Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jasni
"ABSTRAK
Indonesia memiliki jumlah jenis dan potensi produksi rotan yang tertinggi di dunia. Namun, pemanfaatannya masih sangat terbatas pada sejumlah jenis tertentu saja. Keterbatasan ini disebabkan karena kurangnya informasi mengenai sifat-sifat dasar rotan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat dasar rotan yang meliputi; struktur anatomi, kandungan kimia, keawetan dan keterawetan tiga jenis rotan. Jenis rotan yang diteliti ialah rotan sampang (Korthalsia junghunii Miq), rotan bubuay (Plectocomia elongala Bl) dan rotan seuti (Calamus ornatus BI) yang diambil dan Taman Nasional Gunung Halimun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bagian kulit batang rotan ditemukan lapisan epidermis dan endodermis. Yellow caps hanya ditemukan pada ratan sampang dan rotan bubuay. Diameter ikatan pembuluh ketiga jenis rotan tidak berbeda nyata (P>O.05). Begitu juga dengan diameter metaxylem dan diameter phloemnya. Tetapi diameter protoxylem ketiga jenis rotan berbeda nyata (P
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapatlah disimpulkan, bahwa rotan sampang, yang saat ini termasuk jenis tidak komersial, merupakan jenis rotan yang memiliki keawetan dan kekuatan yang tinggi, karena dinding sel serabutnya tebal, diameter rongga protoxylem yang kecil, serta mengandung lignin tinggi dan pati yang rendah. Dalam upaya pengawetan dengan permetrin seyogyanya menggunakan konsentrasi minimal 0.09 ppm.

ABSTRACT
Despite large number of rattan species found in Indonesia, the number of species used for commercial purposes are very limited. There is no doubt that this is partly due to limited information on basic, both physical and chemical, properties of less-or non commercial species. It is known that the basic properties of rattan species contribute to their physical strength and also to their natural resistance against insect attacks. To provide this basic information, a study of anatomical features and chemical contents of rattan species is, therefore, a necessity. In this research, three species of rattan, i.e. sampang (Korthalsia junghunii Miq.), bubuay (Plectocomia elongata Bl.), and seuti (Calamus ornatus Bl.), collected from Gunung Halimun National Park, West Java, were used for the study. The two former species are non-commercial species and the latter represents a commercial species, as a comparison.
Anatomical features of rattan stems were observed under a light microscope. Microtome and maceration techniques were used in preparing the samples. Chemical contents of the rattan stems were analyzed by SII procedures. The resistance of rattan species and the effectiveness of permethrin solutions (0.01, 0.03, and 0.09 ppm) as preservatives against the powder post beetle (Dinoderus mirzutus Fabr.) were also conducted in the laboratory. Five dried stems of each rattan species (2 cm length) were soaked in each concentration for two hours. The sterns were left in a dry room for 30 days. They were also steamed (ca. 20 minutes) and dipped into 3 % of CaOCI2.4H20 solution as they would be used for making furniture. Ten adult beetles were introduced into individually treated stems which was covered with a glass tube. The same procedure was applied to the control, but without adding the preservative. A fifteen days experiment was carried out to find out the stem weight loss and the degree of beetle attacks. The number of insect death was also counted for each treatment during the experiment.
Anatomical features of rattan stems showed that Yellow caps on epidermis layers were only found in sampang and bubuay. The shapes of vascular bundles in sampang, bubuay, and seuti were rhomboidal, rounded, and oval, respectively. There were no significant differences (P>0.05) in the diameter of vascular bundles among the three species observed. A significantly longer fiber sheath (P<0.05) was found in bubuay. The diameter of lumen of bubuay was also significantly bigger (P<0,05) than two other species. However, sampang had a significantly thicker fiber cell wall (P
The result also revealed that sampang and seuti had one metaxylem, whereas two or sometimes one metaxylem was found in bubuay. The diameter of metaxylem and phloem did not differ significantly (P>0.05) among the three rattan species. A significantly bigger diameter of protoxylem (P<0.05), however, was observed in seuti.
