Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pohan, Bertyna Yulia M.
"Systemic lupus eryrhenzalasus (SLE) atau juga dikenal sebagai lupus adalah penyakit kronis yang melibatkan sistem kekebalan tubuh, di mana orang yang mengalaminya dapat menderita sejumlah gejala yang menyerang hampir di seluruh bagian tubuhnya. Para penderitanya sering disebut odapus atau orang dengan lupus. Secara khusus, wanita penderita lupus dapat mengalami kesulitan atau konflik ketika hendak memutuskan untuk memiliki anak. Konflik ini tezjadi karena penyakit yang dideritanya dapat menyebabkan ia sulit untuk mengandung. Jika wanita tersebut tetap memumskan untuk memiliki anak, maka risiko saat terjadirnya kehamilan harus segera dianlisipasi dengan ketat. Jika tidak, ia dapat mengalami keguguran. Sementara, jika wanita penderita lupus tidak mengandung atau memiliki anak, maka fungsi perkawinannya sebagai lembaga membangun keluarga dan keturunan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa menimbulkan perasaan tidak puas atau rendah diri pada wanita karena tidak bisa memberikan keturunan bagi keluarga.
Tujuan dari penelilian ini adalah untuk Iungetahui gambaran pengambilau keputusan untuk memiliki anak pada wanita penderita SLE. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita penderita SLE yang berada dalam rentang 20-35 tahun (tahap perkembangan dewasa awal) dan sudah menikah. Penelilian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dianggap dapat menggali penghayatan subjek mengenai pengambilan keputusan untuk memiliki anak, Jumlah sampel yang digunakan adalah dua orang karena yang dipentingkan adalah penghayatan subjektifnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kedua subjek hanya melewati tahap 1, 2, dan 5 dalam proses pengambilan keputusan untuk memiliki anak. Mereka tidak lagi melewati tahap 3 dan 4. Sclain itu, terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak, yaitu pregfcrence, value, belief circumsrances, dan action. Terakhir, ditemukan bahwa kedua subjek mengalami konflik sewaktu mereka mengambil keputusan untuk memiliki anak, yakni adanya keinginan untuk menghindari akibat buruk dari SLE, yaitu keguguran atau gangguan pada bayi, dengan keinginan yang kuat untuk memiliki anak."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Azizah
"Keikutsertaan peran keluarga dalam penatalaksanaan medis pada penderita Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) menjadi indikator penting dalam mempertahankan kualitas hidup yang baik untuk mencegah terjadinya eksaserbasi. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak yang menderita SLE, dan menyiapkan keluarga serta merawat anggota keluarga dengan SLE. Discharge planning sebagai salah satu bagian dari intervensi keperawatan untuk mempertahankan kontinuitas perawatan yang komprehensif dan aplikatif bagi perawat dan keluarga. Discharge planning memberikan dampak yang positif, yaitu dapat memastikan dengan aman kapan pasien siap untuk dipulangkan. Hasil karya ilmiah ini menyarankan instansi pelayanan dapat menjadikan discharge planning sebagai bagian dari proses keperawatan terintegrasi khususnya pada pasien dengan penyakit kronik.

Family role of medical management in patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) to be an important indicator in maintaining a good quality of life to prevent exacerbations. The purpose of this papers is intended to provide an overview of nursing care to children with SLE, and set up a family in caring for family members with SLE. Discharge planning as a part of nursing interventions to maintain continuity and comprehensive care applicable to nurses and families. Discharge planning have a positive impact, can ensure the safety when the patient is ready to be discharged. The results suggest that health care providers can make discharge planning as a part of an integrated nursing process especially in patients with chronic disease.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anisah M. Saleh
"Latar belakang. Penilaian aktivitas penyakit lupus eritematosus sistemik (LES) dengan skor Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) berperan penting dalam pemantauan atau follow up aktivitas penyakit LES pada anak. Saat ini belum ada data mengenai aktivitas penyakit LES anak dengan menggunakan skor SLEDAI setiap 3 bulan di Indonesia.
Tujuan. Memantau aktivitas penyakit LES anak dengan skor SLEDAI setiap 3 bulan selama satu tahun pengamatan.
Metode. Studi deskriptif untuk memantau aktivitas penyakit LES anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo secara retrospektif menggunakan data rekam medis dari bulan Juli 2005 hingga Juli 2013.
