Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
New Delhi: Wolters Kluwer, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
617.7 CLI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2008
617.7 VAU
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Elsevier, 2016
617.7 OPH
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hilman Hitam
Abstrak :
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pengukuran tekanan bola mata merupakan hal yang panting pada pemeriksaan mata karena dapat dipakai untuk menilai salah satu parameter dinamika cairan akuos. Alat yang paling banyak dipakai mengukur tekananan bolamata pada saat ini adalah tonometer indentasi Schiotz dan tonometer aplanasi Goldmann (1).

Hasil pemeriksaan tonometri aplanasi Goldmann diakui paling teliti, hal ini disebabkan perubahan volume cairan akuos selama pemeriksaan sedikit sekali Yaitu ± 4,5 ul, sehingga dianggap hasil pemeriksaan tersebut tidak dipengaruhi oleh kekakuan
dinding bola mata (ocular rigidity) seperti halnya hasil pemeriksaan dengan tonometri indentasi Schiotz {2,3). Keadaan di atas menyebabkan tonometri aplanasi Goldmann menjadi rujukan dari pemeriksaan tonometri Schiotz. Sayangnya bila tidak digunakan dengan hati-hati dapat terjadi kerusakan epitel kornea akibat obat anestesi yang dipakai dan tersentuhnya kornea oleh alat tersebut. Dilaporkan bahwa pemeriksaan tonometer ini dapat pula menyebarkan infeksi seperti radang konjungtiva, hepatitis,
maupun penyakit AIDS melalui alat yang terkontaminasi (3).

Oleh karena itu kebutuhan terhadap alat yang dapat mengukur tekanan bola mata dengan teliti tanpa menyentuh kornea amat terasa. Baru pada tahun 1972 alat yang demikian diperkenalkan oleh Bernard Goldman yang disebutnya tonometer nonkontak (4). Pengukuran tekanan bola mata dilakukan dengan jalan meniupkan udara ke kornea, jadi tanpa menyentuhnya secara langsung. Penilaian tingginya tekanan bola mata dilakukan dengan mengamati pantulan cahaya dari kornea pada saat aplanasi terjadi, lalu diproses oleh komputer dan hasilnya disajikan dalam bentuk angka angka.

Penelitian di beberapa negara Barat memperlihatkan bahwa hasil pemeriksaan tonometri nonkontak tidak banyak berbeda secara bermakna dibandingkan tonometer aplanasi Goldmann pada tekanan bola mata yang normal (5). Akan tetapi penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Hitam (8) di Indonesia memperlihatkan keadaan yang sebaliknya. Dalam laporannya setelah memeriksa 20 penderita, ia menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna dari kedua cara pemeriksaan di atas, walaupun yang dilakukannya bukan suatu pemeriksaan tersamar ganda yang selama ini dianggap blebih ideal. Perbedaan hasil yang didapat dari beberapa penelitian di luar negri dibandingkan penelitian pendahuluan yang dikerjakan Hitam di Indonesia, mendorong penulis untuk melanjutkan penelitian pendahuluan tersebut dengan jumlah sampel yang lebih banyak disertai pemeriksaan yang lebih baik yaitu dengan milakukannya secara tersamar ganda.

Pada tekanan bola mata yang lebih tinggi ketelitian tonometer nonkontak berkurang (5). Seperti halnya tonometer aplanasi Goldmann, tonometer nonkontak tidak dapat dilakukan pada keadaan kornea yang tidak normal, penderita dengan fiksasi yang jelek, serta penderita yang tidak dapat bekerjasama (4,5)?
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Sinardja
Abstrak :
BAB I PENDAHULUAN

Kemajuan dalam bidang anestesiologi antara lain berupa penemuan obat anestetika baru. Hal ini menyebabkan penatalaksanaan anestesia pada bedah mata menjadi lebih baik. Peningkatan tekanan intraokular (TIO) yang hebat dan berbahaya selama pemberian anestesia dapat dicegah. Peningkatan TIO merupakan masalah penting yang hendaknya diperhatikan pada bedah mata intraokular.

