Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Julwan Pribadi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T59026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Harper & Row, 1965
612.8 BAS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Iswara
"ABSTRAK
Gangguan saraf fasialis prefer unilateral merupakan suatu gangguan pada saraf fasialis akibat kelumpuhan otot sebagian atau seluruh wajah. Dalam menangani kasus saraf fasialis perifer unilateral, setiap klinisi dapat menggunakan beberapa modalitas pemeriksaan seperti pemeriksaan motorik sistem Freyss, House-Brackmann, uji topognostik (schirmer, refleks stapedius, gustatometri) dan pemeriksaan elektrofisiologis (kecepatan hantaran saraf, refleks blink, jarum EMG) dalam menentukan derajat kerusakan saraf dan letak lesi berdasarkan onset, derajat kerusakan saraf dan etiologi dalam membantu menegakkan diagnosis dan memperkirakan prognosis. Sangat penting dalam menyampaikan informasi yang tepat dan efektif antar klinisi mengenai keadaan saraf fasialis yang mengalami paresis saraf fasialis dalam menentukan tatalaksana selanjutnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif cross-sectional dengan pengambilan subjek penelitian secara consecutive sampling di poliklinik Neurotologi THT dan poliklinik EMG Neurologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Agustus 2012 sampai dengan Mei 2013 dan didapatkan sebanyak 44 subjek penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna dan kesesuaian yang cukup (Kappa R =0,5, p<0,05) pada 32 subjek penelitian dengan onset lama dengan derajat kerusakan sedang dan berat antara pemeriksaan motorik sistem Freyss, House-Brackmann dengan pemeriksaan elektrofisiologis. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna dan kesesuaian yang baik (Kappa R=0,011, p=0,935) dalam menentukan letak lesi antara pemeriksaan uji topognostik dengan pemeriksaan elektrofisiologis. Tiga belas subjek penelitian tidak dapat ditentukan letak lesi berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologis pada onset kronis dengan derajat kerusakan sedang dan berat sedangkan pemeriksaan uji topognostik mampu menentukan letak lesi pada onset akut maupun kronis. Untuk daerah-daerah yang tidak memiliki modalitas pemeriksaan elektrofisiologis, pemeriksaan motorik sistem Freyss dan House-Brackmann dapat digunakan dalam menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis.

ABSTRACT
Unilateral peripheral facial nerve palsy is a disturbance in facial nerve caused by partial or complete muscle paralysis. Clinician can use multiple examination modality such as Freyss system, House-Brackmann, topognostic test (schirmer, stapedius reflex, gustatometry) and electrophysiology (nerve conduction velocity, blink reflex, EMG needle) to establish diagnosis and prognosis. It is very important to deliver right and effective information between clinician about facial nerve condition and paralysis to determine further management. Achieve conformity between Freyss system, House-Brackmann, topognostic study and electophysiologic examination in diagnosis and prognosis. This study used descriptive cross-sectional method by taking study subject with consecutive sampling in Neurotology division of ENT department and EMG division of Neurology Department outpatient-clinic and 44 study subjects.
According to study result, there is significance and conformity (Kappa R =0,5, p=0,005) for 32 subjects late onset with detriment degree moderate severe between motoric examination Freyss, House-Brackmann and electrophysiologic examination. In this study there is no significanceand conformity (Kappa R=0,011, p=0,935) between determining lesion site between topognostic test and electrophysiology examination. Thirteen study subjects could not be determined for lesion site, due to chronic onset with moderate severe damage by electrophysiology examination, whereas topognostic test can determine lesion site in acute nor chronic onset. In region without facility for electrophysiologic examination, Freyss and House-Brackmann motoric system can be used in establishing diagnosis and determining prognosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Martinus
"Latar belakang: Cidera saraf perifer sebagai keluaran dari post operatif hingga saat ini belum ditangani dengan maksimal. Penelitian ini ditujukan untuk menentukan potensi dari sekretom pada regenerasi cidera saraf perifer.
