Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marsha Maharani
"

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pasal-pasal terkait pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual. Rangkaian regulasi tersebut secara tekstual mengalienasi hak-hak perempuan lajang atas pemenuhan HKSR mereka, karena hanya perempuan menikah saja yang berhak atas kesehatan seksual dan reproduksi. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian sosio-legal, dengan menganalisis implikasi dari pasak-pasal dalam ketiga peraturan perundang-undangan tersebut melalui pendekatan kualitatif. Temuan dalam penelitian ini adalah: 1. Rangkaian regulasi kesehatan seksual dan reproduksi yang berlaku berpotensi menjadi justifikasi untuk menolak perempuan lajang yang ingin mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi; 2. Rangkaian regulasi yang ada berperan dalam penegakan stigma negatif yang menyelubungi pemenuhan HKSR bagi perempuan lajang; dan 3. Perlunya rangkaian regulasi yang sensitif dengan isu gender dan harusz inklusif bagi semua perempuan dan tidak hanya merujuk kepada pengalaman perempuan berstatus menikah.

 


This research aims to analyze the laws around Sexual and Reproductive Health Rights (SRHR) in Law on Health (Law No. 36/2009), Government Regulation on Reproductive Health (Government Regulation No. 61/2014) and Minister of Health Regulation on Health Services during Pre-Pregnancy, Pregnancy, Childbirth and Post-Childbirth, Contraceptive Services and Sexual Health Services (Minister of Health Regulation No. 97/2014). These laws and regulations textually alienate unmarried women and their sexual and reproductive health rights since the laws only recognizes sexual and reproductive health rights for married women. The method used to conduct this research is socio-legal method, which analyzes the implication that comes from the aforementioned laws and regulations through qualitative approach. This research finds: 1. The laws and regulations on sexual and reproductive health has the potential to justify any medical facility to reject unmarried women that wanted to access sexual and reproductive healthcare; 2. The existing set of law and regulations has a role in upholding the negative stigma surrounding SRHR for unmarried women; and 3. There is a need for a set of laws and regulations that are sensitive to gender issues and that it should be inclusive to all women and not only centered around the experience of married women.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eugenia Leonetta Handarto
"Pemeriksaan forensik merupakan salah satu bentuk penanganan korban kekerasan seksual yang sangat penting untuk pembuktian kasus dalam pengadilan. Namun prosedur pemeriksaan forensik bisa menambah trauma khususnya pada alat reproduksi korban, baik fisik maupun psikis, terutama untuk perempuan di bawah umur yang memiliki kemampuan berpikir yang terbatas. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, penelitian ini bermaksud menjawab bentuk perlindungan kesehatan reproduksi perempuan di bawah umur menurut undang-undang, prosedur pemeriksaan forensik perempuan di bawah umur sebagai korban kekerasan seksual, dan perlindungan kesehatan reproduksi perempuan di bawah umur dalam prosedur pemeriksaan forensik tersebut. Hukum yang melindungi kesehatan reproduksi dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, namun hukum yang melindungi kesehatan seksual sebagai bagian penting dari kesehatan reproduksi masih sangat sedikit. Selain dari itu, masih ada banyak masalah yang membuat perempuan di bawah umur mengalami ketidaknyamanan dan trauma ketika melalui prosedur pemeriksaan forensik kekerasan seksual. Terhadap masalah tersebut, perlu dilakukan perbaikan pada hukum mengenai kesehatan reproduksi dan pada akses pemeriksaan forensik yang aman dan nyaman, termasuk tapi tidak terbatas pada penanggungan semua biaya terkait pemeriksaan forensik dan pengobatan kekerasan seksual.
......Forensic examination is one form of response in handling victims of sexual assault, which is very important for case examinations during trial. However, forensic examination procedures can add to the trauma, especially to the victim’s reproductive organs, both physically and psychologically, especially for underaged girls who have limited thinking capacity. By using the normative juridical method, this study aims to answer the forms of protection of reproductive health for underaged girls according to the law, the forensic examination procedure for underaged girls as victims of sexual assault, and the protection of reproductive health for underaged girls in said forensic examination procedure. Laws that protect reproductive health are stipulated in various laws and regulations, one of which is Government Regulation No. 61 of 2014 regarding Reproductive Health, however, there are very few laws that protect sexual health as an important part of reproductive health. Apart from that, there are still many problems that gives discomfort and trauma to underaged girls when going through a forensic examination procedure for sexual assault. Regarding this problem, it is necessary to improve the law on reproductive health and access to forensic examinations that are safe and comfortable, including but not limited to covering all costs related to forensic examinations and treatments of sexual assault."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library