Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Allam Ubaidillah
"Pemanfaatan CBCT (Cone Beam Computed Tomography) radioterapi adaptif dipengaruhi oleh paremeter akuisisi dan rekonstruksi citra dalam akurasi kalkulasi dosis dan kualitas citra dipelajari dalam penelitian ini. Kurva kalibrasi dihasilkan melalui pemindaian fantom CIRS menggunakan CBCT XVI Elekta 5.0.4 dan CT Simulator Somatom, yang bekerja sebagai citra CT referensi. Fantom Rando dan Catphan dipindai dengan parameter akuisisi dan rekonstruksi yang sama untuk menguji akuasi kalkulasi dosis dan kualitas citra. Pengujian kualitas citra sesuai panduan modul XVI Image Quality Test. Parameter akuisisi dan rekonstruksi memiliki dampak pada nilai HU yang digunakan dalam kurva kalibrasi HU-RED. Perbedaan dosis untuk seluruh kurva kalibrasi di bawah 1% dan lolos kriteria gamma passing rate. Citra yang menggunakan 120 kVp, F1 (dengan Filter Bowtie), dan 50 mA (F1-120-50-10) menghasilkan skor GI tertinggi 98,5%. Pengujian kualitas citra menghasilkan skor sebesar 1,2% pada uji uniformitas, 2.14% pada uji low contrast visibility, dan 11 lp/cm pada tes resolusi spasial. Dengan, protokol rekonstruksi yang berbeda menunjukan skor 3,83% dan 4 lp/cm dalam pengujian low contrast visibility dan resolusi spasial, secara berturut-turut. Parameter rekonstruksi CBCT bekerja sebagai koreksi hamburan (scatter correction). Hal ini meningkatkan akurasi dosis dan kualitas citra. Protokol akuisisi CBCT yang tidak cocok menghasilkan citra dengan ketidakpastian tinggi dan protokol rekonstruksi tidak bisa memperbaikinya. Protokol F1-120-50-10 menghasilkan akurasi dosis dan kualitas citra tertinggi.

The impact of the modified image acquisition and preset reconstruction parameter available in XVI on improving CBCT image quality and dose calculation accuracy were evaluated. Calibration curves were generated by scanning the CIRS phantom using CBCT XVI Elekta 5.0.4 and CT Simulator Somatom, that served as CT image reference. Rando and Catphan phantom were scanned with same acquisition and reconstruction parameters for dose accuracy and image quality tests. The image quality test is uniformity, low contrast visibility, spatial resolution, and geometrical scale test for each image by following the XVI image quality test module. Acquisition and reconstruction parameters have an impact on the HU value that is used as the HU-RED calibration curve. The dose difference for all the calibration curves was within 1% and passed the gamma passing rate. Images acquired using 120 kVp, F1 (with Bowtie Filter), and 50 mA (F1-120-50-10) scored the highest GI of 98.5%. It also scored 1.20% on the uniformity test, 2.14% on the low contrast visibility test, and 11 lp/cm on the spatial resolution test. However, using different reconstructions the score is 3.83% and 4 lp/cm in contrast and spatial resolution test, respectively. Reconstruction protocls work as a scatter correction. It could improve the dose accuracy and image quality. Nevertheless, without adequate CBCT acquisition protocols, it would produce an image with high uncertainty and cannot be fixed with reconstruction protocols. The F1-120-50-10 protocols generate the highest dose accuracy and image quality."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Prabowo
"ABSTRAK
Latar belakang: Pada penelitian in vitro, kombinasi gefitinib dan radioterapi telah diamati memiliki efek sinergis dan anti-proliferasi terhadap KPKBSK. Tujuan: Mengetahui efikasi dan toleransi kombinasi radioterapi dan TKI pada pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR. Metode: Penelitian observasional kohort retrospektif analitik di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan dan dilakukan dengan total sampling pada periode 1 Januari 2013 sampai Desember 2016. Hasil: Sampel penelitian 31 subjek, dengan karateristik pasien laki-laki 51.61 median usia 54,5 tahun, range usia 38-70 tahun dan pasien adenokarsinoma paru perempuan 48,38 median usia 57 tahun, range usia 38-77 tahun . Lokasi mutasi EGFR didapatkan mutasi pada exon 21 