Hasil penelitian. Jumlah subjek pada penelitian ini sebanyak 30 pasien. Mayoritas penderita LES adalah perempuan. Rerata usia awitan 11,23 (SD 2,88) tahun dan rerata usia saat diagnosis ditegakkan 11,79 (SD 2,69) tahun, terbanyak didiagnosis di atas usia 10 tahun dan tidak ada yang di bawah usia 5 tahun. Median (rentang) waktu antara timbulnya gejala sampai diagnosis ditegakkan adalah 3 (1–84) bulan dan terbanyak pada jarak kurang dari 5 bulan. Terapi inisial yang paling banyak diberikan adalah kortikosteroid dalam bentuk metilprednisolon. Manifestasi klinis awal tersering adalah artritis, rash, dan demam, sedangkan untuk laboratorium adalah peningkatan dsDNA dan komplemen darah yang rendah. Perbedaan skor SLEDAI terutama terlihat antara pengamatan bulan ke-0 dengan bulan ke-3. Skor SLEDAI yang dinilai setiap 3 bulan menunjukkan perubahan aktivitas penyakit LES yang bermakna, dengan mayoritas high activity pada awal pengamatan menjadi no activity pada akhir pengamatan.
Simpulan. Penilaian skor SLEDAI setiap 3 bulan dapat digunakan untuk memantau aktivitas penyakit LES anak.

Background. Assessment of disease activity in pediatric systemic lupus erythematosus (SLE) with SLEDAI scoring system has an important role in monitoring or follow up disease activity of pediatric LES. Currently no available data that assess disease activity in pediatric SLE with SLEDAI scoring system every 3 months in Indonesia.
Objective. To assess disease activity in pediatric SLE with SLEDAI scoring system every 3 months for one year observation.
Methods. Descriptive study to assess disease activity of pediatric SLE at Department of Child Health Cipto Mangunkusumo Hospital using medical record retrospectively from July 2005 until July 2013.
Results. Thirty patients were included in this study. Majority of SLE subjects were girls. Mean age at symptoms onset was 11.23 (SD 2.88) y.o and mean age at diagnosis was 11.79 (SD 2.69) y.o, most of them were diagnosed above 10 y.o and no one had below 5 y.o. The median of duration between symptoms onset and diagnosis was 3 (1–84) months, most of them had duration below 5 months. Majority of the subjects received corticosteroid in the form of methylprednisolone as initial therapy. Most common clinical manifestations were arthritis, rash, and fever, for laboratorium results were elevation of dsDNA and low complement level. The difference of SLEDAI score were especially obtained between the initial month with the 3rd months. SLEDAI score that assessed every 3 months showed significant disease activity changes, with majority of patients had high activity in the beginnning and became no activity in the end of observation.
Conclusions. Assesment of SLEDAI score every 3 months is useful for monitoring disease activity of pediatric SLE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elli Arsita
"Latar Belakang. Peran infeksi sebagai penyebab kematian telah banyak diteliti namun peran infeksi sebagai prediktor mortalitas pada pasien lupus eritematosus sistemik (SLE systemic lupus erythematosus) yang dirawat inap masih kontroversi pada penelitian luar negeri dan belum pernah diteliti di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui peran infeksi sebagai prediktor mortalitas pasien SLE yang dirawat inap.
Metodologi. Penelitian dengan desain kohort retrospektif dilakukan terhadap 181 episode perawatan pasien SLE yang dirawat di RSCM pada kurun waktu Januari 2008 - Desember 2012. Data dikumpulkan dari rekam medik. Variabel bebas infeksi dan perancu lupus neuropsikiatri, lupus nefritis, steroid ≥ 1mg/kgBB/hari 2 minggu sebelum keluar RS, onset muda dan jenis kelamin laki-laki serta variabel tergantung mortalitas pasien SLE dianalisis bivariat dengan Chi-square. Variabel yang memiliki nilai p<0,25 dimasukkan dalam analisis multivariat regresi logistik langkah demi langkah dari variabel infeksi dan perancu sehingga didapatkan crude OR serta adjusted OR.
