Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raden Kusumadewi
Abstrak :
Latar Belakang: Prolaps organ panggul (POP) pada wanita menimbulkan morbiditas. Untuk mengurangi angka re-operasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien dibutuhkan peningatan kualitas pelayanan secara terus menerus. Guideline yang saat ini secara luas dipakai dalam penatalaksanaan POP di Indonesia adalah Panduan Penatalaksanaan POP PB HUGI-POGI pada tahun 2013. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui insidensi POP dan melakukan audit kesesuaian pada penatalaksanaan kasus POP di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2016-2018. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain penelitian cross-sectional menggunakan data sekunder. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien POP yang didiagnosis dan mendapat tatalaksana di Polikinik Uroginekologi RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Januari 2016 sampai dengan Desember 2018, diikuti oleh wawancara pasien yang dipilih secara acak tentang follow up pasca operasi. Hasil: Terdapat 252 kasus prolaps organ pelvis di tahun 2016-2018 dengan prevalensi 15,96%. Proporsi kesesuaian anamnesis tatalaskana POP konservatif dan operatif adalah 88,1% dan 82,8%, pemeriksaan fisik 93,1% dan 97,3%, 100% pada informasi pemilihan tatakasana dan informed consent. Kepatuhan follow up 6 bulan dan 12 pasca operasi adalah masing-masing 40,4% dan 26,5%. Ketidakcocokan dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik disebabkan oleh beberapa formulir penilaian yang harus diisi serta formulir penilaian uroginekologi yang tidak terlampir dengan catatan medis pasien. Kesimpulan: Panduan usulan pelayanan asesmen pasien POP dengan penulisan pada formulir asesmen uroginekologi yang telah diperbaharui dan mengintegrasikan ke dalam rekam medik menjadi usulan berdasarkan hasil audit. ......Background: Pelvic organ prolapse (POP) in women causes significant morbidity. In order to reduce the number of re-operations and improve the quality of life of patients, consistent quality of patient care is required. The Executive Board of the Urogynecology Association of the Indonesian Obstetrics & Gynecology Associations 2013 POP guideline is widely used in Indonesia, but compliance to the guidelines needed to be evaluated. This study aimed to investigate the incidence of POP and to audit POP management in Cipto Mangunkusumo General Hospital, Indonesia, in 2016-2018. Method: This was a cross-sectional study on the medical records of POP patients who were diagnosed and treated at the Urogynecology Outpatient Clinic, Cipto Mangunkusumo General Hospital in January 2016 to December 2018, followed by randomly selected patient interview about follow-up discrepancy. Results: There were 252 cases of POP in 2016-2018, with a prevalence of 15.96%. Proportion of conformities in POP management with conservative and operative management was 88.1% and 82.8% in history taking, 93.1% and 97.3% in physical examination, both 100% in examinations and informed consent. Compliance of 6 months and 12 months follow up in operative management was 40.4% and 26.5%, respectively. Mismatches in history taking and physical examination were due to multiple assessment forms that have to be completed as well as unintegrated urogynecology assessment form with patients medical record. Conclusion: Our audit suggests that urogynecology assessment form should be integrated into patients medical records is needed to improve patient care. A patient book should be provided to improve follow-up rates.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ario Legiantuko
Abstrak :
Latar belakaog : Prevalensi penderita prolaps organ panggul (POP) terus bertambah, seiring dengan angka harapan hidup yang meningkat. Berbagai studi telah dilakukan untuk melihat terapi pasien POP. Pesarium merupakan pitihan utama terapi POP, tetapi sampai saat ini sangat sedikit literatur yang membahas evaluasi penggunaan jangka panjangnya. Tujuan : Mengetahui perbaikan kualitas hidup pasien POP yang diterapi dengan pesarium, dibandingkan sebelum pemasangan dengan bulan ketiga dan keenam pasca pemasangan. Metode : Pasien POP yang bersedia ikut penelitian akan diberikan kuesionar dengan cara anamnesis terpimpin. Kuesioner yang digunakan adalah Pelvic Floor Distress 111Ventoryshort form 20 (PFDI-20) dan Pelvic Floor Impact Questionnaire-shortform 7 (PFIQ-7) yang sudah diterjemahkan. Setelah pemasangan berhasil, akan dilakukan follow up pada bulan ketiga dan keenam pasca pemasangan, serta dilakukan penilaian efek samping penggunaan pesarium, yaitu keluhan saluran kemih bagian bawah, vaginitis, dan erosi vagina. Basil : Terdapat 51 SP ikut serta dalam penelitian, dengan 45 SP meneruskan penggunaan pesarium setelah menyelesaikan penelitian dan 6 SP melanjutkan terapi operasi. Penilaian kualitas hidup mendapatkan hasil bermakna