Chemical analyses of the rattan stems showed that the three species contained a nearly similar amount of holocellulose, a-cellolose, tannin, and starch. The higherst lignin content was found in sampang, followed by bubuay and seuti. This difference probably makes sampang stems stronger than bubuay and seuti.
Higher degree of resistance against powder beetles was shown by sampang. Its stems significantly received lower degree of attack (P<0.05) and lower weight loss (P<0.05) than two other species tested A significantly higher percentage mortality of beetle (P<0.05) was also observed in sampang. High lignin content may be responsible for the sampang resistance. The higher mortality of beetles in sampang may be due to its lower content of starch It was clearly shown, from the experiment, that the starch content tended to correlate negatively with the beetle mortality. Low starch contents in the stems resulted in high beetle mortality.
Permethrin was not only toxic to powder post beetle, but it also reduced the beetle attacks. All rattan stems were prevented from further damage by permethrin treatments. Increasing the permethrin concentration significantly reduced the degree of beetle attack and the stem weigth loss, and increased the beetle mortality (P<0.05). Total mortalities of beetles were found on stems treated with 0.09 ppm of permethrin solution.
From the result it can be concluded that sampang, categorired as non-commercial species, anatomically seems to be the strongest among the three rattan species studied, followed in order by seuti and bubuay. Sampang is also naturally more resistant againts the powder post beetle than two other species. It is recommended to treat the rattan stems with at least 0.09 ppm of permethrin solution to give a full protection from powder post beetle attacks.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halidi
"Indonesia adalah negara penghasil rotan terbesar di dunia (± 80%) produksi rotan dunia. Ratan (calamus sp.) yang di kelompokkan sebagai produk hasil hutan ikutan non kayu, merupakan penghasil devisa yang cukup besar, yakni sekitar 60% dari total nilai ekspor hasil hutan ikutan non kayu.
Produksi rotan selain diambil dari rotan alam, juga merupakan hasil pembudidayaan masyarakat. Potensi produksi rotan alam Indonesia mencapai 664.800 ton per tahun. Sedangkan potensi budidaya tanaman rotan masyarakat besarannya belum diketahui secara pasti. Walaupun potensi produksi rotan Indonesia begitu besar, tetapi pada kenyataannya industri barang jadi rotan di dalam negeri mengalami kekurangan bahan baku, sehingga komoditas barang jadi rotan Indonesia kalah bersaing di pasar dunia dengan produk yang sama dari negara lain yang justru bahan baku rotannya berasal dari Indonesia.
Kebijakan tataniaga rotan adalah salah cara untuk mengatasi permasalahan kekurangan bahan baku rotan untuk industri barang jadi rotan di dalam negeri. Dengan semakin meningkatnya ketersediaan bahan baku rotan untuk industri barang jadi rotan di dalam negeri, keunggulan komparatif komoditas barang jadi rotan Indonesia semakin besar. Dengan keunggulan komparatif komoditas barang jadi rotan Indonesia yang semakin besar, nilai ekspor barang jadi ratan semakin tinggi yang pada akhirnya tenaga kerja yang dapat di serap oleh industri barang jadi ratan semakin banyak.
Dari permasalahn tersebut.di atas, maka tesis yang di beri judul "Analisis Dampak Kebijakan Tataniaga Ratan di indonesia" ini bertujuan: Pertama, mengkaji pengaruh kebijakan tataniaga rotan terhadap peningkatan nilai ekspor barang jadi rotan Indonesia. Kedua, mengidentifikasi keunggulan komparatif Indonesia dan keunggulan komparatif beberapa negara lainnya pada komoditas barang jadi berbahan baku utama rotan di pasar dunia. Ketiga, meberikan gambaran dampak (manfaat) dari kebijakan tataniaga rotan bagi perencanaan pengembangan industri rotan Indonesia ke depan (sektor hulu dan hilir), baik di tingkat regional maupun nasional. Alat analisis yang di gunakan dalam penelitian ini adalah RCA (Revealed Comparative Advantage) dan model regresi linear berganda (multiple regression). Data yang digunakan adalah data sekunder, runtut waktu (Tahun 1976 sampai dengan tahun 2003).