L858R sebanyak 61,30 , exon 21 L861Q 16,12 dan delesi ekson 19 sebanyak 22,58 . Dosis radioterapi yang diberikan 30-60 Gy. Keadaan klinis pada saat penelitian SVKS 35,5 , klinis progresif 22,6 dan lain-lain 41,9 . Toksisitas non hematologi yang terbanyak adalah skin rash diikuti diare dan paronikia dengan derajat ringan. Toksisitas hematologi tersering adalah anemia derajat 1-2 sebanyak 15 orang. Progression free survival PFS 185 hari IK95 ; 123,69-246,30 , overall survival OS 300 hari IK95 ;130,94-469,06 dan 1 years survival 45,2 . Kesimpulan: Kombinasi radioterapi dan gefitinib dapat meningkatkan PFS pada pasien adenokarsinoma paru dengan klinis SVKS dan meningkatkan OS pada pasien dengan klinis yang progresif.. Kata kunci: Adenokarsinoma, Efikasi, Gefitinib, Radioterapi
ABSTRACT Background In vitro studies, combinations of gefitinib and radiotherapy have been observed to have synergistic and anti proliferative effects on lung adenocarsinoma.Objective To evaluate the efficacy and tolerance of combination radiotherapy and TKI in patients with pulmonary adenocarcinoma with EGFR mutation. Methods A cohorts retrospective observational analytical analytical at RSUP Persahabatan, Jakarta. In this study we use total sampling. Data was optained from January 2013 until December 2016. Results Data from 31 lung adenocarcinoma with EGFR mutations patients were collected , which is characterized male 51.61 median age 54.5 years, range 38 70 years and female patients 48.38 median age 57 years, range 38 77 year . Epidermal Growth Favtor Reseptor EGFR mutation in exon 21 L858R of 61.30 , exon 21 L861Q 16.12 and 19 exon delions of 22.58 . Radiotherapy dose were given 30 60 Gy. Clinical finding in this study SVCS 35,5 , progressive 22,6 and others 41,9 .The non hematological toxicities are skin rash, diarrhea and paronychia with mild degree. The common haematological toxicity is mild anemia 15 patients . Progression free survival PFS in radiation gefitinib are 185 days CI95 123,69 246,30 , overall survival OS are 300 days CI95 130,94 469,06 and 1 yeqrs survival 45,2 .Conclusion Combination therapy radiation gefitinib in Lung adenocarsinoma with SVCS increasing PFS and patient lung adenocarcinoma with progressive disease increasing OS.Keywords Lung adenocarcinoma, efficacy, gefitinib, radiation"
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elian Hudiya
"Tujuan: Menghitung sebaran capital cost radioterapi di Indonesia dan faktor-faktor yang memengaruhinya sebagai dasar untuk investasi lanjutan pengembangan radioterapi di Indonesia dan menutup gap pelayanan yang ada. Metodologi: Penelitian ini menggunakan desain deskriptif eksploratif menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada senter radioterapi di seluruh Indonesia. Data jarak didapatkan menggunakan google maps(menggunakan garis langsung dan rute) serta data pendapatan didapatkan dari badan pusat statistik. Hasil dan Kesimpulan: Terdapat 29 senter radioterapi yang mengikuti penelitian ini dari 46 senter yang telah beroperasi di Indonesia pada 2019. Dari penelitian ini didapatkan Capital cost (dalam rupiah) radioterapi di Indonesia memiliki median Rp 47.824.000.000,- (21.600.000.000-158.688.000.000), dengan sebaran alat-alatnya: LINAC Rp 30.686.455.740,- ±7.374.468.988, rerata Cobalt Rp 11.997.617.647,- ±3.795.188.333, median CT simulator Rp 12.052.000.000,- (5.300.000.000-20.941.517.138), rerata simulator fluoroskopik Rp 3.969.900.000,- ±1.944.209.535, dan rerata bungker per pesawat Rp 4.952.332.381,- ±2.293.258.982. Jumlah pesawat radiasi per senter yang lebih tinggi (p=0,034), pendapatan per kapita lebih rendah (r=0,304, p=0,042), serta level PORI yang lebih rendah (p=0,01) berpengaruh secara statistik terhadap capital cost yang lebih rendah. Jarak kepada pusat ekonomi, dalam hal ini ibukota, tidak berpengaruh terhadap capital cost senter radioterapi (r=-0.282 p=0.139). Pada analisis multivariat, secara statistik terdapat perbedaan bermakna (p<0,01) antar kelompok level PORI serta antar kelompok jumlah pesawat radiasi dalam satu senter.