pada bulan ketiga dan keenam dibandingkan dengan awal penelitian, baik dengan kuesioner PFDI-20 maupun PFIQ-7. Kesimpulan : Terdapat perbaikan kualitas hidup pasien POP setelah penggunaan pesarium selama 6 bulan. ......Background: Prevalence of womens with pelvic organ prolapse have increased by day, correspond to higher life expectancy. There are many study that observe the best treatment for pelvic organ prolapse. Pessary is one of them, but until now only few literature tells about the effect of this treatment for improving quality of live. Objective: To understand the improvement of quality of life in women with pelvic organ prolapse, before and after six months pessary treatment. Methods: Womens presenting for pessary insertion completed both Pelvic Floor Distress Inventory-short form 20 (PFDI-20) and Pelvic Floor Impact Questionnaire-short form 7 (PFIQ-7). After successful pessary insertion, subjects were reviewed after 3 and 6 months treatment. Result: There were 51 subjects enrolled in this study, with 45 subjects continued the used of pessary after fmished the study and 6 subjects were changed into surgery. There were statistically and clinically significant improvements of quality of life, after 3 and 6 months treatment with pessary, both using PFDI-20 and PFIQ-7 questionnaire. Conclusion: The use of pessary for 6 months reduces symptoms and improves the quality of life in women with pelvic organ prolapse.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58020
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Rinaldi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang:Berdasarkan International Continence Society(ICS), inkontinensia urin merupakan keluhan dari kebocoran urin sebagai hasil dari abnormalitas fungsi saluran kemih bagian bawah atau sekunder dari penyakit tertentu yang dapat mengganggu kehidupan perempuan secara fisik, psikologis, dan sosial. Pada tahun 2003, prevalensi inkontinensia urin pada perempuan di seluruh dunia sebesar 17-50% dengan jenis yang paling sering adalah jenis tekanan (50%). Hipermobilitas leher kandung kemih merupakan salah satu dasar patologi dari inkontinensia tipe tekanan. Kondisi hipermobilitas leher kandung kemih dan uretra dapat membantu lebih memahami patofisiologi dari inkontinensia urin tipe tekanan yang terjadi. Penelitian ini ditujukan untuk menilai hubungan profil pergerakan leher kandung kemih dengan prolaps kompartemen anterior vagina pada pasien dengan inkontinensia urin jenis tekanan pada pasien dengan prolaps organ panggul.

Metode:Studi ini memiliki desain potong lintang pada 112 subjek dengan riwayat POP yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data yang diambil pada penelitian ini adalah bladder neck descent(BND), retrovesical angle(RVA), Rotational urethra(RoU), funneling, titik Aa dan Ba pada POP-Q.

Hasil:Data penelitian menunjukan inkontinensia tipe tekanan terjadi pada 50% subjek dengan POP. Pada analisis data didapatkan perbedaan yang signifikan antara funneling, sudut RVA dan sudut RoU dengan kejadian inkontinensia urin. Cutoff sudut RVA didapatkan bernilai 130.570dengan sensitivitas 64,3% dan spesifisitas 55.4%. Cutoff sudut RoU didapatkan bernilai 41.560dengan sensitivitas 76,8% dan spesifisitas 67,9%. Hasil yang didapatkan menunjukan hubungan yang bermakna pada analisis multivariat.

Kesimpulan:Terdapat perbedaan yang bermakna antara sudut RVA, sudut RoU, dan riwayat funneling terhadap inkontinensia urin tipe tekanan pada perempuan dengan POP. Tidak terdapat perbedaan nilai penurunan Titik Aa, titik Ba, dan penurunan leher kandung kemih antara perempuan kontinensia dengan inkontinensia jenis tekanan. Sudut RVA, sudut RoU, dan riwayat funneling dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya inkontinensia tipe tekanan pada subjek dengan POP.
ABSTRACT
Background:Stress type urinary incontinence is a pressure induced urinary leakage caused by functional abnormality of lower urinary tract or other disease that cause physical, psychological, and social disturbance in female. The prevalence of urinary incontinence is 17-50% around the world with 50% of them are stress type urinary incontinence. Bladder neck mobility is one of the main pathology of stress type urinary incontinence. Observation of bladder neck mobility and urethra in stress type incontinence may increase the understanding of the urinary incontinence pathophysiology. This study is aimed to quantify the relation between bladder neck mobility profile and anterior compartment vaginal prolapse with stress-type urinary incontinence in patient with pelvic organ prolapse.

Method:The study is a cross-sectional study with 112 subjects with history of pelvic organ prolapse and suits inclusion and exclusion criteria. Data obtained in this study are bladder neck descent (BND), retrovesical angle (RVA), rotational urethra (RoU), funneling, point Aa and Ba from POP-Q.