Hasil dari analisis RCA (Revealed Comparative Advantage), menunjukkan bahwa kebijakan tataniaga rotan berpengaruh positif terhadap peningkatan keunggulan komparatif Indonesia pada komoditas barang jadi berbahan baku utama ratan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai indeks RCA, meningkat dari 0,27 pada tahun 1987 menjadi 1,19 tahun 1989. Pada tahun 1989, Indonesia mulai memiliki keunggulan komparatif pada komoditas barang jadi rotan, dimana pada tahun-tahun sebelumnya belum memiliki. Selanjutnya dari analis model regresi menunjukkan bahwa kebijakan tataniaga rotan berpengaruh positif terhadap nilai ekspor barang jadi rotan Indonesia. Hal ini di buktikan dari hasil uji model persamaan nilai ekspor barang jadi rotan Indonesia yang menunjukkan bahwa nilai ekspor barang jadi rotan Indonesia secara signifikan di pengaruhi oleh nilai ekspor rotan asalan; jumlah tenaga kerja pada industri barang jadi rotan, tingkat keunggulan komparatif komoditas barang jadi berbahan baku utama rotan serta kebijakan tataniaga rotan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T20566
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhsan
"Indonesia merupakan negara yang mendominasi bahan baku
rotan dunia, untuk itu perlu meningkatkan upaya yang dapat melestarikan
sumberdaya rotan sehingga tetap dapat diambil manfaatnya bagi masyarakat
dan bagi devisa negara. Masalah yang timbul adalah semakin Iangkanya
sumberdaya rotan di hutan alam dan bagaimana mengusahakan
pengembangannya melalui budidaya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) seberapa besar potensi
rotan yang terdapat di hutan alam; (2) jenis bahan baku apa yang diperlukan
dan berapa besar drbutuhkan oleh industri rotan; serta (3) mengetahui
kelayakan budidaya rotan dilihat dari segi teknis, lingkungan dan sosial
ekonomi. Sehubungan dengan itu untuk kawasan hutan KPH Sukabumi
diajukan dua hipotesis yaitu (1) potensi rotan alat dapat memenuhi
kebutuhan industri rotan Tegalwangi; dan (2) kawasan hutan layak untuk
dijadikan kawasan budidaya rotan. Desain penelitian berupa survai analitis,
di mana data potensi rotan alam diambil dengan menggunakan sistematik
sampling dengan unit contoh berupa jalur dengan intensitas 0,05%,
sedangkan data lain diambil melalui pengamatan lapangan, wawancara
bebas dengan buruh kerja, data dari sentra industri rotan Tegalwangi serta
pustaka.
Pengolahan data potensi rotan dilakukan dengan metoda Ratio estimate in
stratified sampling (dengan stratum pertama berupa hutan produksi dan
stratum kedua berupa hutan lindung). Anallsis finansial diolah dengan
menggunakan metode Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return
(IRR), Benefit-Cost (B/C) ratio dan metode Pay Back Period (PBP).
Dari data diperoleh hutan alam KPH Sukabumi terdapat rotan lokal
batangan masak tebang sebanyak 11.278.671 batang terdiri dari 8.526-181
batang terdapat di hutan produksi dan 4.750.491 batang terdapat di hutan
lindung dengan jenis-jenis sebagai berikut Balukbuk (Plectocomia
griffithii), Teretes (Calamus heteroides), Seuti (C. scipionum), Seel
(Daemonorops hystrix), Sampay (Korthalsia junghunif), Pelah (C.
perokensis), dan Mencek (D. langipes). Sedangkan jenis-jenis yang
digunakan industri rotan Tegalwangi pada tahun 1991 yang berjumlah 6.404.010 batang berasal dari jenis Manau (C. manan), Seuti, Mandola,
Seel, Tohiti (C. irops), Balukbuk, Teretes dan Semambu (C. scorpionum)
dengan laju peningkatan penggunaan rotan batangan 30,07% per tahun.