Aims: To develop and to close the gap in radiotherapy services in Indonesia, a radiotherapy center capital cost calculation and factors affecting that is needed. This study was meant to show capital cost distribution and the related significant factors. Methods: This explorative descriptive study used questionnaire that was distributed across radiotherapy centers in Indonesia. Distance data was taken from line distance and route distance in google maps. Whereas income data was taken from Statistics Indonesia Office (BPS). Results and Conclusion: 29 out of 46 centers which operated in 2019 participated in this study. This study showed the capital cost of radiotherapy in Indonesia based on the participating centers. This study described the median capital cost as Rp 47.824.000.000,- (21.600.000.000-158.688.000.000), witth the mean value of LINAC Rp 30.686.455.740,- ±7.374.468.988, mean of Cobalt Rp 11.997.617.647,- ±3.795.188.333, median value of CT simulator Rp 12.052.000.000,- (5.300.000.000-20.941.517.138), median value of fluoroscopic simulator Rp 3.969.900.000,- ±1.944.209.535, and mean value of radiation bunker Rp 4.952.332.381,- ±2.293.258.982. Higher number of radiotherapy machine within a center (p=0,034), lower percapita income (r=0,304, p=0,042), and lower PORI level (p=0,01) gives significant result on lower capital cost. Distance to economic center (Jakarta) was not significant to radiotherapy capital cost (r=-0.282 p=0.139). On multivariate analysis, there was a statistical difference p<0,01) between PORI levels and groups of different machine number within a center."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rendra Dandi Sugandi
"Radioterapi merupakan pengobatan kanker yang menggunakan radiasi pengion untuk mematikan sel kanker tanpa akibat fatal pada jaringan sehat di sekitarnya untuk tujuan kuratif maupun paliatif. 3D-CRT menjadi salah satu teknik yang digunakan untuk penyinaran kanker dengan IMRT dan VMAT sebagai pengembangan teknik radiasi dengan memvariasikan modulasi lapangan dan gantry. Oleh karena itu, prosedur patient-specific quality assurance (PSQA) dibutuhkan untuk memverifikasi dosis perencanaan dengan dosis yang disampaikan ke pasien. PRIMO adalah program simulasi Monte Carlo yang dapat digunakan dalam verifikasi dosimetri plan treatment (TPS) radioterapi dengan cara menghitung distribusi dosis radiasi dan membandingkannya dengan hasil pengukuran. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa TPS dan membandingkan hasil perhitungan distribusi dosis TPS dengan simulasi PRIMO Monte Carlo. Perencanaan 3D-CRT, IMRT, dan VMAT dilakukan menggunakan Rando breast phantom pada TPS, kemudian distribusi dosis dibandingkan dengan hasil simulasi PRIMO untuk mendapatkan nilai HI dan CI, serta dapat mengevaluasi dose constraint pada OAR. Evaluasi dosimetrik dosis dari simulasi rekonstruksi pada volume target menghasilkan nilai HI sebesar 0,16 hingga 0,20 untuk perencanaan 3D, 0,08 hingga 0,40 untuk perencanaan IMRT dan 0,14 hingga 0,82 untuk perencanaan VMAT. Serta nilai CI sebesar 0,93 hingga 0,95 untuk perencanaan 3D, 0,81 hingga 0,99 untuk perencanaan IMRT dan 0,67 hingga 0,95 untuk perencanaan VMAT. Perbandingan antara TPS dan Monte Carlo menunjukkan bahwa PSQA yang dilakukan pada 3D-CRT memiliki deviasi HI dan CI yang lebih kecil daripada IMRT dan VMAT. Namun, terdapat penurunan HI dan CI yang signifikan pada simulasi perencanaan IMRT dan simulasi berkas Dynalog VMAT. Dosis yang diterima pada OAR masih berada dalam ambang batas penerimaan yang menandakan sparing yang baik pada jaringan sekitar. Untuk prosedur PSQA, teknik 3D-CRT masih menjadi yang paling aman karena tingkat kompleksitasnya yang lebih rendah dibandingkan dengan IMRT dan VMAT, namun tidak menutup kemungkinan bahwa distribusi dosis yang dihasilkan lebih merata.

