Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elsa Austin W.
Abstrak :
ABSTRACT
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang diderita oleh banyak orang di dunia termasuk Indonesia. Konversi sputum adalah salah satu cara untuk mengevaluasi respon pasien tuberkulosis, namun konversi sputum dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah grading sputum yang tinggi. Pada penelitian ini dilakukan penelitian mengenai keberhasilan konversi sputum dihubungkan dengan sputum smear grading. Studi ini dilakukan di tiga puskesmas di Depok dan menggunakan 293 formulir TB.01. Terdapat 25 kejadian gagal konversi dimana 16 dari kejadian itu didapatkan pada kelompok dengan sputum smear grading yang tinggi. Analisis statistik dari data yang didapat menunjukkan bahwa ada hubungan antara sputum smear grading yang tinggi dengan kegagalan konversi dengan RR 3.380 yang memiliki indeks kepercayaan 95 1.549 hingga 7.375. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sputum smear grading merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi keberhasilan konversi pada pasien TB.
ABSTRACT
Tuberculosis is an infectious disease suffered by many people in the world including Indonesia. Sputum conversion is an indicator to evaluate patient rsquo s response against Tuberculosis drug, but sputum conversion is influenced by many factors and high sputum grading is one of them. In this research, we seek the relation between sputum smear grading and the success of sputum conversion. This study is done in three public health center in Depok and using 293 TB.01 formulir. There are 25 incidence of failure in sputum conversion and 16 of it is from the group whose sputum smear grading is high. Statistical analysis from the data showed that there is a relation between high sputum smear grading and sputum conversion. The RR is 3.380 with 95 confidence interval 1.549 to 7.375. The conclusion from this study is that sputum smear grading is an important factor that influence success rate of conversion of sputum in tuberculosis patient.
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Fadhilah
Abstrak :
ABSTRACT
Aspergilosis paru merupakan infeksi oportunistik yang disebabkan oleh jamur Aspergillus spp. Insidensi aspergilosis paru cenderung semakin meningkat seiring dengan peningkatan penggunaan obat-obatan imunosupresan seperti kortikosteroid dan terapi sitotoksik. Sulitnya penegakan diagnosis aspergilosis paru menjadi tantangan disebabkan tanda dan gejala klinis yang tidak spesifik serta biopsi jaringan sebagai baku emas yang bersifat invasif. Pemeriksaan kultur sputum dan deteksi antibodi merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan pada pasien suspek aspergilosis paru yang dikirim ke Laboratorium Mikologi Departemen Parasitologi FKUI, namun belum tersedia data mengenai nilai diagnostik deteksi antibodi dalam mendiagnosis aspergilosis paru. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan pemeriksaan deteksi antibodi dengan crude antigen Aspergillus dengan metode imunodifusi dengan kultur sputum sebagai tes rujukan. Penelitian berdesain potong lintang dengan sampel berjumlah 689 rekam medis dari pasien suspek aspergilosis paru yang melakukan pemeriksaan kultur sputum dan deteksi antibodi di Laboratorium Mikologi Departemen Parasitologi FKUI tahun 2008-2015. Dari analisis deskriptif didapatkan prevalensi aspergilosis paru berdasarkan hasil positif kultur sebesar 0,4 . Dari uji diagnostik deteksi antibodi dengan tabel 2x2, nilai sensitivitas 33,33 dan spesifisitas 95,62 serta terdapatnya perbedaan yang bermakna.