Sedangkan rotan jari masak tebang terdapat sebesar 91.501,74 kg di mana
36.169,46 kg terdapat di hutan produksi dan 58.521,40 kg terdapat di hutan
lindung, dengan jenis-jenis berupa Peuteuy (C. ciliaris), Omas (C.
oxleiyamus), Leules (C. asperrimus), Kidang (D. grandis) dan Cacing (C.
javensis). Adapun bahan baku yang digunakan oleh industri Tegalwangi
pada tahun 1991 berjumlah 3.310.000 kg dengan jenis yang dibutuhkan
berupa rotan Sega (C. caesius), Irit (C. trachycoleus) dan Pulut, dengan laju
peningkatan penggunaan rata-rata sebesar 23,74% per tahun.
Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis pertama ditolak karena rotan alam
lokal KPH Sukabumi tidak dapat memenuhi akan jenis yang diminta
maupun dari ketersediaan potensi rotan yang terdapat di alum secara terus
menerus.
Dengan mempertimbangkan permintaan pasar, kesesuaian tempat tumbuh,
kemudahan penyediaan benih, teknik silvikultur, peluang teknologi dan
kualitas hasil yang diharapkan maka jenis yang dipilih untuk dibudidayakan
adalah rotan Manau, Seel, Seuti, Balukbuk, Pelah dan Teretes.
Dengan analisis finansial pada discounted rate 16% layak dibudidayakan
rotan dalam bentuk tanaman pengisi dari jenis rotan lokal maupun rotan
Manau. Sedangkan dengan mempertimbangkan permintaan pasar dan
kondisi resistensi lingkungan maka sebaiknya dilaksanakan budidaya dalam
bentuk tanaman pengisi roman campuran. Kondisi ini juga didukung oleh
kondisi sosial masyarakat yang memerlukan penyediaan lapangan kerja,
dalam hal mana budidaya rotan dengan sistem ini dapat menyerap 641 orang
tenaga kerja, sehingga hipotesis kedua dapat diterima.

Abstract
Indonesia is a country that dominates rattan supply for the
worldwide. As of this, Indonesia must make efforts to conserve the
resources while at the same takes advantages of its resources and the foreign
exchange. The problems here were (1) the concern was that the rattan
resource in the natural forest was declining too much that it would soon be
endangered; (2) the effort to improve this condition can be made-through
planting (cultivation).
These research objectives were to assess the potency of rattan in the natural
forest, and to assess the feasibility of each variety of rattan planting that
would considering the technical, environmental and social economical aspects. The hypotheses were (1) the potency of natural rattan which should
fulfill the demand of Tegalwangi rattan industry; (2) the forest area should
be feasible for the rattan planting area. The research design was analytical
survey. The sampling technique for the rattan potency data was systematic
sampling, with lines sampling units and its intensity was 0,05%.
Observation, interview and secondary sources have collected the other data.
The rattan potency data were processed by the ratio estimated in stratified
technical sampling method, where the first stratum was production forest
and the second stratum was protection forest. Net Present Value (NPV),
Internal Rate of Return (IRR), Benefit-Cost (BC) Ratio and Pay Back
Period processed the financial analyses.
In the natural forest of KPH Sukabumi that has been found 13,278,671
pieces mature trees of local rattan which consist of 8,526,181 pieces ?riom
production forest and 4,750,491 pieces from protection forest. Those rattan
species were Balukbuk (Plectocomia griffithii), Teretes (Calamus
heteroides), Seuti (C. scipionum), Seel (Daemonorops hystrix), Sampay
(Korthalsia junghunii), Pelah (C. perokensis), and Mencek (D. Iangipes). In
1991 Tegalwangi rattan industry used 6,404,010 pieces rattan, its species
were Manau (C. manan), Seuti, Mandela, Seel, Tohiti (C. irops), Balukbuk,
Teretes and Semambu (C. scorpionum), with a rattan using growth rate of
30.07% per annum.
The mature finger rattans that have been found were as follows 91,501.74
kg where 36,169.46 kg was in the production forest and 58,521.40 kg was in
the protection forest. Those rattan species were Peuteuy (C. ciliaris), Omas
(C. oxleiyamus), Leules (C. asperrimus), Kidang (D. grandis) and Cacing
(C. javensis). In 1991 Tegalwangi rattan industry used 3,310,000 kg which
its species were Sega (C. caesius), Irit (C. trachycoleus) and Pulut, with a
rattan using growth rate of 23.74% per annum.
