Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kabul Subiandono
Abstrak :
Pertumbuhan perumahan di sekitar kota (suburb) sudah begitu pesatnya, sehingga menimbulkan bangkitan pergerakan dari dan ke daerah tersebut. Bangkitan pergerakan merupakan elemen penting pada proses perencanaan transportasi, dimana tahapan ini bertujuan mendapatkan jumlah pergerakan yang dibangkitkan oleh setiap zona asal (Or) dan jumlah pergerakan yang tertarik ke setiap zona tujuan (Dd) yang ada di dalam daerah kajian. Tesis ini bertujuan menghitung dan meramalkan besarnya tingkat bangkitan perjalanan pada suatu daerah, dengan mempertimbangkan struktur demografi daerah tersebut. Untuk kota-kota besar dengan kompleksitas yang tinggi, proses pemodelannya sensitif terhadap variasi keeenderungan sosial-ekonomi yang mempengaruhi pelaku perjalanan. Maka untuk tingkat kompleksitas ini, bangkitan perjalanan diperhitungkan sebagai beberapa fungsi dari atribut rumah tangga antara lain : ukuran rumah tangga, pendapatan rumah tangga, pemilikan kendaraan, dan sebagainya. Metoda tersebut disebut metoda klasifikasi silang atau analisis kategori, metoda ini mengklasifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi bangkitan pergerakan. Oleh sebab itu pengetahuan tentang demografi pada daerah kajian adalah penting untuk digunakan sebagai dasar penentuan klasifikasi variabel-variabel tersebut. Sebagai studi kasus dilakukan pada kota Jakarta dengan memanfaatkan data dari hasil Survei Penduduk Antar Sensus 1995 (SUPAS 1995) serta hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 1996 (SUSENAS 1996).
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Saraswati
Abstrak :
Antigravitasi dari DKI Jakarta ke kota di sekitarnya, termasuk Depok terjadi sejak tahun 1980, sehingga di pusat kota jumlah penduduk menurun rata-rata --0,39 persen per tahun., sekalipun pertumbuhan seluruh wilayah DKI Jakarta masih 2,43 persen. Sebaliknya pertumbuhan penduduk Depok mencapai 6,30 persen. Pada tahun 1998 penduduk Depok berjumlah 903.934 jiwa, sementara penggunaan tanah kota (wilayah tutupan untuk permukiman, industri, perdagangan dan jasa) seluas 7.901 ha (39 persen dari luas kota). Pemerintah kota dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah memperkirakan bahwa tahun 2010, penggunaan tanah kota mencapai 73 persen, sedangkan 63 persen diantaranya untuk permukiman. Perluasan wilayah tutupan itu, selain tidak sesuai dengan harapan agar Depok menjadi wilayah resapan, diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan lokal maupun wilayah. Permukiman di Depok, khususnya yang dibangun pengembang sejak tahun 1979 terdiri atas perumnas, permukiman sederhana dan permukiman mewah. Dari hasil penelitian penduduk yang tinggal di permukiman perumnas maupun di permukiman sederhana, sama-sama melakukan perluasan bangunan rumahnya guna memenuhi kebutuhannya. Perluasan bangunan itu dimungkinkan karena adanya kelebihan tanah di masing-masing jenis permukiman itu. Permukiman perumnas kecil rata-rata pertambahan luas wilayah tutupannya sebesar 66 m2, di permukiman perumnas besar seluas 89,5 m2, sedangkan di permukiman sederhana kecil rata-rata 54,4 m2 dan di permukiman sederhana besar seluas 121,3 m2. Perbedaan pertambahan luas wilayah tutupan itu disebabkan oleh berbagai variabel antara lain variabel luas tanah asal, lama tinggal, jumlah orang yang tinggal di rumah itu serta jumlah anak dan komposisi anggota keluarga. Sedangkan variabel pengeluaran rumah tangga itu per bulan, tidak menjadi penentu untuk penduduk melakukan perluasan bangunan rumahnya.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Suryana