Hasil. Mortalitas pasien SLE yang dirawat inap 22%. Pasien SLE yang dirawat dengan infeksi 90 orang (49,7%) dan 91 orang( 50,3%) tanpa infeksi. Jenis infeksi dari yang terbanyak pada pasien SLE yang dirawat inap adalah community acquired pneumonia.(CAP) (64,4%), HAP (18,8%), HCAP (5,6%), skin and soft tissue infection (5,6%). Pasien SLE yang dirawat dengan TB paru ada 14 orang(7,7%), riwayat TB paru 7 orang (3,9%). Penyebab kematian pada 40 pasien SLE yang dirawat yaitu syok sepsis irreversible 25 (62,5%), gagal napas 9 (22,5%), dan herniasi cerebri 2 (5%). Pada analisis bivariat infeksi, lupus neuropsikiatri, lupus nefritis, dan steroid ≥ 1mg/kgBB/hari 2 minggu sebelum keluar RS memiliki nilai p<0,25 sehingga dimasukkan dalam analisis multivariat regresi logistik langkah demi langkah. Infeksi berperan sebagai prediktor mortalitas pada pasien SLE dengan adjusted OR adalah 7,4 (IK 95% 2,8 – 19,6).
Kesimpulan. Infeksi berperan sebagai prediktor mortalitas pada pasien SLE yang dirawat inap.

Background. The role of infection as a cause of death is well known but the role of infection as a predictor of mortality in hospitalized patients with systemic lupus erythematosus (SLE) is debatable due to variable results from prior studies in foreign country and never been done in Indonesia.
Objective. Investigating the role of infection as a predictor of mortality in hospitalized patients with SLE.
Methods. A retrospective cohort study was conducted in 181 hospitalization episode of patients with SLE in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from January 2008 until December 2012. Data was collected from medical records. The independent variable was infection, confounders such as neuropsychiatric lupus, nephritis lupus, use of steroid ≥ 1mg/kg BW/day 2 weeks before hospital discharge, young onset, and male gender. Those variables were analysed bivariately using Chi-square test with mortality as the dependent variable. Variables with p<0.25 were analysed using multivariate logistic regression step by step until we got crude OR and adjusted OR of infection.
Results. Mortality of hospitalized patients with SLE is 22%. Infection was found in 90 patients (49.7%). The most common infection was community acquired pneumonia (64.4%). The most common cause of death was irreversible septic shock. Bivariate analysis showed that infection, neuropsychiatric lupus, nephritis lupus, and use of steroid ≥ 1mg/kg BW/day 2 weeks before hospital discharge had p<0.25. Multivariate analysis showed that infection had crude OR 8.60 (CI 95% 3.39 – 21.83) and adjusted OR 7.4 (CI 95% 2.8 – 19.6).
Conclusion. Infection is a predictor of mortality in hospitalized patients with SLE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Hayati
"Latar Belakang: Anti dsDNA merupakan salah satu faktor risiko aterosklerosis yang berasal dari LES dan belum ada penelitian yang melihat hubungan antara kadar anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunik intima-media arteri karotis.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang, melibatkan 84 pasien LES dengan kriteria inklusi adalah pasie LES yang memenuhi kriteria diagnosis sesuai dengan ACR 1997 atau SLICC 2012, dan kriteria eksklusi adalah bila terdapat variasi anatomi pembuluh darah yang tidak dapat dilakukan pengukuran. Anti dsDNA diperiksa dengan menggunakan ELISA dan USG Doppler dilakukan pada pasien untuk mengukur ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis (max-IMT). Analisa statistik dilakukan dengan uji parametrik Pearson dan bila tidak memenuhi syarat dilakukan uji non parametrik Spearman.
Hasil: Delapan empat responden (82 perempuan dan 2 laki-laki) dilakukan analisa. Rerata usia pasien 35,5±8,9 tahun dengan 64,3% berusia di bawah 40 tahun, median anti dsDNA 38,9 IU/L(0,9 ? 750 IU/L) dan Median max-IMT adalah 581 μm (385-1800 μm). Terdapat 43 (51,2 %) pasien dengan ketebalan pada tunika intima-media arteri karotis, 36 (42,9%) pasien dengan ketebalan saja, 6 (7,1%) pasien dengan ketebalan pada tunika intimamedia dan plak dan 1 (1,2%) pasien dengan plak di near wall bulbus kiri tanpa disertai dengan ketebalan pada tunika intima-media. Plak terutama ditemukan pada bulbus karotis kanan dan kiri. Berdasarkan uji korelasi speraman's tidak terdapat korelasi antara ati dsDNA dengan ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis. (r = 0,073, p= 0,520).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis pada pasien LES.

