Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yevita Nurti
"Banyak literatur menunjukkan bahwa peningkatan gizi anak atau kurang gizi pada anak berkaitan dengan kondisi ekonomi masyarakat, ketahanan pangan, serta aspek sosial budaya masyarakat.
Tulisan ini mencoba mempelajari gaya hidup masyarakat sebagai produk interaksi aspek ekonomi, katahanan pangan, serta aspekaspek sosial budaya terhadap kebiasaan makan anak balita di desa Sukamulya, Sukabumi.
Penelitian dengan menggunakan metode observasi partisipasi ini beranjak dari adanya beberapa gejala yang teramati setelah terjadinya perubahan tanaman pertanian dan berbagai perubahan sosial budaya dan ekonomi masyarakat di Sukamulya. Tersedianya bahan-bahan pangan di lingkungan geografis, peningkatan ekonomi, serta masuknya praktisi medis pada tahun 1996, secara teoritis merupakan sarana untuk peningkatan gizi anak. Namun demikian gejala kurang gizi pada anak masih ditemui pada masyarakat Sukamulya, sehingga muncul asumsi bahwa pengetahuan mengenai makanan balita secara medis di satu sisi dan peningkatan ekonomi di sisi lainnya tidak merubah kebiasaan makan balita menjadi lebih baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan tidak selalu disertai dengan peningkatan gizi. Uang belanja yang dikeluarkan untuk bahan pangan tidak berkaitan dengan jumlah pendapatan tetapi lebih berkaitan dengan karakteristik individu dan gaya hidup keluarga yang satu lama lain saling berinteraksi.
Karakteristik individual yang dimaksud adalah menyangkut selera, sikap fatalistic, keinginan memasak, serta kearifan mengolah dan memvariasikan bahan makanan dalam keluarga.
Sedangkan gaya hidup menyangkut gaya hidup yang kondusif dan tidak kondusif. Gaya hidup yang kondusif, seperti pemanfaatan lembaga kesehatan desa, senantiasa menggunakan pengetahuan secara medis untuk meningkatkan kualitas makan anak, cenderung memiliki keseimbangan dalam alokasi dana rumah tangga. Sedangkan gaya hidup yang tidak kondusif, seperti menolak pemanfaatan lembaga desa, alokasi dana cenderung untuk barang-barang selain bahan pangan, telah menyebabkan terjadinya kurang gizi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T5219
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Setyawan
"Penelitian ini merupakan analisa data sekunder dari data penelitian mengenai Pola Pemberian Makan, Masukan Makanan, dan Status Gizi Anak Umur 0 - 23 bulan di Indramavu. Jawa Barat 1997. Desain Penelitian adalah Cross Sectional. Analisis data yang dilakukan adalah untuk mengetahui hubungan antara praktek pemberian makan dan karakteristik lain dengan status gizi bayi usia 6-11 bulan di Kecamatan Gabus Wetan dan Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu tahun 1997. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 10,8 % bayi umur 6-11 bulan memiliki status gizi kurang. Sebagian besar (88,7 %) bayi diberikan ASI, 83,3 % diberikan kolostrum dan 86.8% memiliki pola makan ASI dengan makanan tambahan. Gambaran lain dari hasil penelitian ini adalah masih tingginya penyakit infeksi (44,1 %) dan rendahnya tingkat pendidikan ibu ( SD = 89,2 %). Penelitian ini menyarankan perlunya dilakukan upaya peningkatan dan perbaikan praktek pemberian makan pada bayi, perbaikan kesehatan lingkungan, serta menggalakkan pemberian ASI dan sosialisasi penggunaan MP ASI yang memenuhi syarat gizi dan annan untuk mencegah terjadinya gizi kurang pada bayi.

The study analized data from survey on Feeding Pattern, Nutritional Intake, and Nutritional Status among Children 0-23 months in Indramayu, West Java, 1997. This study is a cross sectional study and the goal of this research is to get information about feeding practice and other determine factors of infant nutritional status 6-11 months old at Gabuswetan and Sliyeg subdistrict of Indramayu, 1997. The study revealed that infant 6-11 months with malnutrition were 10,8 %. 88.7 % infant were breastfeed, 83,3 % have cholostrum, and 86,8 % with breastfed with weaning foods. The other results of this study are prevalence of infectious diseases remain high (44.1 %), and most of the mothers have low educational level (5 SD = 89.2 °ro). Base on the study, it is suggested to give more attention to feed pattern practice infant 6 - 11 months, health environment rehabilitation, and also to promote and socialize breast feeding and the useful of weaning food to prevent malnutrition."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T7929
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Ade Syahbudin
"Kekurangan Energi Protein (KEP) masih merupakan salah satu masalah gizi utama pada usia balita di Indonesia. KEP pada balita disebabkan oleh berbagai hal, baik faktor langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan hasil survei Ekonomi Nasional tahun 1995, 1998 dan tahun 1999 secara Nasional prevalensi Kekurangan Energi Protein (KEP) teiah dapat diturunkan, demikian pula prevalensi Kekurangan Energi Protein (KEP) di Kabupaten Majalengka berdasarkan hasil Pemantauan status gizi tahun 1999, 2000 dan 2001 (14,54%, 15,91%, 12,54%) mengalami penurunan, akan tetapi prevalensi Kekurangan Energi Protein (KEP) di Puskesmas Munjul tahun 2001 masih tinggi 19;48%
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan Kekurangan Energi Protein (KEP) pada anak balita umur 7-36 bulan di Puskesmas Munjul Kecamatan Majalengka Kabupaten Majalengka.
