Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Natasya Nur Faradila Hr
"New Psychoactive Substances (NPS) adalah kelompok zat yang kompleks dan beragam yang sering dikenal sebagai obat perancang atau sintetis, atau dengan istilah sehari-hari yang lebih populer tetapi menyesatkan yaitu legal highs. Menurut Permenkes No. 5 Tahun 2020, terdapat 78 senyawa NPS yang teridentifikasi. Saat ini salah satu golongan senyawa NPS yang beredar di pasar gelap dan banyak pecandunya karena memiliki aktivitas tinggi adalah Fentanil. Senyawa NPS memiliki 13 golongan yaitu senyawa katinon, kanabinoid, fentanil, piperazin, fenetilamin, ketamine & pheniccyclidine, benzodiazepin, barbiturat, opioid sintetis, aminoindan, triptamin, plant-based substances, other substances. Dilakukan prediksi aktivitas secara in silico senyawa-senyawa NPS terhadap makromolekul μ-opioid reseptor menggunakan AutoDock dengan parameter ukuran gridbox 60x60x60 unit dan energi evaluasi medium (2.500.00). Reseptor μ-opioid digunakan karena reseptor ini memiliki aksi agonis langsung terhadap golongan fentanil dan opioid sintetis sehingga ingin diteliti lagi bagaimana aktivitas reseptor μ-opioid terhadap golongan NPS lainnya. Visualisasi interaksi yang dilakukan dengan program PyMOL dan LigPlot+ terhadap makromolekul μ-opioid reseptor menunjukkan golongan NPS yang memiliki energi ikatan mulai dari afinitas dari -5,00 hinga -14,00 kkal/mol. Berdasarkan hasil, pada golongan katinon sintetik, fenetilamin, triptamin, ketamin & phenicylidine, barbiturat, dan aminoindan. Senyawanya menghasilkan frekuensi terbanyak pada rentang energi -5 sampai -7,49 kkal/mol yang menunjukkan aktivitas sedang. Pada golongan Kanabinoid sintetik, fentanil, opioid sintetis, benzodiazepin, plant-based substance dan other substance. Senyawanya menghasilkan frekuensi terbanyak pada rentang -7,5 sampai -10 kkal/mol yang menunjukkan aktivitas tinggi.

(NPS) are complex and diverse group substance often known as either designer or synthetic drugs, or by popular but misleading colloquial term of legal highs. According to Law no. 5 of 2020, there are 78 NPS compounds identified. Currently, there is one class of NPS compounds circulating on the black market, namely Fentanyl. Its availability and ease of accessibility on the black market resulted in many addicts because they have a high activity. NPS compounds have 13 groups, namely cathinones, cannabinoids, fentanyl, piperazine, phenethylamine, ketamine & pheniccyclidine, benzodiazepines, barbiturates, synthetic opioids, aminoindan, tryptamine, plant-based substances, and others. In silico activity prediction of NPS compounds against -opioid receptor macromolecules was performed using AutoDock with grid box size parameters 60x60x60 Ã…and medium evaluation energy (2.500.00). The Î¼-opioidreceptor is used because this receptor has a direct agonist action against the fentanyl group and synthetic opioids, so it is necessary to further investigate how the Î¼-opioid receptor activity against other NPS groups. Interaction visualization performed with PyMOL and LigPlot+ programs on -opioid receptor macromolecules showed NPS groups with binding energies ranging from -5.00 to -14.00 kcal/mol. As a result, In the synthetic cathinone group, phenethylamine, tryptamine, ketamine & phenicylidine, barbiturates, and aminoindan. The compound produces the highest frequency in the energy range of -5 to -7.49 kcal/mol which indicates moderate activity. In the synthetic cannabinoids, fentanyl, synthetic opioids, benzodiazepines, plant-based substances and other substances. The compound produces the highest frequency in the range of -7.5 to -10 kcal/mol which shows high activity. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febby