Background: Anti dsDNA is considered as one of SLE-related risk factors for atherosclerosis. The evaluation of Carotid intimal-media thickness has recently became one of the surrogate markers for atherosclerosis. Until now, there hasn't been any study relate the level of anti dsDNA antibody with Carotid intimal-media thickness. This study is conducted to determine the correlation between anti dsDNA and Carotid intima-Media Thickness.
Methods: This is a cross sectional study, 84 SLE patients were included. Patients diagnosed as SLE according to ACR 1997 or SLICC 2012 criteria were included in the study, while SLE patients with anatomical variation which difficult to measured were excluded from this study. Doppler ultrasound was carried out for patients and max-IMT was measured. Anti dsDNA was measured with ELISA.
Study results: Eighty four subjects (82 female, 2 male) were included. Mean age was 35,5 ±8,9 years old, 64,3 % between 18-39 years old, median anti dsDNA level 38,9 IU/L (0,9 - 750 IU), and median max-IMT value was 581 μm. There were 43 (51,2 %) patients Carotid intima-media thickness, 36 (42,9%) patients with increased IMT only, 6 (7,1%) patients with increase IMT and Plaque, and 1 (1,2%) patient with plaque in near wall left bulbus without increased IMT. Based on spearman's correlation test there are no correlation between anti dsDNA and max-IMT (r=-0,073, p= 0,520).
Conclusion: There are no correlation between anti dsDNA level and Carotid intimal-media thickness this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamid Faqih Umam
"Lupus Eritematosus Sistemik LES merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan adanya autoantibodi yang menyerang antigen sendiri. Kasus LES setiap tahunnya mengalami peningkatan. LES pada anak berkontribusi sebesar 15-20 dari keseluruhan penderita. Penyakit ini dapat menyerang berbagai sistem organ. Komplikasi endokrinopati berupa gangguan pubertas yang cukup sering terjadi pada anak. Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai gangguan pubertas pada anak LES di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya amenore pada anak LES. Penelitian dilakukan menggunakan desain potong lintang pada pasien anak perempuan usia 11-18 tahun di Poliklinik Alergi dan Imunologi dan Poliklinik Endokrinologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara. Terdapat 25 subjek yang diikutsertakan.
Hasil penelitian dilakukan analisis statistik menggunakan uji Chi-square dan uji Fisher. Prevalensi pubertas terlambat terjadi pada satu subjek 4 ; IK95 = -0,04-0,12 dan amenore terjadi pada dua belas subjek 48 ; IK95 = 0,27-0,69. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara amenore dengan durasi penyakit p=1,000; PR=1,05, aktivitas penyakit p=1,000; PR=0,86, durasi kortikosteroid p=0,673; PR=1,23, dan jenis terapi p=0,198; PR=0,55.
Hasil penelitian tidak bermakna karena besar sampel tidak memenuhi jumlah minimal. Dari hasil tersebut, belum dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara amenore terhadap durasi penyakit, aktivitas penyakit, durasi kortikosteroid, dan jenis terapi.

Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease characterized by autoantibodies that attack self antigen. The case of SLE each year has increased. SLE in children contributes 15 20 of all patients. This disease can attack various organ systems. Complications of endocrinopathy in the form of pubertal disorders are quite common in children. Until now, there has been no research on pubertal disorders in children with SLE in Indonesia.
This study aims to determine the prevalence and associated factors of amenorrhea in children with SLE. This study was a cross sectional study in girls aged 11 18 years at Allergy and Immunology Polyclinic and Endocrinology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital. There are 25 subjects included.
The result of the research was statistical analysis using Chi square test and Fisher test. The prevalence of delayed puberty occurs in one subject 4 IK95 0,04 0,12 and amenorrhea occurs in twelve subjects 48 IK95 0,27 0,69. There was no significant association between amenorrhea with disease duration p 1,000 PR 1,05, disease activity p 1,000 PR 0,86, corticosteroid duration p 0,673 PR 1,23, and type of therapy p 0,198 PR 0,55.
The results were not significant because the sample size did not meet the minimum amount. From these results, it can not be concluded yet that there is no association between delayed puberty and amenorrhea with disease duration, disease activity, corticosteroid duration, and type of therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frisky Maulida
"Background: Infection has been identified as a major cause of death and also morbidity in SLE patients. Studies in SLE patients have shown several risk factors that contribute to fungal infections or infections in general, including the risk of certain pharmacological treatments such as corticosteroids and cytotoxic agents, as well as the effects of intrinsic factors such as CD4 + counts.
