Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 6 Document(s) match with the query
cover
Ratnaesih Maulana
"Istilah ikonografi (iconography) berasal dari akar kata ikon (icon) dan graphoo. Istilah ikon berasal dari bahasa Yunani eikoon yang berarti bayangan, potret, gambar. Dalam istilah ikonografi Hindu kata ikon dipakai secara lebih khusus. Kata itu tidak ditujukan kepada materi gambar, tetapi pada tokoh yang digambarkan dan kemiripan tokoh yang dinyatakan dalam gambar dengan tujuan untuk mengadakan hubungan dengan tokoh atau dewa tersebut (Banerjea 1974: 1-2). Menurut Sutjipto Wirjosuparto yang mengutip kitab Pratimamanalaksanam, dalam Sejarah Beni Artja India, di India, tujuan seorang seniman menciptakan sebuah area atau benda seni lainnya adalah untuk mempertinggi martabat dewa dan bukan untuk kepuasan dirinya. Selanjutnya disebutkan bahwa apabila seseorang membuat atau memperbaiki sebuah area maka "jiwanya yang murni mendapat hidup sejahtera di sorga lebih dari seratus ribu yuga". (Wirjosuparto 1956: 6).
Kata graphoo artinya menulis, memerinci. Jadi ikonografi berarti "rincian suatu benda. yang menggambarkan tokoh dewa atau seorang keramat dalam bentuk suatu lukisan, relief, mosaik, arca atau benda lainnya", yang khusus dimaksudkan untuk dipuja atau dalam beberapa hal dihubungkan dengan upacara keagamaanl) yang berkenaan dengan pemujaan dewa-dewa tertentu. (Banerjea 1974: 2-5, Sahai 1975: 1-2).
Kata Yunani eikon dalam anti seperti di atas sesuai dengan istilah-istilah dalam bahasa Sanskerta arca, beta , vigraha dan pratima yang berarti perwujudan jasmani seorang dewa yang dipuja oleh para bhakta , yaitu orang-orang yang berbakti atau memuja. Untuk lebih mendekati rasa ke-Tuhanan, para bhakta kemudian menggunakan istilah tanu dan rupa, yang berarti badan atau bentuk dewa yang digambarkan. Dengan menggunakan istilah tanu dan ru pa mereka merasa puas, karena merasa lebih dekat dengan Tuhan atau dewa yang dipujanya. Selain istilah tanu dan rupa di India dikenal pula kata vimba yang berarti pencerminan yang sama. Pengertian pencerminan ini terlihat dalam upacara Durgapuja, yaitu suatu upacara untuk meminta keselamatan atau hal-hal yang berkaitan dengan keduniawiaan. Dalam upacara ini dilakukan upacara memandikan arca dewi Durga yang terbuat dari tanah liat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya niversitas Indonesia, 1992
D209
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amish
Jakarta: Javanica, 2016
823.92 AMI s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Amish
Tangerang Selatan: Javanica, 2016
823.92 AMI s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tripathi, Amish
"Shiva is gathering his forces. He reaches the Naga capital, Panchavati, and Evil is finally revealed. The Neelkanth prepares for a holy war against his true enemy, a man whose name instils dread in the fiercest of warriors."
Tangerang: Javanica, 2017
823 TRI s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Yudo Wahyudi
"Penelitian ini membahas tentang fenomena Ṡiwa-Buddha yang tumbuh dan berkembang pada masa Kerajaan Singhasari hingga Kerajaan Majapahit dalam rentang waktu dua abad (13-15 M). Munculnya fenomena Ṡiwa-Buddha telah menjadi perhatian para sarjana dan banyak pendapat tentang hal tersebut. Kajian-kajian tersebut banyak hanya berhenti pada tataran konsep namun masih sedikit yang mencoba menelusuri fenomena yang nyata dalam jejak kebudayaan materi. Berdasarkan hal tersebut kajian ini mencari dan menganalisis unsur-unsur Ṡiwa-Buddha yang terkandung dalam percandian, arca, prasasti dan naskah Jawa Kuno pada kurun masa tersebut. Selain itu, fenomena tersebut dicari dalam penerapan kehidupan agama dan politik. Kerangka berpikir yang digunakan adalah kajian Melford E, Spiro yang mengaji tentang sejarah religi. Dalam kajian ini dibangun atas empat hal yang diungkapkan Spiro, yaitu (1) penjelasan sejarah, (2) penjelasan struktural, (3) penjelasan kausal, dan (4) penjelasan fungsional. Hasil temuan kajian ini mendapati adanya proses transformasi Ṡiwa-Buddha dalam ajaran agama, yaitu munculnya yang terikat dan bebas. Terikat mengacu pada kaidah agama pembentuknya dan bebas mengacu pada interpretasi konsep hakekat oleh pemeluknya. Transformasi Ṡiwa-Buddha tersebut diekspresikan dalam berbagai bidang baik kebudayaan materi, sumber tekstual maupun implementasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa Singhasari-Majapahit di abad ke-13-15 M.

This study discusses the Siwa-Buddhist phenomenon that grew and developed during the Singhasari Kingdom to the Majapahit Kingdom in a span of two centuries (13-15 AD). The emergence of the Siwa-Buddha phenomenon has attracted the attention of scholars and many opinions about it. These studies only stop at the conceptual level, but few trace real phenomena in the traces of material culture. Based on this, this study seeks and analyzes the Siwa-Buddhist elements contained in temples, statues, inscriptions and Old Javanese manuscripts at that time. In addition, the phenomenon is sought in the application of religious and political life. The framework used is the study of Melford E, Spiro who studies the history of religion. In this study, Spiro builds on four things, namely (1) historical explanations, (2) structural explanations, (3) causal explanations, and (4) functional explanations. The findings of this study found that there was a process of iwa-Buddha transformation in religious teachings, namely the emergence of the bound and free. Bound refers to the rules of its formation and free refers to the interpretation of the concept of essence by its adherents. The Siwa-Buddha transformation was expressed in various fields, both material culture, textual sources and implementation of national and state life during the Singhasari-Majapahit period in the 13th-15th centuries AD."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amish
"Perjalanan Siwa melacak sumber kejahatan di muka bumi mengantarkannya ke Pancawati, negeri kaum Naga. Pada akhirnya, kejahatan tersingkap di hadapannya. Bersama Sati, istrinya, ia segera menggalang kekuatan untuk melancarkan perang suci melawan musuh utamanya, seorang dalang mahasakti yang mengendalikan raja-raja besar dari balik layar.
Rangkaian perang brutal segera menyapu seluruh penjuru Bharatawarsa. Kemenangan dan kekalahan dialami Siwa dan pasukannya. Akan tetapi, kekuatan kejahatan justru semakin kuat dari waktu ke waktu. Tatkala menghadapi jalan buntu, Siwa berlayar ke barat, menuju negeri tersembunyi yang dihuni sebuah marga bernama Bayuputra, demi mendapatkan pusaka yang diharapkan mampu mengakhiri perang berkepanjangan.
Apakah Siwa berhasil menjalankan misinya? Bagaimanakah kelanjutan perang dan akibatnya bagi Bharatawarsa dan dunia? Dan seperti apakah akhir perjalanan Siwa? Novel pamungkas dari Trilogi Siwa ini akan mengungkap misteri tentang Batara Siwa, yang telah digariskan menjadi penerus Batara Rudra sebagai Mahadewa penghancur kejahatan!"
Jakarta: Javanica, 2017
823.92 AMI s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library