Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rustadi Sosrosumihardjo
Abstrak :
ABSTRAK
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan retardasi perkembangan intrauterin (IUGR) masih merupakan masalah, khususnya di Indonesia, karena menunjukkan angka kejadian yang tinggi dan pertu diturunkan. Malnutrisi pada anak kurang dan 1 tahun terbanyak pada bayi BBLR. Penyebab gagal tumbuh terbanyak pada bayi adalah masalah saluran cerna, terutama maldigesti, malabsorpsi, dan diare kronik. Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, didapatkan mukosa usus halus hipotrofi dan normoplasi pada tikus malnutrisi. Keadaan normoplasi tercermin dari kandungan DNA mukosa usus halus yang menetap pada malnutrisi. Keadaan ini selain memperlihatkan bahwa usus halus dapat mempertahankan jumlah selnya dalam menghadapi pembatasan nutrien, juga memberi petunjuk bahwa akan dapat berkembang apabila mendapatkan masukan nutrien yang cukup. Apakah reatimentasi dapat memulihkan mukosa yang hipotrofi normoplasi menjadi normotroti normoplasi? Apabila keadaan tersebut terjadi, apakah respon pemulihan itu berbeda antara tikus yang diinduksi pada masa pranatal dan yang diinduksi malnutrisi pada masa pascasapih? Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Metodologi
Penelitian eksperimental dengan desain post test-control group dilakukan dengan menggunakan anak tikus jantan jenis Sprague-Dawley, dalam kurun waktu April 2003 - Desember 2004. Delapan puluh ekor anak tikus jantan yang dilahirkan dari 10 induk tikus berumur 8 minggu dengan berat badan antara 250- 300 gram, diberikan makanan baku yang lazim digunakan untuk penelitian. Penelitian dibagi dalam 2 tahap : (1) induksi malnutrisi pranatal yaitu 3 minggu pada masa gestasi, 3 minggu masa laktasi dan 3 minggu pascalaktasi, dan induksi malnutrisi pascasapih selama 9 minggu dimulai segra setelah disapih; dilanjutkan dengan tahap (2) Realimentasi selama 8 minggu. Pada setiap akhir tahapan dilakukan nekropsi untuk memperoteh data. Data tersebut adalah (1) kadar albumin serum, (2) ukuran badan (berat badan, panjang badan, Iingkar dada), (3) ukuran usus (berat usus, panjang usus, diameter usus dan berat mukosa), (4) morfologi usus halus (tebat mukosa, tinggi vilus, kedalaman kripta, nisbah vitus/kripta, jumlah virus, kandungan protein, kandungan DNA, dan nisbah protein/DNA), dan (5) aktivitas disakaridase (laktase, maltase, sukrase).

Hasil Penelitian
Berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi Iebih rendah dari tikus kontrol. Semua parameter yang digunakan untuk menilai morfologi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Aktivitas spesifik disakaridase pada tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dari nilai kontro. Sedangkan aktivitas spesifik disakaridase pada tlkus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih rendah dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih tinggi dari nilai kontrol. Persentase peningkatan beberapa parameter terhadap kontrol yaitu berat usus, berat mukosa, dan kandungan protein mukosa usus halus tikus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi.

Kesimpulan
Malnutrisi tidak mengurangi populasi enterosit usus halus tikus. Realimentasi dapat meningkatkan berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih, tetapi tidak mencapai berat badan tikus normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki hipotrotl mukosa usus halus tetapi tidak mencapai nonnotroti Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dapat meningkatkan aktivitas disakaridase tetapi tidak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapin dapat me-ngaklbatkan perubahan aktivitas disakaridase tetapi tldak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki maturitas mukosa usus halus, tetapi tidak mencapai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapih memberikan respon yang lebih baik daripada tikus malnutrisi pranatal.
Abstract
Background

Low birth-weight infant and intrauterine growth retardation (lUGR) are still a health problem, especially in Indonesia due to high prevalence and need to be reduced. Malnutrition in infants are most common occur in low birth-weight infants. The most common etiology of failure to thrive in infants is due to gastrointestinal origin, particularly nutrient maldigestion and malabsorption, and chronic diarrhea.

Malnutrition in rats resulted in hypotrophic and norrnoplastic mucosa of the small intestine. The nomioplasia was reflected from persistent DNA content of the intestinal mucosa in malnutrition. The finding was not only showed that small intestine was able to maintain its cell number in condition with restriction nutrient, however also suggested the posibility of epithelial regeneration if given the adequate nutrient intake. Did realimentation recover the hypotrophic normoplastic mucosa to nonnotrophic normoplastic? lf so, will the recovery response be different between rats with malnutrition induced in prenatal period and post-weaning period. The study aim to answer the above question.

