Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 2002
S23629
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mervat Lutfia
Abstrak :
Hubungan dokter dan apoteker adalah berkaitan dengan pembuatan resep dan pemproduksian resep untuk pasien berkaitan dengan kosmetika. Obat-obatan beretiket biru digunakan untuk perawatan kulit menjadi obat khusus yang mana pemberian serta pemberlakuannya harus disesuaikan dengan kebutuhan setiap pasien. Namun praktiknya penjualan kosmetika beretiket biru diperdagangkan secara bebas dengan tetap adanya pencantuman dokter dan apoteker yang melakukan praktik kefarmasian. Permasalahan hukum ini yang cenderung merugikan konsumen akibat penggunaan kosmetika beretiket biru yang diperdagangkan bebas dan dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan setiap orang. Rumusan masalah yang digunakan oleh penulis adalah: Bagaimana tanggung jawab hukum dokter dan apoteker atas beredarnya kosmetik etiket biru di pasar bebas?, Bagaimana tanggung jawab profesi berdasarkan kode etik terhadap dokter dan apoteker yang diduga melakukan perdagangan dan penjualan bebas kosmetik beretiket biru?, dan Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen terkait  kosmetik etiket biru illegal? Penulis menggunakan penelitian hukum doktrinal yang sifatnya adalah preskriptif dengan menggunakan bahan hukum sekunder dengan sumber hukum primer, sekunder, tersier. Hasil penelitian menjelaskan bahwa tanggung jawab dokter dan apoteker atas beredarnya obat atau kosmetika etiket biru harus dilandasi dengan teori pertanggungjawaban hukum dan pembuktian bahwa telah terjadi kerugian yang dirasakan oleh konsumen sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1365 KUHPer. Adapun pedoman yang digunakan untuk menilai atau menentukan adanya kesalahan tersebut adalah standar profesi apoteker yang menyangkut pekerjaan keprofesian apoteker di apotek khususnya dalam pelayanan obat berdasarkan resep dokter. Kode etik profesi apoteker diatur dalam Keputusan Kongres Nasional XVIII/2019 yang dikeluarkan oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia Nomor 006/KONGRES XVIII/ISFI/2009 Tentang Kode Etik Apoteker Indonesia. Sedangkan kode etik dokter diatur di dalam pengaturan mengenai kode etik kedokteran dalam hal ini diatur dan dijelaskan di dalam Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia. Dalam menyelesaikan permasalahan jual beli etiket biru atas obat atau kosmetika yang menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka konsumen yang dirugikan dalam hal ini dapat memilih penyelesaian sengketa secara litigasi dan non litigasi. Pilihan antara litigasi dan non litigasi sangat penting, tergantung pada keinginan dan kebutuhan para pihak yang bersengketa.  ......The relationship between doctors and pharmacists is related to making prescriptions and producing prescriptions for patients related to cosmetics. Medicines with the blue label used for skin care are special medicines whose administration and application must be adjusted to the needs of each patient. However, in practice, the sale of cosmetics with the blue label is traded freely, with the inclusion of doctors and pharmacists who practice pharmacy. This legal problem tends to be detrimental to consumers due to the use of cosmetics with blue labels which are traded freely and are not made to suit each person's needs. The problem formulation used by the author is: What are the legal responsibilities of doctors and pharmacists for the circulation of blue label cosmetics on the free market? form of legal protection for consumers regarding illegal blue label cosmetics? The author uses doctrinal legal research which is prescriptive in nature using secondary legal materials with primary, secondary and tertiary legal sources. The research results explain that the responsibility of doctors and pharmacists for the distribution of blue label medicines or cosmetics must be based on the theory of legal responsibility and proof that there has been harm felt by consumers as explained in Article 1365 of the Civil Code. The guidelines used to assess or determine the existence of these errors are the pharmacist professional standards which concern the professional work of pharmacists in pharmacies, especially in providing medicines based on doctor's prescriptions. The professional code of ethics for pharmacists is regulated in the Decree of the XVIII/2019 National Congress issued by the Indonesian Pharmacy Graduate Association Number 006/KONGRES XVIII/ISFI/2009 concerning the Code of Ethics for Indonesian Pharmacists. Meanwhile, the doctor's code of ethics is regulated in the regulations regarding the medical code of ethics, in this case it is regulated and explained in the Guidelines for Implementing the Indonesian Medical Code of Ethics issued by the Indonesian Medical Ethics Honorary Council of the Indonesian Doctors Association. In resolving the problem of buying and selling blue labels for medicines or cosmetics which causes losses to consumers, consumers who are disadvantaged in this case can choose litigation and non-litigation dispute resolution. The choice between litigation and non-litigation is very important, depending on the desires and needs of the parties to the dispute.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Choirunisa Lisdiyani
Abstrak :