Based on those data, the first hypothesis was rejected, because the local
natural rattan from KPH Sukabumi could not fulfill the demand of the
species and supply continually.
The selected species for planting were Manau, Seel, Seuti, Balukbuk, Pelah
and Teretes. The considering was based on the market demand, habitat
suitability, ease of seed supply, silviculture technic, technology and crop
quality.
Based on the financial analysis on 16% discounted rate, the rattan should be
feasible for planting in inter-planting form, from both local rattan and
Mauna rattan. Considering on the market demand and the environment
resistance condition, the planting should be done in mixed rattan inter-
planting form. This condition should be supported by a societal condition
that needs working opportunities. The rattan planting by this system needs
641 workers; thus the second hypothesis was accepted."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T3101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Selangor: Institut Kraf Negara, 2009
R 745.5 SEN
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Armeity Rossi Triwahyuni
"Rotan merupakan komoditas hasil hutan non-kayu terbesar di Indonesia dan sebesar 80% telah diekspor ke seluruh dunia, hal tersebut menyebabkan pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait tataniaga rotan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak dari kebijakan pembatasan ekspor rotan mentah terhadap ekspor produk rotan Indonesia dan mengidentifikasi faktor-faktor apa yang mempengaruhi ekspor produk rotan Indonesia ke lima negara terbesar pengimpor produk rotan. Penelitian ini menggunakan data panel metode Pooled Least Square. Dampak dari kebijakan pembatasan ekspor rotan mentah akan menurunkan permintaan volume ekspor produk rotan ke lima negara terbesar pengimpor produk rotan. GDP perkapita lima negara terbesar pengimpor produk rotan, nilai tukar riil, krisis ekonomi Indonesia dan krisis ekonomi dunia mempengaruhi volume ekspor produk rotan Indonesia ke lima negara terbesar pengimpor produk rotan.

Rattan is a commodity of non-timber forest products in Indonesia and 80% have been exported all over the world, it causes the government issued several policies related rattan trading system. This study was conducted to determine the policyimpact of the restriction on the export of rattan on Indonesian rattan products and identify the factors that influence the Indonesian rattan product exports to five countries importing the largest Indonesian rattan products. This study uses panel data Pooled Least Square method. Policy-impact of the restriction on export of rattan will decrease to five countries importing the largest rattan products. GDP per capita of the five largest importer of rattan products, real exchange rate, Indonesia and the world economic crisis affects the volume of Indonesian rattan product exports to five countries importing the largest rattan products."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42792
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setianto
"ABSTRAK
Bertahun-tahun lamanya pendapatan devisa dari minyak bumi
menjadi andalan penerimaan negara dalam membiayai pembangunan
nasional. Dengan merosotnya harga minyak bumi, maka pendapatan
pemerintahpun menjadi berkurang dengan drastis. Kemerosotan harga
minyak bumi segera di susu1 dengan turunnya harga produk-produk
primer lainnya yang biasanya dipasok oleh Indonesia.
Dengan latar belakang peristiwa tersebut, pemerintah dipaksa
untuk mengembangkan ekspor komoditas nonmigas. Sektor yang selama
komoditas migas masih menjadi primadona bagi penerimaan
pemerintah belum mendapat perhatian.
Salah satu komoditas yang dikembangkan ekspornya adalah
komoditas hasil hutan, sumber daya yang tersedia melimpah di
Indonesia. Industri kayu lapis telah memberikan sumbangan yang
sangat besar bagi penerimaan devisa pemerintah, kemudian disusul
dengan rotan. Pada mulanya rotan diekspor dalam bentuk bahan baku
dan bahan setengah jadi. Adanya keinginan untuk mendapatkan
devisa yang lebih besar ataupun adanya desakan dari golongan
tertentu yang meminta fasilitas (rent seeker) maka diterbitkanlah
kebijakan perdagangan internasional dalam subsektor rotan.
Kebijakan tata niaga ekspor rotan tersebut dimulai dengan
pelarangan ekspor bahan baku kemudian dilanjutkan dengan
pelarangan ekspor rotan setengah jadi. Kebijakan perdagangan
internasional dalam tata niaga ekspor rotan ini telah menimbulkan
berbagai dampak negatif bagi masyarakat berupa merosotnya harga
bahan baku rotan serta hilangnya lapangan pekerjaan bagi puluhan
ribu petani kecil pemungut dan pengumpul rotan.