Desain penelitian adalah Cross Sectional. Pengambilan sampel dilakukan secara Simple Random Sampling dengan jurnlah sampel minimal 241 sampel. Hasil penelitian ini menunjukkan prevalensi Kekurangan Energi Protein (KEP) total sebesar 21,99 %,adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu, pendapatan keluarga, pengetahuan ibu, sikap ibu, asupan energi, asupan protein, dengan Kekurangan Energi Protein (KEP) pada anak balita umur 7 - 36 bulan.
Faktor pengetahuan ibu, perilaku ibu, asupan energi dan asupan protein secara bersama-sama mempengaruhi terjadinya Kekurangan Energi Protein (KEP) pada anak balita umur 7 - 36 bulan. Faktor asupan energi merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi terjadinya Kekurangan Energi Protein (KEP) pada anak balita umur 7 - 36 bulan.
Dari hasil penelitian ini disarankan agar tetap meneruskan pemberian PMT pemulihan dengan memberikan formula tepung tempe dan susu disertai pendidikan gizi dan dibentuk kembali "Taman Gizi" yang menyelenggarakan makanan balita yang KEP. Perlu dilakukan penyuluhan yang lebih intensif dengan melibatkan tokoh masyarakat seperli alim ulama.
Daftar Pustaka : 70 (1979 - 2001).

Factors Relating with the Protein Energy Malnutrition (PEM) at Children Aged 7 - 36 Month in Helath Center on Munjul Majalengka Distric Majalengka Regency 2002.
Protein Energy Malnutrition persits as one of main nutritional problem in Indonesia five years children. PEM are caused by many factors. Direct factors or indirect factors.
Based on the result from national survey economic in 1995, 1998 and 1999 prevalence Protein Energy Malnutrition has been desreased, and so prevalence Protein Energy Malnutrition in regency Majalengka based on the result of developing nutrition status in 1999, 2000 and 2001 (14,54 %, 15,91 %, 12,54 %) descreased, but prevalence Protein Energy Malnutrition in Helath Center on Munjul is still high (19,48 %).
Objective of this study was to the factors related to Protein Energy Malnutrition of children aged 7-36 month in Helath Center on Munjul Majalengka Distric Majalengka Regency 2002.
Design Cross sectional was used in this study. Sampling used by simple random sampling and sample size wise 241 mother under five years children. The result of research show prevalence 21,99 per cent, a significant realationship between mother education, mother performent, income percapity, mother knowledge, energy food, protein food with Protein Energy Malnutrition to children aged 7 - 36 month.
The factors mother knowledge, mother performent, energy food and protein food together influenced Protein Energy Malnutrition to children aged 7 - 36 month. Energy food factors as the main factor which influence Protein Energy Malnutrition to children aged 7-36 month.
The research recommended to be continuing supplementary feeding programme with used nutrition formula tempe and milk, education and reformed the nutrition demontration plot "Taman Gizi" wich can apply under five years children food which PEM. It has necessary to be done with an intensive education by involved community specially alim Ulama.
Bibliography : 70 (1979 - 2001).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T7931
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Lita Renata
"Gizi kurang merupakan keadaan yang sangat mempengaruhi kualitas hidup manusia. Kekurangan gizi terutama pada anak mempengaruhi resiko kematian, kesakitan, pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran status gizi anak balita berdasarkan klasifikasi kurang energi protein (KEP) menurut WHO-NCHS dan mendapat informasi hubungan KEP dengan faktor anak (konsumsi makanan, frekuensi makan, umur balita, jenis kelamin, mendapat vitadele, status kesehatan), faktor keluarga (status pekerjaan orang tua, jumlah balita, jumlah anggota keluarga, bantuan uang, lama tinggal dipengungsian) dan faktor lingkungan (sumber air bersih, ketersediaan air bersih, air minum dan kondisi jamban). Daerah survei merupakan kamp pengungsi Timor-timur yang berada di daerah Kabupaten Belu Propinsi NTT Data diambil dari keluarga yang mempunyai anak balita.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional study (potong lintang), dimana data yang digunakan adalah data sekunder dari rapid Nutritional Assessment tahun 1999.
Dari 258 anak balita yang menjadi sampel didapatkan proporsi KEP 26,4% menurut BBITB dan 41,1% menurut BBIU. Dari hasil bivariat diperoleh faktor yang berhubungan dengan KEP adalah Konsumsi makan (OR=2,82 pada 95% CI :1,44-5,51), Frekuensi makan gula (OR=1,75 pada 95% CI :1,62-6,00) mendapat vitadele (OR=5,31 pada 95% CI :2,49-11,32) dan status pekerjaan ibu (OR=0,38 pada 95% CI :0,19-0,77) sedangkan hasil analisis muitivariat diperoleh faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi KEP, yaitu konsumsi makan (OR=3,03 pada 95%CI:1,46-6,29), frekuensi makan gula (OR=2,30 pada 95%CI:1,09-4,84), umur (OR=0,43 pada 95%Cl:0,20-0,91), mendapat vitadele (OR=2,68 pada 95%Cl:1,09-6,53) dan status pekerjaan ibu (OR=0,34 pada 95%CI:0,15-0,74) dan terdapat interaksi antara frekuensi makan nasi dengan vitadele dalam kaitannya dengan status gizi KEP.