Methodology
Experimental animal study with post test-control group design was perfomied using male litter of Sprague-Dawley rats, from April 2003 to December 2004. Eighty male Sprague-Dawley rats bom from 10 female rats which were 8 week old and body weight of 250-300 grams, was fed standard chow. The study was divided into 2 phases: (1) prenatally-induced malnutrition, i.e. 3 weeks gestation period, 3 weeks lactation period, and 3 weeks post-weaning period, and post- weaning-induced malnutrition for 9 weeks starting right after weaning, continued with phases (2) realimentation for 8 weeks. At the end of each phase, the rats were sacrilied to obtain data. The data include (1) serum albumin level, (2) physical parameters (body weight, body length, chest cirouimstance), (3) small intestinal parameters (intestinal weight, length, diameter, and mucosal weight), (4) small intestinal morphology (mucosal thickness, villus height, cryptus depth, ratio of villus/crypt, number of villi, protein content, DNA content, ratio of protein/DNA), and (5) disaocharidases (lactase, maltase, sucrase) activities.

Results
Both in pranatally and postweaning-induced malnutrition, the body weight of rats in realimentation group was higher than non-realimentation group, but lower than control group. All parameters to evaluate the morphology of rats with prenatally and postweanlng-induced malnutrition in realimentation group were higher than those of non-realimentation, but lower than control group. Specihc activity of disaocharidases in rats with prenatally-induced malnutrition in realimentation group was higher than those without realimentation, but lower than control. While specific activity of disaccharidases in postweaning-induced malnutrition rats in realimentation group was lower than those without realimentation, but higher than control. After relimentation, percentage of increase from control values in some parameters in realimentation rats (intestinal and mucosal weight, protein content of intestinal mucosa) in postweaning-induced malnutrition rats was higher compared to prenatally-induced malnutrition rats.

Conclusions
Malnutrition did not reduced the population of small intestinal enterocytes. Realimentation was able to increase the body weight of rats in prenatally and post-weaning-induced malnutrition, but the increase did not reach the nom1al body weight. Realimentation in rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition was able to improve the hypotrophy of small intestinal mucosa but not fully recover to nomiotrophic state. Realimentation in rats in prenatally- induced malnutrition was able to increase the disacxsharidases activities but not to the nom'|al values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition was able to decrease the disaccharidases activities, but not to nom1al values. Realimentation was able to improve the maturity of small intestinal mucosa of rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition, but did not reach the nomtal values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition showed better responses than rats of prenatally-induced malnutrition.
2005
D715
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustadi Sosrosumihardjo
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan retardasi perkembangan intrauterin (IUGR) masih merupakan masalah, khususnya di Indonesia, karena menunjukkan angka kejadian yang tinggi dan pertu diturunkan. Malnutrisi pada anak kurang dan 1 tahun terbanyak pada bayi BBLR. Penyebab gagal tumbuh terbanyak pada bayi adalah masalah saluran cema, terutama maldigesti, malabsorpsi, dan diare kronik. Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, didapatkan mukosa usus halus hipotrofi dan normoplasi pada tikus malnutrisi. Keadaan normoplasi tercermin dari kandungan DNA mukosa usus halus yang menetap pada malnutrisi. Keadaan ini selain memperlihatkan bahwa usus halus dapat mempertahankan jumlah selnya dalam menghadapi pembatasan nutrien, juga memberi petunjuk bahwa akan dapat berkembang apabila mendapatkan masukan nutrien yang cukup. Apakah reatimentasi dapat memulihkangmukosa yang hipotrofi normoplasi menjadi normotroti normoplasi? Apabila keadaan tersebut terjadi, apakah respon pemulihan itu berbeda antara tikus yang diinduksi pada masa pranatal dan yang diinduksi malnutrisi pada masa pascasapih? Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Metodologi
Penelitian eksperimental dengan desain post test-control group dilakukan dengan menggunakan anak tikus jantan jenis Sprague-Dawley, dalam kurun waktu April 2003 - Desember 2004. Delapan puluh ekor anak tikus jantan yang dilahirkan dari 10 induk tikus berumur 8 minggu dengan berat badan antara 250- 300 gram, diberikan makanan baku yang lazim digunakan untuk penelitian. Penelitian dibagi dalam 2 tahap : (1) induksi malnutrisi pranatal yaitu 3 minggu pada masa gestasi, 3 minggu masa laktasi dan 3 minggu pascalaktasi, dan induksi malnutrisi pascasapih selama 9 minggu dimulai segra setelah disapih; dilanjutkan dengan tahap (2) Realimentasi selama 8 minggu. Pada setiap akhir tahapan dilakukan nekropsi untuk memperoteh data. Data tersebut adalah (1) kadar albumin serum, (2) ukuran badan (berat badan, panjang badan, Iingkar dada), (3) ukuran usus (berat usus, panjang usus, diameter usus dan berat mukosa), (4) morfologi usus halus (tebat mukosa, tinggi vilus, kedalaman kripta, nisbah vitus/kripta, jumlah virus, kandungan protein, kandungan DNA, dan nisbah protein/DNA), dan (5) aktivitas disakaridase (laktase, maltase, sukrase).

Hasil Penelitian
Berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi Iebih rendah dari tikus kontrol. Semua parameter yang digunakan untuk menilai morfologi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Aktivitas spesifik disakaridase pada tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dari nilai kontro. Sedangkan aktivitas spesifik disakaridase pada tlkus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih rendah dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih tinggi dari nilai kontrol. Persentase peningkatan beberapa parameter terhadap kontrol yaitu berat usus, berat mukosa, dan kandungan protein mukosa usus halus tikus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi.