Radiotherapy is a cancer treatment that uses ionizing radiation to kill cancer cells without fatal consequences to surrounding healthy tissue for curative and palliative purposes. The 3D-CRT is one of the techniques used for irradiation with IMRT and VMAT as an advanced radiation technique, where radiation doses are administered using variated beam modulation and gantry. Therefore, a patient-specific quality assurance (PSQA) procedure is needed to ensure the accuracy of the treatment plan. PRIMO is a Monte Carlo simulation program that can be used in the verification of radiotherapy treatment plan (TPS) by calculating and comparing the dose distribution with the measurement. This study aims to evaluate the performance of the TPS and compare the results of the TPS dose distribution calculation with the PRIMO Monte Carlo simulation. The planning of 3D-CRT, IMRT, and VMAT was carried out using Rando breast phantom at TPS, and then the dose distribution was compared with the results of PRIMO simulation to obtain HI and CI values and evaluate the dose constraint on OAR. Dosimetric evaluation of the dose from the reconstruction simulation at the target volume resulted in an HI value of 0.16 to 0.20 for 3D planning, 0.08 to 0.40 for IMRT planning, and 0.14 to 0.82 for VMAT planning. As well as a CI value of 0.93 to 0.95 for 3D planning, 0.81 to 0.99 for IMRT planning, and 0.67 to 0.95 for VMAT planning. The TPS and Monte Carlo comparison shows that the PSQA conducted on 3D-CRT has a smaller HI and CI deviation than IMRT and VMAT. However, there was a significant decrease in HI and CI in IMRT planning simulations and Dynalog VMAT file simulations. The dose received at OAR is still within the dose threshold tolerances, indicating good sparring in the surrounding tissues. For the PSQA procedure, the 3D-CRT technique is still the safest due to its lower level of complexity compared to IMRT and VMAT, but the resulting dose distribution may be more even."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahda Suwita
"Tujuan penelitian adalah diketahuinya pengaruh pemberian suplementasi makanan cair 500 kalori per hari berturut-turut dari awal radiasi sampai radiasi ke 20 terhadap kadar albumin serum dan berat badan pasien kanker nasofaring yang menjalani kemoradioterapi. Penelitian ini merupakan uji klinis paralel, membandingkan kelompok yang mendapat suplementasi makanan cair disertai penyuluhan gizi dan diet sehari-hari (P) dengan kelompok yang hanya mendapat penyuluhan gizi dan diet sehari-hari saja (K). Sebanyak 18 pasien kanker nasofaring yang menjalani kemoradioterapi yang memenuhi kriteria dibagi dalam dua kelompok secara randomisasi blok. Data yang diambil meliputi usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, stadium penyakit, asupan energi dan protein dengan food recall 1 x 24 jam Serta kebutuhan energi dan protein dengan rumus Harris- Benedict. Pemeriksaan kadar albumin semm Serta berat badan dilalcukan pada awal dan akhir perlakuan. Analisis data menggunakan uji t tidak berpasangan dan berpasangan Serta uji Mann Whitney dengan batas kemaknaan 5%. Diperoleh 8 orang di kelompok P dan 8 orang di kelompok K dengan usia 18-59 tahun yang mengikuti penelitian secara lengkap. Tidak ada perbedaan data awal yang bermakna antara kelompok P dan kelompok K. Pcnurunan ltadar albumin serum pada kelompok P Iebih rendah daripada kelompok K. Diperoleh rerata persentase penurunan berat badan pada kelompok P yang kurang 2,24 % dari kelompok K, namun secara statistik tidak bermakna. Pemberian suplementasi makanan cair 500 kalori per hari berturut-turut dari awal radiasi sampai radiasi ke 20 tidak dapat mempertahankan kadar albumin serum dan mengurangi rerata persentase penurunan berat badan pada kelompok perlakuan.

