Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Mulyono
"Penerapan sunset policy di Indonesia sebagai suatu bentuk pengampunan pajak merupakan pengalaman yang benar-benar baru bagi dunia perpajakan di Indonesia. Penerapan kebijakan pengampunan pajak umumnya ditempuh sebagai langkah terakhir untuk meningkatkan penerimaan pajak karena apabila tidak dipersiapkan dan dikelola dengan baik dalam pelaksanaannya, kebijakan pengampunan pajak malah dapat menjadi kontraproduktif dengan turunnya tingkat kepatuhan pajak. Menilik potensi manfaat dan kendala yang ada dalam kebijakan pengampunan pajak, penelitian ini berupaya untuk mengeksplorasi faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi pemilihan bentuk kebijakan dan penerapan sunset policy sebagai salah satu bentuk pengampunan pajak di Indonesia.
Dari pembahasan tersebut akan dianalisis juga kelebihan dan kekurangan dari kebijakan pengampunan pajak, khususnya sunset policy, pengalaman penerapan kebijakan serupa di negara lain, serta upaya-upaya yang diperkirakan dapat mengawal penerapan sunset policy di Indonesia dan mendukung peningkatan kepatuhan pajak pada umumnya. Sebagai upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penelitian ini memadukan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Pendekatan kualitatif dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam dengan narasumbernarasumber yang memiliki kapasitas dalam bidang perpajakan, khususnya yang terlibat langsung dengan permasalahan sunset policy, yaitu dari kalangan legislatif, pengusaha, Direktorat Jenderal Pajak, dan pengamat. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survey persepsi masyarakat sebagai upaya mendapatkan gambaran permasalahan yang lebih komprehensif dan mengetahui kemungkinan adanya deviasi antara hasil analisis dengan persepsi yang berkembang di masyarakat. Gambaran umum dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan sunset policy di Indonesia dilatarbelakangi oleh upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak sejalan dengan meningkatnya tuntutan target penerimaan pajak, sekaligus sebagai upaya mengakomodasi aspirasi dunia usaha yang menginginkan adanya pengampunan pajak.
Manfaat terbesar yang diharapkan dari sunset policy ini adalah meningkatnya penerimaan pajak dan kesetaraan antara Wajib Pajak dengan Aparat Pajak, sementara kendala yang dihadapi terutama adalah masalah kepastian hukum, kerangka waktu sosialisasi yang minim dibarengi dengan kurangnya kapasitas kuantitas dan kualitas penguasaan materi aparat pajak mengenai sunset policy, kesiapan sistem, serta pengenaan tarif umum yang masih cukup tinggi. Pengalaman penerapan pengampunan pajak di Amerika Serikat menunjukkan bahwa keberhasilan pengampunan pajak sangat ditentukan oleh kapasitas penegakan hukum sebagai upaya utama sementara pengampunan pajak hanyalah bersifat kuratif dan komplementer.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penelitian ini secara umum merekomendasikan pengutamaan penegakan hukum dalam meningkatkan kepatuhan pajak serta perbaikan kondisi struktural perekonomian agar tujuan meningkatkan penerimaan negara dapat berjalan lebih berkelanjutan. Secara khusus, penelitian ini merekomendasikan pelaksanaan sosialisasi sunset policy secara lebih baik melalui penerapan strategi komunikasi khusus, penguatan pengawasan internal di dalam Direktorat Jenderal Pajak sendiri, serta pengawasan dan pemeriksaan Wajib Pajak dalam konteks sunset policy, peningkatan pelayanan perpajakan sebagai kompensasi pemberlakuan tarif umum, serta peningkatan kapasitas dan pengintegrasian sistem administrasi dan informasi perpajakan dengan lembaga-lembaga lain yang terkait.