Kesimpulan
Malnutrisi tidak mengurangi populasi enterosit usus halus tikus. Realimentasi dapat meningkatkan berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih, tetapi tidak mencapai berat badan tikus normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki hipotrotl mukosa usus halus tetapi tidak mencapai nonnotroti Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dapat meningkatkan aktivitas disakaridase tetapi tidak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapin dapat me-ngaklbatkan perubahan aktivitas disakaridase tetapi tldak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki maturitas mukosa usus halus, tetapi tidak mencapai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapih memberikan respon yang lebih baik daripada tikus malnutrisi pranatal.
Abstract
Background

Low birth-weight infant and intrauterine growth retardation (lUGR) are still a health problem, especially in Indonesia due to high prevalence and need to be reduced. Malnutrition in infants are most common occur in low birth-weight infants. The most common etiology of failure to thrive in infants is due to gastrointestinal origin, particularly nutrient maldigestion and malabsorption, and chronic diarrhea.

Malnutrition in rats resulted in hypotrophic and norrnoplastic mucosa of the small intestine. The nomioplasia was reflected from persistent DNA content of the intestinal mucosa in malnutrition. The finding was not only showed that small intestine was able to maintain its cell number in condition with restriction nutrient, however also suggested the posibility of epithelial regeneration if given the adequate nutrient intake. Did realimentation recover the hypotrophic normoplastic mucosa to nonnotrophic normoplastic? lf so, will the recovery response be different between rats with malnutrition induced in prenatal period and post-weaning period. The study aim to answer the above question.

Methodology
Experimental animal study with post test-control group design was perfomied using male litter of Sprague-Dawley rats, from April 2003 to December 2004. Eighty male Sprague-Dawley rats bom from 10 female rats which were 8 week old and body weight of 250-300 grams, was fed standard chow. The study was divided into 2 phases: (1) prenatally-induced malnutrition, i.e. 3 weeks gestation period, 3 weeks lactation period, and 3 weeks post-weaning period, and post- weaning-induced malnutrition for 9 weeks starting right after weaning, continued with phases (2) realimentation for 8 weeks. At the end of each phase, the rats were sacrilied to obtain data. The data include (1) serum albumin level, (2) physical parameters (body weight, body length, chest cirouimstance), (3) small intestinal parameters (intestinal weight, length, diameter, and mucosal weight), (4) small intestinal morphology (mucosal thickness, villus height, cryptus depth, ratio of villus/crypt, number of villi, protein content, DNA content, ratio of protein/DNA), and (5) disaocharidases (lactase, maltase, sucrase) activities.

Results
Both in pranatally and postweaning-induced malnutrition, the body weight of rats in realimentation group was higher than non-realimentation group, but lower than control group. All parameters to evaluate the morphology of rats with prenatally and postweanlng-induced malnutrition in realimentation group were higher than those of non-realimentation, but lower than control group. Specihc activity of disaocharidases in rats with prenatally-induced malnutrition in realimentation group was higher than those without realimentation, but lower than control. While specific activity of disaccharidases in postweaning-induced malnutrition rats in realimentation group was lower than those without realimentation, but higher than control. After relimentation, percentage of increase from control values in some parameters in realimentation rats (intestinal and mucosal weight, protein content of intestinal mucosa) in postweaning-induced malnutrition rats was higher compared to prenatally-induced malnutrition rats.

Conclusions
Malnutrition did not reduced the population of small intestinal enterocytes. Realimentation was able to increase the body weight of rats in prenatally and post-weaning-induced malnutrition, but the increase did not reach the nom1al body weight. Realimentation in rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition was able to improve the hypotrophy of small intestinal mucosa but not fully recover to nomiotrophic state. Realimentation in rats in prenatally- induced malnutrition was able to increase the disacxsharidases activities but not to the nom'|al values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition was able to decrease the disaccharidases activities, but not to nom1al values. Realimentation was able to improve the maturity of small intestinal mucosa of rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition, but did not reach the nomtal values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition showed better responses than rats of prenatally-induced malnutrition.
2005
D753
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risti Sifa Fadhillah
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian fortifikan Fe fumarat dalam susu kedelai terhadap kadar zat besi plasma darah tikus (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri atas 25 ekor tikus putih jantan yang dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan, yaitu KK 1 yang diberi larutan CMC 0,5%; KK 2 yang diberi larutan CMC 0,5% dan susu kedelai tanpa fortifikan; dan KP 1, 2, dan 3 yang diberi larutan CMC 0,5% dan susu kedelai dengan fortifikan Fe fumarat dosis 1,35 mg Fe/ kgBB, 2,7 mg Fe/ kg BB, dan 5,4 mg Fe/ kgBB selama 21 hari berturut-turut. Pengambilan darah dilakukan pada hari ke-0 dan setelah pencekokan hari ke-21. Darah dipreparasi menggunakan destruksi basah lalu ditentukan kadar zat besinya dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer). Hasil uji ANAVA satu arah (P < 0,05) menunjukkan pengaruh nyata pemberian fortifikan Fe fumarat dalam susu kedelai terhadap kadar zat besi antar kelompok perlakuan. Peningkatan kadar zat besi tertinggi terjadi pada KP 1 yaitu sebesar 27,90% terhadap KK 1 dan 17,49% terhadap KK 2.