Dari hasil penelitian disarankan perlunya surveilans gizi dalam rangka penanggulangan KEP, pemberian bahan makanan beras, pemberian makanan tambahan (PMT) seperti vitadele atau sejenisnya dan penyuluhan bagi ibu-ibu untuk meningkatkan pengetahuan gizi dan cara pemberian makanan tambahan pada balita baik melalui kader (posyandu) maupun tenaga kesehatan, serta diperlukan bantuan-bantuan dibidang sanitasi (lingkungan) mengingat terbatasnya sumber dan ketersediaan air bersih serta jamban yang baik.
Daftar Pustaka : 73 (1971 - 2000)

The Factors Related with Protein Energy Malnutrition on the Refugees whose Age Underfive in District Belu Province East Nusa Tenggara (NTT) (Rapid Nutritional Assessment, 1999)Malnutrition extremely influences the quality of human life. Malnutrition, especially on children, influences the risk of death, sickness, the physical growth, the mental development and the intelligence.
This study aims to find out the description of the nutrition status of the children underfive based on WHO-NCHS and the relationship between Protein Energy Malnutrition (PEM) and the children factor (food intake, frequency of feeding the age of children under five, the sex, the providing of vitadele, health status); family factor (the parent's occupation, the number of children underfive, the number of family member, the duration in the place of refugees, financial support) and environmental factor (the source of clean water, the availability of clean water, potable water and toilet condition). The survey areas were the Timor Timur's refugee camps in Belu District, the province of East Nusa Tenggara (NTT). Data were collected from the family who had a child underfive.
The design of this study is Cross Sectional study. This study used secondary data, the rapid Nutritional Assessment in 1999. Among 258 children underfive who became samples, the proportion of PEM was 26.4% for Weight/Height and 41.1% for Weight/Age.
Bivariate analysis showed that the related factors were food intake OR-2.82 (95% CI :I.44-5.51), frequency of the eating of sugar OR=1.75 (95% CI :1.62-6.00), providing of vitadele 0R=5.3 (95% CI :2.49-11.32) and mother's occupation OR=0.38 (95% CI :0.19-0.77)_
Analysis with logistic regression method showed that the related factors were food intake OR=3.03 (95% CI:1.46-6.29), frequency of the eating of sugar OR=2.30 (95% C1:1.09-4.84), the age OR=0.43 (95% CI:0.20-0.91), providing of vitadele OR=2.68 (95% C1:1.09-6.53) and motheras occupation OR=0.34 (95% CI:0.15-0.74) and there was a modifier effects between frequency of the eating of rice and providing of vitadele on the PEM. Thefore this study suggest to hold a nutritional surveillance provide the rice, provide the supplementary feeding, like vitadele and intensify the motivation of the increase in the nutritional knowledge and the knowledge about the procedure of the providing of supplementary feeding to children underfive for mothers.
Considering the lack of the sources and the availability of clean water and good toilet condition.
References : 73 (1971- 2000)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T8270
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nany Syuryati R.
"Terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak pertengahan tahun 1997 yang lalu, berpengaruh buruk terhadap kesehatan dan status Gizi masyarakat, terutama keluarga miskin. Salah satu kelompok yang rentan adalah balita yang dengan keadaan ini menjadi Kurang Energi Protein (KEP). Untuk mencegah meluasnya kasus KEP, maka pemerintah Propinsi Sumatera Barat bekerja sama dengan swasta memberikan bantuan berupa makanan tambahan untuk pemulihan (PMT-P). Pemberian PMT-P telah diteliti di beberapa daerah, namun sampai saat ini di kota Padang sendiri belum pernah dilaksanakan penelitian ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan status Gizi balita KEP keluarga miskin. Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Kuranji dan Puskesmas Belimbing, Kecamatan Kuranji, kota Padang terhadap balita KEP keluarga miskin yang mendapatkan PMT-P.Desain penelitian ini adalah cross sectional. Sampel terdiri dari 93 orang balita KEP keluarga miskin yang merupakan total sampling dengan responden ibu balita KEP.
Pengolahan data menggunakan analisis -univariat, bivariat dan multivariat. Hasil penelitian menunjukkan keberhasilan peningkatan status gizi balita KEP setelah PMT pemulihan selama 3 bulan hanya 43%. Ada hubungan yang bermakna antara jumlah dan jenis PMT-P, berat ringan infeksi serta pelayanan kesehatan (p < 0.05). Variabel balita KEP dengan infeksi berat mempunyai hubungan yang paling kuat untuk tetap/kurang status gizinya dibandingkan dengan balita KEP yang menderita infeksi ringan. Pada pelaksanaan PMT-P, agar tegadi peningkatan status gizi balita KEP yang lebih baik, maka disarankan adanya pengobatan dan perawatan khusus di Rumah Sakit pada kasus-kasus balita KEP berat dan KEP dengan infeksi berat.
Disamping itu perlu adanya pengawasan dalam mengkonsumsi makanan, sehingga PMT-P yang diberikan benar-benar hanya diberikan pada sasaran. Walaupun dari hasil penelitian tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara pengetahuan, penyuluhan dan pemantauan oleh petugas dengan peningkatan status gizi, yang kemungkinan oleh karena sebagian besar ibu berpendidikan rendah, untuk itu penyuluhan praktis yang informatif perlu ditingkatkan, sehingga hal ini dapat meningkatkan pengetahuan ibu tentang gizi dan KEP pada balita. Penelitian ini juga menyarankan agar PMT-P diteruskan terutama pada kasus-kasus KEP berat dan sedang serta adanya penelitian yang lebih lanjut dengan desain khusus yang menggunakan indeks BBITB.