Results:This study found stress-type urinary incontinence in 50% subjects with POP. In this study, significant difference found in funneling, RVA, and RoU between female with and without urinary incontinence. Cutoff of RVA obtained from this study are 130.570with 64.3% sensitivity and 55.4% specificity. Cutoff of RoU obtained from this study are 41.560with 76,8% sensitivity and 67,9% specificity. Cutoff result shows significant correlation with stress type urinary incontinence on multivariate analysis.

Conclusion:There are significant difference in RVA, RoU, and funneling between female with and without stress type urinary incontinence. There are no significant difference in point Aa, point Ba, and bladder neck descent between female with and without urinary incontinence. Funneling, RVA, and RoU can predict incidence of stress type urinary incontinence in female with POP.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhair
Abstrak :
Latar belakang: Prolaps organ panggul merupakan salah satu kondisi fisik yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan disfungsi seksual pada perempuan. Pembedahan rekonstruksi adalah salah satu pilihan yang dapat dilakukan dalam tatalaksana prolaps organ panggul pada perempuan seksual aktif. Dengan adanya perbaikan anatomis dasar panggul setelah pembedahan, diharapkan akan terjadi perbaikan gejala disfungsi seksual yang terjadi sebelum pembedahan. Objektif: Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis adanya perubahan gejala disfungsi seksual yang dinilai dengan kuesioner FSFI-6 Indonesia sebelum dan 3 bulan sesudah pembedahan prolaps organ panggul, serta faktor yang mempengaruhinya. Metode: Kohort prospektif observasional pre-post without control study pada perempuan prolaps organ panggul seksual aktif yang direncanakan untuk pembedahan mulai Maret 2020 hingga Mei 2021 di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Fatmawati Jakarta. Dari 33 pasien yang direncanakan pembedahan rekonstruksi, rerata usia 56.83 ± 7.97 tahun, telah diberikan informed consent dan menyetujui untuk mengikuti penelitian, dilakukan pemeriksaan uroginekologi dan pengisisan kuesioner FSFI-6. Tiga bulan setelah pembedahan, dilakukan pengisisan kuesioner kedua dan pemeriksaan kembali di poli uroginekologi. Terdapat 3 pasien drop out dari penelitian, sehingga jumlah data yang dapat dialanilis adalah 30. Dilakukan analisis data untuk tujuan utama yaitu analisis perubahan skor FSFI setelah pembedahan dan pengaruh dari faktor usia, paritas, indeks massa tubuh, komorbiditas dan derajat prolaps. Sebagai data tambahan dilakukan penilaian perubahan genital hiatus dan total panjang vagina sebelum dan sesudah pembedahan. Hasil: Terdapat perbaikan total skor FSFI-6 sebelum dan sesudah pembedahan prolaps organ panggul yang bermakna dari 15.00±5.42 menjadi 17.90±4.38 dengan rerata perubahan 2.9 (p=0.000). Tidak terdapat pengaruh usia, paritas, IMT, derajat prolaps dan komorbiditas terhadap perubahan total skor FSFI. Rerata perubahan total panjang vagina dari 7.97±0.77 menjadi 6.80±0.87 (p=0.003) dan genital hiatus berkurang dari 5.57 ± 1.0 menjadi 3.28 ± 0.46 (p=0.000). ......Background: Pelvic organ prolapse (POP) have an impact on sexuality. Few studies evaluate the impact of sexual function after POP surgery showed varied difference results. Reconstructive surgery as a choice to recovery anatomical of pelvic floor in POP was expected to improved sexual function. Objective: The aim of this study to evaluate the changes of total sexual function index and all its domain after reconstructive surgery on POP and determine factors associated with this score changing. Methods: This cohort prospective observasional pre-post without control study performed between March 2020 and May 2021 in 33 patients sexually active with POP, mean age 56.83 ± 7.97 years, underwent reconstructive surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital and Fatmawati Hospital in Jakarta. All patients gave informed consent and completed the Female Sexual Function Index (FSFI)-6 Indonesian version’s questionnaire before surgery and underwent urogynaecological examination assessment. Three months after surgery patients repeated the FSFI questionnaire and a clinical check-up. There were 3 patients drop out from study and 30 patients complete the questionnaire. The primary end-point was post-operative sexual function as evaluated by the FSFI, the secondary end-points were determined factors associated whether the sexual function was related to age, parity, body mass index, comorbidity or severity of prolaps. The additional aim of this study was to calculate the change of objective anatomical genital hiatus and total vaginal length that measured with POPQ. Results: Preoperatively, the total FSFI score was 15.00 ± 5.42 and postoperatively 17.90 ± 4.38, giving a significant difference of 2.90 ± 1.04 (p<0.001). The median post-operative scores of all domains showed positive improvements. Twenty two women (76.6%) improved their FSFI-6 score postoperatively, six (20%) had an equal score, and one (3.3%) reported a lower score. There was no significant related factors associated the change of sexual function index to age, parity, body mass index, comorbidity and severity of prolapse in this study. In regards to vaginal anatomy, vaginal length was a lite shortly postoperatively from 7.97±0.77 to 6.80±0.87 (p=0.003), and vaginal caliber was significantly narrowed from 5.57 ± 1.0 to 3.28 ± 0.46 width (p=0.000). Conclusions: Our study results demonstrate that reconstructive surgery of POP resulting an improvement of total score sexual function index.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Fikri Ali Akbar
Abstrak :
Latar Belakang Prolaps organ panggul (POP) merupakan perubahan posisi organ-organ penyusun panggul dari posisi normal. Ballooning atau distensi otot levator ani dinilai menjadi penyebab POP. Penentuan balloning sejauh ini masih menggunakan USG 3D/4D yang tidak banyak ada di Indonesia. Diperlukan penelitian perbandingan ballooning dan non-ballooning dengan USG 2D untuk menentukan ballooning dengan panjang antero-posterior (AP) hiatus levator ani. Metode Digunakan metode deskriptif analitik menggunakan perbandingan rerata dengan desain penelitian potong lintang retrospektif dan pemilihan sampel penelitian secara konsekutif. Didapatkan sebanyak 72 subjek dengan 37 orang berada pada kelompok ballooning. Hasil Usia kelompok ballooning dan non-ballooning berada pada usia dewasa tua (60.35 ± 11.06 vs 56.54 ± 11.14 tahun, p=0.096), obesitas (26.73 ± 3.94 vs 24.53 ± 2.88 kg/m2, p=0.015), aktivitas berat (51.3% vs 65.7%, p=0.217), pekerjaan ibu rumah tangga (64.8% vs 65.7%, p=0.893), multiparitas (72.9% vs 60.0%, p=0.210), menopause (75.6% vs 74.2%, p=0.892), bayi lahir terberat ≥ 3500 gram (56.7% vs 45.7%, p=0.349), dan persalinan normal (83.7% vs 88.5%, p=0.420). Rerata anteroposterior ballooning lebih besar dibandingkan non-ballooning (7.09 ± 0.63 vs 5.56 ± 0.64 cm) dengan seluruh subjek ballooning memiliki panjang AP di atas 6 cm (<0.001). Kesimpulan Obesitas dan berat badan berhubungan dengan adanya ballooning pada pasien POP. Perbandingan AP hiatus levator ani menunjukkan perbedaan sehingga skrining ballooning berdasarkan panjang AP hiatus dapat dilakukan untuk membedakan kedua kelompok. ......Introduction Pelvic organ prolapse (POP) is a change in the position of the organs that make up the pelvis from their normal position. Ballooning or distension of the levator ani muscle is considered to cause POP. This determination of ballooning still uses 3D/4D ultrasound, which is not widely available in Indonesia. Comparative research between ballooning and non-ballooning with 2D ultrasound is needed to determine the ballooning through anteroposterior (AP) length of the levator ani hiatus. Method The analytical descriptive method was used using mean comparisons with a retrospective cross-sectional research design and consecutive research sample selection. There were 72 subjects with 37 people in the ballooning group. Results The ages of the ballooning and non-ballooning groups were older adults (60.35 ± 11.06 vs 56.54 ± 11.14 years, p=0.096), obesity (26.73 ± 3.94 vs 24.53 ± 2.88 kg/m2, p=0.015), heavy activity (51.3% vs 65.7%, p=0.217), housewife work (64.8% vs 65.7%, p=0.893), multiparity (72.9% vs 60.0%, p=0.210), after menopause (75.6% vs 74.2%, p=0.892) , the heaviest baby born ≥ 3500 grams (56.7% vs 45.7%, p=0.349), and normal delivery (83.7% vs 88.5%, p=0.420). The mean anteroposterior ballooning was greater than non-ballooning (7.09 ± 0.63 vs 5.56 ± 0.64 cm) with all ballooning subjects having an AP length above 6 cm (<0.001). Conclusion Obesity and body weight are associated with ballooning in POP patients. Comparison of the AP hiatus of the levator ani shows differences so that ballooning screening based on the length of the AP hiatus can be performed to differentiate the two groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthonyus Natanael
Abstrak :
