Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I.G. Krisnadi
"ABSTRAK
Peristiwa G.30.S/PKI 1965 melahirkan pemerintahan Orde Baru. Demi mempertahankan pemerintahan Orde Baru, diadakan pembersihan terhadap unsur-unsur komunis yaitu dengan menyelenggarakan Proyek Instalasi Rehabilitasi Pulau Buru (Proyek Inrehab Buru 1969-1979). Yang dijadikan dasar hukum untuk menyelenggarakan Proyek Inrehab Buru adalah Undang-Undang; Nomor 5 Tahun 1969 tentang kewenangan melakukan penawanan dan pemberantasan kegiatan subversi. Mereka yang diikutsertakan dalam Proyek Inrehab Buru adalah beberapa tapol golongan B dari Pulau Jawa- Para tapol Pulau Buru beranggapan bahwa pemerintah Orde Baru menahan para tapol ke Pulau Buru tidak berdasarkan hukum, karena mereka belum pernah diajukan ke pengadilan, sehingga belum bisa dinyatakan bersalah secara hukum.
Tujuan diselenggarakan Proyek Inrehab Buru adalah sebagai berikut: (1) Menampung dan mengamankan para tapol dari segala bentuk ancaman dan bahaya dari pihak massa yang anti PKI; (2) membina mental para tapol supaya menjadi manusia Indonesia yang Pancasilais dan tidak menganut lagi ideologi komunis; (3) membina dan memanfaatkan para tapol kearah kemampuan berproduksi, sehingga diharapkan dapat hidup berswadaya maupun berswasembada di bidang pertanian. Para tapol Pulau Buru beranggapan bahwa pemerintah Orde Baru menyelenggarakan Proyek Inrehab Buru, bertujuan menyingkirkan para tapol ke Pulau Buru, karena dianggap membahayakan pemerintah Orde Baru.
Di Tempat Pemanfaatan Pulau Buru (Tefaat Luau) terdapat tiga bentuk masyarakat yang meliputi sebagai berikut; masyarakat penduduk asli, masyarakat tapol, dan masyarakat keluarga tapol. Penduduk asli Pulau Buru pada mulanya ada yang berprasangka buruk terhadap kedatangan para tapol, dan bersikap memusuhinya. Namun demikian, ada juga yang menerima kedatangan para tapol, dan di dalam perkembangan selanjutnya mereka hidup saling berdampingan dengan masyarakat tapol maupun dengan keluarga tapol.
Proyek Inrehab Buru memanfaatkan para tapol dari kegiatan politik yang mengarah ke upaya mendirikan negara komunis di Indonesia, menuju hidup berswadaya maupun berswasembada di sektor pertanian. Mereka di lokasi Tefaat Buru melakukan kerja wajib meliputi sebagai berikut: membuka sawah, membuat jalan, membuat bendungan dan saluran irigasi, membuat dan merenovasi barak maupun wisma, membangun rumah ibadat, poliklinik, gedung kesenian, menggergaji kayu meranti di hutan, bekerja pandai besi, membuat garam, dan membuat kapur.
Faktor eksternal yang berperan penting dalam pembebasan para tapol Tefaat Buru adalah adanya tekanan dari berbagai pihak yang mendukung Pernyataan Umum Hak-hak Asasi Manusia, khususnya adanya tekanan dari negara Amerika Serikat pada masa pemerintahan Presiden Jimmy Carter (1877-1881) dan Amnesti Internasional. Faktor internal yang berkaitan dengan pembebasan para tapol Tefaat Buru adalah semakin bertambah mantap stabilitas politik, keamanan, maupun semakin meningkat pembangunan ekonomi di Indonesia, serta dilandasi oleh rasa kemanusiaan.
Para tapol Tefaat Buru mengklaim bahwa mereka dibebaskan oleh pemerintah Orde Baru karena adanya tekanan dari pihak eksternal (faktor eksternal) berupa adanya ancaman penghentian pengiriman dana bantuan jika pemerintah Indonesia tidak segera membebaskan para tapol Tefaat Buru. Pemerintah Orde Baru menolak anggapan yang demikian, dan menganggap bahwa pembebasan para tapol Tefaat Buru bukan karena adanya tekanan dari pihak eksternal, melainkan karena semakin mantap stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi, serta dilandasi oleh rasa kemanusiaan. Pemerintah Orde Baru walaupun telah membebaskan para tapol Tefaat Buru, namun masih mengontrol para mantan tapol Tefaat Buru secara efektif, sehingga walaupun telah dibebaskan, mereka belum memperoleh hak-hak sipil secara penuh.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amurwani Dwi Lestariningsih
"Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi peristiwa yang dialami oleh para tahanan politik wanita di Kamp Pelantungan dan menjelaskan kehidupan para tahananan politik selama di dalam kamp serta hubungannya dengan masyarakat sekitarnya. Setelah peristiwa 30 September 1965. Orang-orang yang beraliran komunis ditangkap dan penjarakan. Beberapa wanita yang ikut dalam organisasi yang berideologi komunis ditahan. Mereka kemudian digolongkan menurut tingkat keterlibatannya. Para tahanan politik wanita dianggap terlibat, akan tetapi tidak mempunyai bukti yang kuat digolongkan sebagai tahanan politik golongan B. Sejak itu kehidupan mereka mulai berubah. Mereka harus menjalani pemeriksaan, serta dipisahkan dari keluarganya. Di tahan dari satu kamp ke kamp yang lainnya. Mereka disiksa baik secara fisik maupun psikologis.