Factors Related with the Increase of the Nutrition Status of PEM at the Under Five Year, on Poverty Community in Distric of Kuranji, PadangThe long economic crisis since 1997, cause bad effects to the community, specially community's health and nutrition's on poverty community. One of the most vulnerable group to get protein - energy malnutrition (PEM) is children under five year with this condition can get PEM. To prevent the protein - energy malnutrition from spreading further, the regional government on West Sumatra and some privates commits donated to the community, such supplementary feeding program. The supplementary feeding program was researched some regions, but until now the research never done in Padang.
The purpose of the research is to knowing the factors which related with the increase of the nutrition status of PEM at the children under five year, on poverty community. The research is done on Community Health Center on Kuranji and Belimbing region, distric, Kuranji, Padang; to the children under five year, with PEM on poverty community who got supplementary feeding. The research design was Cross Sectional. The sample's are 93 children's under five year on poverty community; they were total sampling, using their mother as respondents.
The data processing is using Univariat, Bivariat and Multivariat analysis. The result of research shows that only 43% success on increasing Nutrition's status at the children's under five year with PEM on poverty community after 3 months giving supplementary feeding. Kind and number of supplementary feeding, severe and mild infection and the health services have significant relation (p < O, 05). PEM at children under five year variable with the severe infection have a strong relation to statis or less of nutrition status compared with PEM at the children under, five year who got mild infection.
To increase the good children under five year nutrition status, suggested to handle seriously severe protein - energy malnutrition and severe infection with the intensive care. Beside that, need to giving supplementary feeding with the adequate number. It necessary to observe more intensively so that kind and number of the supplementary feeding given used by the PEM at children under five year only. Although from the research did not found significant relationship beetwen knowledge. give of information and supervision of health providers with the rise of nutrition status that may be most of mather have low education, that's need to increase giving of information with informatif practice in order it can increase knowledge of mather about nutrition and PEM at the children under five year, and also the supervision that done of health providers need to be repair in quality and adequacy. The research also recommended to be continuing supplementary feeding program, especially for moderate and severe PEM. And the further researchs with special design like body weight and body height indecs.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T8272
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junaidi
"Anak usia sekolah berada dalam fase persiapan untuk menghadapi pertumbuhan dan perkembangan yang cepat. Pada masa ini anak harus mendapatkan pemenuhan makanan bergizi dalam kualitas dan kuantitas yang cukup. Gizi kurang pada anak usia sekolah akan mengakibatkan anak menjadi lemah, cepat lelah dan mudah terserang penyakit, keadaan ini akan diperparah apabila anak menderita infeksi cacingan. Anak akan mengalami kesulitan untuk mengikuti pelajarannya di sekolah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran prevalensi gizi kurang dan cacingan dan faktor lainya yang berhubungan serta faktor paling dominan yang berhubungan dengan status gizi anak sekolah dasar/ Madrasyah Ibtidaiyah di Kecamatan Langsa Timur Kota Langsa tahun 2003. Desain yang digunakan adalah cross sectional. Pengambilan sampel sekolah dilakukan secara purposive, diambil 4 sekolah dari 18 sekolah yang ada yaitu : SDN Sukarejo, SDN Matang Setui, SDN Alur Merbau, MIN Sungai Lung. Sampel murid adalah murid kelas I sampai dengan kelas V dari 4 sekolah, yang dipilih secara sistematic random sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui pengisian kuesioner, observasi keadaan kuku, pengukuran berat badan, perhitungan umur (bulan) dan pengambilan, pemeriksaan feces anak dengan metode Kato di laboratorium, serta berdasarkan catatan tentang anak di sekolah.
Hasil penelitian ini ditemukan prevalensi gizi kurang sebesar 37.5 % berdasarkan indikator berat badan perumur dan prevalensi cacingan sebesar 73.9 %. Hasil analisis bivariat menunjukan hubungan bermakna antara status gizi anak sekolah dengan status cacingan (intensitas cacing gelang) nilai p= 4.001, dan perilaku hidup sehat anak nilai p= 0.006. Dari hasil analisis multivariat ada dua variabel yang masuk dalam model yaitu intensitas cacing gelang dan perilaku hidup sehat anak. Dengan menggunakan persamaan regresi logistik dan nilai eksponensial (B) atau Odds Ratio dapat dibuat model akhir persamaan logistik : logit (status gizi) = -3.470 + 0.946 (perilaku hidup sehat) + 1.643 (intensitas caring gelang). Oleh karena itu, variabel yang paling dominan adalah variabel intensitas casing gelang sebesar 5.170 (95% Cl: 2.006-13.318), artinya bahwa intensitas cacing gelang yang berat berpeluang mendapatkan gizi kurang 5.2 kali dibandingkan dengan intensitas cacing gelang yang ringan setelah dikontrol variabel perilaku hidup sehat anak.