Latar belakang: Prolaps organ panggul (POP) didefinisikan sebagai turunnya visera pelvis (uterus, kandung kemih, uretra, dan rektum) dari posisi normal. Otot levator ani merupakan penopang panggul yang berperan penting dalam patogenesis POP. Studi sebelumnya menunjukkan terdapat perbedaan luas area hiatus dan panjang anteroposterior hiatus levator ani pada setiap derajat keparahan POP. Diagnosis POP dapat ditegakkan dengan POP-Q, namun pelaksanannya masih terbatas sehingga dibutuhkan alat pemeriksaan lain untuk skrining pasien. Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan metode consecutive sampling. Peneliti mengidentifikasi subjek POP dengan dan tanpa keluhan benjolan. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian ini menjalani pemeriksaan POP-Q, panjang genital hiatus (Gh) dan perineal body (Pb), dan pemeriksaan USG translabial 3D/4D. Data dianalisis menggunakan SPSS Statistics 20 dengan uji T tidak berpasangan untuk membandingkan rerata parameter luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani. Selanjutnya dilakukan analisa ROC untuk mendapatkan nilai titik potong dengan estimasi sensitifitas dan spesifisitas terbaik untuk membedakan prolaps bergejala dan tidak bergejala benjolan. Hasil: Sebanyak 109 subjek ikut serta dalam penelitian ini. Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus (28,9+5,59 vs 19,6+4,63, p < 0,05 saat valsalva, 15,2+4,08 vs 12,5+3,15, p <0,005 saat kontraksi) dan panjang anteroposterior levator ani (8,6+1,06 vs 6,8+1.13, p<0,05) antara kelompok dengan keluhan benjolan dan kelompok tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani untuk membedakan subjek dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan adalah 25,1 cm2 [sensitifitas 84,6%, spesifisitas 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] dan 7,75 cm [sensitifitas 87,2%, spesifisitas 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)]. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus dan panjang anteroposterior levator ani antara kelompok dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas hiatus 25,1 cm dan panjang anteroposterior 7,75 cm memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik untuk membedakan kedua kelompok. ......Introduction: Pelvic organ prolapse (POP) is defined as descent of the pelvic viscera (uterus, bladder, urethra, and rectum) from its normal position. Levator ani muscle is the largest component of pelvic floor that plays an important part in POP pathogenesis. Previous study showed that there was difference in levator hiatus area and anteroposterior length on every grade of POP. The diagnosis of POP can be established from POP-Q tool, however its use is still very limited within its subspecialist practice causing the need of a new screening tool. Methods: This was a cross-sectional study with consecutive sampling method. We classified POP subject with bulge symptom and without bulge symptom. Subjects that were willing to participate in this study under underwent POP-Q examination and 3D/4D transperineal ultrasonography. Data were analyzed using SPSS Statistics 20 with student’s t-test to compare levator hiatus area and anteroposterior length mean between 2 group. Results: A total of 109 subjects were included in this study. There was a significance difference in levator hiatus area (28.9+5.59 cm2 vs 19.6+4.63 cm2, p < 0/05 during valsalva maneuver, 15.2+4.08 cm2 vs 12.5+3.15 cm2, p <0.05 during contraction) and anteroposterior length (8.6+1.06 c, vs 6.8+1.13 cm, p<0,05) between group with bulge symptom and without bulge symptom. Levator hiatus area and anteroposterior length cutoff to differentiate between subject with and without bulge symtoms was respectively 25,1 cm2 [sensitivity 84,6%, specificity 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] and 7,75 cm [sensitivity 87,2%, specificity 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)]. Conclusion: There was a significant difference in levator hiatus area and anteroposterior length between group with and without bulge symptom. Levator hiatus area cut off at 25,1 cm2 anteroposterior length cut off at 7.75 cm showed good sensitivity and specificity to differentiate between 2 group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Indah Lestari
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Prolaps Organ panggul POP adalah tonjolan atau penonjolan organ panggul dan segmen yang terkait vagina ke dalam atau melalui vagina.1 POP Sering dijumpai pada wanita dewasa dan usia lanjut.1-3 Umumnya wanita yang menderita POP datang dengan keluhan adanya benjolan pada vaginanya.9,10 Gangguan pada fungsi seksual jarang dikeluhkan, namun dari kepustakaan diketahui bahwa pasien prolaps stage 3-4 terkait dengan sulitnya pencapaian orgasme.13 Sedangkan Roovers dkk melaporkan prevalensi disfungsi seksual sebesar 68 pada pasien POP. Sayangnya, Di Indonesia sendiri penelitian mengenai disfungsi seksual pada penderita POP cukup jarang, bahkan peneliti sendiri belum mendapatkan datanya. Oleh karena itu penting dilakukan penelitian mengenai prevalensi disfungsi seksual pada pasien prolaps organ panggul.Tujuan : Mengetahui prevalensi disfungsi seksual pada penderita prolaps organ panggulMetode: Dengan desain potong lintang, di dua rumah sakit pusat rujukan di Jakarta RSUPN Ciptomangunkusumo dan RSUP Fatmawati . Semua