Skripsi ini membahas tanggung jawab hukum apotek dan toko obat dalam penyerahan obat dengan menganalisis perbandingan Putusan No. 104/Pid.B/2015/PN.pgp dan Putusan No. 153/Pid.Sus/2014/PN.Kbr. Apotek dan toko obat merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktik kefarmasian oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah Apoteker pada apotek dan Tenaga Teknis Kefarmasian pada toko obat. Baik Apoteker ataupun Tenaga Teknis Kefarmasian yang menjalankan pelayanan penyerahan obat kadang kala tidak menjalankan kewenangannya sebagaimana aturan yang ada. Dengan menggunakan metode penulisan berbentuk Yuridis Normatif dan tipe penelitian deskriptif, skripsi ini menjabarkan analisis mengenai tanggung jawab hukum apotek dan toko obat dalam penyerahan obat berdasarkan Putusan Pengadilan No. 104/Pid.B/2015/PN.pgp dan Putusan No. 153/Pid.Sus/2014/PN.Kbr. Kesimpulannya, terhadap apotek dan toko obat yang melakukan pelanggaran penyerahan obat dapat dikenakan sanksi administratif dan sanksi pidana. Representasi dari apotek adalah Apoteker, sedangkan representasi dari toko obat adalah Tenaga Teknis Kefarmasian. Peneliti menyarankan agar Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (B-POM) lebih aktif dalam hal pengawasan apotek dan toko obat, terutama dalam hal penyerahan obat kepada pasien dan penerbitan izin usaha pada toko obat. ......This essay discusses the legal responsibilities of pharmacy and drug store in drugs delivery by analyzing the comparison of Judgment No. 104/Pid.B/2015/PN.pgp and Judgment No. 153/Pid.Sus/2014/PN.Kbr. Pharmacy and drug store are pharmaceutical service facilities where pharmacy practices are carried out by health workers. Health workers in question are Pharmacists at the pharmacy and Pharmaceutical Technical Staff at the drug store. Both Pharmacists and Pharmaceutical Technical Staff who carry out drug delivery services sometimes do not carry out their authority according to existing rules. By using Normative Juridical writing methods and descriptive research types, this essay lays out an analysis of the legal responsibilities of pharmacy and drug store in drug delivery based on Juedgment Number 104/Pid.B/2015/PN.pgp and Judgment No. 153/Pid.Sus/2014/ PN.Kbr. In conclusion, pharmacy and drug store violating the drug delivery may be subject to administrative sanctions and criminal sanctions. Representatives from pharmacy are Pharmacists, while representations from drug store are Pharmaceutical Technical Staff. Researchers suggests that the Ministry of Health through the Department of Health and the Food and Drug Monitoring Agency (B-POM) be more active in terms of supervision of pharmacy and drug store, especially in terms of drug delivery to patients and issuance of business licenses at drug store.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Kehakiman, 1977
344.042 33 IND s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Soerjono Soekanto
Bandung: Mandar Maju, 1990
344.041 6 SOE a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Harvarindo, 1997
344.042 33 UND (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni Purnamasari
Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Velayo
Abstrak :
ABSTRAK
Dokter dan apoteker merupakan salah dua dari tenaga kesehatan yang saling bersinergi dalam memberikan pelayanan kesehatan, dimana dokter melakukan penanganan medikal sementara apoteker yang akan menindaklanjuti produk (resep) dari dokter tersebut, yakni dispensing. Namun demikian, tidak sedikit dokter melakukan pemberian obat secara langsung (dispensing) kepada pasien. Tumpang tindih praktik dispensing yang dilakukan antara dokter (tenaga medis) dengan apoteker (tenaga kefarmasian) tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum, sehingga perlu diketahui bagaimana sebenarnya regulasi yang mengatur mengenai kewenangan antara dokter dengan apoteker terkait praktik dispensing. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif, yakni dengan meneliti terhadap bahan primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengaturan mengenai praktik dispensing yang merupakan lingkup bagian kefarmasian, telah memiliki regulasi yang jelas, baik mengenai pihak yang berwenang melakukan pekerjaan di bidang kefarmasian, mengenai apa saja yang termasuk bidang kefarmasian dan mengenai larangan serta sanksi bagi yang tidak berwenang namun melakukannya. Namun demikian, praktik dispensing tersebut tetap terbuka bagi dokter dalam keadaan dan situasi tertentu. Oleh karena itu, peran aktif masyarakat dan upaya dari masing-masing profesi untuk menghormati kewenangan antar profesi sangat diperlukan supaya hukum yang ada dapat ditegakkan sehingga tercapai kepastian hukum.
ABSTRACT
Doctor and pharmacist are part of health labour that synergy in giving health service, in which doctor do the medical treatment while pharmacist will work based on the doctor`s prescribing, which is called dispensing. However, not few doctor do the dispensing straightforward to the patient by themselves. The overlap practice of dispensing which is done by doctor (medical labour) with pharmacists (pharmacy labour) causing law uncertainty, so it is important to know about how actually the regulation that regulate about authority between doctor and pharmacist in dispensing practice. Using the methodology of the normative legal research conducted a study of the primary material, secondary, tertiary. This research found out that regulation of dispensing practice which is part of pharmacy, has well regulated, that regulate the subject who has authority in doing pharmacy`s work, regulate about what is include in pharmacy section and regulate about the prohibition and sanction for subject who don`t have authority in doing work in pharmacy section but still do it. However, dispensing practice is still applicable for doctor in some condition and situation that has been regulated. Therefore, society`s active role and each profession effort to honour authority between those two professions are really needed so that regulation can be enforced and will be result on law certainty.
2016
S64853
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library