ABSTRACT
Pulmonary aspergillosis is an opportunistic infection caused by Aspergillus spp mold. The incidence of this infection has dramatically increased which is related to the increasing utilization of immunosuppressive drugs such as corticosteroids and cytotoxic therapy. Diagnosis of pulmonary aspergillosis has been challenging since not only the signs and symptoms of the disease are nonspecific, but also tissue biopsy as gold standard is considered invasive. Sputum culture and antibody detection has been routine examinations done to the patient with suspected pulmonary aspergillosis sent to the Mycology Laboratory of Department of Parasitology FMUI, but the diagnostic value of antibody detection is not available. The aim of this study is to compare antibody detection with immunodiffusion method using crude antigen of Aspergillus with sputum culture as reference test. This cross sectional study used 689 samples obtained from medical records of patients with suspected pulmonary aspergillosis who undergo both sputum culture examination and antibody detection in Mycology Laboratory of Department of Parasitology FMUI in 2008 2015. Descriptive analysis showed the prevalence of pulmonary aspergillosis based on positive culture result is 0,4 . The sensitivity and specificity of antibody detection are 33,33 and 95,62 respectively, resulted from diagnostic test using 2x2 table. Statistical analysis using McNemar rsquo s test shows significant difference between mentioned examinations and low level of agreement Kappa 0,026.
2016
T55737
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Luthfi
Abstrak :
Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan global. Terdapat banyak pasien tuberkulosis memiliki status gizi kurang saat awal diagnosis yang berdampak pada penurunan daya tahan tubuh pasien tersebut, sehingga meningkatkan risiko terjadinya kegagala dapn konversi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi pasien tuberkulosis pada awal diagnosis dengan keberhasilan konversi sputum. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder yang didapat dari Kartu Pasien TB.01 di UPT Puskesmas Sukmajaya, UPF Puskesmas Villa Pertiwi dan UPF Puskesmas Abadi Jaya n=131. Pada penelitian ini didapatkan 93,2 pasien dengan status gizi kurang BMI0,05 antara status gizi pasien tuberkulosis saat awal diagnosis dengan keberhasilan konversi sputum setelah pengobatan fase intensif dilakukan RR 1,016 ,95 CI,0,932-1,108.
Tuberculosis is one of global health problem. There is many tuberculosis patients who have low nutritional status in the initial of diagnosis that can lower the immune system of the patients and increase the risk of conversion failure. The aim of this study is to evaluate the correlation between the nutritional status of tuberculosis patient in the initial of diagnosis and the success of sputum conversion after an intensive phase of treatment been performed. This study used a retrospective cohort design using secondary data which obtained from Kartu Pasien TB.01 in UPT Puskesmas Sukmajaya, UPF Puskemas Villa Pertiwi and UPF Puskesmas Abadi Jaya n 131. In this study, 93,2 patients with low nutritional status BMI 0,05 between the nutritional status of tuberculosis patients in the initial of diagnosis and the success of sputum conversion after an intensive phase of treatment been performed RR 1.016, 95 CI, 0.932 to 1.108.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rizki
Abstrak :
Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksius yang menjadi salah satu penyebab kematian karena infeksi di seluruh dunia. Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau dan menilai pengobatan adalah dengan menentukan konversi sputum. Status gizi yang baik akan dapat mempengaruhi perubahan konversi sputum Tuberkulosis Paru dan keberhasilan terapi. Pada penelitian ini dilakukan analisis mengenai hubungan perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien Tuberkulosis Paru di RS Persahabatan tahun 2013 - 2015. Desain studi penelitian ini adalah potong lintang dengan sampel penelitian sebanyak 100. Sampel penelitian diambil dari data rekam medis dan dianalisis dengan uji Chi-Square. Hasil penelitian ini adalah secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien tuberkulosis paru di RS Persahabatan tahun 2013-2015 p=0,433 Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksius yang menjadi salah satu penyebab kematian karena infeksi di seluruh dunia. Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau dan menilai pengobatan adalah dengan menentukan konversi sputum. Status gizi yang baik akan dapat mempengaruhi perubahan konversi sputum Tuberkulosis Paru dan keberhasilan terapi. Pada penelitian ini dilakukan analisis mengenai hubungan perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien Tuberkulosis Paru di RS Persahabatan tahun 2013 - 2015. Desain studi penelitian ini adalah potong lintang dengan sampel penelitian sebanyak 100. Sampel penelitian diambil dari data rekam medis dan dianalisis dengan uji Chi-Square. Hasil penelitian ini adalah secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien tuberkulosis paru di RS Persahabatan tahun 2013-2015 p = 0,433
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Naura Irbah
Abstrak :
Latar Belakang: Anemia diketahui sebagai salah satu komplikasi pada penyakit TB. Konsentrasi hemoglobin yang rendah diasosiasikan dengan keterlambatan waktu konversi kultur sputum pada pasien TB namun hubungannya pada pasien TB MDR masih belum diketahui. Konversi kultur sputum pasien TB MDR dari positif menjadi negatif merupakan prediktor utama indicator keberhasilan pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kondisi anemia pada pasien TB MDR dapat memperlambat waku konversi sputum. Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif dengan metode total sampling untuk memperoleh data pemeriksaan hematologis, status klinis, dan status demografis dari rekam medis pasien TB MDR di RSUP Persahabatan selama tahun 2016. Data mengenai waktu konversi sputum diperoleh dari database online Indonesia, e-TB-Manager, di bawah pengawasan pihak yang berwenang di RSUP Persahabatan. Hasil: Dari seluruh 363 rekam medis, terdapat 201 data yang memenuhi kriteria inklusi dengan keterangan sebanyak 83/118 41.3 mengalami anemia. Analisis data dengan uji kesintasan menunjukkan bahwa status anemia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keterlambatan konversi sputum, sedangkan klasifikasi dan jenis anemia tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses konversi sputum. Kesimpulan: Kondisi anemia meningkatkan risiko konversi sputum yang lebih lama pada pasien TB MDR dibandingkan dengan pasien tanpa diserta anemia. Oleh karena itu, perlu adanya upaya perbaikan status gizi dan profil hematologis pada pasien TB MDR yang disertai dengan anemia. ......Background: Anemia was known to be the complication of Tuberculosis TB . Low hemoglobin concentration was associated with prolonged time of culture sputum conversion in TB but the association in MDR TB is still unknown. Sputum culture conversion in MDR TB was the main predictor of successful therapy outcome. This study aims to understand whether anemia amongs MDR TB patients could prolong the time for sputum conversion. Method: This retrospective cohort study used total sampling method to obtain hematological laboratory data, clinical status, and demographic status from medical records of MDR TB patients in Persahabatan Hospital during the year of 2016. The time of sputum conversion was obtained from Indonesian online database e TB Manager under supervision of Persahabatan Hospital authorized staffs. Result: Of the 363 medical records within a year, only 201 datas fitted into inclusion criteria in which 83 of 118 MDR TB patients 41.3 have anemia. Survival analysis rate showed a significant rate difference in conversion time based on the anemic status. However, there is no significant relation of classification and types of anemia towards the conversion time. Conclusion: Anemia increased the risk of prolonged time in spuum conversion in MDR TB patients compared to those without anemia. Therefore, there should be an effort in improving the nutritional status and hematological profile in MDRt TB patients with anemia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Annisa
Abstrak :