The aims of this study were to investigate the influence of 500 calorie per day liquid food supplementation from the first day of chemoradiotherapy until twenty times radiation therapy on serum albumin level and body weight in nasopharynx cancer patients undergoing chemoradiotherapy. The study was a parallel randomized clinical trial.` Eighteen subjects of nasopharynx cancer patients treated with a targeted chemoradiotherapy were selected using certain criteria. The randomly (block randomization) eighteen subject were divided into two group. The treatment group received 500 calorie per day liquid food supplementation from the first day of treatment until twenty times radiation therapy, nutrition counseling and daily diet; the control group received nutrition counseling and daily diet alone. This study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Department of Radiotherapy. Data collected included age, gender, body weight and tall, body mass index, intake of energy and protein, and using l x 24 hours food recall. Laboratory 'findings (serum albumin levels) were done before and after intervention. For statistical analysis, impaired t-test, paired t-test and Mann Whitney were used with the level of significance was 5%. Eight subjects in the treatment group and Eight subjects in the control group completed the study and analyzed. The characteristic data of the two groups at baseline were not significantly different, therefore they were closely matched at baseline. There were decrease of serum albumin in both group, but it was lower in the treatment group than the control group, although it is not statistically significant (p>0,05). There were a 23,24 % relative reduction in weight loss in the treatment group but it is not statistically significant. In conclusions, the influence of 500 calorie per day liquid -food supplementation from the first day of chemo radiotherapy until twenty times radiation' did not preserve serum albumin level and were not reduction in weight loss in the treatment group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32853
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kotambunan, Charity
"Tujuan: Membahas perhitungan Tingkat Utilisasi Radioterapi optimal (TURo), aktual (TURa) serta kebutuhan tidak terpenuhi (kesenjangan) antar keduanya untuk kanker serviks dan ovarium di Indonesia. Metodologi: Studi deskriptif desain potong lintang, metode total sampling dengan mengambil data sekunder dari registrasi kanker dan/atau rekam medis internal RS partisipan yang memiliki pusat radioterapi di Indonesia tahun 2019. Hasil: Dari 33 RS partisipan total data kanker serviks dan ovarium adalah 4937 dan 1583. Rata-rata pasien berusia 48-52 tahun (7-91 tahun). Domisili pasien sebagian besar dari Pulau Jawa. Stadium III adalah yang terbanyak untuk kedua kanker serviks (39,4%) dan ovarium (20,8%). Tatalaksana kanker serviks didominasi oleh radioterapi saja dan radioterapi-kemoterapi (28,5% dan 27,4%), sementara kanker ovarium terbanyak adalah kemoterapi-pembedahan (43,8%). Nilai TURo, TURa, dan kebutuhan tidak terpenuhi untuk kanker serviks yaitu 97,2% (90,9-97,4%), 61,24%, dan 36,7% (32,62-37,13%) dan untuk kanker ovarium 1,89% (1,39-4,60%), 4,83%, dan -155,56% (-247,48%-(-5)%). Kesimpulan: TUR masih memiliki kesenjangan yang cukup besar antara aktual dan optimal pada kanker serviks. Sebaliknya, kanker ovarium terkesan adanya utilisasi berlebihan namun kesenjangan terlihat pada eskalasi cakupan yang lebih luas. Diperlukan usaha peningkatan aktualisasi TUR mendekati nilai optimalnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi TUR harus dieksplorasi secara universal meliputi segi pasien, klinisi dan sistem kesehatan.

