeiuaran pemerintah adalah positif yaitu 0,0328, dalam arti setiap terjadi peningkatan sebesar satu-satuan terhadap pengeluaran pemerintah akan menyebabkan terjadinya peningkatan terhadap pendapatan nasional (output) sebesar 0,0021. Sedangkan pengaruh kebijaksanaan devaluasi sebagai dummy variabel juga terdapat korelasi positif kebijaksanaan devaluasi sebagai dummy variabei juga terdapat korelasi positif antara pendapatan nasional dengan pengeluaran pemerintah, rasio kurs riil terhadap share nontraded goods dan rasio harga ekspor dan harga impor yaitu sebesar 0.0004; 0.0071; 0,0004 dan 0,0064. Selanjutnya estimasi dalam bentuk transformasi logaritma transaksi berjaian terhadap komposit rasio kurs riil dengan nilai ekpor barang dan jasa merupakan fungsi dari pengeluaran pemerintah, rasio kurs riil terhadap share barang yang tidak diperdagangkan dan rasio harga ekspor dan harga impor dipengaruhi secara signifikan. Hal ini ditunjukkan koefisien pengeluaran pemerintah dan rasio kurs riil terhadap share barang yang tidak diperdagangkan mempunyai arah positif yaitu sebesar 0,1089 dan 0,0083, artinya setiap terjadi peningkatan perubahan pengeluaran pemerintah, rasio kurs riil terhadap share barang yang tidak diperdagangkan sebesar satu-satuan, maka akan meningkatkan rasio transaksi berjaian terhadap komposit kurs riil terhadap ekspor barang dan jasa sebesar 0,1089 dan 0,0083. Sedangkan koefisien regresi rasio harga ekspor dan harga impor mempunyai hubungan negatif yaitu sebesar -0,8421. Sedangkan pengaruh kebijaksanaan devaluasi sebagai dummy variabei mempunyai korelasi positif antara pengeluaran pemerintah dan rasio kurs rii) terhadap share barang yang tidak diperdagangkan dengan rasio transaksi berjaian terhadap komposit kurs riil dengan ekspor barang dan jasa. Hasil koefisien regresi menunjukkan sebesar 0,0901 dan 0,0222, yang berarti setiap kenaikan satu-satuan pengeluaran pemerintah dan rasio nilai kurs Mil terhadap share nontraded goods akan meningkatkan rasio transaksi berjaian terhadap komposit kurs riil dengan ekspor barang dan jasa sebesar 0,0901 dan 0,0222 satuan. Dengan demikian berdasarkan skenario yang digunakan 3 (tiga) yaitu tarujn 1978, tahun 1983 dan tahun 1986, ternyata mulai tahun 1994 kebijaksanaan pemerintah dibidang fiskal konsisten dengan target makro ekonomi. Berarti sasaran pembangunan ekonomi tercapai.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Betty I. Harmawaty
Abstrak :
Selama lebih dari tiga tahun terakhir ini (1997-2001) perekonomian Indonesia telah dilanda krisis hebat. Krisis ini terjadi sebagai akibat berbagai tekanan ekonomi internal maupun eksternal. Krisis dimulai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, kemudian sektor pradulcsi mengalami kesulitan - sebagian akibat besarnya kebutuhan bahan baku atau bahan penolong dari impor dan sebagian lain karena beban hutang perusahaan (swasta) semakin membengkak dengan melemahnya rupiah tersebut. Kontribusi sektor swasta, yang tadinya (pada awal Pelita VI) diharapkan menjadi mesin pendorong utama gerak perekonomian, melorot tajam. Dalam kondisi seperti ini, tidak bisa tidak - guna menahan agar krisis tidak menjadi semakin parah - pemerintah harus melakukan berbagai kebijakan penyelamatan, kebijakan