Merosotnya bukan saja volume ekspor tetapi juga nilai ekspor
rotan mengisyaratkan belum siapnya para calon investor untuk
terjun dalam industri pengolahan rotan.
Kebijakan tata niaga ekspor rotan bukanlah kebijakan yang
optimal, mengingat banyak dampak negatif yang ditimbulkan dengan
adanya kebijakan tata niaga ekspor rotan tersebut.
Analisis keunggulan komparatif industri rotan Indonesia baik
analisis statis (1989) maupun analisis dinamis dengan
menghitung DDRC tahun 2000 dengan pendekatan harga pasar
menghas i 1 kan kes i mpu l an bahwa pengembangan i ndustr i rotan untuk
saat ini maupun sampai tahun 2000 masih layak (feasible), karena
masih memiliki daya saing internasional. Meskipun terjadi
penurunan daya saing internasional karena indeks DRC untuk tahun
1989 = 0,85 meningkat menjadi 0,88 pada tahun 2000.
Dengan terbatasnya waktu, perhitungan keunggulan komparatif
yang bi sa di 1 akukan baru pad a ti ngkat satu macam produk rotan
yaitu mebel (furniture). Sangat diharapkan di kemudian hari akan
dilanjutkan penelitian pada jenis produk yang lain seperti:
anyaman (webbing) lampit (mats) serta produk yang lainnya.
Sehingga akan memberikan gambaran yang lebih lengkap
(comprehensive) lagi tentang keunggulan komparatif pada industri
rotan di Indonesia.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Asriyadi
"ABSTRAK
Pembangunan sektor industri dalam Repelita V, seperti yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) memegang peranan strategis dalam upaya meletakkan landasan pembangunan yang kokoh bagi tahap pembangunan jangka panjang selanjutnya. Implementasinya adalah melalui pendayagunaan yang optimal dari kemampuan dan modal dalam negeri serta pelaksanaan kebijaksanaan yang menunjang upaya peningkatan kemampuan pengusaha kecil dan golongan ekonomi lemah, yakni dengan jalan menciptakan pemerataan kesempatan berusaha bagi segenap lapisan masyarakat. Kelompok industri telah berperan besar dalam perluasan lapangan kerja baru, kesempatan berusaha dan pemerataan pendapatan. Hal ini berarti bahwa perkembangan industri kecil kian menjadi bagian yang penting dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
Kajian industri kecil senantiasa menarik perhatian berbagai pihak untuk dipelajari, serta seringkali menimbulkan argumentasi yang kontradiktif mengenai keberadaannya. Pada satu sisi, industri kecil dilihat sebagai suatu kegiatan usaha yang kurang profesional. Keberadaannya sering dikaitkan dengan usaha yang dikelola oleh masyarakat miskin, skill terbatas, tehnologi tradislonal dan memerlukan pertolongan pemerintah karena kerapuhan usahanya. Tetapi disisi lain, industri kecil dilihat sebagai tulang punggung perekonomian masyarakat. Tidak semua kegiatan produksi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif 'melalui usaha skala besar, itulah sebabnya di banyak negara maju keberadaan usaha kecil menjadi mutlak.
Rotan sebagai salah satu komoditi yang diandalkan untuk ekspor merupakan kelompok jenis tumbuhan-tumbuhan hutan yang angat penting setelah hasil kayu. Pada mulanya rotan diperdagangkan dalam bentuk rotan asalan di mana belum dilakukan pemrosesan lebih lanjut, sehingga nilai ambahnya masih rendah. Melihat kondisi di mana ekspor rotan masih berupa rotan mentah tersebut maka dengan pertimbangan dapat diciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat, meningkatkan nilai tambah dan lainlainnya serta juga sesuai dengan program pemerintah yang telah dicanangkan dalam pembinaan industri kecil.
Sejalan dengan perkembangan industri kecil, maka pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijaksanaan tata niaga rotan dengan maksud untuk melindungi keberadaan industri kecil tersebut.