Metode: Cidera saraf perifer buatan dilakukan pada tikus dengan melakukan diseksi pada saraf sciatic. Evaluasi perbaikan motorik dilakukan mengunakan Sciatic Functional Index (SFI) pada minggu ke enam (SFI 1), minggu ke sembilan (SFI 2), dan minggu ke dua belas (SFI 3). Rasio berat basah antara otot gastrocnemius kanan dan kiri dibandingkan serta dilakukan histomorphometry saraf sciatic pada tiap kelompok.
Hasil: Kelompok III menunjukan SFI 1 yang lebih baik dibandingkan kelompok I (p=0.017). Kelompok I dan III menunjukan perbedaan SF2 yang signifikan dibandingkan dengan kelompok II dan IV (p<0.001). Rasio tertinggi dari otot gastrocnemius ditemukan pada kelompok I dan III, yang bernilai 0.65 ± 0.059 dan 0.67 ± 0.179 (p<0.001). Pada histomorphometry, akson termyelinisasi paling banyak ditemukan pada kelompok I dan III, yang bernilai p<0.001.
Kesimpulan: Sekretom sel punca mesenkimal korda umbilikalis dapat digunakan sebagai terapi baru untuk menggantikan autograf pada penanganan kerusakan saraf perifer.

Background: Currently, the post-surgical outcome of peripheral nerve injury has not been optimal. The purpose of this research is to determine the potency of secretome in peripheral nerve injury regeneration.
Method: The mice had artificially-induced peripheral nerve injury, which was created by dissecting the sciatic nerve. Sciatic Functional Index (SFI) was used to evaluate the motoric recovery on week six (SFI 1), week nine (SFI 2), and week twelve (SFI 3). The mice was sacrificed on week twelve. The wet mass ratios of the right and left gastrocnemius muscle were compared, then the sciatic nerve histomorphometry evaluation was performed on each group.
Results: Group III showed a better SFI 1 result than Group I (p=0.017). Group I and III showed significantly better SFI 2 than group II and IV (p<0.001). The highest ratio of gastrocnemius muscle was found in group I and III, which were 0.65 ± 0.059 and 0.67 ± 0.179 (p<0.001). On histomorphometry, the highest number of myelinated axons were found in group I and III, which were p<0.001.
Conclusion: Umbilical cord mesenchymal stem cell secretome can be used as a new therapy to replace the autograft in peripheral nerve defect management.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Sugianto
"Latar belakang dan tujuan: Dalam dekade terakhir. penggunaan PCS termasuk N. Tibialis posterior, semakin dirasakan manfaatnya Kegunaannya terutama untuk memperkirakan keluaran dari penderita gangguan medula spinalis. Hasil perekaman PCS dapat dikatakan normal ataupun abnormal tergantung dari nilai normal yang sudah didapat sebelumnya, dalam hal ini masa laten dan amplitudo. Saat ini nilai normal yang dipakai berasal dari rujukan luar negeri. Terdapat kemungkinan nilai normal tersebut kurang tepat dipakai untuk orang Indonesia dikarenakan perbedaan yang ada antara orang Indonesia dan Non Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan rerata nilai normal masa laten dan amplitudo PCS N. Tibialis posterior orang dewasa Indonesia. Metode: Perekaman PCS N. Tibialis posterior diambil dari para sukarelawan di lingkungan bagian Ilmu Penyakit Saraf FKUI RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta mulai bulan Desember 1997 sampai Juli 1998. Analisis statistik menggunakan metode uji-t, dan uji regresi linier dan multivariat. Hasil Rekaman dilakukan pada 104 subyek, terdiri dari 52 pria dan 52 wanita, berusia antara 15-50 tahun. Hasilnya adalah sebagai berikut (1) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten pria dan wanita, (2) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten dari tungkai kanan dan tungkai kiri; (3) terdapat korelasi yang bermakna antara usia ataupun tinggi badan dengan masa laten, di mana semakin tua ataupun tinggi seseorang masa latennya semakin panjang, dan (4) hanya pada usia saja terdapat hubungan yang bermakna dengan amplitudo, di mana semakin tua seseorang amplitudonya semakin kecil. Oleh karena itu, usia dan tinggi badan harus diperhatikan saat mengevaluasi hasil perekaman PCS N. Tibialis posterior."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnadi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T58808
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Maharani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Neuropati perifer merupakan komplikasi neurologis tersering pada pasien HIV. Stavudin, yang dikaitkan dengan risiko neuropati perifer, mulai ditinggalkan sebagai pilihan pertama terapi antiretroviral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian neuropati pada pasien HIV dalam terapi antiretroviral non stavudin menggunakan multimodalitas pemeriksaan, dan faktor risiko yang berhubungan.