tersebut adalah melalui bidang fiskal, moneter, perdagangan luar negeri dan sebagainya. Sudah barang tentu kebijakan-kebijakan tersebut harus saling melengkapi (sejalan). Kebijakan pemerintah di bidang fiskal dalam rangka pemulihan ekonomi harus berpijak pada prinsip-prinsip fiskal yang sehat dan benar yaitu : transparan, disiplin, adil, efisien dan efekti£ Penerimaan negara, kendati dalam kondisi krisis sekalipun, harus diupayakan untuk tetap meningkat, atau setidaknya, tidak menurun guna memperkecil ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri yang kian menjadi mahal. Di sisi lain, efisiensi dalam pengeluaran negara juga harus tetap berlangsung. Dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari pajak, terutama yang dapat memenuhi (paling tidak sebagian) prinsip di atas, salah satunya adalah melalui pemungutan cukai. Sejauh ini, salah satu cara pemungutan cukai di Indonesia adalah dengan menggunakan pelekatan pita cukai, sehingga cukup transparan. Pungutan cukai dikenakan kepada komoditas-komoditas yang dalam konsumsinya dapat mendatangkan eksternalitas negatif (seperti tembakau dan minuman mengandung alkohol), jadi lebih mendorong ke arah efisiensi ekonomi. Dan pungutan cukai berdasarkan azas "ad-valorem", dengan demikian relatif adil, karena konsumen yang mampu membeli Barang Kena Cukai (BKC) yang harganya lebih mahal akan terkena pungutan lebih besar. Berdasarkan pandangan beberapa kalangan di Departemen Keuangan Republik Indonesia, penerimaan negara dari cukai dapat lebih ditingkatkan dan bahkan bisa dijadikan andalan di masa datang. Hal ini mengingat kian beragamnya komoditas yang dikonsumsi dan diproduksi oleh masyarakat Indonesia sejalan dengan berlangsungnya pembangunan ekonomi (Warta Bea Cukai Edisi 314 Januari 2001). Pemerintah Indonesia via Departemen Keuangan juga mengemukakan melalui rencananya : bahwa untuk memulihkan kembali perekonomian Indonesia, maka penerimaan pajak harus ditingkatkan, yaitu dari 11,1 % dari Produk Domestik Bruto (tahun 2000) menjadi 16,0 % (tahun 2004). Reformasi di bidang perpajakan yang telah berlangsung sejak tahun 1983 akan terus diupayakan penerapannya Sehingga sistem dan mekanisme pemungutan pajak akan berubah secara total dari official assesment menjadi self assesment. Melalui perubahan sistem dan mekanisme tersebut. Berdasarkan beberapa indikator, seperti tax to GDP ratio dan tax coverage ratio, penerimaan pajak pemerintah Indonesia memang masih tergolong rendah. Untuk tahun 1999, misalnya, tax to GDP ratio adalah 11,1 %. Pada saat ini pemerintah Indonesia sedang berupaya untuk meningkatkan rasio ini hingga menjadi sekitar 16 % untuk lima tahun mendatang. Di negara sedang berkembang lainnya rasio tersebut dapat sekitar 18 %, dan untuk negara maju mencapai sekitar 30 - 40 %. Sedangkan Tax Coverage Ratio, yaitu perbandingan antara besarnya pajak yang telah dipungut dibandingkan dengan potensinya (yang seharusnya dapat dipungut), yang dalam arti lain merupakan ukuran dari seberapa jauh kemampuan aparat pajak dalam memungut dan mengoptimalkan penerimaan pajak, menurut suatu studi Departemen Keuangan adalah sekitar 50,2% (1996/97), 53,5% (1997/98), 50,6% (1998/99) dan 41,6% di tahun 1999/2000 (Warta Bea Cukai Edisi 314 Januari 2001).