Sebelum abad ke XX bedah mata intraokular Umumnya dilakukan dengan analgesia lokal, karena pada waktu itu pemberian anestesia sering menimbulkan penyulit seperti batuk, tahan nafas dan muntah yang menyebabkan kenaikan TIO. Namun menurut penelitian yang dilakukan kemudian telah terbukti, bahwa penyulit yang terjadi lebih banyak dijumpai pada pemberian analgesia lokal daripada pemberian anestesia umum. 1,2,3,4,5,c5

Pada bedah mata intraokular insisi dilakukan melalui kamar depan, yaitu ditempat cairan bola mata mengalir keluar. Bila pada saat itu terjadi peninggian TIO, maka isi bola mata seperti iris, lensa mata dan korpus vitreum akan mengalir keluar, hal ini dapat menyebabkan kebutaan. Sebaliknya bila penurunan TIO terlalu rendah, maka pembedahan akan terganggu. Penurunan TIO yang mendadak dapat menyebabkan dinding bola mata menciut, sehinggga pembuluh darah tertarik dan menyebabkan perdarahan intraokular. 1,2,3,4,5,6

Thaib dan kawan-kawan ( 1978 ) dalam penelitiannya terhadap 412 kasus bedah mata telah membuktikan, bahwa penyulit prolaps iris akibat kenaikan TIO lebih banyak dijumpai pada analgesia lokal dibandingakan dengan anestesia N20 - halotan dengan ventilasi spontan . 3.A,7,8,2

Peninggian TIO pada pemberian anestesia umum dapat terjadi pada saat induksi, intubasi dan pemulihan anestesia.

Pengaruh induksi dan intubasi terhadap TIO merupakan kesatuan pengaruh premedikasi, obat induksi dan pelumpuh otot serta jenis 7,2,10 ventilasi yang digunakan.

Thaib dan kawan-kawan ( 1987 ) telah membuktikan teknik anestesia N20 - halotan dengan menggunakan obat pelumpuh otot vekuronium ternyata dapat menurunkan TIO lebih besar dibandingkan dengan menggunakan anestesia N20 - halotan - pankuronium.9

Mirakhur dan kawan-kawan (1988) telah membandingkan perubahan T1O pada waktu induksi dengan propofol dan tiopental pada 40 kasus bedah mata berencana. Ternyata didapatkan penurunan TIO sebesar 53 % pada induksi propofol dan 40 % pada induksi tiopental, penurunan ini cukup bermakna baik pada induksi tiopental maupun propofol.

Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan perubahan TIO pada induksi dan intubasi dengan tiopental dan propofol yang dikombinasikan dengan vekuronium.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 6728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miratasya
Abstrak :
Latar belakang. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran data dasar nilai normal pERG, ketebalan RNFL dan GCIPL pada subjek normal dan subjek dengan POAG derajat early, moderate dan severe serta menilai korelasi antara masing-masing modalitas pemeriksaan. Metode. Penelitian potong lintang yang dilakukan pada 36 mata normal dan 42 mata dengan POAG (derajat early, moderate dan severe) usia 18-60 tahun di RSCM. Semua subjek menjalani pemeriksaan oftalmologi dasar dan pemeriksaan penunjang yaitu Humphrey standard automated perimetry, OCT peripapil dan makula menggunakan CirrusTM dan pERG menggunakan MonPack One dari Metrovision. Hasil. Berdasarkan data normal didapatkan ketebalan rerata RNFL 106,3 ± 11,0 μm, ketebalan rerata GCIPL 83,3 ± 3,5 μm, waktu implisit P50 52,7ms , amplitudo P50 7,9 (3,4 – 15,6) μV, waktu implisit N95 101,3 ± 5,2 ms, amplitudo N95 10,6 (6,0 – 18,7) μV. Dibandingkan dengan kelompok POAG early didapatkan perbedaan bermakna pada ketebalan RNFL (p = 0,007), amplitudo P50 (p = 0,005) dan amplitudo N95 (p = 0,004), tanpa perbedaan bermakna pada ketebalan GCIPL, sedangkan pada kelompok moderate dan severe didapatkan perbedaan pada semua variabel (p<0,05). Korelasi positif sedang dan lemah ditemukan pada kelompok normal antara ketebalan RNFL dengan amplitudo P50 dan N95, tidak ada korelasi hasil pemeriksaan pERG dengan ketebalan GCIPL. Kesimpulan. Pattern ERG adalah pemeriksaan objektif yang dapat membedakan antara kelompok normal dengan POAG, pemeriksaan pERG pada POAG harus memperhatikan floor effect. ......Introduction. The study aims to evaluate and compare the pERG result, RNFL and GCIPL thickness in normal group to the groups with early, moderate and severe POAG and evaluate its correlation. Methods. Cross-sectional study was done on 36 normal eyes and 42 eyes with POAG (mild, moderate and severe),subjects with age range of 18-60 years old in RSCM Kirana. Each group underwent complete basic ophthalmology examinations, Humphrey standard automated perimetry, peripapillary and macular OCT CirrusTM and MonPack One pERG from Metrovision. Results. The data on normal group were as follow: RNFL thickness 106,3 ± 11,0 μm, GCIPL thickness 83,3 ± 3,5 μm, P50 implicit time 52,7 ms , P50 amplitude 7,9 (3,4 – 15,6) μV, N95 implicit time 101,3 ± 5,2 ms, N95 amplitude 10,6 (6,0 – 18,7) μV. Significant differences were found in RNFL thickness (p = 0,007), P50 amplitude (p = 0,005) and N95 amplitude (p = 0,004) in the early POAG group compared to the normal group, meanwhile on moderate and severe group all of the variable examination result including the GCIPL thickness were significantly different (P<0,05). Positive moderate and weak correlations were found between RNFL thickness in normal group with P50 and N95 amplitude, no correlation between pERG result with GCIPL thickness. Conclusion. Pattern ERG is an objective tools to differentiate between normal and POAG subjects, pERG examination in POAG group especially the severe group needs to evaluate the floor effect by doing the prior OCT examination.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wolffson, James
Edinburgh: Butterworth-Heinemann, 2009
617.715 WOL o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Pterygium is an epithelial conjunctiva bulbi and connective tissue growth that could cause viston problem. Pterygium is mainly found at tropical and subtropical areas. There is no accurate data about pterygium prevalence in Indonesia.Those analyzed were respondents aged 5 years and more from Basic Health Research (RISKESAS) 2010, a cross sectional non intervention study. Diagnosis was made using flashlight and compared it to a chart. Results: The prevalence of pterygium at both eyes was 3.2% and at one eye was 1.9%. The highest prevalence of pterygium atboth eyes was at West Sumatra province (9.4%), the lowest prevalence was at Jakarta province (0. 4%). The highest prevalence of pterygium at one eye was at West Nusa Tenggara province, the lowest was at Jakarta province (0. 