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini mendiskusikan kontestasi ruang sosial, sebagai fenomena sosial kemasyarakatan yang menyumbang signifikan terhadap proses suburbanisasi. Pola kontestasi ruang sosial tersebut bertumpu pada prinsip memanfaatkan segala peluang, sebuah Cara pandang terhadap gejala mobilitas !capital-yang rlifasilitasi oleh proses suburbanisasi---sebagai kesempatan ekonomi (economic opportunity). Kontestasi ruang sosial yang terbentuk pun seirama dengan proses suburbanisasi wilayah tadi terhadap kota induknya, terstruktur secara berjenjang (berposisi terbawah) dalam sistem hirarki ruang sosial kota metropolitan, dan terbangun sebagai produk dialektika antara pasar, negara, dan masyarakat. Jadi, suburban adalah arena sosial ketiga aktor tadi berkontestasi. Proses ini pads akhirnya membentuk struktur ruang sosial suburban dalam kerangka menopang fungsinya terhadap kota metropolitannya itu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Lokasi penelitian (Citayam) dipilih karena mewakili satu tipe suburbanisasi Jakarta yang bercirikan: (1) penyangga permukiman (bukan penyangga industi), (2) berada di jalur sistem transportasi massal yang murah dan cepat (jaringan kereta listrik Jakarta Bogor), (3) tumbuh begitu cepat pasta krisis ekonomi 1997, (4) dipicu oleh pasar perumahan dalam skala menengah-kecil (bukan seperti Bumi Serpong Damai yang berbentuk pasar rumah dalam skala besar untuk kalangan berpenghasilan atas), (5) bercorak suburban untuk kalangan berpenghasilan menengah dan bawah. Data dikumpulkan melalui penelusuran sumber sekunder maupun penelitian lapangan (field research). Koleksi stastistik milik Badan Pusat Statistik dan pustaka milik Perpustakaan Nasional (dalam kurun 1911-1960-an) menjadi salah satu acuan dalam penelusuran data sekunder. Sementara penelitian lapangan menggunakan teknik pengamatan, wawancara mendalam, dan wawancara sambil lalu. Sejumlah informan kunci diwawancarai. Mereka mewakili pare pemangku kepentingan terkait balk dari kalangan alit penduduk asii, lapis bawah, pedagang sektor informal, dan komuter. Tesis ini menyimpulkan bahwa suburbanisasi merupakan epifenomena, sebuah gejala yang digerakan oleh proses mobilitas kapital di sekitar kota metropolitan pinggiran. Suburban sendiri terbangun sebagai produk mekanisme pasar rumah yang "diatur" negara. Sebagian besar penghuninya adalah penduduk kota metropolitan yang tidak mampu membeli rumah di hunian pusat kota. Sebagian mereka tergolong berpenghasilan menengah-bawah yang pindah ke suburban karma alasan finansial, disamping juga terdorong oleh alasan yang bersifat suburban dream. Suburban yang dapat dilaju setiap hart pun mereka pilih (karena adanya sistem transportasi massal), mesh dituntut mental juang yang pantang menyerah lantaran fasilitas transportasi massalnya itu jauh dari memadai. Lokasi riset ini berkategori suburban menengah bawab, bukan hunian strategis, dan tidak dianggap panting oleh memori kolektif aparat Negara. Hal tersebut juga tersumbang oleh fakta bahwa wilayah suburban ini adalah daerah periferi dalam sistem kewilayahan daerah otonom. Dalam kaftan ini, negara abai menyediakan fasilitas publik, karma wilayah suburban ini dianggap tidak memberikan rente kepada dirinya. Pada sisi lain, mesh suburban menengah-bawah ini dibentuk oleh pasar perumahan, penyediaan fasilitas publik oleh pengembang sangat terbatas dan selalu saja berkorelasi dengan kemampuan