Implementation of sunset policy in Indonesia as a form of tax amnesty is a brandnew experience for Indonesia?s taxation. Tax amnesty is by and large implemented as a last resort policy to increase tax revenue since it might contraproductively plummet tax compliance if it is not well prepared and managed during the implementation. With regards to benefits and obstacles inherent in tax amnesty, this study attempts to explore factors within the background underlying the selection of sunset policy as a form of tax amnesty that is implemented in Indonesia.
This study analyzes also the advantages and shortcomings of tax amnesty, more specifically of sunset policy, experience of other countries in implementing such policy, and possible efforts that can be taken to safeguard sunset policy implementation in Indonesia and improve tax compliance in general. A mix of qualitative approach and quantitative approach is incorporated in this study to capture more comprehensive depiction of the research inquiries.
The qualitative approach of this study was done through library research and indepth interview with key informants whose capacities in taxation matters are sufficient and also directly involved with sunset policy formulation. These key informants cover the legislative, business, government executive in taxation (Directorate General of Tax), and observers circle. The quantitative approach was done through perception survey find out possibilities of deviation between the analysis result and society?s perception.
The study findings in general show that sunset policy was drawn by efforts to increase tax revenue along with the soaring tax revenue target. It serves also to accomodate the business circles? aspiration demanding for tax amnesty. The main benefits expected from sunset policy are increases in tax base and equality improvement between taxpayers and tax authorities, while the main obstacles are problems in legal certainty, insufficient timeframe for socialization along with limited number of tax personnel with adequate knowledge to support the socialization, system readiness, and the relatively high normal tariff used in this program. The experience of tax amnesty implementation in the United States showed that the success of such program relies significantly on tax enforcement efforts as the main instrument, while tax amnesty shall only be used as curative and complementary policy.
Based on the analysis conducted, this study in general recommends legal and tax enforcement mainstreaming and improvement of economic structural condition in any efforts to make tax base and revenue improvement more sustainable. More detailed suggestions include the use of special communication strategy to support sunset policy socialization, strengthening internal supervision within the Directorate General of Tax and external supervision on the taxpayers within suset policy implementation, improvement of service for taxpayers to compensate the normal tariff applied, and capacity improvement of tax administration and information system through integration of the system with related institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24582
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Nazmi
"Penyelesaian restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tertunggak, sangat serius ditangani pemerintah, terutama Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Berbagai upaya terus dilakukan dan dikembangkan, baik secara sistem, pola, maupun peraturan. Tujuannya agar proses penyelesaiannya dapat dipercepat tanpa menimbulkan masalah. DJP menerbitkan dua ketentuan baru terkait proses penyelesaian restitusi. Pertama, PER-122/PJ/2006 tentang Jangka Waktu Penyelesaian dan Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran PPN/PPnBM. Kedua, PER-124/PJ/2006 tentang Pelaksanaan Analisis Risiko dalam Rangka Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN Lebih Bayar. Hal menarik dalam aturan baru ini adalah ditetapkannya analisis risiko untuk setiap permohonan restitusi PPN. Output dari proses ini akan berakibat pada ruang lingkup maupun jangka waktu pemeriksaan yang akan dilakukan. Kenyataannya tidak semua Pemeriksa memanfaatkan analisis risiko tersebut. Adapun masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana latar belakang dikeluarkannya kebijakan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak dalam proses pemeriksaan restitusi PPN yang berlaku saat ini? Bagaimana pemanfaatan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak oleh pemeriksa pajak dalam proses penyelesaian restitusi PPN?, dan