The effect of Fe fumarate fortificant addition in soy milk intake on plasma iron concentration of male Sprague-Dawley rats (Rattus norvegicus L.) had been studied. By using Complete Random Design (CRD), twenty five rats were divided into five groups, consist of normal control group (KK 1) which was administered with CMC 0.5% solution, treatment control group (KK 2) which was administered with CMC 0.5% solution and unfortified soy milk, and three treatment groups which were administered with soy milk added with fortificant Fe fumarate 1.35 mg Fe/kgbw (KP 1); 2.7 mg Fe/kgbw (KP 2); and 5.4 mg Fe/kgbw (KP 3). All of the five groups were treated for consecutive 21 days. The plasma iron concentration was measured by Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). One way ANOVA test and post-hoc LSD test (P < 0.05) showed significant effect of fortificant Fe fumarate addition in soy milk intake on plasma iron concentration in all treatment groups. The highest increase of plasma iron concentration was detected on KP 1, which is 27.90% to KK 1 and 17.49% to KK 2.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S65436
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azhoma Gumala
Abstrak :
ABSTRAK
Nanopartikel emas telah diteliti untuk sistem penghantaran tertarget obat sitotoksik. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hasil karakterisasi dan biodistribusi dari konjugat trans-resveratrol-PEG-Asam Folat-Nanopartikel Emas. Nanopartikel emas disintesis dengan reduksi HAuCl4 menggunakan natrium sitrat. Nanopartikel emas dikonjugasikan dengan PEG-FA dan resveratrol membentuk konjugat resveratrol-PEGAsam Folat-Nanopartikel Emas (rsv-PEG-FA-AuNP). Karakterisasi konjugat rsv-PEG-FAAuNP dilakukan dengan pengukuran partikel, zeta potensial, FTIR, UV, dan TEM. Studi biodistribusi pada tikus Sprague Dawley betina sehat dilakukan setelah 90 menit pemberian injeksi konjugat rsv-PEG-FA-AuNP melalui vena ekor. Hasil karakterisasi rsv-PEG-FAAuNP diperoleh nilai diameter rata-rata nanopartikel dan zeta potensial rsv-PEG-FA-AuNP 249,03 ± 10,31 nm dan -36,33 ± 3,12 mV. Pada uji biodistribusi ditemukan konjugat rsv-PEG-FA-AuNP di ginjal (1,90 ± 0,20 μg/g) dan limfa (2,65 ± 1,18 μg/g) setelah 90 menit pemberian iv, namun resveratrol bebas tidak ditemukan di darah, ginjal, dan limfa setelah 90 menit pemberian iv. Konjugat rsv-PEG-FA-AuNP pada sirkulasi sistemik ditemukan pada waktu yang lebih lama dibandingkan dengan resveratrol bebas dan distribusinya tersebar pada organ otak, ginjal, limpa, hati, dan paru.
ABSTRACT
Gold nanoparticles had been studied for active targeting purpose of cytotoxic agent. This study was presenting the result of characterization and biodistribution of trans resveratrol-PEG-Folic Acid-Gold Nanoparticle conjugates rsv-PEG-FA-AuNP. Gold nanoparticles were generated by reduction of HAuCl4 using sodium citric. Rsv-PEG-FA-AuNPs were produced by conjugation of gold nanoparticles with PEG-folic acid and resveratrol. Characterization of rsv-PEG-FA-AuNP conjugates were held by examination of particle size, zeta potential, FTIR, and TEM. Biodistribution study in female Sprague-Dawley rats conducted after 90 minutes i.v tail vein delivery of rsv-PEG-FA-AuNP conjugates. The mean particle size and zeta potential of rsv-PEG-FA-AuNP were 249.03 10.31 and -36.33 3.12 respectively. Transmission electron microscopy showed almost spherical shape of rsv-PEG-FA-AuNP conjugates. Rsv-PEG-FA-AuNP conjugates were found in kidney 1.90 0.20 μg/g and spleen 2.65 1.18 μg/g after 90 minutes i.v. delivery in female Sprague-Dawley rats. Resveratrol-PEG-FA-AUNP conjugates have longer systemic circulation than free resveratrol and restrained throughout brain, spleen, kidney, lung, and liver after distribution.
2019
T54536
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Twidy Tarcisia
Abstrak :
ABSTRAK
Penyembuhan luka adalah peristiwa kompleks yang meliputi kemotaksis, angiogenesis, pembelahan sel, sintesis matriks ekstraseluler, pembentukan dan remodeling jaringan parut. Angiogenesis, densitas kolagen, kontraksi luka, epitelisasi dan luas area luka adalah beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai baiknya penyembuhan luka. Pemberian ADSC-CM pada penelitian terdahulu terbukti meningkatkan proses penyembuhan luka melalui mekanisme parakrin ADSC. Penelitian ini menilai efek pemberian ADSC-CM monolayer dalam inkubasi normoxia selama tiga hari terhadap angiogenesis, kontraksi luka, epitelisasi dan kualitas penyembuhan luka kulit tikus Sprague Dawley. Adanya konsentrasi growth factor seperti VEGF dan EGF dinilai melalui pemeriksaan ELISA. Efek angiogenesis, densitas kolagen, kontraksi luka, epitelisasi dan luas area luka dinilai dengan pemeriksaan histologi menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin dan Masson?s Trichome. Dua puluh sembilan tikus dibalurkan ADSC-CM pada bagian punggung (full thickness wound) dan dinilai gambaran histologinya pada hari ke-3, 7, 14, 21 dan 28. Konsentrasi VEGF dan EGF ditemukan dalam ADSC-CM dengan 5052,698 ± 0,31 pg/mL dan 0,233 ± 0,08 pg/mL. Gambaran histologi pada parameter angiogenesis, densitas koalgen, kontraksi luka, epitelisasi dan luas area luka menunjukkan perbedaan tidak bermakna antara kelompok luka yang dibalurkan ADSC-CM dan kelompok kontrol namun secara klinis dan epidemiologis pembaluran ADSC-CM meningkatkan proses penyembuhan luka.
