Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmi Solehah
"Besarnya masalah HIV dan AIDS secara global dan nasional serta tingginya angka kumulatif penderita pada usia remaja, maka salah satu cara menghindari penularannya adalah dengan merubah perilaku seksual berisiko tertular HIV. Salah satu cara untuk merubah perilaku berisiko tersebut adalah dengan menyebarluaskan informasi mengenai HIV dan AIDS pada remaja. Kini banyak Lembaga Swadaya Masyarakat yang memberi perhatian terhadap masalah kesehatan reproduksi dan seksual pada remaja, hal ini merupakan wadah yang sangat baik bagi remaja dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan termasuk masalah HIV dan AIDS.
Penelitian dengan pendekatan potong lintang ini bertujuan mengukur pengetahuan, sikap dan perilaku seksual berisiko tertular HIV dan AIDS pada remaja pasar kelompok dampingan PKBI DKI Jakarta di wilayah Jakarta Timur. Penelitian ini juga ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhinya. Pengambilan sampel dilakukan dengan kuisioner terstruktur pada 98 responden yang diambil secara acak sederhana berdasarkan data yang tersedia di PKBI DKI Jakarta. Analisa data dilakukan secara univariat dalam bentuk distribusi frekuensi, kemudian secara bivariat melalui uji chi square untuk melihat hubungan antara variabel bebas dengan variable terikat. Hasil analisis secara statistik menunjukkan bahwa sepertiga dari kelompok dampingan berperilaku seksual berisiko tertular HIV dan AIDS (35,7%). Angka yang cukup besar mengingat responden masih berusia remaja dan belum menikah. Sebagian besar dari responden telah memiliki pengetahuan baik mengenai HIV dan AIDS (60%) meskipun beberapa masih bercampur dengan informasi yang keliru. Pengetahuan yang keliru dapat dilihat dari jawaban bahwa penyakit AIDS hanya menyerang kaum homoseksual (11,2%), atau penularan HIV salah satu caranya dengan pemakaian handuk bersamaan (23,5%). Dalam hal sikap, proporsi responden yang bersikap positif sebanding dengan yang memiliki sikap negatif.
Sebagian besar responden berada pada usia 20-24 tahun (70,4%) dan berjenis kelamin laki-laki (63,3%). Dalam hal pendidikan formal yang ditamatkan proporsi remaja berpendidikan tinggi (¡Ý SMA) (43,9%) hampir sama dengan remaja yang berpendidikan rendah (¡ÜSMP) (56,1%). Sebagian besar responden pernah menggunakan NAPZA (61,2%) dan proporsi yang berada pada lingkungan pasar kurang dari 3 tahun sama dengan yang telah lebih dari 3 tahun. Hampir seluruh responden telah terpapar media porno, hanya 8 remaja yang mengaku tidak pernah terpapar. Remaja yang terpapar informasi lebih dari 3 sumber proporsinya hampir sama dengan responden yang terpapar informasi kurang dari 3 sumber. Remaja yang telah didampingi lebih dari 4 kali oleh petugas outreach (¡Ý 4 kali) sebesar 53,1% dan 46,9% telah didampingi kurang dari 4 kali.
Variabel yang memiliki hubungan signifikan dengan pengetahuan HIV dan AIDS hanyalah frekuensi pendampingan (p-value 0,031; OR=2,47; 95% CI=1,07-5,67). Kemudian hanya variabel pengetahuan yang memiliki hubungan signifikan dengan variabel sikap terhadap HIV dan AIDS (p-value 0,017; OR=2,75; 95% CI=1,19-6,36). Dan hasil uji hipotesis dengan perilaku berisiko terdapat 4 variabel yang memiliki hubungan signifikan yaitu umur (p-value 0,022; OR=3,25; 95% CI=1,11-9,56), jenis kelamin (p-value 0,013; OR=3,19; 95% CI=1,21-8,40), penggunaan NAPZA (p-value 0,000; OR=20,57; 95% CI=4,54-93,26 ) dan keterpaparan media porno (p-value 0,008; OR=4,69; 95% CI=1,28-17,19).
