Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Talitha Vania Salsabella
"Pendahuluan: Kondisi permukiman dapat mempengaruhi tingkat pajanan mikroorganisme penduduknya. Penduduk yang tinggal di daerah kumuh memiliki risiko lebih tinggi untuk terpajan mikroorganisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan ekspresi IFN-γ dan IL-10 pada whole blood culture (WBC) penduduk daerah kumuh dan nonkumuh yang distimulasi oleh phytohemagglutinin (PHA).
Metode: Penelitian potong-lintang dilakukan untuk menentukan perbedaan kadar IFN-γ dan IL-10 pada WBC yang berasal dari subjek daerah kumuh dan nonkumuh yang distimulasi dengan mitogen PHA. Data sitokin merupakan data sekunder yang didapatkan dari penelitian utama yaitu “Regulasi Respons Imun Subyek di Permukiman Kumuh: Studi Imunitas Seluler pada Kultur Sel Darah yang Distimulasi Malaria, BCG dan LDL”.
Hasil: Kadar IFN-γ pada kondisi basal ditemukan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok nonkumuh daripada kelompok kumuh (15,25 [5,00 – 225,00] dan 3,25[2,00 – 11,50] dengan p=0,004). Kadar IL-10 pada kondisi basal secara signifikan lebih tinggi pada kelompok nonkumuh daripada kelompok kumuh (117,75 [88,00 – 191,00] dan 4,00 [3,00 – 121,50] dengan p=0,002). Pascastimulasi PHA, tidak ditemukan perbedaan signifikan pada kadar IFN-γ (8269,31±1679,96 untuk kumuh dan 6906,60±1074,03 untuk nonkumuh, p=0,488), sedangkan kadar IL-10 pascastimulasi PHA secara signifikan lebih tinggi pada kelompok kumuh dibandingkan nonkumuh (1121,20±169,39 dan 335,06±59,54 dengan p=0,001). Rasio IFN-γ terstimulasi/IFN-γ basal secara signifikan lebih tinggi pada kelompok kumuh dibandingkan nonkumuh (2211,97±1698,36 dan 462,14±332,75 dengan p=0,010) dan rasio IL-10 terstimulasi/IL-10 basal juga secara signifikan lebih tinggi pada kelompok kumuh dibandingkan nonkumuh (259,75±214,70 dan 2,67±1,53 dengan p=0,004). Potensi inflamasi dinilai dengan rasio keseimbangan IFN-γ terhadap IL-10, didapatkan potensi inflamasi yang secara signifikan lebih tinggi pada daerah nonkumuh dibandingkan daerah kumuh (2,159±0,49 dan 1,178±0,63 dengan p=0,002). Kedua sitokin menunjukkan
korelasi positif yang cukup kuat dan signifikan, terutama terlihat pada kelompok kumuh (R=0,642 dan p=0,002).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kadar sitokin IFN-γ dan IL-10 pada kelompok kumuh dan nonkumuh pada kondisi basal. Pascastimulasi PHA perbedaan hanya terlihat pada kadar IL-10. Rasio keseimbangan kedua sitokin di kedua kelompok berbeda, menunjukkan potensi inflamasi kelompok nonkumuh lebih kuat dibandingkan kelompok kumuh. Terdapat korelasi positif antara sitokin IFN-γ dan IL-10 dimana peningkatan IFN-γ akan diikuti dengan peningkatan IL-10, terutama terlihat pada kelompok kumuh.

Introduction: Living conditions might affect the pathogenic exposure of its population. People that live in rural areas have a higher risk of being exposed to pathogens from their environment. This study aims to determine differences in the expression of IFN-γ and IL-10 in whole blood culture (WBC) of rural and urban dwellers stimulated by phytohemagglutinin (PHA).
Method: A cross-sectional study is conducted to define the different expression of IFN-γ and IL-10 in whole blood culture from rural and urban areas stimulated with phytohemagglutinin (PHA). The data were obtained from previous study “Regulation of immune response to people living in the slum area: a study of cellular immunity on Whole Blood Cultures stimulated malaria, BCG and LDL”.