Methods: A total of 20 medical records of SLE patients with fungal infections were obtained, and a case control study was carried out with age and gender suitable for a control group of 20 patients. Data obtained from the Cipto Mangunkusumo National Hospital. The confirmation diagnosis of SLE was based on the 2012 ACR criteria. Patients with comorbidities of various chronic diseases (diabetes, HIV, CKD) were excluded. In identifying risk factors, Chi-square and Mann-Whitney U-tests were used.
Results: The maximum corticosteroid dose of 24 (4-250) mg over the past 1 year was statistically significant with the development of fungal infections (P = 0.047). Lower ALC (748 (99-3312)) compared to the control group (1635 (259-2743)) was also significantly correlated with the occurrence of fungal infections in patients diagnosed with SLE.
Conclusion: Identifying predisposing factors in SLE patients is important to prevent the occurrence of serious fungal infections which are one of the main causes of death in SLE patients.

Latar Belakang: Infeksi telah diketahui sebagai penyebab utama kematian dan juga morbiditas pada pasien SLE. Studi pada pasien SLE telah menunjukkan beberapa faktor risiko yang berkontribusi terhadap infeksi jamur atau infeksi secara umum, termasuk risiko pengobatan farmakologis tertentu seperti kortikosteroid dan agen sitotoksik, serta efek faktor intrinsik seperti jumlah CD4 +.
Metode: Total 20 catatan medis pasien SLE dengan infeksi jamur diperoleh, dan studi kasus kontrol dilakukan dengan usia dan jenis kelamin yang cocok untuk kelompok kontrol yang terdiri dari 20 pasien. Data diperoleh dari Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo. Diagnosis konfirmasi SLE didasarkan pada kriteria ACR 2012. Pasien dengan komorbiditas berbagai penyakit kronis (diabetes, HIV, CKD) dikeluarkan. Dalam mengidentifikasi faktor-faktor risiko, Chi-square dan Mann-Whitney U-test digunakan.
Hasil: Dosis kortikosteroid maksimum 24 (4 - 250) mg selama 1 tahun terakhir bermakna secara statistik dengan perkembangan infeksi jamur (P = 0,047). ALC yang lebih rendah (748 (99-3312)) dibandingkan dengan kelompok kontrol (1635 (259-2743)) juga secara signifikan berkorelasi dengan terjadinya infeksi jamur pada pasien yang didiagnosis dengan SLE.
Kesimpulan: Mengidentifikasi faktor predisposisi pada pasien SLE penting untuk mencegah terjadinya infeksi jamur serius yang merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pasien SLE.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giri Aji
"Lupu Eitematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun yang melibatkan multi organ yang umumnya menyerang wanita dan bersifat kronik yang perjalanan penyakitnya ditandai dengan relaps dan remisi. Penelitian ini bertujuan mencari faktor risiko perburukan pasien lupus eritematosus sistemik dengan menganalisa beberapa variabel seperti usia, tingkat pendidikan, anemia, obat-obatan dihubungkan dengan perburukan yang diukur dengan skor Systemic Lupus Eythematosus Disease Activity Index. Selain itu, dilakukan juga peneltian deskritptif mengenai sebaran gen Human Leucocyte Antigen pada subpopulasi penelitian.

Systemic Lupus Erythemattosus is an autoimmune disease which involved multi organs and have chronic course and mostly inflicted woman , the nature of the disease involved relaps and remission This research aim to find risk factor for worsening (flare) of SLE by analysing variables like age, education level, anemia, drugs associated to flare measured by Systemic lupus erythematosus disease activity index and we also conduct Human Leucocyte Antigen genotyping for subpopulation of the study."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadila Julianti
"Latar Belakang
Tuberkulosis pada kelompok remaja belum mendapatkan perhatian khusus oleh pemangku kepentingan di dunia. Salah satu faktor risiko terjadinya TB adalah penurunan sistem imun yang dapat ditemukan di penyakit Lupus Eritematosa Sistemik (LES). Peningkatan risiko infeksi TB pada penderita LES mencapai 2—6 kali lipat. Saat ini, penelitian LES-TB di Indonesia belum fokus terhadap usia remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens TB-LES dan faktor risiko terjadinya TB pada pasien LES.