2%). The lowest prevalence of pterygium at both eyes as well as at one eye was at those aged 5-9 years (0. 03%) while the highest prevalence were found at age 70 years and more. The prevalence of pterygium at both eyes and the prevalence of pterygium at one eye based on gender were almost similar, the prevalence of pterygium among farmers was the highest (6.1%)and the lowest were among school children (1.0%); the highest prevalence were those with no schooling (11.0%) and the lowest were those that finished Junior High School (1.6%); the highest was at rural area for both eye (3.7%) as well as for one eye (2.2%) as compared to urban area. The prevalence of pterygium of both eyes was highest at lowest household expenditure (3.2%) while the lowest for one eye pterygium ( 1. 7%) at highest household's expenditure. Pterygium is a community health problem at rural areas especially among farmers and sailors that were used for high sunlight exposure. This type eye problem increased among those who lived in the equator.
BULHSR 14:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Klanita Sabira
Abstrak :
Sistem penghantaran obat optalmik dalam bentuk obat tetes mata memiliki waktu tinggal dan bioavailibilitas yang rendah. Maka, untuk meningkatkan waktu tinggal obat pada mata, dilakukan pengujian untuk memuat lensa kontak komersial dengan nanopartikel magnetik (Fe3O4) dan nanopartikel disprosium (Dy). Penelitian dilakukan dengan mensintesis nanosphere Fe3O4-PEG-Dy2O3 dan nanorod Dy(OH)3, kemudian memuat kedua jenis nanopartikel pada permukaan lensa kontak hidrogel poly-2-hydroxyethylmethacrylate (p-HEMA). Hasil karakterisasi XRD dan TEM menunjukkan nanosphere Fe3O4-PEG-Dy2O3 dan nanorod Dy(OH)3 yang disintesis berukuran ±13,67 nm dan ± 96,50 nm dengan diameter ± 19,30 nm. Kedua jenis nanopartikel yang dihasilkan menunjukkan sifat fotoluminesensi yang sesuai dengan sifat fotoluminensi senyawa disprosium yaitu memiliki emisi warna kuning pada panjang gelombang 575 nm. Hasil karakterisasi SEM menunjukkan perubahan penampakan permukaan lensa kontak sebelum dan sesudah termuat nanopartikel yaitu dengan penampakan agregat partikel pada permukaan lensa kontak. Efisiensi penempelan dan profil pelepasan nanopartikel pada lensa kontak menunjukan hasil efisiensi muatan terbaik yaitu sebesar 36,12 % oleh nanorod Dy(OH)3 pada konsentrasi 0,50 mg/mL, sedangkan efisiensi muatan terbaik oleh nanosphere Fe3O4-PEG-Dy2O3 adalah sebesar 30,72% pada konsentrasi 0,50 mg/mL. Pelepasan nanopartikel dari permukaan lensa kontak terjadi pada jam ke-6 hingga jam ke-10, yang menunjukan potensi kedua jenis nanopartikel untuk sistem penghantaran obat melalui permukaan lensa kontak. ......Ophtalmic drug delivery system via eye drops shows low residence time and low bioavailability. This paper proposes an approach to increase residence time of drug, study conducted of loading magnetic and dysprosium nanoparticles to soft contact lenses for ophthalmic drug delivery. Nanospheres Fe3O4-PEG-Dy2O3 and Dy(OH)3 nanorods have successfully synthesized, then the nanoparticles are loaded to the surface of poly-2-hydroxyethylmethacrylate (p-HEMA) contact lenses. TEM and XRD characterization results showed that Fe3O4-PEG-Dy2O3 nanospheres and Dy(OH)3 nanorods have sizes of ±13,67 nm dan ± 96,5 nm with diameter ± 19,3 nm respectively. Both nanoparticles showed photoluminescence characteristics of dysprosium which shows emission at 575 nm of yellow luminescent. SEM image of contact lens showed the difference of blank contact lens and the nanoparticle loaded contact lens with the appereance of particle aggregates on the surface of contact lenses. Nanoparticles attachement efficiency and the nanoparticles release profile were measured shows the best loading efficiency is from Dy(OH)3 nanoparticle with concentration of 0.5 mg/mL, while nanospheres Fe3O4-PEG-Dy2O3 shows 30,72% loading efficiency with concentration of 0.5 mg/mL. Complete nanoparticle release from contact lens happens in 6-10 hours, thus shows the potential of this nanoparticles for drug delivery system via contact lens.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S63690
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sagung Seto, 2012
617.48 MEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>