Untuk menurunkan prevalensi gizi kurang pada anak Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah di Kecamatan Langsa Timur, pada institusi pendidikan perlu dilakukan pembinaan yang rutin dan kontinu tentang perilaku hidup sehat anak dan perbaikan lingkungan sekolah yang bersih dan aman dari penularan cacingan. Dinas Kesehatan perlu memikirkan pendekatan bersifat preventif edukatif yang lebih baik dan menjadikan cacingan merupakan salah satu kegiatan usaha kesehatan sekolah. Peneliti lain perlu melakukan penelitian lanjutan dengan melihat aspek-aspek yang lebih luas dan berpengaruh terhadap status gizi kurang anak usia sekolah.

The children of school age are being in preparatory stage of growth and fast development In this age, children should get enough nutrition either in quantity or quality. Lack of nutrition may cause them of being fatigued, and easy to be infected by disease. This condition will be worse if they suffer worm disease. They will be difficult to follow and understand their school subjects.
This research aimed to know the prevalence of nutrition lack and worm disease among Elementary Students, other related factors, and the most significant factors to Nutritional Status in East Langsa Sub District of Kota Langsa in 2003. Design of the study was cross sectional. The samples were taken in purposive manner, where four schools were taken from the eighteen schools. They were: SDN Sukarejo, SDN Matang Setui, SDN Alur Merbau, MIN Sungai Lung. The samples were students of the first to fifth year of the four schools, who were selected by using sistematic random sampling. Data were collected by using questionaire, students' nails observation, body mass weighing, age (months) counting, students' feces check by using Kato method in the laboratory, and other general records from school.
The result of the study showed the prevalence of nation lack, where indicator of body mass per age was 37.5 %, while worm disease prevalence was 73.9 %. The result of bivariat analysis that showed significant relationship of the students nutritional status was worm disease (intensity of roundworms), where the p-value = 0.001 and students' healthy behavior, p = 0.006. The result of multivariate showed two variables that was included in the model, intensity of roundworms and students' healthy behavior. By using logistic regression equation and exponential value (B) or Odds Ratio, final logistic equation that could be made was: logit (nutritional status) = -3.470 + 0.946 (students' healthy behavior) + 1.643 (intensity of roundworms). The most dominant variable was intensity of roundworms, as much 5.170 (95% CI:2.006-13.318). This meant that the high intensity of roundworms had probability to the nutrition lack 5.2 times compared with the low intensity of roundworms after being controlled by the variable of students' healthy behavior.
To decrease the lack of nutrition prevalence among elementary students in East Langsa Sub District, it is necessary to conduct a regular illumination on children healthy behavior in educational institutions. Health Office is necessary to concern the better approach that is more preventively educative, and to make worm disease is one of health school zeals. To other researchers, they need to carry out further studies that focus to wider aspects influence children of school age nutritional status.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihadi
"ABSTRAK
Klinik Gizi Bogor (KGB)-Puslitbang Gizi telah membuat model "paket pemulihan anak balita gizi buruk" selama 6 bulan, sejak tahun 1981, namun sampai sekarang belum pernah dilakukan penelitian khususnya tentang ketahanan gizi buruk selama ikut program. Desain penelitian ini adalah longitudinal selama 6 bulan, subyek sebanyak 384 anak balita gizi buruk yang berkunjung ke KGB dari tahun 1982-1997.
Analisis Kaplan Meier dan Life Table dilakukan untuk menentukan probabilitas ketahanan gizi buruk. Analisis multivariat regresi Cox dilakukan untuk menentukan besarnya nilai pemulihan menjadi gizi kurang dari penderita gizi buruk, berdasarkan kecurigaan ada faktor lain secara bersama-sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Probabilitas Ketahanan Gizi Buruk selama 6 Bulan (PKGB6B) sebesar 35 %, dan median ketahanan gizi buruk sebesar 12 minggu.
Secara bivariat ditemukan hasil untuk jenis kelamin laki-laki PKGB6B sebesar 40 % pada perempuan 32 %, dan nilai propabilitas pemulihan (PPR) untuk menjadi gizi kurang anak perempuan 1,41 (95 % CI:1,04; 1,93) kali dibandingkan laki-laki. Pada nomor unit anak, maka PKGB6B untuk anak ke 1 sebesar 30 %, anak ke 2-3 sebesar 36 % dan anak ke z 4 sebesar 39 %. Nilai PPR menjadi gizi kurang anak ke 2-3 sebesar 1,02 kali (95 % CI: 0,70; 1,48) dan anak ke > 4 sebesar 0,66 kali (95 % CI: 0,46; 0,96) dibandingkan anak ke 1. Dilihat jumlah anak hidup, maka PKGB6B untuk kelompok 1 anak sebesar 29 %, kelompok 2-3 anak sebesar 31 % dan > 4 anak sebesar 41 %. Nilai PPR menjadi gizi kurang untuk 2-3 anak sebesar 0,86 kali (95 % Cl: 0,46; 1,61) dan > 4 anak sebesar 0,60 kali (95 % Cl: 0,32; 1,12) dibandingkan kelompok 1 anak. Dilihat dari tipe gizi buruk, maka PKGB6B untuk bukan marasmus-kwashiorkor 33 %, kwashiorkor tidak ada nilai, marasmuskwashiorkor 16 %, dan marasmus 16 %. Nilai PPR menjadi gizi kurang dibandingkan bukan marasmus-kwashiorkor, maka untuk kwashiorkor 0,89 kali (95 % CI: 0,22;3,68), marasmus-kwashiorkor 0,68 kali (95 % CI: 0,42; 1,10) dan marasmus 0,69 kali (95 % CI: 0,49; 0,97). Diliat urnur PKGB6B kelompok 0-11 bulan sebesar 41 %, kelompok 12-35 bulan sebesar 30 % dan kelompok 36-59 bulan sebesar 59 %, Nilai PPR untuk menjadi gizi kurang dibandingkan umur 0-11 bulan, maka untuk umur 12-35 bulan nilai PPR 1,42 kali (95 % CI: 0,97; 2,06), urnur 36-59 bulan nilai PPR 0,61 kali (95 % CI: 0,31; 1,20). Dilihat dari Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), maka PKGB6B untuk tidak ISPA sebesar 58 %, ISPA ringan sebesar 29 %, dan ISPA berat sebesar 35 %. Nilai PPR menjadi gizi kurang untuk ISPA ringan sebesar 1,98 kali (95 % CI: 1,32; 2,96), dan ISPA berat sebesar 1,75 kali (95 % CI: 1,04; 2,96) dibandingkan tidak ISPA. Dilihat dari Infeksi saluran Pernapasan Bawah (ISPB), maka PKGB6B untuk tidak ISPB sebesar 0 %, 1SPB ringan sebesar 32 %, dan ISPB berat sebesar 38 %. Nilai PPR untuk menjadi gizi kurang untuk ISPB ringan 0,86 kali (95 % CI: 0,41; 1,79), dan ISPB berat 0,58 kali (95 % CI: 0,28; 1,21) dibandingkan tidak ISPB.