2001
T2420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kusbiyantoro
Abstrak :
Pariwisata mempunyai peran sangat panting dalam berbagai aspek strategis pernbangunan ekonomi nasional maupun daerah. Diantaranya sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, penghasil devisa, penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan serta memeratakan pendapatan masyarakat. DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis di Indonesia cukup banyak dikunjungi wisatawan mancanegara. Devisa mengalir dari wisatawan mancanegara yang masuk melalui bandara Soekamo-Hatta maupun Tanjung Priok terus meningkat tiap tahunnya. Perolehan devisa DKI Jakarta pada tahun 1997 mencapai US$ 3.023 juta. Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi yang berlanjut dengan krisis keamanan perolehan devisa terns menurun menjadi USS 2.438 juta tahun 1998 dan hanya mencapai USS 760 juta pada tahun 2001. Sumbangan sektor pariwisata terhadap PDRB DKI Jakarta menduduki urutan kedua setelah sektor industri di luar sektor keuangan, persewaan dan jasa. Dibandingkan sektor lainnya peranan sektor ini mampu diandalkan apabila kondisi dan citra Jakarta dapat dipulihkan. Kontribusi sektor pariwisata pada PDRB DKI Jakarta mencapai 14,39 persen pada tahun 1997, namun memasuki tahun 1998 kontribusinya mengalami sedikit penurunan menjadi 14,08 persen. Bahkan dari tahun 1999 kontribusinya terus menurun hingga hanya 3,50 persen pada tahun 2001. Penurunan pengeluaran wisatawan mancanegara menyebabkan penurunan permintaan terhadap komoditi domestik, dan berpengaruh negatif terhadap sektor produksi, pada akhimya akan menyebabkan penurunan tingkat penghasilan masyarakat DKI Jakarta. Tingkat penghasilan yang menurun menyebabkan merosotnya daya beli masyarakat dan merosotnya jumlah konsumsi masyarakat. Selanjutnya berakibat melemahnya kegiatan sektor produksi dan menurunnya konsumsi masyarakat menyebabkan menurunnya Produk Domestik Regional Bruto DKI Jakarta. Turunnya PDRB mencerminkan menurunnya tingkat pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini akan menjawab dua pertanyaan: a) seberapa besar pengaruh pengeluaran wisatawan mancanegara terhadap distribusi pendapatan masyarakat di DKI Jakarta, b) seberapa besar dampak penurunan pengeluaran wisatawan mancanegara yang terjadi akibat krisis ekonomi dan konflik sosial politik berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat di DKI Jakarta. Hipotesis yang ingin dibuktikan dalam penulisan ini adalah, pertama pengeluaran wisatawan mancanegara berpengaruh positif terhadap pendapatan dan berpengaruh positif balk langsung maupun tak langsung terhadap perekonomian DKI Jakarta. Kedua, penurunan pengeluaran wisatawan mancanegara berpengaruh negatif terhadap distribusi pendapatan masyarakat di DKI Jakarta. Metode yang digunakan adalah Sosial Accounting Matrix (SAM) atau sering disebut Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Penggunaan SNSE dimaksudkan agar sektor-sektor ekonomi dapat sebanyak mungkin dimasukkan dalam penelitian ini, baik berupa kegiatan produksi, faktor produksi maupun institusi atau rumah tangga. Dalam melihat dampak pengeluaran wisatawan mancanegara dari SNSE DKI Jakarta 2000 ukuran 103 x 103 dikembangkan lagi menjadi 129 x 129. Pemecahan dilakukan terhadap sektor-sektor dalam blok kegiatan produksi. Hal ini dimaksudkan agar sektor yang terkait dengan pariwisata dapat dilihat secara lebih rinci, sehingga studi dampak pariwisata terhadap perekonomian DKI Jakarta memungkinkan untuk diketahui. Untuk mengetahui pengaruh pengeluaran wisatawan mancanegara terhadap pendapatan masyarakat digunakan pendekatan pengganda neraca, Acccunting Multiplier (Ma). Sedangkan untuk mengetahui lebih lanjut aliran pengaruh tersebut digunakan pendekatan Structural Path Analysis (SPA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan yang ditimbulkan oleh pengeluaran wisatawan mancanegara terdistribusi diantara blok Faktor Produksi, blok Institusi dan blok Kegiatan Produksi. Distribusi pendapatan faktorial menujukkan bahwa secara umum dalam perekonomian DKI Jakarta bersifat intensif modal, ditandai dengan besarnya dominasi pendapatan yang diterima oleh faktor produksi kapital yaitu sebesar Rp. 