Metode
Studi ini menggunakan uji analitik retrospektif sehingga variabel yang memengaruhi terjadinya TB pada pasien LES dapat diukur. Data didapatkan berdasarkan rekam medis dan hasil diujikan dengan SPSS.
Hasil
Dari 100 pasien LES usia remaja, 5 orang menderita TB dan 14 orang terinfeksi TB laten. TB-SLE hanya diderita oleh wanita. Faktor risiko yang meliputi status nutrisi, jenis imunosupresan, dan dosis glukokortikoid tidak ditemukan signifikan terhadap kejadian TB-SLE. Akan tetapi, kelompok usia di atas 15 tahun berisiko mengalami TB hingga 2 kali lipat yang tidak bermakna secara statistik (2.11;95% CI;(0.76-5.80)).
Kesimpulan
Prevalens TB aktif 5% dan prevalens TB keseluruhan adalah 19% pada subjek LES remaja di RSCM. Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara status nutrisi, jenis imunosupresan, usia, dosis glukokortikoid dengan terjadinya TB-SLE. Namun, usia yang lebih mendekati usia dewasa meningkatkan risiko terjadinya TB.

Introduction
Tuberculosis in adolescence have not yet been recognized by the stakeholders around the world. One of the risk factors for TB infection is the declining of the immune system which can be caused by Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Patients with SLE are at risk for TB infection 2—6 times fold than normal population. There are no studies that focuses on TB on adolescence with SLE. This study purpose is to determine the prevalence of SLE-TB and the risk factors of TB in SLE.
Method
This study uses analytic prospective model to analyze the variables in TB-SLE. Electronic health records are used to be the source of the data. Then, the data will be analyzed using SPSS.
Results
TB-SLE was found only in women. The risk factors that are being analyzed in this study were nutritional status, types of immunosuppressants, glucocorticoid dose, and age. However, there was no significant relation between those risk factors and the prevalence of TB. In this study, we found that the older age group, more than 15 years old, has a higher risk of TB infection but not statistically significant. 2.11;95% CI;(0.76-5.80)).
Conclusion
Active TB prevalence is 5% and the total TB prevalence is 19% in adolescence with SLE at RSCM. Significant relations between nutritional status, types of immunosuppressants,age,glucocorticoid dose and the TB-SLE are not found. However, there was a higher risk in TB infection in patients with age older than 15 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Fadilah
"Kerusakan struktur dan penurunan fungsi ginjal pada anak pengidap Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Chronic Kidney Disease (CKD) mengakibatkan penumpukan produk sisa-sisa metabolisme yang disebut uremia. Komplikasi ini mengakibatkan terjadinya gangguan integritas kulit berupa kulit kering (xerosis) yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan menimbulkan infeksi lebih lanjut. Karya ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak pengidap SLE dengan komplikasi CKD dan menganalisis penerapan intervensi pemberian Virgin Coconut Oil (VCO) pada masalah gangguan integritas kulit. Intervensi diterapkan sebanyak dua kali dalam sehari dan dilakukan selama 3 hari. Metodologi yang digunakan adalah metode studi kasus. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat penurunan luas kulit yang mengalami xerosis yang ditandai dengan penurunan nilai overall dry skin score dari 4 menjadi 3 dan keluarga mampu melakukan perawatan kulit secara mandiri. Rekomendasi dari studi kasus ini adalah diharapkan pemberian VCO dapat menjadi terapi penunjang sebagai upaya untuk mengatasi gangguan integritas kulit pada kondisi xerosis.

Structural damage and decreased kidney function in children with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with the Chronic Kidney Disease (CKD) complication caused accumulation of metabolic waste products called uremia. This complication resulted in impaired skin integrity in the form of dry skin (xerosis) which can affect the patient's quality of life and lead to further infection. This scientific work aims to provide an overview of nursing care in children with SLE with complication of CKD and to analyze the intervention of Virgin Coconut Oil (VCO) application to the impaired skin integrity area. The intervention applied twice a day and has been carried out for 3 days. The methodology used is the case study method. The results of the analysis showed that there was a decrease in the area of skin with xerosis which was indicated by a decrease in the overall dry skin score of 4 to 3 and the family was able to perform skin care independently. The recommendation from this case study is application of VCO can be a supporting therapy as an effort to overcome impaired skin integrity in xerosis conditions."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>