Peneliti mendukung akan program-program yang dilakukan oleh PKBI maupun LSM lain dalam usaha menanggulangi penularan penyakit AIDS. Usaha ini tentunya tidak dapat terlaksana tanpa peran serta masyarakat, pemerintah maupun pihak-pihak terkait. Pemberian informasi sepatutnya diberikan secara tepat dan sesuai dengan kebutuhan remaja. Hindari pembuatan media informasi dengan gambar yang mendekati pornografi, karena dikhawatirkan pesan tidak tersampaikan dengan baik. Dalam menyebarkan informasi tentang cara pencegahan penularan HIV, pemberi informasi harus mengurutkan atau menekankan bahwa cara pertama pencegahan adalah tidak melakukan hubungan seks, kedua bersikap saling setia dengan pasangan seks dan terakhir bagi kelompok yang berisiko adalah penggunaan kondom. Bagi remaja, tidak melakukan hubungan seksual pra nikah adalah sangat dianjurkan karena selain bertentangan dengan norma agama tentu akan merugikan kesehatan reproduksi dan kehidupannya di masa yang akan datang."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Luluk Rosida
"[Penelitian bertujuan mengetahui kepadatan hunian, aktivitas seksual orang tua dan efeknya terhadap perilaku seksual remaja di Yogyakarta tahun 2015. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, analisis regresi logistik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang tua yang tinggal di hunian padat mempunyai resiko 2 kali lebih tinggi untuk melakukan aktivitas seksual yang berdampak negatif bagi anaknya dibanding orang tua yang tinggal di hunian yang tidak padat (OR 2,06
95% CI: 1,030-3,723). Remaja yang tinggal di hunian padat mempunyai resiko 1,7 kali untuk melakukan perilaku seksual beresiko dibanding remaja yang tinggal di hunian yang tidak padat (OR 1,78 95% CI:0,63-5,00). Faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah jenis kelamin, sikap, media informasi dan peran teman sebaya. Saran Bagi Dinas Kesehatan dan puskesmas setempat program program penyuluhan remaja PKPR dan melatih konselor teman sebaya (Peer Group) sebaiknya juga dilakukan di daerah dengan kepadatan
hunian tinggi;The study aims to know residential density, sexual activity of parents and its effect on sexual behaviour among teenagers in Yogyakarta in 2015. The study uses cross sectional design with regression logistic analysis. The result shows that the parents who live in dense residents have risk two times higher to do sexual activity that has bad effect on the children than the parents who live in other
residents (OR 2,06 95% CI: 1,030-3,723) while the teenagers who live in dense residents has risk 1.7 times higher to do risked sexual activity than the teenagers who live in other place (OR 1,78 95% CI:0,63-5,00). Moreover, the factors of sexual activity among teenagers are sex, attitude, media and the role of peer group. The suggestion for health department and community health centre in the area is doing a campaign forteenagers and training in risked area i.e. urban area,
especially area that has high number of population, The study aims to know residential density, sexual activity of parents and its
effect on sexual behaviour among teenagers in Yogyakarta in 2015. The study
uses cross sectional design with regression logistic analysis. The result shows that
the parents who live in dense residents have risk two times higher to do sexual
activity that has bad effect on the children than the parents who live in other
residents (OR 2,06 95% CI: 1,030-3,723) while the teenagers who live in dense
residents has risk 1.7 times higher to do risked sexual activity than the teenagers
who live in other place (OR 1,78 95% CI:0,63-5,00). Moreover, the factors of
sexual activity among teenagers are sex, attitude, media and the role of peer
group. The suggestion for health department and community health centre in the
area is doing a campaign forteenagers and training in risked area i.e. urban area,
especially area that has high number of population]"
Universitas Indonesia, 2015
T43497
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Purpose: The aims of the study was to describe Indonesian nurses’ attitudes and beliefs toward providing sexuality care with cancer patients using the Sexual Attitudes and Beliefs Survey (SABS).
Methods: The study had a descriptive and correlative design. A convenience sample of 135 oncology nurses were enrolled from three hospital in Jakarta.