Latar belakang: Pasien kanker paru berpotensi mengalami infeksi oportunistik yang dapat memperburuk luaran klinis, bahkan kematian. Salah satu penyebab infeksi oportunistik itu adalah jamur Aspergillus sp. Diagnosis dini masih menjadi tantangan, tetapi sangat penting dilakukan agar tata laksana dapat dioptimalkan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi klinis dengan hasil kultur jamur Aspergillus pada pasien kanker paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) di RSUP Persahabatan serta uji kepekaannya terhadap vorikonazol. Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada pasien KPKBSK yang memenuhi kriteria inklusi. Prosedur biakan jamur dari sputum induksi dilakukan pada medium Agar Sabouraud Dekstrosa (ASD) menggunakan metode high volume. Identifikasi spesies dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik, dilanjutkan dengan uji kepekaan Aspergillus menggunakan metode difusi cakram. Data klinis pasien diperoleh dari rekam medis. Hasil: Dari 70 pasien KPKBSK yang memenuhi kriteria inklusi, terdapat pasien laki-laki 61,4%, dengan rerata usia 59,83  9,18 tahun. Profil klinis lain menunjukkan jenis adenokarsinoma 74,3%, stadium lanjut kanker paru 78,6%, tampilan status 1 40%, perokok aktif 60%, dan indeks brinkman berat 31,4%. Gejala klinis berupa sesak napas 81,4%, nyeri dada 71,4%, berat badan turun 71,4%, batuk 45,7%, hemoptisis 28,6%, dan demam 8,6%. Riwayat komorbid berupa diabetes melitus 18,6%, bekas tuberkulosis 12,9%, dan asma/penyakit paru obstruktif kronik 1,4%. Proporsi Aspergillus yang diisolasi dari sputum induksi didapatkan pada 43 pasien (61,4%), dengan 67 isolat. Distribusi spesies Aspergillus terdiri atas Aspergillus niger 22,1%, Aspergillus fumigatus 17,9%, dan Aspergillus flavus 7,9%. Analisis statistik menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin laki-laki, gejala klinis batuk dan demam dengan hasil kultur Aspergillus (p<0.05). Uji kepekaan 59 isolat Aspergillus sp. terhadap vorikonazol menunjukkan hasil sensitif 57,6%, intermediet 34,6%, dan resisten 19,3%. Simpulan: Pada penelitian ini terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin laki-laki, gejala klinis batuk, dan demam dengan hasil kultur Aspergillus (p<0.05). Tiga puluh sembilan dari 59 isolat Aspergillus spp. masih sensitif terhadap vorikonazol. ......Background: Lung cancer patients have the potential to experience opportunistic infections that can worsen clinical outcomes, even death. One of the causes of opportunistic infection is the fungus Aspergillus sp. Early diagnosis remains a challenge, but it is necessary for optimal management. Objective: This study aims to determine the clinical correlation with the results of Aspergillus culture in patients with non-small cell lung carcinoma (NSCLC) at Persahabatan Hospital and their susceptibility to voriconazole. Methods: This cross-sectional study was carried out on NSCLC patients who met the inclusion criteria. The procedure of fungal culture from induced sputum was performed on Sabouraud Dextrose Agar (SDA) medium using the high volume method. Species identification was conducted with microscopic examination, followed by Aspergillus susceptibility test using the disc diffusion method. Patients’ clinical data obtained from medical records. Results: Out of 70 NSCLC patients who met the inclusion criteria, there were male patients 61.4%, with a mean age of 59.83 ± 9.18 years. Clinical profiles of NSCLC patients were adenocarcinoma 74.3%, advanced lung cancer 78.6%, performance status 1 40%, active smokers 60%, and severe Brinkman index 31.4%. Clinical symptoms of shortness of breath 81.4%, chest pain 71.4%, weight loss 71.4%, cough 45.7%, hemoptysis 28.6%, and fever 8,6%. A history of comorbid diabetes mellitus 18.6%, former tuberculosis 12.9%, and asthma/chronic obstructive pulmonary disease 1.4%. The proportion of Aspergillus isolated from induction sputum was found in 43 patients (61.4%), as many as 67 isolates. The distribution of Aspergillus species consisted of Aspergillus niger 22.1%, Aspergillus fumigatus 17.9%, and Aspergillus flavus 7.9%. Statistical analysis showed that there was a significant relationship between male gender, clinical symptoms of cough, and fever with the results of Aspergillus culture (p <0.05). Susceptibility test for 59 isolates of Aspergillus sp. to voriconazole showed sensitivity of 57.6%, intermediate 34.6%, and resistance 19.3%. Conclusion: In this study, there was a significant relationship between male gender, clinical symptoms of cough, and fever with Aspergillus culture results (p <0.05). Thirty-nine out of 59 Aspergillus spp. isolates were still sensitive to voriconazole.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madeleine Ramdhani Jasin