pasien POP yang memenuhi kriteria inklusi mengisi kuesioner indeks fungsi seksual FSFI-19 , kemudian dilakukan analisis data univariat untuk karakteristik data subjek, dan bivariat untuk mengetahui hubungan antara variable dependen dan independen.Hasil: Dari 82 data yang dianalisis, prevalensi disfungsi seksual pada pasien POP mencapai 57,3 . Sedangkan sebagian besar pasien POP juga sudah mengalami menopause dengan prevalensi sebesar 76.8 . Prevalensi disfungsi seksual pada pasien POP yang sudah menopause sebesar 66,7 . Dari hasil analisis bivariat, usia, menopause, obesitas dan stadium prolaps adalah faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian disfungsi seksual pada pasien POP. Variabel usia, merokok, menopause, obesitas dan stadium prolaps, memiliki nilai p 60 dengan OR 8 IK95 2,45- 26,12 , dan obesitas IMT 30 kg/m2 dengan OR 0,30 IK 95 0,09-0,98 .Kata kunci : prolapse organ panggul, disfungsi seksual, fungsi seksual, seksual aktif
ABSTRACT
AbstractBackground Pelvic Organ Prolapse POP is a bulge or protrusion of pelvic organs and related segments into or through the vagina vagina.1 POP often be found in adult women and older people.1 3 Generally, women who suffer from POP present with a lump vaginal .9,10 Disturbances in sexual function rarely complained, but from the literature it is known that patients with stage 3 4 prolapse associated with difficulty in achieving a orgasme.13 While Roovers et al reported the prevalence of sexual dysfunction was 68 in patients with POP. Unfortunately, in Indonesia, research on sexual dysfunction in patients with POP quite rare, even the researchers themselves do not get the data. It is therefore important to do research on the prevalence of sexual dysfunction in patients with pelvic organ prolapse and factors associated with sexual dysfungtion among them.Objective To determine the prevalence of sexual dysfunction in patients with pelvic organ prolapse and factors associated with sexual dysfungtion among them.Methods A cross sectional design, in two referral hospitals in Jakarta RSUPN Ciptomangunkusumo and Fatmawati Hospital All patients who met the inclusion criteria POP fill out a questionnaire of sexual function index FSFI 19 , then performed univariate analysis of data on the characteristics of the data subject, bivariate and multivariate analysis to know the relationship between the dependent and independent variablesResults Of the 82 analyzed data, the prevalence of sexual dysfunction in patients with POP reached 57.3 . While most of the patients had experienced menopause POP also with a prevalence of 76.8 The prevalence of sexual dysfunction in patients who are menopausal POP by 66.7 . From the results of the bivariate analysis, age, menopause, obesity and stage of prolapse is a significant risk factor on the incidence of sexual dysfunction in patients with POP. The variables of age, smoking, menopause, obesity and stage of prolapse, p 60 with an OR 8 IK95 2,45 26.12 , and obesity BMI 30 kg m2 with an OR of 0.30 CI 95 0.09 to 0.98 . Keywords pelvic organ prolapse, sexual dysfunction, sexual function, sexually active
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58898
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Finish Fernando
Abstrak :
Latar Belakang: Prolaps Organ Panggul (POP) dikelompokkan menjadi prolaps dinding anterior, posterior dan puncak vagina. 40% wanita dengan POP dinding anterior vagina memiliki elongasio serviks yang akan mempengaruhi tatalaksana pembedahan POP. Terdapat beberapa alat untuk mengukur panjang serviks, diantaranya Pelvic Organ Prolapse Quantifications System (POP-Q), dengan mengukur perbedaan titik C dan D. Sampai saat ini belum terdapat penelitian yang menguji sensitivitas, spesifisitas dan akurasi pemeriksaan POP-Q dalam mengukur panjang serviks untuk mendiagnosis elongasio serviks pada pasien POP. Tujuan: Diketahuinya nilai sensitivitas, spesifisitas dan akurasi POP-Q untuk menilai panjang serviks sebagai diagnosis elongasio serviks pada pasien POP dengan baku emas pengukuran anatomi serviks dari hasil histerektomi. Metode: Uji diagnosis, potong lintang, consecutive sampling. Data diambil dari pemeriksaan POP-Q dan pengukuran anatomi serviks dari hasil histerektomi. Hasil: 66 subjek, 1.5% POP derajat 2, 45.5% POP derajat 3 dan 53.0 % POP derajat 4. Rerata (± sb) usia dan indeks massa tubuh (IMT) berturut-turut 59.88 tahun (± 9.347) dan 24.41 (± 3.67) kg/m2. Median (min-maks) PS POPQ dan PS Anatomi berturut-turut 4 cm (1-12) dan 5 cm (3-10). Sensitivitas, Spesifisitas dan Akurasi POP-Q berturut-turut 79%, 58% dan 68%. Kesimpulan: Pemeriksaan POPQ memiliki spesifitas yang baik (79%) tetapi dengan sensitivitas yang kurang baik (58%) dan akurasi 68% untuk diagnosis elongasio serviks pada prolaps organ panggul.