Results: Over 85% of nurses have attitudes and beliefs that discussing sexuality with patients is a taboo and is too private an issue. More than 90% of nurses giving a patient permission to talk about sexual concerns is a nursing responsibility. About 73.3% nurses had beliefs that most hospitalized patients are too sick to be interested in sexuality and agreed that sexuality should be discussed only if initiated by the patient. However, more than 70% of the nurses beliefs that patients expect nurses to ask about their sexual concerns.
Conclusions: The findings can help to identify nurses’ barriers to addressing patients’ sexuality. Educational programs for nurses are needed to help the nurses overcome their barriers and improve nurses’ ability to give patients the holistic care."
[Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Wolter Kluwer Health], 2015
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yolinda Suciliyana
"Permasalahan perilaku seksual berisiko pada remaja tentu akan sangat berpengaruh terhadap kualitas generasi yang akan datang jika tidak ditangani segera. Selain itu, akan berdampak pada runtuhnya generasi muda yang merupakan fondasi dan harapan masa depan. Melalui program Jati Diri diharapkan dapat mejadi salah satu upaya untuk memaksimalkan penanganan masalah perilaku seksual berisiko pada remaja di SMK wilayah Kelurahan Curug. Metode pelaksanaan program Jati Diri menggunakan pendekatan keperawatan komunitas. Populasi pada pelaksanaan program Jati Diri adalah remaja usia sekolah menengah atas yang bersekolah di SMK wilayah kelurahan Curug Cimanggis-Depok. Metode perhitungan sampel menggunakan rumus estimasi beda 2 mean kelompok berpasangan dengan jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 50 orang. Hasil analisis uji t berpasangan menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara nilai pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kontrol diri (p value 0,001) sebelum dan setelah intervensi. Hasil uji statistik McNema diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara perilaku seksual berisiko rendah, sedang, dan tinggi (p value=0,023; p value=0,001; dan p value=0,039) sebelum intervensi dengan perilaku seksual berisiko rendah setelah intervensi. Program Jati Diri dapat meningkatkan perilaku (penegtahuan, sikap, dan keterampilan), kontrol diri, dan menurunkan kejadian perilaku seksual berisiko pada remaja. Pelaksanaan program Jati Diri dapat terintegrasi dengan program PKPR dan pelayanan kesehatan bagi remaja sehingga remaja mendapatkan akses layanan yang ramah remaja.

The problem of risky sexual behavior in adolescents will certainly greatly affect the quality of future generations if not addressed immediately.  In addition, it will have an impact on the collapse of the younger generation which is the foundation and hope for the future. Through the Jati Diri program, it is hoped that it can be one of the efforts to maximize the handling of risky sexual behavior problems in adolescents in the Curug Village Vocational School. The method of implementing the Jati Diri program uses a community nursing approach. The population in the implementation of the Jati Diri program are high school-aged adolescents who attend vocational schools in the Curug Cimanggis-Depok sub-district area. The sample calculation method uses the estimation formula for 2 different group mean pairs with the number of samples obtained as many as 50 people. The results of the paired t test analysis showed that there was a significant difference between the values ​​of knowledge, attitudes, skills, and self-control (p value 0.001) before and after the intervention. The results of the McNemar statistical test showed that there was a significant difference between low, medium, and high-risk sexual behavior (p value = 0.023; p value = 0.001; and p value = 0.039) before intervention with low risk sexual behavior after the intervention. The Jati Diri Program can improve behavior (knowledge, attitudes, and skills), self-control, and reduce the incidence of risky sexual behavior in adolescents. The implementation of the Jati Diri program can be integrated with the PKPR program and health services for adolescents so that adolescents have access to youth-friendly services."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yesi Gustiani
