Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wyllyan Ichsan Shab Billah
"Tesis ini membahas mengenai konsep konstitusionalisme deklarasi keadaan darurat sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945. Secara teori, konsep pemberian kewenangan dalam mendeklarasikan keadaan darurat seharusnya tidak ada pada pemerintah daerah. Hal demikian, dikarenakan bentuk negara Indonesia merupakan negara kesatuan. Namun menurut peraturan perundang-undangan yang lain, kewenangan deklarasi keadaan darurat dapat dimiliki oleh pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota yang menyesuaikan dengan skala kedaruratan yang terjadi di wilayah tersebut. Dalam konteks ini, Gubernur dan Bupati/Walikota adalah kepala pemerintahan daerah yang merupakan bagian dari pemerintahan pusat yang berada di wilayah mereka, sehingga dalam hal ini pemerintah daerah tidak memiliki peran layaknya sebagai kepala negara. Dengan kata lain, semestinya kewenangan untuk mendeklarasikan keadaan darurat seharusnya tetap berada ditangan pemerintah pusat dalam hal ini hanya Presiden yang bertanggung jawab penuh terhadap negara ketika dalam kondisi darurat. Namun, secara praktik pelaksanaan deklarasi keadaan darurat dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menyesuaikan skala kedaruratan yang terjadi di sebagian wilayah negara Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam UU 24/2007 Penanggulangan Bencana dan UU 7/2012 Penanganan Konflik Sosial. Sehingga, hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan mengenai deklarasi keadaan darurat di Indonesia saat ini belum memiliki kerangka konsep yang konsisten dan baku, seiring berjalannya waktu peraturan terkait deklarasi keadaan darurat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia akan saling tumpang tindih, dan minimnya pengawasan yang dilakukan oleh legislatif, terlebih lagi tidak adanya pengaturan norma khusus mengenai batasan masa berlakunya keadaan darurat dalam konstitusi Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keadaan darurat. Padahal dalam konteks negara-negara lain, masa berlaku keadaan darurat ditegaskan di dalam konstitusinya, hal ini sangat diperlukan guna untuk menegaskan batasan waktu terhadap berlakunya deklarasi keadaan darurat tersebut.

This thesis discusses the constitutionalism concept of declaring a state of emergency as intended in the provisions of Article 12 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. In theory, the concept of granting authority to declare a state of emergency should not exist in regional governments. This is because the form of the Indonesian state is a unitary state. However, according to other laws and regulations, the authority to declare an emergency can be owned by the regional government, in this case the Governor/Regent/Mayor, who adjusts it to the scale of the emergency occurring in the region. In this context, the Governor and Regent/Mayor are heads of regional government which are part of the central government in their region, so that in this case the regional government does not have a role like head of state. In other words, the authority to declare a state of emergency should remain in the hands of the central government, in this case only the President has full responsibility for the country when it is in an emergency. However, in practice the implementation of emergency declarations can be carried out by regional governments by adjusting the scale of emergencies occurring in some regions of Indonesia as intended in Law 24/2007 Disaster Management and Law 7/2012 Handling Social Conflict. Thus, the results of the research show that the provisions regarding the declaration of a state of emergency in Indonesia currently do not have a consistent and standard conceptual framework, as time goes by the regulations regarding the declaration of a state of emergency in the laws and regulations in force in Indonesia will overlap with each other, and there will be minimal supervision. carried out by the legislature, moreover there is no specific norm regulation regarding the validity period of the state of emergency in the Indonesian constitution and the laws and regulations relating to the state of emergency. Even though in the context of other countries, the validity period of a state of emergency is confirmed in their constitution, this is very necessary in order to emphasize the time limit for the entry into force of the declaration of a state of emergency."
2024: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Al Hadi Nst
"Konflik di Papua telah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan sejak masih dikenal dengan nama Irian Jaya. Sejarah panjang proses integrasi Papua yang bermasalah telah melahirkan konflik yang hingga kini tidak kunjung mencapai kata selesai. Dalam perkembangannya, kini ancaman tidak hanya datang dari kelompok bersenjata yang menginginkan kemerdekaan Papua. Studi terbaru juga menunjukkan besarnya potensi konflik, baik di antara orang Papua itu sendiri, maupun antara orang Papua dengan penduduk pendatang. Untuk menangani situasi di Papua, pemerintah telah melakukan tindakan-tindakan yang patut diduga membatasi Hak Asasi Manusia, seperti pengerahan aparat bersenjata dan pembatasan akses terhadap informasi dan media. Pada masa orde baru, secara faktual Papua bahkan pernah menjadi Daerah Operasi Militer. Uniknya, terlepas adanya indikasi kedaruratan yang nyata, pemerintah tidak pernah mendeklarasikan keadaan darurat secara resmi berdasar hukum. Padahal, menurut doktrin Hukum Tata Negara Darurat, tindakan-tindakan khusus yang membatasi Hak Asasi Manusia tersebut hanya dapat dilakukan dalam suatu keadaan darurat yang dideklarasikan secara resmi. Melalui studi pustaka, penelitian ini berusaha menelusuri norma pembatasan hak asasi manusia dalam keadaan darurat, baik dalam teori, hukum positif di Indonesia, dan pengaturannya dalam konstitusi negara-negara lain. Uraian-uraian menyangkut konflik yang terjadi di Papua juga disajikan untuk menambah pemahaman terhadap persoalan yang ada. Penelitian ini menemukan bahwa penggunaan tindakan-tindakan khusus yang dilakukan dalam penanganan konflik di Papua telah bertentangan dengan asas proklamasi yang dikenal dalam Hukum Tata Negara Darurat. Selain itu, kasus-kasus pembunuhan di luar proses hukum dan penyiksaan juga menunjukkan pelanggaran serius terhadap non-derogable rights yang dijamin Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 4 International Covenant on Civil and Political Rights. Lebih-lebih lagi, ketiadaan pengawasan oleh parlemen dan pengadilan menyebabkan tidak terdeteksinya tindakan-tindakan lain yang patut diduga tidak beralasan dan tidak proporsional terhadap ancaman bahaya yang ada.

The conflict in Papua has been ongoing for decades, dating back to when it was known as Irian Jaya. The troubled integration process has led to a conflict that remains unresolved. Recently, studies have shown that threats come not only from armed groups seeking Papuan independence. Recent studies also show the potential conflicts, both between Papuans themselves, and within the Papuan community and between Papuans and the migrant population. The government's efforts to handle the situation, including the deployment of armed forces and restrictions on information access and the media, have raised concerns about human rights restrictions. Despite indications of an emergency, the government has never officially declared a state of emergency based on law, as required by the Emergency Constitutional Law doctrine. This study aims to explore how human rights restrictions during state of emergency in theory, Indonesian law, and in the constitutions of other countries. In addition, it presents descriptions of conflict in Papua to shed light on existing problems. The research reveals that the special measures used to manage the conflict in Papua conflict with the proclamation principle outlined in the Emergency Constitutional Law doctrine. Furthermore, cases of extrajudicial killings and torture demonstrate serious violations of the non-derograble rights guaranteed by the Article 28I of Constitution of the Republic of Indonesia and the Article 4 of the International Covenant on Civil and Political Rights. The absence of oversight by parliament and the courts has led to the failure to detect other actions alleged to be unreasonable and disproportionate to the gravity of the events."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library