Metode Penelitian: Penelitian berdesain potong lintang menggunakan data sekunder dari penelitian JakCCANDO ditambah dengan data primer dari pasien HIV dalam terapi antiretroviral non stavudin minimal 12 bulan yang berobat di Unit Pelayanan Tepadu (UPT) HIV Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM). Anamnesis dan penelusuran data faktor risiko, skrining klinis Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS), elektroneurografi, dan Stimulated Skin Wrinkling (SSW) dengan krim lidokain:prilokain 5% dilakukan pada setiap subjek penelitian. Data dianalisis dengan SPSS 17.0.
Hasil: Angka kejadian polineuropati simetris distal (PSD) pada 68 subjek penelitian berdasarkan BPNS, elektroneurografi, SSW, dan kombinasi ketiga modalitas ialah 16,2%, 25%, 29,4%, dan 52,9%. Subjek dengan CD4 nadir kurang dari 50 sel/l memiliki risiko PSD sebesar 2,85 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok subjek dengan CD4 nadir yang lebih tinggi (IK 95% 1,99-8,29). Subjek yang memiliki tinggi badan lebih dari sama dengan 170 cm (p<0,03) dan viral load lebih dari sama dengan 35.000 kopi/ml (p<0,05) memiliki rerata kecepatan hantar saraf sensorik tungkai bawah lebih rendah dibandingkan subjek dengan tinggi badan dan viral load yang lebih rendah.
Kesimpulan: Angka kejadian neuropati perifer pada pasien HIV masih cukup tinggi yaitu 52,9% dari subjek penelitian, meskipun stavudin tidak lagi digunakan. Penggunaan multimodalitas pemeriksaan memberikan kemampuan deteksi neuropati lebih banyak dibandingkan modalitas pemeriksaan tunggal. Subjek dengan CD4 nadir kurang dari 50 sel/l, 2,85 kali lebih berisiko mengalami PSD. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan antara tinggi badan lebih dari sama dengan 170 cm dan viral load lebih dari sama 35.000 kopi/ml terhadap abnormalitas parameter elektroneurografi saraf sensorik tungkai bawah.

ABSTRACT
Background: Peripheral neuropathy was a common neurologic complications in HIV patients. Stavudine, which was often associated with neuropathy risk, is no longer used as first line HAART. This study was aimed to determine prevalence of neuropathy in HIV patients receving HAART without stavudine using multi modalities examination, and associated risk factors.
Materials and Method: A cross-sectional study was undertaken using secondary data from JakCCANDO study subjects and primary data from HIV patients receiving antiretroviral therapy without stavudine for minimum 12 months in Integrated HIV Outpatient Clinics of Cipto Mangunkusumo General Hospital. All subjects were performed history taking, Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS), electroneurography, and Stimulated Skin Wrinkling (SSW) using lidocaine:prilocaine 5% cream. Data analysis was done using SPSS 17.0.
Results:Prevalence of symmetric distal polyneuropathy (DSP) from 68 study subjects based on BPNS, electroneurography, SSW, and combination of three modalities were 16,2%, 25%, 29,4%, and 52,9%. Subjects with nadir CD4 less than 50 cells/l were at increased risk of DSP 2,85 times larger than subjects with higher nadir CD4 (CI 95% 1,99-8,29). Subjects with a height of equal or more than 170 cm (p<0,03) and viral load of equal or more than 35.000 copies/ml (p<0,05) had significantly decrease mean of lower extremities sensory nerve conduction velocities based on electroneurography compared to subjects with lower height and viral load.