"Opioid Induced Constipation (OIC) merupakan efek samping yang sering terjadi pada pasien yang mendapatkan pengobatan nyeri akibat kanker maupun non kanker. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas kombinasi terapi akupunktur dengan terapi standar untuk menangani OIC dibandingkan dengan terapi standar saja. Uji klinis acak tersamar tunggal dilakukan pada 46 yang menderita OIC sesuai dengan kriteria ROME IV. Terdapat kelompok akupunktur dengan terapi standar (AT) dan kelompok terapi standar (TS). Kelompok AT mendapatkan 3 sesi terapi akupunktur dalam 1 minggu, selama 30 menit tiap sesinya dengan titik ST25 dan ST37. Terapi standar berupa laktulose 30 mL/hari. Perubahan skor BFI dan PAC-QOL akan di catat dan analisis pada sebelum terapi, 3 hari, 6 hari setelah terapi pertama, dan tambahan pada 13 hari setelah terapi pertama untuk PAC-QOL. Penurunan BFI antar kelompok lebih unggul kelompok AT pada 3 hari (p=0,005) dan 6 hari (p=0,002). Penurunan PAC-QOL antar kelompok lebih unggul kelompok AT pada 3 hari (p<0,001), 6 hari (p=0,001), dan 13 hari (p=0,021). Intervensi akupunktur dengan terapi standar dapat menurunkan skor BFI dan memperbaiki skor PAC-QOL lebih baik dibandingkan dengan terapi standar saja sejak hari ketiga sampai tiga belas hari setelah terapi pertama.

Opioid Induced Constipation (OIC) is a side effect that often occurs in patients receiving pain medication due to cancer or non cancer. The purpose of this study was to determine the effectiveness of a combination of acupuncture therapy with standard therapy to treat OIC compared to standard therapy alone. A single-blind randomized clinical trial was conducted in 46 patients with OIC according to ROME IV criteria. There is an acupuncture group with standard therapy (AT) and a standard therapy group (TS). The AT group received 3 sessions of acupuncture therapy in 1 week, for 30 minutes each session with points ST25 and ST37. Standard therapy is lactulose 30 mL/day. Changes in BFI and PAC-QOL scores will be recorded and analyzed before therapy, 3 days, 6 days after the first therapy, and an additional 13 days after the first therapy for PAC-QOL. The decrease in BFI between groups was superior to the AT group at 3 days (p=0.005) and 6 days (p=0.002). The reduction in PAC-QOL between groups outperformed the AT group at 3 days (p<0.001), 6 days (p=0.001), and 13 days (p=0.021). Acupuncture intervention with standard therapy can reduce BFI scores and improve PAC-QOL scores better than standard therapy alone from the third day to thirteen days after the first therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Milania Djamal
"Latar Belakang Kanker nasofaring menduduki peringkat keempat kanker terbanyak di Indonesia. Di antara gejala-gejalanya, sakit kepala sering dilaporkan dan terkadang menjadi satu- satunya keluhan. Opioid telah lama menjadi pendekatan utama untuk mengatasi nyeri kanker neuropatik; namun efektivitasnya sering kali dianggap kurang optimal. Akibatnya, obat-obatan tambahan, termasuk Gabapentin, sering kali diintegrasikan ke dalam rejimen pengobatan untuk meningkatkan manajemen nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kemanjuran terapi opioid saja dan terapi kombinasi dalam pengobatan nyeri kanker. Metode Sebuah studi kohort retrospektif dilakukan dengan meninjau rekam medis dari dua rumah sakit di Jakarta, Indonesia. Penelitian ini mencakup sampel 139 pasien yang didiagnosis menderita kanker nasofaring. Ekstraksi data meliputi demografi pasien, resep opioid awal dan akhir, intensitas nyeri awal dan akhir yang dinilai dengan Numerical Rating Scale (NRS), jenis kanker nasofaring, dan peresepan gabapentin. Hasil Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam rata-rata penurunan NRS. Pasien dalam kelompok terapi kombinasi, termasuk gabapentin sebagai bahan pembantu, mengalami penurunan rata-rata skor Numerical Rating Scale (NRS) sebesar 2,141, sedangkan pasien pada kelompok opioid saja mengalami penurunan rata-rata skor NRS sebesar 0,894. Kesimpulan Studi ini menyoroti penurunan signifikan secara statistik pada rata-rata skor NRS, yang menegaskan potensi kemanjuran gabapentin sebagai bahan tambahan opioid dalam mengurangi nyeri kanker di antara pasien kanker nasofaring.