Secara multivariat variabel yang berperanan hanya variabel ISPA, umur dan tipe gizi buruk. Hasilnya, nilai PPR ISPA berubah untuk ISPA ringan 1,88 kali (95 % CI: 1,24; 2,85), dan ISPA berat 1,61 kali (95 % CI: 0,93; 2,78) dibandingkan tidak ISPA untuk menjadi gizi kurang, setelah dikontrol variabel dalam model. Dilihat tipe gizi buruk, maka nilai PPR menjadi gizi kurang dibandingkan bukan marasmuskwashiorkor berubah, untuk kwashiorkor sebesar 584,06 kali, marasmuskwashiorkor 10,18 kali, dan marasmus sebesar 1,46 kali setelah dikontrol variabel dalam model. Dilihat umur, maka nilai PPR menjadi gizi kurang dibandingkan kelompok 0-11 bulan berubah, untuk kelompok 12-35 bulan menjadi 1,43 kali (95 % CI: 0,98; 2,08) dan kelompok 36-59 bulan 0,68 kali (95 % CI: 0,68 kali (0,34; 1,34).

ABSTRACT
Outpatient nutrition clinic of Center for Research and Development of Nutrition (CRDN) has developed a six-month package with the main objective to improve severe malnourished children in its surrounding areas since 1981. However, there has never been a study to analyze its effectiveness. Therefore, there is a need to analyze its effectiveness and factors associated with the outcome of package. This study was a six-month longitudinal study of 384 patients suffered from severe malnutrition from 1982-1997.
Kaplan Meier survival analysis and life table was used to study the probability of nutritional improvement from severe to moderate or mild malnutrition, while Cox regression model was used to study the relative improvement associated with several factors.
The study revealed that overall probability to remain severe malnutrition (PRSM) for 6 months was 35 % with the median of 12 weeks, which mean that there was an improvement of nutritional status of 65 % cases with the median time of 12 weeks.
Bivariate analysis found that the PRSM differ according to some child characteristics, type of malnutrition, and infections. The PRSM for 6 months was 40 % in girls and 32 in boys, and relative improvement (RI), the opposite direction of relative risk, from severe to moderate or mild malnutrition among girls was 1.41 times (95 % CI: 1.04-1.93) compared the boys. PRSM for 6 months of the first birth order, second to third, and fourth or above was 30 %, 36 % and 39 % respectively. RI of second to third order was 1.02 times (95 % CI: 0.70-1.48) and fourth or above was 0.66 times (95 % CI: 0.46-0.96) compared to the first birth order. PRSM for 6 months of number of children alive in the family of 1 child, 2-3 children, > 4 children was 29 %, 31 %, and 41 % respectively. RI of 2-3 children was 0.86 times (95 % CI: 0.46-1.61) while > 4 children was 0.60 times (95 % CI: 0.32-1,12) compared to one child in the family. PRSM was also differ among different type of malnutrition. PRSM for 6 months of non-marasmus-kwashiorkor, kwashiorkor, marasmic-kwashiorkor, and marasmus was 33 %, not applicable because of a few cases, 16 % and 16 % respectively. RI of kwashiorkor was 0.89 times (95 % CI: 0.22-3.68), marasmic-kwashiorkor was 0.68 times (95 % CI: 0.42-1.10), and marasmus was 0.69 times (95 % CI: 0.49-0.97) compared to non-marasmuskwashiorkor. PRSM was also differ according to age as it was found that PRSM for 6 months of 0-11 month old, 12-35 month cold, and 36 month old was 41 %, 30 %, and 59 % respectively. RI of 12-35 month old was 1.42 times (95 % CI: 0.97-2.06), and > 36 month old was 0.61 times (95 % CI: 031-1.20) compared to 0-11 month old. PRSM for 6 months of cases without URI, mild URI, and moderate URI was 58 %, 29 %, and 35 % respectively, while RI of mild URI was 1.98 times (95 % CL 1.32-2.96), and moderate URI was 1.75 times (95 % CI: 1,04 -2.96) compared to cases without URI. PRSM for 6 months of cases without LRI, mild LRI, and moderate LRI was 0 %, 32 %, and 38 % respectively, while RI of mild LRI was 0.86 times (95 % CI: 0.41-1.79), and moderate URI was 0.58 times (95% CI: 0.28-1.21) compared to cases without LRI.