Conclusions: Peripheral neuropathy remained a numerous neurological complication, as much as 52,9% of study subjects, even when stavudine was no longer used. Multiple diagnostic tools used in this study gave higher neuropathy number compared to single diagnostic modality. Subjects with nadir CD4 less than 50 cells/l had 2,85 times higher risk of having DSP. There were also correlation between height equal or more than 170 cm and viral load equal or more than 35.000 copies/ml with electroneurographic parameter abnormalities of sensory nerve in lower extremities.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"This updatable book provides an accessible informative overview of the current state of the art in nerve repair research.
The introduction includes history of nerve repair research and establishes key concepts and terminology and will be followed by sections that represent the main areas of interest in the field: (1) Biomaterials, (2) Therapeutic Cells, (3) Drug, Gene and Extracellular Vesicle Therapies, (4) Research Models and (5) Clinical Translation. Each section will contain 3 - 6 chapters, capturing the full breadth of relevant technology. Bringing together diverse disciplines under one overarching theme echoes the multidisciplinary approach that underpins modern tissue engineering and regenerative medicine. Each chapter will be written in an accessible manner that will facilitate interest and understanding, providing a comprehensive single reference source. The updatable nature of the work will ensure that it can evolve to accommodate future changes and new technologies.
The main readership for this work will be researchers and clinicians based in academic, industrial and healthcare settings all over the world."
Switzerland: Springer Cham, 2019
e20503311
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Maudy Salma
"Berdasarkan data dari WHO masih terdapatnya peningkatan angka disabilitas yang disebabkan karena cedera pada sistem saraf tepi. Setelah terjadinya cedera saraf tepi, maka akan terjadi serangkaian proses seluler maupun molekuler sebagai respon terhadap adanya cedera. Salah satu respon molekuler yang penting yaitu aktivasi jalur persinyalan balik, menyebabkan terinduksinya sintesis berbagai protein, salah satunya adalah HSP 70, berperan sebagai neuro proteksi dan mencegah terjadinya apoptosis neuron lebih lanjut. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menilai pengaruh pemberian PRP terhadap proses regenerasi saraf tepi dengan melihat hubungan ekspresi HSP 70 terhadap fungsi berjalan (TFI & PFI). Penelitian ini menggunakan sampel bahan biologis tersimpan yaitu Medulla Spinalis tikus berjumlah 36, terbagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan hari terminasi nya yaitu H-7 dan H-42. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tidak terdapatnya hubungan (p>0,05) antara ekspresi HSP 70 terhadap fungsi berjalan melalui pemeriksaan TFI dan PFI pada kelompok skiatika yang diberi PRP maupun yang tidak diberi PRP, berarti bahwa tidak adanya hubungan secara langsung antara ekspresi HSP 70 dengan perbaikan fungsi motorik.

According to WHO data, the number of disabilities brought on by damage to the peripheral nervous system is continually rising. Following a peripheral nerve damage, a number of cellular and molecular reactions will take place. One significant biological reaction is the activation of the reverse signaling pathway, which triggers the creation of several proteins, including HSP 70, which serves as neuroprotection and stops more neuronal apoptosis. The aim of this study was to assess the effect of PRP administration on the process of peripheral nerve regeneration by examined the correlation between HSP 70 expression with the motoric function (TFI & PFI). This research used samples of stored biological material, namely 36 rat spinal cords, divided into two large groups based on termination day, namely H-7 and H-42. The results of this study showed that there was no correlation (p>0.05) between HSP 70 expression and walking function through TFI and PFI examinations in the sciatica group who were given PRP and those who were not given PRP, indicating that there is no direct correlation between HSP 70 expression with motor function improvement."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barker, Roger A.
East Sussex: Psychology Press, 1999
617.483 BAR n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>