Berbicara mengenai; tata niaga rotan tidak akan terlepas dari masalah pemasaran, yang dirasakan sangat sulit dalam suasana persaingan yang sangat ketat dengan industri besar rotan maupun dengan negara-negara pengeksport rotan seperti Taiwan, Korea Selatan, Jepang dan lain-lainnya. Dalam iklim ekonomi seperti apapun, pertimbangan-pertimbangan pemasaran tetap merupakan faktor yang sangat menentukan dalam meningkatkan peran industri kecil rotan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat. Pemasaran dalam hal ini bisa Alga dikatakan sebagai saluran pendistribusian rotan dari industri kecil sebagai produsen sampai pada konsumen yang membutuhkan sebagai mata rantai akhir dalam distribusi ini. Dalam menjalankan proses pemasarannya atau proses pendistribusiannya ini dilakukan oleh berbagai macam perantara, seperti perseorangan, kelompok maupun perusahaan. Peranan perantara sangat dominan di dalam menentukan keberhasilan industri kecil rotan. Dengan demikian akan menimbulkan banyak permasalahan-permasalahn yang dihadapi industri kecil baik dalam memperoleh bahan baku maupun dalam memasarkan produk.
Masalah yang ada dalam mata rantai/ distribusi rotan dapat dianalisis dengan berbagai pendekatan. Namun penelitian di sini hanya akan berusaha menganalisa dengan pendekatan perilaku antar organisasi dalam mata rantai tersebut serta biaya transaksi terhadap keberhasilan industri kecil tersebut. Perilaku antar organisasi dalam mata rantai rotan tersebut berupa adanya kerjasama dalam menjalankan mata rantai tersebut, serta dalam menjalankan tugasnya sering terjadi perbedaan-perbedaan yang akhirnya terjadi konflik antar organisasi. Kedua perilaku organisasi inilah yang akan menentukan berhasil atau tidaknya industri kecil tersebut. Disamping itu juga diperhitungkan adanya biaya transaksi yang ditimbulkan dalam melakukan pertukaran ( exchange ) melalui mata rantai / saluran distribusi rotan tersebut.
Untuk memperoleh kejelasan, mengenai pokok permasalahan yang ada, maka ditarik sejumlah responden sampel, yaitu pengusaha industri kecil rotan di wilayah desa Trangsan Kecamatan Gatak Kabupaten Daerah Tingkat II Sukoharjo Jawa Tengah. Adapun populasi dari pengusaha industri kecil ratan di desa Trangsan ada 121 pengusaha. Sedangkan sampel penelitian ini diambil hamper setengahnya yaitu sebesar 50 responden. Dengan menggunakan tehnik pengambilan sempel yaitu Simple Random Sampling atau penarikan sampel secara random sederhana dengan cara Undian. Sejalan dengan Jenis skala ukur yang digunakan untuk mengukur variabel-variabel yang diteliti, karena pembuatan skala pengukuran mempunyai arti yang sangat penting dalam penelitian di mana data yang diperoleh dilapangan masih bersifat kualitatif. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan petunjuk Skala Likert, dengan menggunakan modifikasi yang dianggap perlu. Dan juga secara dominan akan dipergunakan analisa kuantitatif dengan memanfaatkan formula korelasi sederhana dan korelasi berganda ( majemuk ) dengan interpretasi pembahasannya.
Berdasarkan data plural yang terkumpul, baik dari responden sampel ( melalui proses wawancara dan pengamatan ) maupun dari data sekunder, maka beberapa hasil penelitian yang dapat dikemukakan di sini adalah sebagai berikut :
Pertama, keberhasilan usaha para pengrajin rotan di desa Trangsan Kecamatan Gatak Kabupaten Dati II Sukoharjo bisa dikatakan tidak berhasil atau statis. Hal ini terbukti dari hasil uji korelasi yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara konflik dengan keberhasilan usaha. Artinya semakin tinggi konflik yang terjadi, maka akan semakin rendah keberhasilan yang dicapai oleh industri kecil ratan. Hal ini menunjukkan, bahwa perilaku konflik dapat dikatakan tidak berhasil. Di mana konflik cenderung untuk menimbulkan biaya transaksi yang tinggi dan akan mengakibatkan perkembangan/keberhasilan industri kecil menjadi statis.