3.643,71 milyar yang berarti 54 persen dari total pendapatan yang diterima pleb faktor produksi. Pendapatan faktor produksi tenaga kerja di bidang Tata Usaha, Penjualan, Jasa¬jasa Penerima Upah dan Gaji jauh lebih besar dibandingkan dengan bidang lain, yaitu menyerap 50,9 persen dari total pendapatan yang diterima oleh faktor produksi tenaga kerja. Tenaga Kerja Pertanian Penerima Upah dan Gaji merupakan bidang yang paling sedikit penyerapannya yaitu sebesar Rp. 3,66 milyar, yang berarti 0,1 persen dari total pendapatan yang diserap faktor produksi tenaga kerja. Di dalam Institusi Rumah Tangga terjadi ketimpangan pendapatan yang cukup besar antara Rumah Tangga Golongan X dengan Rumah Tangga Golongan I sampai IX. Rumah Tangga Golongan X memperoleh pendapatan terbesar yaitu Rp. 1.787,87 milyar, merupakan 47,3 persen dari total pendapatan yang diterima Institusi Rumah Tangga. Sedangkan 52,3 persennya terdistribusi diantara Rumah Tangga Golongan I hingga IX. Porsi terbesar diterima oleh Rumah Tangga Golongan IX, sebesar Rp. 492,95 milyar merupakan 13,68 persen dari total pendapatan yang diterima Institusi rumah tangga sebesar Rp. 3.602,56 milyar. Bahkan Rumah Tangga Golongan 1 hanya menyerap Rp.56,51milyar, yang berarti 1,57 persen dali total pendapatan. Institusi rurnah tangga. Pendapatan yang diterima sektor Produksi sebesar Rp. 13.417,53 milyar terdistribusi ke dalam 48 sektor. Tiga sektor berpendapatan terbesar yaitu sektor Hotel sebesar Rp. 1.872,38 milyar, merupakan 13,95 persen. Terbesar kedua, sektor Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank sebesar Rp. 1.190,46 milyar, merupakan 8,87 persen Ketiga, sektor Restoran sebesar Rp. 1.137,46 milyar, merupakan 8,48 persen. Implikasi kebijakan yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan peran sektor pariwisata beserta pemerataan pendapatan bagi masyarakat dan perekonomian DKI Jakarta adalah: meningkatkan investasi pemerintah di sektor pariwisata., perbaikan sarana dan prasarana yang mendukung sektor pariwisata,.mendorong tumbuhnya investasi swasta, baik dalam negeri maupun asing melalui promosi-promosi investasi., menjaga dan memelihara citra Jakarta sebagai Kota Wisata. Dalam kaitannya dengan penciptaan pemerataan perlu dilakukan kebijakan berupa: meningkatkan pendapatan rumah tangga golongan bawah, melalui program-program pemberdayaan masyarakat seperti pinjaman modal usaha, program pendampingan untuk pembinaan serta pemilihan usaha produktif., mendorong berkembangnya sektor jasa perorangan dan rumah tangg: yang menunjang sektor pariwisata (seperti kerajinan tangan, cindera mata) melalui pembinaan-pembinaan, pembentukan kelompok-kelompok usaha.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T20392
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Greenhut, Melvin L.
Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1961
339.3 GRE i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ace Partadiredja
Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Masyarakat , 1977
339.3 ACE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Schultze, Charles L.
Djakarta: Bhratara, 1970
339.3 SCH a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fakhri Marzuki
Abstrak :
ABSTRAK
Pajak merupakan penerimaan negara terbesar di Indonesia yang pemungutannya bersifat memaksa sebagaimana diatur didalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan KUP. Namun dalam pelaksanaan pemungutannya terdapat permasalahan, salah satunya tindakan penerbitan dan penggunaan faktur pajak fiktif yang dilakukan oleh wajib pajak agar dapat mengurangi setoran pajaknya sehingga menyebabkan penerimaan negara dari sektor pajak menjadi tidak terpenuhi yang mana pengembalian pengembalian dengan dasar hukum yang tepat di pengadilan menjadi penting agar penerimaan yang hilang tersebut dapat dikembalikan sehingga penerimaan pajak tersebut dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif dan data yang dihasilkan adalah berbentuk deskriptif analitis. Berdasarkan analisa dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pengaturan tindakan faktur pajak fiktif didalam undang-undang perpajakan sehingga para penegak hukum menggunakan dua dasar hukum yang berbeda sebagai dasar pengenaan denda.