Abstrak :
Latar Belakang: Induksi sputum merupakan metode alternatif untuk mendapatkan spesimen dari saluran respiratori bawah yang bersifat semi-invasif. Induksi sputum belum menjadi pemeriksaan standar pada anak, padahal sputum merupakan spesimen yang baik untuk berbagai pemeriksaan penunjang, misalnya pulasan sitologi dan biakan bakteri. Keberhasilan induksi sputum dalam mendapatkan spesimen dari saluran respiratori bawah pada anak masih diragukan. Tujuan: Mengetahui keberhasilan induksi sputum dalam mendapatkan spesimen dari saluran respiratori bawah pada anak dengan infeksi saluran respiratori bawah, toleransi induksi sputum, dan pola biakan dari spesimen sputum yang didapatkan. Metode: Penelitian potong lintang deskriptif pada subjek anak berusia 1 bulan hingga 18 tahun dengan infeksi respiratori bawah yang dipilih secara konsekutif. Subjek menjalani induksi sputum. Sputum diperiksa jumlah sel makrofag alveolar, kadar protein surfaktan A (SP-A), serta biakan bakteri aerob, atau pulasan bakteri tahan asam dan biakan M. tuberculosis. Hasil: Empat puluh orang subjek berpartisipasi dalam penelitian ini, induksi sputum berhasil dilakukan pada seluruh subjek. Usia termuda 2 bulan dan tertua 16 tahun 7 bulan. Sebagian besar subjek (27 dari 40 orang) didiagnosis dengan tuberkulosis, diikuti pneumonia dan bronkiolitis. Median durasi induksi sputum 45 menit, dan sebagian besar volume 3 atau 4 mL. Efek samping berupa perdarahan hidung (40%) dan muntah (2,5%). Jumlah sel makrofag alveolar lebih dari 5 buah ditemukan pada 97,5% subjek. Sementara, SP-A diperiksa pada 30 spesimen dan SP-A dideteksi pada seluruh spesimen dengan median 264,528 pg/mL. Pulasan bakteri tahan asam negatif pada seluruh subjek yang diperiksa, sementara biakan M. tuberculosis positif pada 1 dari 27 (3%) subjek. Biakan bakteri aerob positif pada 5 dari 13 (38,5%) orang subjek. Simpulan: Induksi sputum memiliki keberhasilan yang baik untuk mendapatkan spesimen dari saluran respiratori bawah pada anak dan aman dilakukan. Spesimen sputum yang diperoleh secara induksi memiliki hasil positif biakan bakteri aerob yang cukup baik. ...... Background: Sputum induction is an alternative method to obtain specimen from lower respiratory tract. Although sputum is a good specimen for various examination such as cytology and microbiological culture, sputum induction is not a standard method in children. The efficacy of sputum induction to obtain specimen from lower respiratory tract in children is unclear. Objective: To identify the efficacy of sputum induction to obtain specimen from lower respiratory tract in children with lower respiratory tract infection. Also, to identify side effects of sputum induction and the result of microbiological culture. Design: A cross sectional study was performed in children from age 1 month old to 18 years old with lower respiratory tract infection, consecutively. Subject underwent sputum induction, and specimens were examined for number of alveolar macrophage cell, surfactant protein A (SP-A) concentration, also aerobic microbial culture, or acid-fast bacili smear and M. tuberculosis culture. Result: Forty subjects participated in this study, and sputum induction was succesfully performed in all subjects. Youngest subject was 2 months old, while the eldest was 16 years 7 months old. Most subjects (27 of 40) were diagnosed with tuberculosis, followed by pneumonia and bronchiolitis. Median duration of sputum induction was 45 minutes, and majority of volume was 3 or 4 mL. Side effects were nose bleeds (40%) and vomiting (3%). Macrophage alveolar more than 5 cells in one specimen was found in 97.5% subjects. Laboratory examination for SP-A was performed in 30 subjects? specimens, and SP-A was detected in all examined specimens with median concentration 264.528 pg/mL. Culture for M. tuberculosis was positive in 1 of 27 subjects (3%), while acid fast bacili smear was negative in all examined subjects. Aerobic microbial culture was positive in 5 of 13 subjects (38.5%), Conclusions: Sputum induction has good efficacy in obtaining lower respiratory tract specimen and it is safe to perform in children. Specimen from sputum induction yields good positive result for aerobic microbial cultures.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library