ABSTRACT
Wound healing is a complex event that consist chemotaxis, angiogenesis, proliferation, synthesis of matrix extracellular, formation and remodeling scar tissue. Angiogenesis, colagen density, wound contraction, epithelialization and wound area is a several parameter to analyze wound healing. Previous studies have shown that ADSC-CM are able to accelerate wound healing due to paracrine effect. This study investigate the effect of monolayer ADSC-CM on angiogenesis, colagen density, wound contraction, epithelialization and wound area in a rat full thickness wound. Consentration of growth factor such as EGF and VEGF were assessed with ELISA examination. Angiogenesis, colagen density, wound contraction, epithelialization and wound area were analyzed histologically with Hematoxylin-Eosin and Masson?s Trichome staining. Twenty nine rats were administered topically with ADSC-CM. Histological examination was measured on day 3, 7, 14, 21 and 28. Amount of VEGF and EGF is 5052,698 pg/mL dan 0,233 pg/mL. Histology examination angiogenesis, colagen density, wound contraction, epithelialization and wound area show there is no significant difference between ADSC-CM group and control group but meaningful difference to accelerate wound healing.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astheria Eryani
Abstrak :
Latar Belakang: Luka bakar memerlukan alternatif terapi selain silversulfadiazin SSD karena bersifat sitotoksik. Conditioned medium dari kultur selpunca mesenkimal asal jaringan lemak ADSC-CM disingkat CM kaya akansejumlah sitokin, vascular endothelial growth factor VEGF dan epidermalgrowth factor EGF yang berperan dalam re-epitelisasi. Proses ini didominasioleh migrasi, proliferasi dan diferensiasi keratinosit. Protein K19 merupakanpenanda sel progenitor keratinosit. ADSC-CM diharapkan mampu menjadialternatif SSD dalam terapi luka bakar. Metode: Penelitian dilakukan pada tikus model luka bakar Sprague dawley empat luka per ekor yaitu kontrol K , CM, medium complete MC dan SSDyang diberikan secara topikal. Penutupan luka secara makroskopis diukurmenggunakan visitrak digital pada hari ke-6, 12, 18 dan 24. Re-epitelisasi,ekspresi dan distribusi K19 diamati dengan pewarnaan hematoksilin-eosin danimunohistokimia. Hasil: Luas luka makroskopis menunjukkan bahwa kelompok CM mengalamipengurangan luas paling cepat, berbeda bermakna dengan kelompok K dan tidakbermakna dengan kelompok SSD. Hal tersebut sebanding dengan ekspresi K19pada epidermis. Secara mikroskopis, re-epitelisasi dimulai dari tepi luka,kelompok CM paling efektif daripada K, MC dan SSD. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa CM paling efektif untuk reepitelisasidan ekspresi K19 sebagai progenitor sel keratinosit Aplikasi CMtopikal berpotensi sebagai alternatif terapi pada penyembuhan luka bakar.Kata kunci: Luka bakar, Mesenchymal Conditioned Medium, Keratin 19 K19 ,Re-epitelialisasi, Penutupan Luka.