"Remaja adalah populasi yang rentan mengalami masalah seksual dan perlu mendapat perhatian khusus. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran fungsi afektif keluarga dan perilaku seksual remaja di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri di Kota Depok. Metode penelitian ini adalah deskriptif sederhana dengan desain cross sectional, melibatkan 114 siswa yang dipilih dengan cluster sampling. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah instrumen perilaku remaja dan instrumen fungsi afektif keluarga yang dimodifikasi dari penelitian sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden memiliki fungsi afektif keluarga adekuat dan perilaku seksual remaja berisiko rendah. Direkomendasikan adanya konseling fungsi afektif keluarga kepada orangtua serta penyuluhan kesehatan reproduksi pada siswa dan siswi oleh tenaga kesehatan untuk menghindari perilaku seksual berisiko pada remaja.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
610 UI-JKI 19:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nilma Maaruf
"Pada masa remaja mulai timbul dorongan seksualitas. Melakukan hubungan seksual pranikah (premarital sexual intercourse) merupakan salah satu bentuk tingkah Iaku seksual yang dapat muncul sehubungan dengan adanya dorongan seksual. Akan tetapi penyaluran itu tidak dapat begitu saja ditampilkan karena adanya aturan-aturan di masyarakat Monks dan Knoers (1984) mengatakan bahwa tidak ada alasan bagi remaja untuk melakukan tingkah laku seksual karena adanya norma agama dan masyarakat yang hanya membolehkan hubungan seksual dalam perkawinan. Adanya hambatan dan lingkungan yang masih memegang adat ketimuran seperti masih mempertahankan kegadisan seseorang sebelum memasuki pemikahan serta akibat negatif lain yang disebabkan oleh hubungan seksual pranikah (cemas, malu, merasa bersalah, merasa berdosa dsb), menyebabkan pada diri remaja puteri tersebut akan mengalami apa yang disebut nonfitting relations atau juga disebut dengan hubungan yang tidak sesuai antara elemen-elamen kognitif yang ada pada dirinya. Hubungan yang tidak sesuai ini secara teoritis akan menimbulkan keadaan yang disebut Pengurangan Disonansi Kognitif yang terwujud dalam perubahan-perubahan kognisi, tingkah Iaku dan penambahan elemen kognitif baru yang sudah diseleksinya terlebih dahulu.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran keadaan Disonansi Kognitif pada remaja puteri yang telah melakukan hubungan seksual pranikah dan meningkatkan pemahaman tentang faktor-faktor yang menjadi pemicu keterlibatan mereka dalam hubungan seksual pranikah dan berusaha mencari upaya untuk mengatasi masalah ini. Penelitian ini dilakukan dengan cara studi kasus terhadap 5 remaja puteri yang telah melakukan hubungan seksual pranikah, berusia 17-24 tahun dan bertempat tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Penelitian dilakukan dengan cara wawancara mendalam (depth interview).
Dari penelitian ini didapatkan bahwa penyebab terjadinya Disonansi Kognitif sebagai akibat dari hubungan seksual pranikah adalah karena semua subyek menyadari akan adanya norma-norma masyarakat dan agama yang melarang seorang remaja yang belum menikah untuk melakukan hubungan seksual (pada Logical inconsistency, cultural mores dan opinion generality) serta pentingnya keperawanan bagi seorang wanita, dan dampak yang diterima pelaku seksual pranikah dari masyarakat berupa hinaan dan cemoohan (pada past experience). Hal ini juga teriihat pada perbedaan tingkat kepentingan elemen-elemen kognitif pada setiap subyek penelitian, yang mempengaruhi kadar Disonansi Kognitif (tinggi atau rendah). Dan untuk mengurangi Disonansi Kognitif, semua subyek penelitian melakukan pengurangan Disonansi dengan cara menambah elemen kognitif baru dan dua subyek yang mengubah elemen tingkah laku. Pengurangan Disonansi Kognitif digunakan subyek agar dapat menghilangkan perasaan perasaan yang secara psikologis tidak menyenangkan dan dapat menjadikannya kembali pada keadaan yang stabil ( konsonan).
Faktor lain penyebab terjadinya perilaku seksual pranikah adalah adanya faktor emosional dan situasional. Faktor emosional seperti rasa cinta kepada pacarnya, ingin mengekspresikan rasa sayangnya serta ingin mengikat pasangannya kedalam hubungan yang lebih permanen. Sedangkan faktor situasional yang didapatkan adalah faktor suasana rumah yang sepi, orang tua yang sibuk, orang tua yang suka bertindak kasar kepada anaknya dan gangguan komunikasi antara orang tua dengan anaknya."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S2709
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Program Gender dan Seksualitas FISIP UI, 2004
305.3 SEK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Davis, Elizabeth
London: Optimism Press, 1994
612.6 DAV w
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library