ABSTRACT
Tax is the largest source of income for Indonesias revenue which is collected from the citizen forcefully by the government. The basic of this action is Constitution No. 16 Year 1999 about General Requirement and Tax Collecting Procedure. In reality, tax collecting procedure has some problems, such as the act of Issuing and using Fictitious Tax Invoices by the taxpayers to reduce their tax amount. As a result, the National Income is less than it should be. Therefore, returning unpaid taxes with the right legal basis is important in order to prosper the citizen. The methodology of this research is normative juridical and the data collected is descriptive analytical. Based on data analysis, writer concluded that there are two arrangements of fictitious tax invoice action on tax laws to be used by law enforcement officer as punishment basis.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafidah Fauziah
Abstrak :
Sektor konstruksi merupakan salah satu dari tiga sektor terbesar yang menyumbang pada pendapatan nasional. Namun, sektor konstruksi juga merupakan salah satu sektor yang menyumbang kecelakaan terbesar dengan rata-rata 32% per tahunnya. 87% kecelakaan konstruksi yang terjadi disebabkan oleh faktor manusia yang sering kali melakukan perilaku yang tidak aman. Mengetahui kondisi asli tentang perilaku aman pekerja konstruksi dan faktor yang mempengaruhinya menjadi sangat penting untuk meningkatkan perilaku pekerja agar menjadi aman. Terdapat sembilan faktor yang diteliti, yaitu komitmen manajemen, lingkungan pendukung, manajemen sistem keselamatan, partisipasi, alokasi sumber daya, pengetahuan keselamatan, sikap keselamatan, motivasi, dan tekanan kerja. Studi ini menggunakan data sekunder berupa hasil kuisioner yang diambil dari studi serupa yang sesuai dengan indikator-indikator yang diteliti. Data kuisioner kemudian diproses menggunakan model bayesian network. Hasil menunjukkan bahwa saat ini pekerja konstruksi terkadang bahkan jarang mempertimbangkan peraturan, norma, dan regulasi keselamatan saat bekerja. Hasil juga menunjukkan bahwa tekanan kerja, sikap keselamatan, pengetahuan keselamatan, dan alokasi sumberdaya merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku aman pekerja. Selain itu, peningkatan dari faktor tekanan kerja dan pengetahuan keselamatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan keadaan perilaku aman dari pekerja konstruksi menjadi yang tertinggi. Kemudian, diusulkan strategi untuk meningkatkan proporsi perilaku aman para pekerja. ......Construction sector is one of the three largest sectors that contribute to national GDP. However, the construction sector is also one of the sectors that contributes the largest workplace accidents with an average of 32% per year. 87% of construction accidents that occur are caused by human factors that oftentimes behave unsafely. Knowing the real conditions of construction workers’ safety behavior and the factors that influence them is very important to improve the safety behavior of workers. There are nine factors studied, including management commitment, supporting environment, safety management system, participation, resource allocation, safety knowledge, safety attitudes, motivation, and work pressure. This study uses secondary data of questionnaire result taken from the similar study which is in accordance with the indicators studied. Questionnaire data is then processed using bayesian network model. The results showed that construction workers are sometimes, even seldom, consider safety regulations, norms and regulations when working. The results also show that work pressure, safety knowledge, safety attitude, and resource allocation are the factors that highly influence safety behavior. Moreover, improving the proportion of work pressure and safety knowledge factors are needed to reach the highest proportion of safety behavior. Then, strategies are proposed to increase the proportion of safety behavior of construction workers.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ace Partadiredja
Jakarta: LP3ES , 1994
339.2 ACE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>