Introduction Nasopharyngeal cancer ranks as the fourth most prevalent cancer in Indonesia. Among its symptoms, headaches are frequently reported and, at times, can be the sole complaint. Opioids have long been the primary approach to managing neuropathic cancer pain; nonetheless, their effectiveness is often considered suboptimal. As a result, adjuvant medications, including Gabapentin, are frequently integrated into treatment regimens to augment pain management. This study aims to compare the efficacy of opioid-only and combination therapy in the treatment of cancer pain. Method A retrospective cohort study was undertaken by reviewing medical records from two hospitals in Jakarta, Indonesia. The study encompassed a sample of 139 patients diagnosed with nasopharyngeal cancer. Data extraction included patient demographics, initial and final opioid prescriptions, initial and final pain intensity assessed by the Numerical Rating Scale (NRS), type of nasopharyngeal cancer, and the prescription of gabapentin. Results Statistical analysis demonstrated a significant difference in mean NRS reduction. Patients in the combination therapy group, including gabapentin as an adjuvant, experienced a mean reduction of 2.141 in Numerical Rating Scale (NRS) scores, while those in the opioid-only group had a mean reduction of 0.894 in NRS scores. Conclusion The study highlighted the statistically significant reduction in mean NRS scores, affirming the potential efficacy of gabapentin as an adjuvant to opioids in alleviating cancer pain among nasopharyngeal cancer patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Salma Salahuddin
"Sindrom putus obat opioid terjadi setelah penghentian konsumsi opioid secara-tiba-tiba, dengan gejala seperti hidung berair, nyeri otot, ansietas, kondisi kedinginan atau kepanasan, dilatasi pupil, menguap, gangguan gastrointestinal, dan peningkatan detak jantung. Penyalahgunaan opioid masih menjadi masalah utama di dunia, sehingga penanganan terhadap sindrom putus obat pada penyalahguna opioid yang tepat sangat diperlukan, terutama penanganan farmakologi. Penulisan review atau ulasan ini bertujuan untuk menelusuri, mengetahui, dan mengkaji manajemen pengobatan terkini yang dilakukan pada pasien yang menyalahgunakan opioid. Pemilihan dan penelusuran pada penulisan ini dilakukan pada PubMed, Sciencedirect, dan SpringerLink, dengan menggunakan kata kunci “opioid withdrawal syndrome treatment” dengan kombinasi “heroin”, “fentanyl”, “morphine”, kemudian artikel yang diterbitkan tidak kurang dari tahun 2015 dan diseleksi berdasarkan batasan yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil penelusuran literatur, ditemukan sebanyak 21 publikasi, yang umumnya merupakan penyalahguna heroin, dengan penanganan farmakologi yang dilakukan yaitu terapi utama, terapi off label, terapi tambahan, tunggal maupun kombinasi. Penatalaksanaan terapi ini dapat dilakukan secara residensial maupun tidak. Terapi utama yang dilakukan dalam menangani sindrom putus obat opioid pada penyalahguna opioid berdasarkan literatur adalah naltrekson, buprenorfin, metadon, lofeksidin, dronabinol, oksitosin, tramadol, pexacerfont, pioglitazon. Beberapa terapi simtomatik yang bisa diberikan diantaranya antiemetik, antidiare, antiansietas, antiinflamasi nonsteroid, dan sebagainya. Setiap obat yang diteliti memiliki efek yang beragam dan hampir semua obat berpengaruh besar dalam menangani sindrom putus obat opioid. Pemilihan jenis terapi farmakologi dan keinginan setiap individu untuk menerima pengobatan sindrom putus obat opioid menjadi faktor penting dalam keberhasilan terapi, yang terlihat dari penilaian putus obat opioid berdasarkan kriteria objektif, subjektif, maupun klinis