Result: The expression of IFN-γ in the condition before stimulation was found to be higher in the urban group than in the rural group (15.25 [5.00—225.00] and 3.25 [2.00— 11.50], p=0.004). Interleukin-10 levels in basal conditions were also found to be higher in the urban group than in the rural group (117.75 [88.00—191.00] and 4.00 [3.00— 121.50], p=0.002). Post-stimulation with PHA, IFN-γ levels were not different in the rural and urban group (8269.31 ± 1679.96 and 6906.60 ± 1074.03, p=0.488), however IL-10 levels were higher in rural group (rural: 1121.20 ± 169.39 and urban: 335.06 ± 59.54, p=0.001). The ratio of each cytokine after stimulation to basal was performed and IFN-γ levels were higher in the rural group compared to urban group (2211.97 ± 1698.36 and 462.14 ± 332.75, p=0.010), IL-10 levels were also higher high in the rural compared to urban groups (259.75 ± 214.70 and 2.67 ± 1.53, p=0.004). The inflammatory potential was assessed by calculating the ratio of IFN-γ to IL-10, a higher inflammatory potential was found in urban areas compared to rural (2.159 ± 0.49 and 1.178 ± 0.63, p=0.002). Both cytokines showed a strong positive correlation, especially seen in the rural group (r=0.642, p=0.002).
Conclusion: There are differences in IFN-γ and IL-10 expressions in rural and urban subjects spontaneuosly. After stimulation with PHA, a difference was only seen on IL-10 level. The balanced ratio between IFN-γ and IL-10, which depicts the inflammation potency, is stronger in urban subjects when compared to rural subjects. There is a positive correlation between IFN-γ and IL-10, wherein an increase of IFN-γ will be followed by an increase of IL-10, which shown better in rural subjects.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syazili Mustofa
"Penghambatan proliferasi sel diaplikasikan dalam berbagai bidang kedokteran. Banyak di antara penghambatan proliferasi dilakukan dengan cara menghambat sintesis DNA, yaitu mengintervensi pembentukan basa nukleotida purin atau pirimidin. Dalam sintesis purin de novo terdapat peran enzim anhidrase karbonat yang merupakan pemasok CO2 dalam proses karboksilasi. Penghambatan enzim anhidrase karbonat diduga kuat dapat menghambat proliferasi. Pada penelitian ini model proliferasi sel adalah SMDT yang distimulasi dengan PHA, IL-2, serta PHA dan IL-2. Penghambat enzim anhdirase karbonat yang digunakan adalah asetazolamid. Dilakukan analisis efek pemberian asetazolamid pada saat puncak sintesis DNA sel, puncak viabilitas sel, serta analisis terhadap siklus sel. Hasil penelitian ini, asetozolamid menghambat sintesis DNA serta menurunkan viabilitas SMDT yang distimulasi PHA dan IL-2. Terjadi hambatan masuknya progresi SMDT dari fase G0/G1 ke fase S. Penelitian ini menunjukkan bahwa penghambatan enzim anhidrase karbonat dapat menyebabkan hambatan proliferasi sel.

Inhibition of cells proliferation are widely used in various medical fields. Most of cell proliferation inhibition can be done by inhibiting the DNA synthesis, notably by intervening the formation of purine or pyrimidine. In purine de novo synthesis, it was assumed that CO2 plays a role as a source of carbon in carboxylation reaction, one of the pivotal steps in the purine de novo pathways. The aim of this study was to see the acetazolamide potency to inhibit carboxylation reaction. Peripheral blood mononuclear cell (PBMC) was cultured in RPMI-1640 medium and stimulated by phytohemagglutinin (PHA) and interleukin-2 (IL-2), with or without acetazolamide. The effect of acetazolamide addition was observed at the peak of cell proliferation, cells viability, and cell cycle. Statistical analysis was done by one-way ANOVA. Acetazolamide inhibited cell proliferation and viability in PBMC culture stimulated by PHA and IL-2. Cell cycle analysis showed that acetazolamide arrested the progression of PBMC in G0/G1 phase. Inhibition of CO2 production by acetazolamide inhibitory effect to carbonic anhydrase can halt cell proliferation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library