Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Novia Magda Imanuella
"Periode1901-1914 di Inggris sering disebut juga sebagai “era Edwardian”. Pada masa ini kesenjangan sosial antara masyarakat ekonomi kelas atas dengan masyarakat ekonomi kelas bawah sangat terlihat dengan jelas. Masyarakat kelas atas dapat menginvestasikan harta yang dimiliki untuk membeli tanah yang luas dan membangun rumah mewah, sementara masyarakat kelas bawah harus bekerja keras untuk bertahan hidup. Demi bertahan hidup, tercatat lebih dari satu juta masyarakat Inggris pada era Edwardian yang memilih untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah kaum kelas menengah sampai rumah kaum kelas atas. Untuk dapat memahami kelas-kelas sosial masyarakat Inggris pada era Edwardian, penelitian ini bertujuan untuk meneliti kehidupan orang-orang yang tinggal dalam satu rumah mewah bangsawan ada pada serial TV Inggris, Downton Abbey (2010), dapat merepresentasikan kelaskelas sosial yang ada pada sosial hirerarki Inggris pada tahun 1901-1914 di Inggris. Dengan menggunakan teori representasi oleh Hall (1997) dan juga konsep sinematografi dan mise-en-scene oleh Broadwell dan Thompson (2013), penelitian ini menemukan bahwa kelas-kelas sosial Inggris dapat direpresentasikan oleh keluarga dan pembantu rumah tangga yang tinggal pada rumah mewah bangsawan di era Edwardian. Kemudian, perbedaann antara arsitektur dan interior pada rumah mewah bangsawan yanv memisahkan ruang “atas” dan ruang “bawah” mengilustrasikan kesenjangan yang kuat antara kelas-kelas sosial pada era Edwardian. Terakhir, artikel ini menemukan bahwa rumah mewah bangsawan pada era Edwardian bukan hanya tempat bagi keluarga kelas atas untuk hidup, tetapi juga berfungsi sebagai simbol kekayaan dan kekuatan politik sang pemilik rumah. Dengan demikian, keadaan kelas-kelas sosial di Inggris pada tahun 1901-1914 dapat direpresentasikan melalui kehidupan orang-orang yang tinggal pada rumah mewah bangsan pada serial TV, Downton Abbey.
......The years between 1901 and 1914 in Britain, or often called the “Edwardian era,” comprise the period which is characterized by the tremendous gap between the rich and poor. The upper-class were able to invest their money on land and build a luxurious country house (s) while the lower-class struggled just to stay alive. In order to survive, more than one million people in Edwardian era England chose to work as domestic servants in the upper-middle-class’ up to the upper-class’ homes. To discern the impact of social hierarchy towards Edwardian society, this research aims to examine the lives of people from different social classes within English country houses, and how the house itself can symbolize social status in the hierarchy. This analysis will focus on the way people from different levels of the social ladder manage to live within an Edwardian country house named “Downton,” depicted in the first season of British TV series, Downton Abbey (2010). Based on Hall’s (1997) theory of representation, and also Broadwell and Thompson’s (2013) concept of cinematography and mise-en-scene, this research has found that the condition of the English social classes can be observed through the way people live in an Edwardian country house. Moreover, the differences between architecture and interior design of country house’s “upstairs” and “downstairs” area illustrate the stark social gap between social classes in the Edwardian era. Lastly, this article has found that the English country house in the Edwardian era is not merely a place for rich people to live in, but also a symbol of the upper-social status and political power. Thus, the social condition in the 1901 to 1914 England can be observed through the way people live within a country house that depicted in the TV series, Downton Abbey."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Diaz Clements Binsar
"Penelitian ini menguji validitas pecking order hypotheses pada tingkat investasi yang berbeda dari 51 perusahaan pertambangan yang terdapat di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2011-2019 yang ditinjau berdasarkan kinerja per kuartalan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi kuantil untuk menentukan opsi pendanaan yang lebih dipilih oleh perusahaan apakah menggunakan pendanaan internal atau pendanaan eksternal, baik berupa utang ataupun saham. Temuan empiris dari penelitian ini menunjukkan bahwa pecking order hypotheses cenderung tidak valid untuk pilihan pendanaan perusahaan-perusahaan pertambangan dan sensitivitas terhadap dana eksternal meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat investasi perusahaan yang merepresentasikan nilai pengeluaran modal. Selain itu, penelitian ini juga memberikan informasi bahwa Pecking order hypotheses hanya valid untuk perusahaan-perusahaan pertambangan subsektor logam dan mineral, sedangkan untuk perusahaan dengan leverage rendah dan profitabilitas rendah, hypotheses tersebut hanya valid pada salah satu rung, sedangkan apabila ditinjau baik berdasarkan kepemilikan maupun ukuran perusahaan, pecking order hypotheses ini mutlak tidak valid. 
......This research tests the validity of the pecking order hypothesis at different investment levels from 51 mining companies on the Indonesia Stock Exchange from 2011-2019, which are reviewed based on quarterly performance. The method used in this research is the quantile regression method to determine the funding option preferred by the company, whether to use internal funding or external funding, either in the form of debt or shares. The empirical findings of this research indicate that the pecking order hypotheses tends to be invalid for mining companies' funding choices, and sensitivity to external funds increases as the company's investment level increases, representing the value of capital expenditure. This research also provides information that the Pecking order hypothesis only applies to mining companies in the metal and mineral subsector. In contrast, for companies with low leverage and low profitability, this hypothesis is only valid on one rung of the ladder, whereas if we look at it well based on ownership and ownership. Company size, the pecking order hypothesis is invalid."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini menjelaskan beberapa teori struktur modal seperti teori fiskal, teori trade - off dan teori pecking order untuk diterapkan dalam sistem keuangan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Perlu diketahui bahwa hingga saat ini masih terjadi perdebatan mengenal struktur modal optimal yang terjadi dalam keuangan perusahaan. Melalui optimalisasi faktor-faktor yang menentukan struktur modal dan penjelasan ketiga teori tersebut diatas maka para akademisi dan praktisi dapat menentukan kebijakan kebijakan apa yang diperlukan untuk meningkatkan peran ketiga teori tersebut dalam mengkaji struktur struktur modal yang optimal. Tujuan yang lebih konkrit dari penelitian ini adalah untuk menuji relevansi dari teori fiskal , teori trade-off dan teori peking order dalam analisis struktur modal dari perusahaan - perusahaan publik yang ada di Bursa Efek Indonesia. Dengan menguji teori-teori tersebut di perusahaan - perusahaan Indonesia. Kemudian, penelitian ini juga menginvestigasi apakah faktor - faktor yang menentukan struktur modal perusahaan dapat mempengaruhi struktur hutangnya. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan , penelitian ini mengumpulkan data dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2002 hingga tahun 2006. dari analisis data ditemukan bahwa tarif pajak efektif , struktur asset dan ukuran perusahaan menyebabkan adanya ditemukan bahwa tarif pajak efektif, struktur asset dan ukuiran perusahaan menyebabkan adanya pengaruh positif dan signifikan terhadap rasio hutang perusahaan. Variabel lainnya seperti non debt tax-shield dan nilai proftabilitas periode yang lalu membuat efek negative terhadap rasio hutang. Bagi tingkat pertumbuhan perusahaan, penelitian tidak menemukan hubungannya dengan rasio hutang. Dan variabel - variabel bebas dapat mempengaruhi rasio hutang secara simultan dan secara simultan."
JUEKBIS
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library