finansial pars penghuni perumahan. Untuk mengompensasi sangat terbatasnya fasilitas publik tadi, penghuni suburban melakukan apa yang oleh riset ini dikonseptualisasikan sebagai frase penduduk-membangun-suburban (people making suburban). Mereka secara kreatif membangu infrastruktur hunian dan fasilitas umum dengan berpatokan pada prinsip memanfaatkan segala peluang. Gejala penduduk membangun suburban pun kemudian bergerak ke tahap lebih lanjut, sebagai upaya mengisi celah sosial ekonomi akibat dampak berganda (multiplayer effect) sirkulasi kapital di wilayah ini. Di wilayah sentral suburban yang memiliki tingkat kapasitas tanah yang tinggi, gejala penduduk membangun suburban terjadi secara mendalam dan penuh dinamika. Migran lapis bawah menyerbu wilayah pusat untuk mencari peruntungan di sektor informal. Mereka melakukan kontestasi ruang sosial. Pojok tanah mereka duduld, dan berjualan apa saja agar lake dan meraup keuntungan. Hal yang sama juga dilakukan penduduk asli. Mereka pun melakukan kontestasi ruang sosial dengan mengaktifkan identitas sosial mereka sebagai "orang asli". Pojok perempatan mereka kuasai dan duduld. Sebagiannya mereka ubah menjadi sistem pangkalan ojek yang terorganisir dan bertumpu path ikatan sosial sebagai "orang ash". Dunia hitam pusat perdagangan suburban pun dikuasai sebagian kalangan penduduk asli. Tampak bahwa prinsip memanfaatkan segala peluang bekerja di batik gejala penduduk membangun suburban. Prinsip ini bertumpu pads anggapan bahwa gejala suburbanisasi dipandang sebagai proses tumbuh dan tersedianya peluang ekonomi, betapapun kecilnya kesempatan ekonomi tersebut. Upaya kreatif pun mereka kedepankan agar dapat menangkap, memanfaatkan, dan meraup peluang ekonomi tadi. Pola pemanfaatan peluang ekonomi ini mereka lakukan secara mandiri, tanpa fasilitasi pemerintah maupun bantuan dart lembaga keuangan formal. Mereka membangun sistem bantuannya secara horisontal melalui pelbagai jaringan sosial yang mereka miliki, seperti mengaktifkan jaringan etnis, modal sosial sesama pekerja sektor informal, atau mengaktifkan ikatan sosial sebagai "orang asli". Tampak bahwa isu identitas penduduk asli telah menjadi "senjata", agar mereka tetap terlibat secara signifikan dalam proses suburbanisasi. Hal ini adalah bentuk kompensasi psiko-sosial atas rentannya kemampuan individual sebagian besar penduduk asli dalam merespon suburbanisasi. Kompensasi sosial lainnya terlihat dalam berfungsinya organisasi sosial lokal (seperti kelompok preman setempat) dan perangkat kelembagaan resmi lokal (seper(i pemerintah desa) sebagai perisai sosial politik dan ekonomi. Dari sudut pandang negara, pasar, dan masyarakat, upaya berburu surplus tadi mereka lakukan di bawah kerinduan terhadap fungsi kesejahteraan negara. Negara mereka konsepsikan harus hadir dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan kelompok sosial ini. Dengan kata lain, gejala sekelompok penduduk asli menguasai tanah negara dan berkontestasi ruang sosial dalam rangka meraup surplus, terdorong oleh persepsi fungsi laten negara sebagai lembaga yang hares melindungi taraf hidup layak mereka. Maka, ketika fungsi ideal tadi tidak mereka jumpai, mereka pun menyerobot tanah negara. Perilaku sosial yang secara resmi dikategorikan sebagai tindak ilegal ini, justru terdorong oleh cara pandang mereka terhadap fungsi negara tadi. Pola kontestasi demikian dapat dimaknai sebagai cars paksa untuk menghadirkan fungsi ideal negara, sebuah upaya yang layak dipahami sebagai mencari perlindungan dari tirani pasar (market).