bagaimana pengaruh analisis risiko Pengusaha Kena Pajak terhadap waktu penyelesaian pemeriksaan restitusi PPN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan latar belakang dikeluarkannya PER-124/PJ/2006 pada dasarnya untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 17B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Permasalahan seputar tertundanya proses penyelesaian restitusi PPN mendorong DJP untuk menetapkan suatu prosedur yang mampu mendeteksi ketidakbenaran pelaporan Wajib Pajak sekaligus menentukan tingkat prioritas penyelesaian restitusi. Kebijakan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak diharapkan mampu mengakomodir kedua hal tersebut. Pemeriksa Pajak umumnya tidak menggunakan analisis risiko yang diatur dalam PER-124/PJ/2006 sebagai alat yang membantu pemeriksaan restitusi PPN, karena analisis risiko PKP terlalu bersifat umum dan sederhana serta tidak dapat menunjukkan indikasi pelanggaran Wajib Pajak. PER-124/PJ./2006 tidak memiliki pengaruh terhadap waktu penyelesaian restitusi PPN di KPP PMA Empat. Hal itu terbukti dari tidak adanya percepatan waktu penyelesaian restitusi antara sebelum dengan setelah diberlakukannya ketentuan tersebut. Saran yang disampaikan adalah ketentuan PER-124/PJ/2006 tidak diberlakukan lagi. Untuk mempercepat proses penyelesaian restitusi, ketentuan yang mengatur prosedur pemeriksaan restitusi dan ketentuan yang mengatur dokumen-dokumen pendukung restitusi harus segera diperbaharui. Ketentuan analisis risiko harus dapat mengukur tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak secara menyeluruh, bukan berdasarkan salah satu jenis pajak seperti yang dianut saat ini. Penentuan risiko seharusnya tidak hanya mengandalkan data hasil pemeriksaan, akan tetapi melibatkan juga data eksternal yang disusun dalam bentuk database, dikelola secara professional dan selalu diperbaharui. Hasil pengolahan database dapat dimanfaatkan guna menentukan tingkat pelayanan yang seharusnya diberikan kepada Wajib Pajak.

The government, especially the Directorate General of Tax is seriously handling the settlement of arrears of VAT restitution. Numerous attempts are done and improved concerning the system, the model as well as the regulation. The purpose is to settle the process as quickly as possible without creating any problem. Directorate General of Tax issued two regulations which concern with the restitution settlement process. The first regulation, PER-122/PJ/2006, deals with the settlement timing and the system of VAT/ luxurious goods tax. The second regulation, PER-124/PJ./2006, deals with Risk Analysis implementation in Audit Framework towards Notification Letter regarding the SPT masa on VAT overpayment. The interesting part found about the regulations is the conduct of risk analysis for each restitution request. The output of the analysis will affect the audit scope as well as the timing. Unfortunately, not all auditors make good use of the risk analysis. The main problems discussed in this research are: What is the background of issuing the policy of risk analysis on Taxable Entrepreneurs in the process of VAT restitution, which is effective now? How do tax auditors make good use of risk analysis on Taxable Entrepreneurs in the process of VAT restitution settlement? And How does risk analysis on Taxable Entrepreneurs affect the time needed for examination of VAT restitution settlement? The research methodology applied is descriptive methodology with qualitative approach.
The research finding shows that the background of issuing the Directorate General of Tax regulation number PER-124/PJ./2006 is to implement what is stated in article 17B in Edict number 6 year 1983 begarding the General Rules and Conduct of Tax which has been amended several times. The last amendment is as in Edict number 16 year 2000. Issues concerning the delayed of restitution settlement process pushed Directorate General of Tax to implement a procedure to be able to detect dishonesty report of tax payers along with deciding priority level in settling the restitution. Policy of risk analysis on Taxable Entrepreneurs (PKP) in auditing hoped accommodate both condition. Auditor used to be not using analysis risk which has been arranged in PER-124/PJ/2006 as a tool to help the audit restitution on VAT, since analysis risk on Taxable Entrepreneurs (PKP) is too general and simple also can not show the failure of taxpayers. PER-124 does not affect the length of time needed for VAT settlement process at Tax Service Office for Foreign Capital Investment Four. It is proven by the absence