Pada tahun 1971, pemerintah mereedukasi para tapol wanita golongan B di Pelantungan, sebelum mereka dikembalikan ke dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan para tapol wanita di Pelantungan tampaknya tidak jauh berbeda dengan perlakuan yang sarat dengan tindak kekerasan yang berupa penyiksaan mental maupun fisik. Penyiksaan dan pelecehan seksual dialami oleh para tapol wanita. Beberapa orang tapol bahkan mengalami kehamilan. Selama di dalam kamp para tapol direedukasi agar menjadi manusia yang berideologi Pancasila dan meninggalkan ideologi komunis, melalui berbagai kegiatan.
Berkaitan dengan masalah itu beberapa pertanyaan yang muncul kemudian adalah; Mengapa Pelantungan dipilih sebagai tempat rehabilitasi para tapol wanita? Siapa sajakah yang dijadikan tapol wanita? Bagaimanakan aktifitas para tapol wanita selama di kamp? Bagaimana para mantan tapol wanita menjalani kehidupan setelah bebas dari kamp tahanan politik di Pelantungan? Seberapa jauh upaya reedukasi ideology mampu mengubah ideologi tapol?
Untuk menjawab penelitian ini digunakan metode sejarah lisan. Hal ini berkaitan dengan kesulitan dalam mencari sumber-sumber tertulis yang mengungkapkan tentang kehidupan para tapol selama di Kamp. Pelantungan.
Dari metode ini dapat diperoleh jawaban, bahwa pemilihan Pelantungan sebagai kamp reedukasi para tapol wanita berkaitan dengan status pemilikan tanah, yaitu tanah milik militer sejak masa Hindia Belanda. Disamping tempat yang terisolir jauh dari jangkauan masyarakat luas. Beberapa dari penghuni kamp adalah para tokoh politik wanita dan aktifis organisasi wanita onderbouw PKI, meskipun terdapat kesalahan penangkapan terhadap beberapa gadis muda yang tidak terlibat dalam organisasi yang berideologi komunis. Selama di kamp para tapol menjalani rehabilitasi mental, pendidikan/penerangan agama, kesehatan, hiburan, olah raga, latihan kerja dan kerajinan. Setelah menjalani reedukasi selama di kamp program itu telah berhasil mematikan identitas mematikan identitas diri para tapol wanna. Setelah keluar dari kamp para tapol cenderung menyembunyikan identitas dirinya Mereka kemudian membuat suatu kelompok berupa paguyupan "Pakorba Pelantungan" yang diisi dengan kegiatan arisan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17215
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Amnesty International Publication, 1982
341 AMN (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Alfa Yulian Firmansyah
"Artikel ini membahas mengenai pemindahan tahanan politik (Tapol) wanita golongan B di Jakarta ke Kamp Tapol di Plantungan, Kendal. Setelah peristiwa G30S/PKI, banyak dari masyarakat mengalami penangkapan tanpa prosedur yang jelas akibat terlibat sebagai anggota maupun memiliki kedekatan anggota dengan PKI maupun organisasi underbouw PKI sehingga menyebabkan kepadatan di berbagai lembaga pemasyarakatan (Lapas). Kepadatan ini juga terjadi di Jakarta, terutama Lapas Wanita Bukit Duri akibat terus bertambahnya jumlah tahanan tiap tahunnya. Atas dasar tersebut, dikeluarkanlah kebijakan untuk memindahkan tahanan politik Gol. B pada tahun 1969, yaitu dengan memindahkan mereka ke tempat terpencil. Salah satunya memindahkan tahanan politik wanita ke bekas Rumah Sakit Lepra di Plantungan, Kendal. Secara berangsur, pada tahun 1971 bekas rumah sakit ini pun beralih menjadi kamp tahanan politik wanita Eks-Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun simpatisannya hingga tahun 1979. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah dengan tahapan pemilihan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Akibat terus bertambahnya jumlah tahanan di Lapas Bukit Duri, Pada tahun 1971 dikeluarkan kebijakan pemindahan tahanan politik perempuan di Jawa ke Kamp Plantungan sebagai sarana mengurangi jumlah penghuni dan meminimalisasi pengeluaran anggaran sekaligus menanamkan nilai-nilai Pancasila.