ABSTRAK
This study analyzes contestation of social space as a social phenomenon significantly contributed to the process of urbanization. The pattern of the contestation of social space is based on a principle of making use all the opportunities--a perspective to capital mobilization phenomenon-facilitated by the process of urbanization-as an economic opportunity. The contestation of social space in turn, went along with the process of urbanization of the area, hierarchically structured in the system of metropolitan city, and established as a product of dialectic between market, state and society. Therefore, suburban area is social arena where the three actors are contesting to each other. The process finally formed the structure of suburban social space in the framework of its function to the metropolitan city. The research methods used in the study are primarily those of qualitative approach: observation, in depth-interviews, collection of statistical data from Badan Pusat Statistik and Perpustakaan Nasional, and case study as its primary data collection method. The locus of research in Citayam was chosen because it represents one type of suburban in Jakarta. To analyze the suburbani cation process and the contestation of social space, informants of the study are stakeholders consisting of the elites of the local residents, low class people, informal sector merchants, and commuters. This study has found that suburbanization is epiphenomena driven by capital mobility process around sub metropolitan area. Suburban it self is established as product of house market mechanism regulated by the "state". Most of the residents are those who cannot afford to buy house at the center of the city. They also belong to low-income people who move to suburban for financial reason. Suburban residential areas that they can choose are also limited due to the limitation of the mass transport system. The location of research can be categorized as a low-income residential area which is not consider important by the state due to the fact that this are is a peripheral area in the zoning system of the autonomous municipal government This is why the state does not provide any public facilities to the area. The private company developer that manages the area is also reluctant to provide any public facilities due to the lack of purchasing power of the residents. To compensate for all these shortcomings, the suburban residents take concrete measures which in this study conceptualized as "people making suburban areas". They creatively create residential infrastructure and public facilities based on the principle of making use of all the opportunities. The phenomenon of people making suburban areas is also moving to the next step, which is an effort to fill the social economy niche generated by the multiplayer effect of the capital circulation in the area. In the central area of suburban, which has the high land capacity, lower class migrants as well as local residents dynamically develop suburban areas. The lower class migrants are looking for financial opportunities in the informal sector, while the local residents activate their social identity as "natives" to maximize economic gains. It appears that the principle of making use of all the opportunities is operating behind the phenomenon of "people making suburban areas." This principle based on assumption that urbanization is regarded as a process of the development and the availability of economic opportunities, no matter how limited they are. Creative efforts are used by the residents to catch and maximize the economic opportunities, without any facilities from the government or formal financial institutions. They develop their systems horizontally by strengthening social and ethnic networks, and activating their social ties as "natives". It also appears that the issue of local residents identity has become "the weapon" in order to stay involved significantly in the process of urbanization. However, the active involvements in gaining economic opportunities are due to the non-optimal function of the state. The pattern of the social contestation can be regarded to realize forcefully the ideal function of the state, an effort that should be regarded as to seek protection from the tyranny of the market.
2007
T19161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atikah Putri Indah Apriliani
Abstrak :
Urbanisasi yang cepat dan kurangnya keterlibatan alam dalam desain perkotaan telah semakin berkembang menjadi masalah, karena bumi tampak lebih tidak seimbang dan penyebaran kota menjadi lebih tidak terkendali dan tak terhentikan. Dalam konteks ini, proyek akhir yang diajukan penulis akan mencoba untuk meninjau kembali cara lama yang memprioritaskan pengelolaan alam dan lahan ke dalam proses desain. Reconnection antara alam dan manusia dengan built environment akan menjadi tujuan utama dari proyek akhir ini. Konsep desain regeneratif bersama dengan teori-teori lain menjadi pendekatan mendasar yang digunakan untuk mengeksekusi desain. Fokus dari proyek ini adalah untuk mengusulkan master plan yang sustainable untuk menciptakan model baru daerah pinggiran kota di dalam tanah yang disediakan di tambang yang berada di Jalan Lefroy. Dengan demikian, konsep desain regeneratif akan dilakukan mulai dari skala pinggiran kota hingga skala rumah individu dengan secara hati-hati menghormati lanskap ekologis dan komunitas. ......Rapid urbanization and lack of nature involvement within urban design has progressively grows into an issue as the world appears to be more unbalanced and the urban sprawl become more uncontrollable and unstoppable. Within this context, the final project will attempt to revisit the old ways of prioritizing nature and land management into the design process. Reconnection between nature and human with their man-made build will be the main objective of the final project. The concept of regenerative design along with other theories becomes the fundamental approach used to perform the design intent. The focus of the project is to propose a sustainable master plan of the new model of suburban area within the brownfield site in Lefroy Road quarry. Accordingly, the regenerative design concept will be carried through from the scale of a suburban to a scale of an individual dwelling while carefully respecting the ecological landscape and the community.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Routledge, 1997
307.74 VIS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gans, Herbert J.
New York: Pantheon Books, 1967
301.362 GAN l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lewis, Miles
Victoria: Bloomings Books, 1999
307.76 LEW s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tate, H. Clay
New York: Harper & Brothers, 1954
323.353 TAT b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Malouf, David, 1934-
New York: Penguin Books, 1987
823 MAL j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mann, Jen
Abstrak :
A debut collection of witty, biting essays laced with sprinkles from Jen Mann, the writer behind the popular blog People I Want to Punch in the Throat.
New York : Ballantine Books Trade Paperbacks, 2014
809.7 MAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>