Background: Pelvic Organ Prolapse (POP) categorized as anterior, posterior and apical prolapse. 40% women with anterior POP have cervical elongation. Cervical elongation will make difference in surgical POP treatment. There are several tool for measure cervical length, one of them is Pelvic Organ Prolapse Quantifications System (POP-Q), by measure difference in point C and D. Until now, there is no research to measure sensitivity, specificity and accuracy of POP-Q to measure cervical length for cervical elongation diagnose in POP patients. Objective: To know sensitivity, specificity and accuracy of POP-Q to measure cervical length for cervical elongation diagnose in POP patients with gold standard was anatomical cervical length from hysterectomy result. Methode: Diagnosis research, cross sectional, consecutive sampling. POP-Q was taken before operation and anatomi cervical length was from hysterectomy result. Result: 66 subject, 1.5% 2nd degree POP, 45.5% 3rd degree POP, and 53.0 % 4th degree POP. Mean (± sd) age and body mass index consecutively 59.88 years (± 9.347) and 24.41 (± 3.67) kg/m2. Median (min-max) cervical length POP-Q and anatomy consecutively 4 cm (1-12) and 5 cm (3-10). Sensitivity, Spesifisity dan Accuracy POP-Q consecutively 79%, 58% dan 68%. Conclussion: POPQ has good specificity (79%) but with less sensitivity (58%) with accuracy 68% to diagnose cervical elongation in POP.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rendra Saputra
Abstrak :
Latar belakang: Prolaps organ panggul (POP) merupakan suatu permasalahan utama kesehatan dengan risiko seumur hidup pada perempuan yang menjalani paling sedikitnya satu kali intervensi pembedahan prolaps. Retensio urin pasca operasi rekonstruksi prolaps organ panggul disebabkan oleh beberapa faktor mulai dari pemeriksaan hingga penanganan pasca operasi yang berkontribusi terhadap terjadinya retensio urin. Penelitian di RSCM tentang penggunaan kateter 24 jam pada pasien pasca operasi prolapse organ panggul terhadap insiden retensio urin adalah sebesar 29,5%. Penelitian ini akan melakukan perbandingan penggunaan kateter 24 jam yang dibandingkan kateter 48 jam terhadap insiden retensio urin yang nantinya akan menjadi standar baku terbaru di RSCM dan RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Tujuan: Untuk mengetahui mana di antara kateter 24 jam dan 48 jam yang lebih baik untuk mengurangi angka kejadian retensio urin pascaoperasi prolaps organ panggul. Metode: Penelitian diagnosa, uji klinis acak, pengambilan sampel berturut-turut. Perbandingan antara kateter 24 jam dan 48 jam setelah operasi prolaps organ panggul Hasil: Total 54 subjek dalam penelitian ini, 3 subjek (11,1%) di antara 27 subjek dengan kateter 24 jam mengalami retensio urin. 1 subjek (3,7%) di antara 27 subjek dengan kateter 48 jam mengalami retensio urin. Kesimpulan: Penggunaan kateter 48 jam pascaoperasi prolaps organ panggul lebih baik daripada kateter 24 jam dalam mengurangi angka kejadian retensio urin. ......Background: Pelvic organ prolapse (POP) is a major health problem with a lifetime risk in women who undergo at least one prolapse surgical intervention. Postoperative retention of urine pelvic organ prolapse reconstruction is caused by a number of factors ranging from examinations to postoperative clients that contribute to the occurrence of urinary retention. Research at the RSCM about 24- hour catheter use in postoperative pelvic organ prolapse patients for the incidence of urinary retention was 29.5%. This study will compare the use of a 24-hour catheter compared to a 48-hour catheter against the incidence of urinary retention which will later become the latest standard in RSCM and RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Objective: To know which one among 24-hour and 48-hour catheter is better to decrease incidence of urinary retention after pelvic organ prolapse surgery. Methode: Diagnosis research, randomized clinical trial, consecutive sampling. Comparison between 24-hour and 48-hour catheter after pelvic organ prolapse surgery Result: Total 54 subjects in this research, 3 subjects (11.1%) among 27 subjects with 24-hour catheter experienced urinary retention. 1 subject (3.7%) among 27 subjects with 48-hour catheter experienced urinary retention. Conclussion: The application of 48-hour catheter after pelvic organ prolapse surgery is beter than 24-hour catheter to decrease the incidence of urinary retention.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Santoso