Kedua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku kerjasama antara pengrajin baik dengan eksportir maupun dengan broker cukup baik. Dengan demikian dapat dikatakan perilaku kerjasama cukup berhasil dan tidak mengakibatkan biaya transaksi yang tinggi. Kerjasama di sini diukur dengan kepercayaan yang diberikan pengrajin pada eksportir yaitu berupa pesanan yang selalu ada dan berkesinambungan. Untuk itu dapat dikatakan bahwa memang ada- kerjasama tetapi oleh karena-perilaku konflik itu lebih kuat, maka keberhasilan industri kecil rotan tersebut rendah/statis.
Ketiga, Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang kuat antara biaya transaksi dengan keberhasilan usaha industri kecil rotan. Artinya, ada kecenderungan bahwa semakin tinggi biaya transaksi yang dikeluarkan akan semakin rendah tingkat keberhasilan usaha industri kecil. Hal ini disebabkan karena pesanan eksportir maupun broker sangat dominan serta memiliki semua sumber Jaya yang dibutuhkan untuk melakukan pemasaran baik informasi, keahlian maupun asset lainnya. Dengan perilaku-perilaku opportunistik tersebut secara otomatis akan berakibat pada pengusaha industri kecil yaitu dengan semakin besarnya kesulitan-kesulitan dalam melakukan transaksi-transaksi.
"
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Djatmiko
Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tetto Wisanggeni Galmantro
"Cirebon merupakan sentra kerajinan rotan yang sudah terkenal sejak periode 1930- an dengan pusatnya yang berada di Desa Tegalwangi, Kecamatan Weru. Usaha tersebut dirintis oleh salah satu warganya hingga berkembang menjadi sentra kerajinan rotan sampai mendapat perhatian pemerintah Orde Baru pada tahun 1970 untuk mengembangkan industri rotan sampai ke pasar ekspor. Penelitian ini membahas tentang perkembangan industri rotan Desa Tegalwangi tahun 1970 – 1990-an dengan menggunakan metode Sejarah yang meliputi, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Sumber yang digunakan berupa arsip pemerintah, berita surat kabar, buku, dan jurnal artikel sebagai pendukung. Penelitian tentang industri rotan di Indonesia memang sudah ada, tetapi penelitian tentang industri rotan di Desa Tegalwangi, Cirebon masih jarang khususnya pada periode 1970 – 1990-an. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan industri rotan yang dilakukan pemerintah Orde Baru melalui program pilot project di Desa Tegalwangi dengan memberikan bantuan berupa pelatihan serta kredit modal kepada para perajin dan pengusaha. Hal tersebut kemudian berdampak pada pertambahan jumlah perusahaan rotan, penyerapan tenaga kerja yang meningkat, rotan Tegalwangi yang berhasil menembus pasar internasional, meningkatnya kesejahteraan warga desa. Tetapi terdapat juga dampak buruk, yaitu pengusaha yang kekurangan bahan baku dan aksi penjiplakan desain.
Cirebon has been famous since the 1930s as a rattan craft center that with its center in Tegalwangi Village, Weru District. This business was started by one of the residents and developed into a rattan craft center until it received attention from the New Order government in 1970 to develop the rattan industry to the export market. This research discusses the development of the rattan industry in Tegalwangi Village in the 1970s - 1990s using historical methods which include heuristics, verification, interpretation and historiography. The sources used are government archives, newspaper reports, books and journal articles as support. Research on the rattan industry in Indonesia already exists, but research on the rattan industry in Tegalwangi Village, Cirebon is still rare, especially in the 1970 - 1990s period. The research results show that the development of the rattan industry was carried out by the New Order government through a pilot project program in Tegalwangi Village by providing assistance in the form of training and capital credit to craftsmen and entrepreneurs. This then had an impact on increasing the number of rattan companies, increasing employment opportunities, Tegalwangi rattan succeeded in penetrating the international market, improving the welfare of village residents. However, there are also bad impacts, such as rattan entrepreneurs lacking raw materials and plagiarizing designs."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2   >>