Opioid withdrawal syndrome, symptoms appeared after abrupt discontinuation of opioid, is characterized by rhinorrhea, muscle pain, yawning, anxiety, gooseflash, mydriasis, gastrointestinal upset, and increased pulse rate. Opioid abuse remain the major problem in most country. To manage withdrawal syndrome, proper management especially pharmacological treatment is needed with the intention of improving the quality of life, reducing craving and preventing another misuse. The purpose of this article review was to identify, evaluate and analyze the recent pharmacological management of withdrawal syndrome in opioid abusers published in article. This review was done with literature search from 2015, performed through PubMed, ScienceDirect, and SpringerLink using the following terms “Opioid Withdrawal Syndrome Treatment”, and additional “heroin”, “fentanyl”, “morphine”, subsequently chosen based on the specific limitation. Results were found with 21 publications, with opioid misuse mostly from heroin. Variety of pharmacological treatment available for opioid withdrawal syndrome includes main therapy, off-label, adjunct medication, with or without combinations, which can be applied for inpatient or outpatient. Literature search about opioid withdrawal syndrome management resulted in the use of naltrexone, buprenorphine, methadone, lofexidine, dronabinol, oxytocin, tramadol, pexacerfont, and pioglitazone. Some symptomatic therapies are indicated for emetic, diarrhea, anxiety, inflammation, and other purposes. Almost all medications used here improved the opioid withdrawal syndrome. Group of drugs used for treatment and willingness of getting therapy in every individual become factors for the withdrawal completion rate, which is usually seen with opioid withdrawal assessment, either in subjective, objective, or clinical"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rurynta Ferly Shavira
"Pengobatan nyeri kanker terutama dengan analgesik opioid. Namun karena minimnya pengetahuan pasien dan kesalahpahaman terkait analgesik opioid, membuat pasien menjadi tidak patuh dalam terapinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan membandingkan seberapa besar pemberian konseling dan booklet digital mempengaruhi tingkat kepatuhan dan skala nyeri di Rumah Sakit Kanker Dharmais dari Maret-April 2021. Penelitian dilakukan dengan desain kuasi-eksperimental dengan pretest-posttest pada 134 responden terdiri atas kelompok konseling (n=67 orang) dan kelompok booklet digital (n=67 orang) dengan alat ukur MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale-8) dan pill count untuk kepatuhan dan NRS (Numerical Rating Scale) untuk skala nyeri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling dan booklet digital masing-masing dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan analgesik opioid (P=0,000) dan menurunkan skala nyeri (P=0,000). Kesimpulannya, kedua intervensi efektif dalam meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan analgesik opioid dan menurunkan skala nyeri pada pasien nyeri kanker namun efektivitas konseling lebih baik dibandingkan booklet digital.

The treatment of cancer pain is primarily with opioid analgesics. However, due to the lack of patient knowledge and misconceptions regarding opioid analgesics, patients became not adhere to their therapy. This study aimed to analyze and compare counseling and digital booklet affected the adherence and pain scale at Dharmais Cancer Hospital from March to April 2021. The study was conducted with a quasi-experimental design on 134 respondents consisting of a counseling group (n=67) and a digital booklet group (n=67) with Morisky Medication Adherence Scale-8 and pill count to measure adherence and Numerical Rating Scale measure pain. The results showed that each counseling and digital booklet improve adherence to opioid analgesics (P=0.000) and decrease pain scale (P=0.000). In conclusion, both interventions are effective, but adherent increasing and pain scale reduction by counseling is better than a digital booklet."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library