Purpose: To discuss the calculation of the optimal and actual Radiotherapy Utilization Rate (RURo and RURa) and unmet need (gap) between the two RUR for cervical and ovarian cancer in Indonesia. Methodology: This is a descriptive cross-sectional study with total sampling by taking secondary data from cancer registry and/or medical records of participating hospitals with radiotherapy centers in Indonesia in 2019.
Results: Out of the 33 participating hospitals, the total data on cervical and ovarian cancer were 4937 and 1583. The mean age was 48-52 years old (7-91). Most of the patients were from Java Island. Stage III was the most common for both cancers, 39.4% and 20.8%. The management of cervical cancer was dominated by radiotherapy alone and radiotherapy-chemotherapy (28.5% and 27.4%), while ovarian cancer most were chemotherapy-surgery (43.8%). RURo, RURa, and unmet needs for cervical cancer were 97.2% (90.9-97.4%), 61.24% and 36.7% (32.62-37.13%) and for ovarian cancer were 1.89% (1.39-4.60%), 4.83%, and -155.56% (-247.48%-(-5)%). Conclusion: RUR for cervical cancer still has a sizeable gap between actual and optimal. On the other hand, ovarian cancer gives the impression of overutilization but the gap was seen when escalating wider coverage. Efforts are needed to increase actualization rate close to its optimal value. The factors that affect RUR should be explored universally including the patient, clinician and health system aspects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Dimara
"Latar Belakang: Mukositis oral adalah efek samping radioterapi pada kanker kepala dan leher yang menyebabkan kerusakan akut jaringan normal, nyeri hebat, dan penurunan kualitas hidup. Terapi akupunktur manual merupakan metode non-farmakologis yang efektif untuk mengelola nyeri, mengurangi penggunaan obat anti-nyeri termasuk opioid, serta meningkatkan kualitas hidup pasien. Metode: Penelitian ini adalah studi serial kasus pada 5 pasien kanker Nasofaring dengan Mukositis oral. Terapi akupunktur manual dilakukan selama 20 menit, dengan luaran yang dinilai meliputi skor nyeri (VAS) dan kualitas hidup menggunakan kuesioner EORTC QLQ-H&N35. Hasil: Terapi akupunktur manual secara signifikan menurunkan nyeri berdasarkan VAS pada setiap sesi terapi (Mean Difference VAS: -3.4 hingga -3.8, p < 0.05). Penilaian kualitas hidup berdasarkan EORTC QLQ-H&N35 belum menunjukkan perbedaan signifikan secara statistik, namun analisis individual menunjukkan perbaikan pada beberapa aspek kualitas hidup. Kesimpulan: Terapi akupunktur manual aman dan dapat diberikan pada pasien kanker Nasofaring dengan Mukositis oral untuk mengurangi nyeri tanpa efek samping.

Background: Oral mucositis is a side effect of radiotherapy for head and neck cancer, causing acute damage to normal tissues, severe pain, and reduced quality of life. Manual acupuncture therapy is a non-pharmacological method effective in managing pain, reducing the use of pain medications, including opioids, and improving patients' quality of life. Methods: This study is a case series involving 5 Nasopharyngeal cancer patients with oral Mucositis. Manual acupuncture therapy was performed for 20 minutes, with outcomes measured by pain scores (VAS) and quality of life using the EORTC QLQ-H&N35 questionnaire. Results: Manual acupuncture therapy significantly reduced pain as measured by VAS in each therapy session (Mean Difference VAS: -3.4 to - 3.8, p < 0.05). Quality-of-life assessment based on EORTC QLQ-H&N35 did not show statistically significant differences overall; however, individual analysis indicated improvements in several quality-of-life aspects. Conclusion: Manual acupuncture therapy is safe and can be administered to Nasopharyngeal cancer patients with oral Mucositis to alleviate pain without side effects."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library