Background Burns require alternative therapies other than silver sulfadiazine SSD for cytotoxic. Conditioned medium from adpose derived stem cell ADSCCMabbreviated CM is rich in a number of cytokines, vascular endothelialgrowth factor VEGF and epidermal growth factor EGF , which play a role inre epithelialization. This process is dominated by migration, proliferation anddifferentiation of keratinocytes. K19 protein is a marker of keratinocyteprogenitor cells. ADSC CM is expected to be an alternative SSD in the treatmentof burns. Methods The study was conducted on rats models of burns Sprague dawley four wounds per animal, control K , CM, complete medium MC and the SSD isadministered topically. Macroscopic wound closure was measured using a digitalvisitrak on days 6, 12, 18 and 24. Re epithelialization, and distribution K19expression was observed by hematoxylin eosin staining andimmunohistochemistry. Results As a macroscopic indicates that the CM group were reduced of thefastest wide, a significant difference with the group K, meaningless with SSD.This is comparable with the expression of K19 in the epidermis. Microscopically,re epithelialization starts from the edge of the wound, the group CM mosteffectively than K, MC and SSD. Conclusion This study shows that the most effective CM to re epithelializationand K19 expression as keratinocyte progenitor cells CM topical applicationpotential as an alternative therapy in the healing of burns.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Rahmadiani Nugrahadi
Abstrak :
Myasthenia gravis merupakan penyakit auto-antibodi yang menyebabkan gangguan pada transmisi neuro-muskular. Pengobatan saat ini hanya untuk jangka pendek, tidak memberikan efek yang cukup pada gejala, atau memiliki efek berbahaya. Acalypha indica merupakan tanaman herbal yang telah terbukti memiliki efek neuroprotektif. Penelitian ini mengidentifikasi efek terapeutik ekstrak akar Acalypha indica pada Sprague Dawley yang telah diinduksi rocuronium bromide. Tikus dibagi menjadi kelompok normal, kontrol negatif, kontrol positif, serta Acalypha indica. Efek diukur dengan mengidentifikasi perubahan denyut jantung serta kuantitas reseptor asetilkolin. Perubahan denyut jantung pada masing-masing kelompok, perubahan denyut jantung antar kelompok, serta perbedaan jumlah reseptor asetilkolin dianalisa untuk signifikansi. Kelompok Acalypha indica mengalami perubahan denyut jantung yang tidak signifikan (p>0.05), kecuali pada sepuluh menit pertama hari pertama percobaan dimana denyut jantung meningkat secara signifikan (p<0.05). Perubahan denyut jantung kelompok kontrol positif secara signifikan lebih tinggi pada sepuluh menit pertama hari kedua jika dibandingkan dengan kelompok Acalypha indica (p<0.05). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah reseptor asetilkolin antara Acalypha indica dan semua kelompok lainnya (p>0.05). Ekstrak akar Acalypha indica memiliki kemampuan untuk melawan efek positif kronotropik rocuronium setelah beberapa lama. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah reseptor asetilkolin bila dibandingkan dengan kelompok lainnya. ......Myasthenia gravis is an autoantibody disease that causes disruption in the neuromuscular junction transmission. Current treatment is either short termed, have inadequate effect on the symptoms, or have harmful effects. Acalypha indica is an herbal plant that have been shown to have a neuroprotective effect. This research identifies therapeutic effects of Acalypha indica root extract in rocuronium-bromide induced Sprague Dawley. The rats are divided into normal, negative control, positive control, and 0, 0) Acalypha indica group. Effects are measured by identifying the heart rate (HR) changes as well as the quantity of acetylcholine receptors (AchR). Result of the HR measurement of each group, HR changes between groups, and the amount of AchR are analised for significance. Acalypha indica group had an insignificant change of HR (p>0.05), except for the first ten minutes of day one experiment in which the HR increased significantly (p<0.05). Change in HR of positive control group was significantly higher (p<0.05) in the first ten minutes of day 2 when compared to Acalypha indica group. There were no significant differences (p>0.05) in the amount of AchR between Acalypha indica and all other groups. Acalypha indica root extract has the ability to counterract the positive chronotropic effect of rocuronium after some time. However, it does not have a significant difference in the amount of AchR when compared to other control groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Januar Chrisant Fladimir Makabori
Abstrak :
Pendahuluan: Defek tulang kritis adalah hilangnya struktur tulang yang melebihi ukuran kritis kemampuan tulang untuk beregenerasi. Pencangkokan tulang autologus sebagai terapi standar diperlukan pada defek tulang yang luas. Namun, hal ini dikaitkan dengan berbagai morbiditas. Penggunaan eksosom dari sel punca mesenkimal tali pusat (SPM- TP) dan PRF cukup menjanjikan dan berpotensi menjadi alternatif untuk mencapai penyembuhan defek tulang kritis. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental post-test only control group design dengan menggunakan 30 ekor tikus Sprague Dawley yang berusia 8-12 minggu dengan berat badan sekitar 250-300 gram. Tikus-tikus tersebut kemudian dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan, yaitu hidroksiapatit (HA) dan cangkok tulang (kelompok I), HA, cangkok tulang, dan PRF (kelompok II), HA, cangkok tulang, dan eksosom dari UC-MSC (kelompok III), HA, cangkok tulang, PRF, dan eksosom dari UC-MSC (kelompok IV), serta HA, PRF, dan eksosom dari UC-MSC (kelompok V). Pada setiap tikus, defek tulang femur 5mm dibuat dan difiksasi secara internal menggunakan ulir kawat K 1,0-1,2 mm. Pada minggu keempat masa tindak lanjut, pemeriksaan RT-PCR dilakukan untuk menilai kadar BMP-2 dan chordin, serta pemeriksaan histomorfometri untuk mengukur persentase area osifikasi, area fibrosis, dan area void. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji ANOVA satu arah dan uji post-hoc untuk menentukan signifikansi hasil. Hasil: Pada pemeriksaan RT-PCR, ekspresi gen BMP-2 tertinggi ditemukan pada kelompok I (1,0 - 1,5; median 1,2), diikuti oleh kelompok II (0,2 - 1,2; median 0,5), kelompok IV (0,3 - 0,7; median 0,4), kelompok III dan kelompok V. Sementara itu, ekspresi gen chordin tertinggi terdapat pada kelompok III (0 - 50), diikuti oleh kelompok lainnya dengan nilai yang sama. Namun, analisis deskriptif menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara tingkat BMP-2 dan chordin pada defek tulang kritis, dengan nilai p masing-masing 0,096 dan 0,690. Analisis statistik menunjukkan hasil yang signifikan untuk BMP-2 (p = 0,017) sementara chordin (p = 0,269) dan analisis histomorfometri untuk area osifikasi, fibrosis, dan inflamasi kronis (jaringan granulasi), dan area kosong tidak menunjukkan signifikansi statistik (p = 0,591, p = 0,581, p = 0,196). Diskusi: Penggunaan PRF dan eksosom dari SPM-TP secara terpisah menunjukkan hasil yang berbeda, dimana PRF menunjukan hasil yang baik pada osteogenesis dan eksosom dari SPM-TP menunjukan hasil lebih tinggi dalam pembentukan jaringan fibrosis, dan inflamasi kronis (jaringan granulasi). Pada beberapa penelitian, PRF terbukti meningkatkan kadar BMP-2 dan diferensiasi osteoblas, sehingga mempercepat proses osteogenesis. Namun, penggunaan eksosom dan PRF secara bersamaan belum diteliti pengaruhnya terhadap defek tulang kritis. Dalam penelitian ini, hasil yang berlawanan ditemukan daripada hasil yang diharapkan, dengan kadar BMP-2 yang relatif rendah pada kelompok perlakuan kombinasi dibandingkan dengan kelompok lain, dan adanya peningkatan kadar chordin pada kelompok perlakuan kombinasi. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi PRF dan eksosom dari SPM-TP dapat menghasilkan efek negatif pada osteogenesis. Kesimpulan: Secara terpisah, PRF telah terbukti memiliki efek positif pada osteogenesis, sedangkan eksosom dari SPM-TP menunjukan hasil lebih tinggi dalam pembentukan jaringan fibrosis, dan inflamasi kronis (jaringan granulasi). Kombinasi keduanya dalam penelitian ini, tidak memberikan efek positif terhadap regenerasi defek tulang kritis. ......Introduction: Critical bone defect is a loss of bone structure that exceeds the critical size of the bone's ability to regenerate. Autologous bone grafting as the standard therapy is needed in extensive bone defects. However, it is associated with various morbidities. The use of exosome from umbilical cord mesenchymal stem cell (UC-MSC) and PRF is promising and has the potential to be an alternative to achieve healing of critical bone defects. Methods: This study was an experimental post-test only control group design using 30 Sprague Dawley rats aged 8-12 weeks, weighing about 250-300 grams. They were then divided into 5 treatment groups, namely hydroxyapatite (HA) and bone graft (group I), HA, bone graft, and PRF (group II), HA, bone graft and exosome from UC-MSC (group III), HA, bone graft, PRF, and exosome from UC-MSC (group IV), and HA, PRF, and exosome from UC-MSC (group V). In each rat, a 5mm femoral bone defect was created and internally fixated using a 1.0-1.2 mm K-wire threaded. At the fourth week of follow- up, RT-PCR examination was performed to assess BMP-2 and chordin levels, as well as histomorphometry examination to measure the percentages of ossification area, fibrotic area, and void area. Statistical analysis was conducted using one-way ANOVA and post- hoc tests to determine the significance of the results. Results: In the RT-PCR examination, the highest BMP-2 gene expression was found in group I (1.0 - 1.5; median 1.2), followed by group II (0.2 - 1.2; median 0.5), group IV (0.3 - 0.7; median 0.4), group III and group V. Meanwhile, chordin gene expression was highest in group III (0 - 50), followed by the other groups with similar values. However, descriptive analysis showed no significant correlation between BMP-2 and chordin levels in critical bone defects, with p values of 0.096 and 0.690 each. Statistical analysis showed significant results for BMP-2 (p = 0.017) while chordin (p = 0.269) and histomorphometry analysis for ossification, fibrotic, and void area showed no statistical significance (p = 0.591, p = 0.581, p = 0.196, respectively). Discussion: The use of PRF and exosomes from SPM-TP separately showed different results, where PRF showed good results in osteogenesis and exosomes from SPM-TP showed higher results in fibritic tissue formation. However, the use of both exosomes and PRF together has not been studied for their effect on critical bone defects. In this study, the opposite results were found instead of the expected results. This may indicate that the combination of PRF and exosome from UC-MSC could possibly yield a negative effect on osteogenesis. Conclusion: The combination of PRF and exosome from UC-MSC did not yield positive effect on the outcomes examined in this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Gilang Edi
Abstrak :
Durian Durio zibethinus merupakan tumbuhan tropis yang terkenal dengan rasa buahnya yang khas dan bentuk yang berduri Terdapat dugaan di masyarakat bahwa mengkonsumsi durian dalam jumlah besar dapat mencetus munculnya penyakit kardiovaskular seperti stroke namun hingga saat ini belum terbukti kebenarannya Studi menunjukkan bahwa durian mengandung senyawa antioksidan dalam jumlah tinggi yang dapat mengurangi stres oksidatif dan berpotensi mencegah berbagai penyakit inflamasi dan degeneratif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsumsi durian terhadap kadar glutation GSH plasma darah sebagai biomarker stres oksidatif Tiga puluh dua Tikus Sprague Dawley dengan berat 100 150 mg dibagi menjadi 4 grup Grup kontrol hanya diberi makan dan minum ad libitum Grup minggu 1 minggu 2 dan minggu 3 berturut turut diberi 10 ml larutan durian 10 gram 10 ml pada pagi dan siang hari setiap hari per oral selama 1 minggu 2 minggu dan 3 minggu selain makan dan minum normal ad libitum Level GSH plasma diukur dengan metode Ellman menggunakan spektrofotometri Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kontrol kadar GSH plasma pada minggu 1 dan 2 meningkat sedangkan pada minggu 3 lebih rendah dengan selisih minimal Perbedaan kadar GSH antar grup tidak dapat dianalisis karena populasi sampel pada akhir studi tidak mencukupi.