Analysis of cox regression model showed that only URI, age of the child, and type of malnutrition were significantly associated with relative improvement (RI) of severe malnutrition. RI of mild URI was 1.88 times (95 % CI: 1.24-2.85), moderate URI was 1.61 times (95 % CI: 0.93-2.78) compared to cases without URI after being controlled by other factors in the model. RI of kwashiorkor, marasmic-kwashiorkor, and marasmus was 584.06, 10.I8, and 1.46 times than no-marasmus-kwashiorkor after being controlled by other in the model. RI of children aged 12-35 months was 1.43 times (95 % CI: 0.98-2.08) and 36-59 months was 0.68 times (95 % CI: 0.34 - 1.34) after being controlled by other factors in the model.
References : 39 (1968 - 1998)
"
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. F. Aryani Suja
"ABSTRAK
Secara klinis xeroftalmia tidak lagi dikatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat, tetapi status vitamin A serum masih berada pada tingkat marginal sehingga kondisi ini perlu diwaspadai, terutama pada masa paceklik. Salah satu cara untuk mengukur risiko xeroftalmia dengan metoda riwayat konsumsi makanan (Dietary history). Hasilnya dinyatakan dalam nilai usual pattern of food consumption (UPF). Seperempat anak pra sekolah di Jawa Barat mempunyai indeks risiko xeroftalmia sedang dan tinggi. Apakah hal ini disebabkan oleh pengetahuan ibu tentang gizi yang kurang?
Jenis penelitian adalah kuantitatif dengan rancangan kasus kontrol. Sebanyak 120 anak sebagai kasus dengan nilai UPF S 210 dibandingkan dengan 240 anak sebagai kontrol dengan nilai UPF > 210.
Analisis regresi logistik multivariat dilaksanakan untuk menentukan besarnya hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan risiko xeroftalmia pada anak, berdasarkan kecurigaan adanya pengaruh faktor lain secara bersama-lama. Untuk mengetahui validitas dari survey diet (Semi quantitative Dietary Assessmen t/ SDA) dilakukan analisis Sensitifitas dan Spesifisitas (di JawaTengah dan Sulawesi Selatan).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dari ibu yang mempunyai pengetahuan kurang mempunyai risiko xeroftalmia 2,42 kali dibandingkan dengan anak dari ibu yang mempunyai pengetahuan baik campak dan diare berkontribusi terhadap hubungan antara pengetahuan ibu dengan risiko xeroftalmia anak Anak yang mempunyai riwayat campak mempunyai risiko xeroftalmia 1,84 kali dibandingkan dengan anak yang tidak mempunyai riwayat campak dan 2,86 kali untuk anak yang mempunyai riwayat diare.
Walaupun vaksinasi campak, kapsul vitamin A, status sosial ekonomi keluarga, umur dan status gizi tidak secara nyata berkontribusi dalam model, namun kehadirannya tetap perlu diperhatikan dalam mengantisaipasi terjadinya risiko xeroftalmia anak, mengingat pada faktor ini terdapat interaksi dengan model additive.
Probabilitas seorang anak untuk terjadi risiko tinggi xeroflalmia pada ibu yang mempunyai pengetahuan baik dan anaknya tidak mempunyai riwayat campak dan diare sebesar 38%. Bila ibu mempunyai pengetahuan kurang dan anaknya mempunyai riwayat campak dan diare make probabilitas untuk terjadi risiko tinggi xeroftalmia meningkat menjadi 89%.
Dengan pedoman skrining umum, pada nilai serum 10 ug/dl, untuk Jateng pada titik potong UPF-300, SDA mempunyai Se=6677%, Sp-58,6% dan PPV=5,7% dan untuk Sulsel, pada UPF=380, mempunyai Se=75,O%, Sp=29,9% dan PPV=7,4%.
Bila SDA akan digunakan untuk deteksi dini asupan konsurnsi makanan anak yang kurang dari kecukupan, perlu kehati-hatian dalam menginterpretasikan titik potong nilai UPF untuk validitas SDA, mengingat keragaman nilai yang ada di Jateng dan Sulsel.

ABSTRACT
Clinically xerophthalmia is not considered as public health problem, however, status of vitamin A serum needs to be aware of due to it is yet at marginal level, especially at the time of scarcity before harvest. One way to measure risk of xerophthalmia is by means of Dietary History in which the result is stated in score of usual pattern of food consumption (UPF). One-fourth of preschool children at West Java have high and medium risk index of xerophthalmia Is it due to the lack of mother's knowledge of nutrient.
Case-control method is used in this quantitative research. 120 children were classified as case with UPF score 5 210 were compared with 240 children classified as control by having UPF score > 210.
Analysis of multivariate logistic regression was carried out to determine the relationship between mother's knowledge regarding nutrient and risk of xerophthalmia for their children, considering the impact of other factors concurrently. Sensitivity (Se) and Specificity (Sp) analysis were employed to evaluate the validity of the survey diet (semi quantitative dietary assessment / SDA) in East Java and South Sulawesi.