Abstrak :
ABSTRAK
Prolaps pada dinding anterior vagina terjadi karena kelemahan jaringan ikat dan fasia puboservikalis yang mengakibatkan turunnya kandung kemih yang dikenal sebagai sistokel, sedangkan prolaps dinding posterior mengakibatkan turunnya rektum, dikenal sebagai rektokel. Kemungkinan terjadinya sistokel dan rektokel dikemudian hari dapat diperkirakan dengan mengetahui titik potong optimal hiatus levator ani.Tujuan : Membandingkan derajat sistokel dan rektokel dengan maksimal area hiatal levator AHL saat Valsava.Metode : Analisa data sekunder 90 pasien prolaps uteri Januari 2012 hingga November 2013 di poliklinik Uroginekologi RSCM, Jakarta. Pengukuran ultrasonografi 3D/4D dan pelvic organ prolapse quantification system POP-Q sistokel derajat I-IV dan rektokel derajat I-IV. Dianalisis dengan stata program 20 for windows.Hasil : Perbedaan bermakna sistokel derajat I-II n=25 dengan derajat III-IV n=65 , maksimal AHL dengan perbedaan sebesar 4,33 cm2 p=0,040 . Pada rektokel derajat I-II n=64 dan derajat III-IV n=26 sebesar 3,85 cm2 p=0,130 . Nilai AUC untuk sistokel derajat I-II dengan III-IV adalah 0,607 IK95 0,467 ndash; 0.738 , untuk rektokel adalah 0,603 IK95 0,472 ndash; 0.734 . Titik potong optimal ROC untuk sistokel derajat I-II dengan III-IV dengan sensitivitas dan spesifitas tertinggi adalah 29 cm2 sensitifitas 0.523, spesifitas 0.520 , pada rektokel adalah 30 cm2 sensitifitas 0.538, spesifitas 0.584 .Simpulan : Terdapat hubungan bermakna antara derajat sistokel dengan area hiatal otot levator ani saat valsava, namun tidak terdapat hubungan pada rektokel. Nilai area under curve maksimal area hiatal otot levator ani dalam membedakan sistokel derajat I-II dan III-IV relatif sama dengan rektokel derajat I-II dan III-IV. Titik potong optimal area hiatal otot levator ani dalam membedakan sistokel derajat I-II dan III-IV adalah 29 cm2, sedangkan untuk rektokel adalah 30 cm2 dengan nilai sensitifitas dan spesifitas yang cukup baik.
ABSTRACT
AbstractBackground the anterior vaginal wall prolapse can occur because of the weakness of the connective tissue and fascia pubocervical resulting decline in the bladder, known as cystocele, while the posterior wall prolapse resulting decline in the rectum, known as rectocele. The possibility of cystocele and rectocele in the future can be predicted by knowing the optimal cut point hiatus levator ani.Objective To compare the degree of cystocele and rectocele with a maximum of levator hiatal area AHL during Valsava.Methods Secondary data analysis of 90 patients with uterine prolapse January 2012 to November 2013 in the clinic Uroginekologi RSCM, Jakarta. 3D 4D ultrasound measurement and pelvic organ prolapse system Quantification POP Q stage I IV cystocele and rectocele stage I IV. Analyzed with Stata program 20 for windows.Results significant difference cystocele stage I II n 25 with stage III IV n 65 , the maximum AHL with a difference of 4.33 cm2 p 0.040 . In rectocele stage I II n 64 and stage III IV n 26 of 3.85 cm2 p 0.130 . AUC values for cystocele stage I II with III IV was 0.607 IK95 from 0.467 to 0738 , for rectocele is 0.603 IK95 from 0.472 to 0734 . ROC optimal cut point for cystocele stage I II with III IV with the highest sensitivity and specificity is 29 cm2 0523 sensitivity, specificity 0520 , the rectocele is 30 cm2 0538 sensitivity, specificity 0584 .Conclusion There was a significant relationship between the degree of cystocele with hiatal area levator ani muscles when Valsava, but there is no relationship at rectocele. The value of area under the curve maximum hiatal area of the levator ani muscle in distinguishing cystocele stage I II and III IV are relatively similar to rectocele stage I II and III IV. Optimal cut point hiatal area of the levator ani muscle in distinguishing cystocele stage I II and III IV is 29 cm2, while for rectocele is 30 cm2 with sensitivity and specificity values were quite good.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58935
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>