Durian Durio zibethinus is a tropical fruit famous for its exotic taste and thorny shape There are a notion in the community that excessive consumption of durian can aggravate one rsquo s health and cause cardiovascular diseases which has no evidence yet Durian contains abundant amount of antioxidant beneficial in ameliorating oxidative stress promoting the potential to prevent cardiovascular and degenerative diseases This research aims to understand the effect of durian consumption to plasma glutathione GSH level as a biomarker of oxidative stress The study used 32 Sprague Dawley rats weighted 100 150 mg divided into 4 groups control 1 week 2 weeks 3 weeks treatment Control group was given water and normal diet ad libitum while 1 week 2 weeks 3 weeks group were given 10 ml diluted durian juice 10 gram 10 ml twice in the morning and the afternoon daily per oral with water and normal diet ad libitum for 1 week 2 weeks 3 weeks respectively Level of plasma GSH was measured using spectrophotometry following Ellman 39 s method Result showed increase of plasma GSH level in 1st and 2nd week compared to control while 3rd week level was minimally lower than control value The difference between each group was not statistically comparable due to low n number.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anasya Diandra Atmadikoesoemah
Abstrak :
Latar Belakang: Hibiscus sabdariffa Linn dikenal sebagai herbal yang memiliki efek antioksidan dan antiinflamasi. Inflamasi merupakan salah satu mekanisme terjadinya diabetes mellitus, sebuah penyakit metabolik yang terjadi akibat gangguan pada insulin dan fungsi sel beta pancreas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi Hibiscus sabdariffa Linn. terhadap kadar HOMA-IR (Homeostasis Model Assessment-Insulin Resistance) dan Interleukin-6 pada kondisi diabetes mellitus. Metode: Dua puluh empat tikus Sprague-Dawley ditempatkan secara acak menjadi enam kelompok; kontrol normal, normal dengan 200mg/kgBB Hibiscus, normal dengan 500mg/kgBB Hibiscus, kontrol diabetes, diabetes dengan 200mg/kgBB Hibiscus, dan diabetes dengan 500mg/kgBB Hibiscus. Hibiscus sabdariffa Linn diberikan selama 5 minggu kepada kelompok Hibiscus, dan sampel darah dari tiap kelompok diambil untuk menilai kadar gula darah, insulin, dan IL-6. Kadar IL-6 diukur menggunakan ELISA. HOMA-IR dicek menggunakan tes non-parametrik Kruskal-Wallis dan IL-6 dicek menggunakan one-way ANOVA untuk menilai signifikansi statistik. Hasil: Tikus di kelompok diabetes yang diberikan 200mg/kgBB dan 500mg/kgBB Hibiscus memiliki nilai HOMA-IR dan kadar IL-6 yang lebih rendah walau tidak ada signifikansi statistik antar kelompok HOMA-IR (p= 0.127) dan IL-6 (p = 0.760). Kesimpulan: Penelitian ini tidak menghasilkan signifikansi statistik terhadap penurunan HOMA-IR dan IL-6. ......Introduction: Hibiscus sabdariffa Linn. is known as one of the herbs that possess antioxidant and anti-inflammatory benefits. Inflammation has been long suggested to be one of the pathophysiology of diabetes mellitus, a metabolic disorder that is rooted from insulin impairment and beta cell dysfunction. This study objective is to explore the antiinflammatory effect of Hibiscus sabdariffa Linn towards HOMA-IR (Homeostasis Model Assessment-Insulin Resistance) and Interleukin-6 in diabetes mellitus condition. Methods: Twenty four Sprague-Dawley rats were randomly allocated into six different group; normal control group, normal with 200mg/kgBW of Hibiscus, normal with 500mg/kgBW of Hibiscus, diabetic control, diabetic with 200mg/kgBW of Hibiscus, and diabetic with 500mg/kgBW of Hibiscus. Hibiscus sabdariffa Linn. was administered for 5 weeks for the Hibiscus group, and the blood samples of each group are drawn to obtain blood glucose, insulin, and IL-6. IL-6 level was measured using ELISA kit. HOMA-IR statistical significance was checked using non-parametric Kruskal-Wallis test and IL-6 statistical significance was calculated using one-way ANOVA. Results: Rats in diabetic group that are treated with 200mg/kgBW and 500mg/kgBW had lower value of HOMA- IR and IL-6 although there were no statistical significance between both HOMA-IR (p = 0.127) and IL-6 (p = 0.760) group. Conclusion: This study does not yield statistically significant decrease of both HOMA-IR and IL-6.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>