Results of this research showed that mothers who lack of knowledge on nutrient and risk of xerophthalmia their children will have 2.42 times risk of xerophthalmia compared to those whose mother have sufficient knowledge thereof Measles and diarrhea affect the relationship of mother's knowledge and risk of xerophthalmia for their children. Children who ever had measles have 1.84 times of having risk of xerophthalmia compared to those who never had and 2.86 times for those who ever had diarrhea.
Though measles vaccination, supplementation of vitamin A capsule, family socio-economic status, .age and nutrient status (PEM) did not contribute significantly in the model, but their existence need to be priority given in anticipating the risk of xerophthalmia for children, for there factors interacted with mother's knowledge in relation to risk of xerophthalmia in their children in an additive model.
The probability of a child to have risk of xerophthalmia when his/her mother has good knowledge and the child never had measles and diarrhea is 38 %. On the contrary, the probability will be 89 %.
Under common screening, at East Java, using 10 ug/dl of serum value with end point of UPF in 300, SDA has 66.7% Se, 68.6% Sp and 5.7% PPV and for South Sulawesi the cut point of UPF in 380, 75.0% Se, 29.9% Sp and 7.4% PPV.
Considering the variety of values at East Java and South Sulawesi, it is recommended to be more careful in interpreting the cut point for UPF and SDA validity when SDA is used for early detection of insufficient children food consumption.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginarti Budiman
"ABSTRAK
A cross sectional study on nutritional status of children from small scale farmers' household applying different cropping pattern, was carried out in Cianjur District, West Java Province, Indonesia. There were 47 households producing vegetable (VPH) and 44 households producing rice (RPH), which were selected. Children from small-scale farmers? households seem to be quite vulnerable of malnutrition. Comparation of these two groups of small-scale farmers showed that stunting prevalence among children belonging to rice farmers' households was greater than children belonging to vegetable farmers. Dietary of nutrient intake was less in children from rice group than children from vegetable group. Monthly expenditure per capita from rice farmers' households was less than vegetable farmers' households had.
"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Suwetra
"Anemi defisiensi besi merupakan anemi gizi yang paling sering terjadi baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju dan terdapat terutama pada bayi dan anak-anak; yang dalam pertumbuhan cepat membutuhkan zat besi yang tinggi dan kandungan zat tersebut dalam makanan yang lebih rendah dari kecukupan kebutuhan yang dianjurkan (1). Diit kaya zat besi tidak menjamin ketersedian zat besi yang cukup bagi tubuh selama absorpsi zat besi dipengaruhi oleh bahan penghambat (inhibitor) dan pemacu (promoter) yang ada di dalam makanan. Zat besi yang terdapat di dalam Air Susu Ibu (ASI) hanya mencukupi kebutuhan akan zat besi sampai umur 6 bulan dan cadangan besi tubuh mulai menurun sejak umur 5 - 6 bulan, maka kebutuhan pada umur selanjutnya harus dipenuhi dari makanan. Di negara berkembang makanan pokok terutama terdiri dari serealia, kacang-kacangan dan sayuran dengan kualitas zat besi yang rendah serta banyak mengandung bahan penghambat absorpsi besi seperti fitat, tannin dan serat (1,2,3,4). Keadaan tersebut disertai dengan kemiskinan, ketidak-tahuan tentang makanan bergizi, adanya kepercayaan yang salah terhadap makanan tertentu (tabu), lingkungan yang masih mendukung terjadinya berbagai penyakit infeksi dan infestasi cacing khususnya cacing tambang (5).
Semua keadaan tersebut menyebabkan tingginya prevalensi anemi defisiensi besi pada bayi dan anak di negara sedang berkembang (5). Resiko terjadinya anemi defisiensi besi tertinggi adalah pada anak-anak umur kurang dari 2 tahun baik di negara maju seperti Amerika Serikat dan Perancis (6) maupun di negara berkembang seperti Argentina (7) dan Malaysia (8). Di Indonesia data anemi defisiensi besi secara nasional belum ada, namun dari beberapa peneliti yang melakukan penelitian secara terpisah dalam skala yang lebih kecil pada anak-anak dengan status g i z i baik ditemukan 37,8 - 73,0 % pada anak umur 6 bulan - 6 tahun pada kelompok social ekonomi rendah (5), 46,67 % pada anak balita yang berobat ke RSCM (9) dan 58,33% pada anak-anak umur 6 -- 18 bulan di Kelurahan Manggarai Selatan, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan (10).
Telah diketahui bahwa anemi defisiensi besi berpengaruh terhadap morfologi dan enzim-enzim yang ada kaitannya dengan metabolisme energi di dalam epitel mukosa usus. Telah diketahui pula bahwa absorpsi karbohidrat memerlukan energi. Gangguan absorpsi ada hubungan dengan penurunan kapasitas metabolisme energi di dalam epitel usus (7,11). Telah ditemukan pada anak umur 9 - 32 bulan dengan anemi defisiensi besi berat adanya gangguan absorpsi D-xilosa dan lemak (12), pada kasus yang sama ditemukan pula gangguan absorpsi D-xilosa pada subyek berumur 13 - 55 tahun (13). Di Indonesia penelitian serupa belum pernah dilakukan pada penderita anemi defisiensi besi khususnya pada anak umur kurang dari 2 tahun, merupakan faktor pendorong pelaksanaan penelitian ini."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>