This Article discusses about transfer of Group B female political prisoners from Jakarta to political prisoner camp in Plantungan, Kendal. After the G30S/PKI incident, many people were arrested without clear procedures as a result of being as members or having close ties with PKI and PKI affiliate organizations causing overcrowding in many prisons. This overcrowding also occurs in Jakarta, especially Bukit Duri women's prisons because of the increasing number of prisoners every year. On this basis, a policy was issued to transfer Group B political prisoners in 1969 by moving them to a remote location. One way is to move female political prisoner to the former Leprosy Hospital in Plantungan, Kendal. Slowly, in 1971 this former hospital was converted into a prisoner camp for women's political prisoners for the ex-PKI and it's affiliated until 1979. The research method for this article is Kuntowijoyo historical research, the stages of this methods are topic selection, heuristrics, verification, interpretation, and historiography. As a results of increased number of prisoners in Bukit Duri prisons, in 1971 a policy issued to transfer female political prisoners in Java to Plantungan as a means of reducing the number of residents in and minimize expenditure while instilling Pancasila values to them."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Isfina Fadillah
"Artikel ini membahas tentang Kekerasan terhadap Perempuan Pasca Gerakan 30 September 1965 di Pulau Jawa (1965-1979). Pembahasan dimulai dengan peran TNI-Angkatan Darat dan kelompok sipil dalam aksi penangkapan, para perempuan yang mengalami penangkapan dan kekerasan, serta dampak kekerasan yang dialami oleh perempuan tersebut. Penelitian sebelumnya yang membahas tentang kekerasan terhadap perempuan dalam tragedi 1965 lebih menekankan pada budaya patriarki yang menjadi faktor utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan pasca G30S 1965. Pembahasan mengenai faktor-faktor lainnya serta kekerasan yang dialami para perempuan yang tidak terlibat dalam organisasi afiliasi PKI belum dibahas dalam penelitian sebelumnya. Penulisan artikel ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari langkah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Dalam tahap heuristik, peneliti menggunakan wawancara lisan terhadap beberapa mantan tahanan politik ’65 serta perempuan yang anggota keluarganya pernah ditangkap, koran sezaman, buku, jurnal, dan majalah. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa perempuan yang mengalami penahanan dan kekerasan disebabkan oleh jalannya aksi pembersihan oleh Kopkamtib yang tidak sesuai prosedur hukum, informasi-informasi yang termuat dalam media TNI-AD, serta rendahnya budaya kritis dalam menerima informasi oleh masyarakat Indonesia. Kekerasan yang dialami oleh para perempuan yang ditahan begitu ragam, mulai dari kekerasan verbal, fisik, hingga seksual. Kekerasan tersebut mengakibatkan berbagai kerugian, baik secara fisik maupun psikologis.

This article discusses Violence against Women after the September 30th Movement in Java (1965-1979). The discussion begins with the role of the Indonesian Army and civilian groups in the arrests, women who experienced arrests and violence, and the impact of violence experienced by these women. Previous studies that discussed violence against women in the 1965 tragedy emphasized patriarchal culture as the main factor in violence against women after the 1965 G30S. Discussions on other factors and violence experienced by women who were not involved in PKI-affiliated organizations have not been discussed in previous studies. This article uses a historical method consisting of heuristic, verification, interpretation, and historiography steps. In the heuristic stage, the researcher used oral interviews with several former political prisoners of '65 and women whose family members had been arrested, contemporary newspapers, books, journals, and magazines. The results of this study revealed that women who experienced detention and violence were caused by the course of the Kopkamtib clean-up action that was not in accordance with legal procedures, information contained in the TNI-AD media, and the low critical culture in receiving information by the Indonesian people. The violence experienced by the women who were detained was very diverse, ranging from verbal, physical, to sexual violence. This violence resulted in various losses, both physically and psychologically."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Penghayat Keadilan, 2002
959.8 SEJ
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Suyatno Prayitno
Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2003
959.8 SUY k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Parlindungan
Depok: Komunitas Bambu, 2006
923.2 LOE o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Mohtar
Jakarta: LSPP, 2008
320.959 8 MOH n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
S. Husin Ali
Kingston: INSAN, 1996
959.505 092 ALI t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>