of time acceleration regarding restitution settlement compared to the previous condition in which PER-124 was not implemented. Suggestion is the regulation of PER-124/PJ/2006 should not be implemented anymore. To speed up the restitution process, the regulation which set up the procedure of restitution process and the regulation which set up additional documents for restitution should be renewed. Criteria of risk analysis should be formulated to measure disobedience of taxpayers overall, not based on one kind of tax which is currently used. Decision on risk should not depend on record on tax audit results, however it should also consider the external records from data base which is professionally managed and up to date. Results of processed data base should be able to access and give benefits to the service quality given to the taxpayers.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24610
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Solahuddin
"Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak Tidak Langsung memiliki konsekuensi adanya dua pihak yang terlibat dalam pemungutan pajak, yaitu penjual sekaligus menjadi pemungut pajak, sedangkan pembeli adalah pembayar pajak. Jika pembeli tadi masih dalam mata rantai maka suatu saat akan bertindak sebagai penjual (pemungut pajak) demikian terus mekanisme berlaku sampai penaggung pajak yang sesungguhnya adalah konsumen akhir. Ada pengecualian yang dilakukan dengan penunjukkan bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN. Dalam mekanisme yang lazim, maka penjual adalah pihak pemungut PPN, namun jika yang menjadi pembeli atau pengguna jasa adalah pemerintah, maka bendaharawan pemerintah yang memungut PPN. Pengecualian ini dimaksudkan untuk menjamin masuknya Pajak ke kas negara dengan lebih lancar.
Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan PPN menghendaki adanya bukti yang akurat tentang pemungutan pajak. Alat bukti adanya transaksi yang harus dipungut PPN adalah Faktur Pajak. Pada transaksi kepada bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN, faktur pajak harus dibuat paling lambat pada saat dibuatnya tagihan/invoice. Dalam praktiknya Wajib Pajak yang melakukan pekerjaan/proyek dengan pemerintah, baik yang pembiayaannya dari pinjaman atau hibah luar negeri maupun dari APBN murni, pada saat melakukan penagihan kepada bendaharawan selalu membuat commercial invoice dan membuat faktur pajak dengan mengosongkan atau tidak mencantumkan tanggal faktur pajak, karena nanti akan diberikan tanggal pada saat tagihan tersebut dicairkan. Sementara tenggang waktu antara penagihan dengan pencairan tagihan biasanya memakan waktu yang cukup lama.
Masalah dalam penelitian ini yaitu apa latar belakang dikeluarkannya tata cara pembuatan faktur pajak? Bagaimanakah Implikasi dikeluarkannya ketentuan mengenai faktur pajak? Bagaimanakah cara mengantisipasi permasalahan pelaksanaan kewajiban PPN berkaitan dengan transaksi yang melibatkan bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN? Alternatif-alternatif kebijakan yang bagaimanakah yang dapat menjadi solusi terbaik dari masalah saat pembuatan faktur pajak bagi pengusaha kena pajak rekanan yang menyampaikan tagihan kepada bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN? Metode penelitian yang digunakan adalah metode diskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan studi kepustakaan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa latar belakang dikeluarkannya ketentuan tersebut adalah sebagai peraturan pelaksana dari UU PPN, memberikan kepastian hukum, mengoptimalkan sistem faktur pajak, dan menjadi sarana pengawasan faktur pajak. Implikasi berlakunya ketentuan atas pembuatan faktur pajak justru menyulitkan bagi PKP rekanan. Di lain pihak bagi DJP memerlukan tambahan pengawasan dalam pelaksanaan kewajiban PKP. Saran yang diberikan adalah penunjukkanbendaharawan dan KPPN sebagai pemungut PPN sebaiknya dihilangkan saja karena tidak sesuai dengan konsep dan karakter PPN.

Value Added Tax as an Indirect tax gives an impact on the involvement of two parties in levying tax, namely the seller as the tax levier, and the buyer as the tax payer. If the buyer is part of the chain, it will be the seller (tax levier) later on and it continues until it comes to the last consumer as the tax payer. There is an exception done concerning the appointment of The Government Treasurer as the levier of VAT. In regular mechanism, the seller is the one who levies the tax, but if the buyer or the service user is government, then the tax will be levied by the Government Treasurer. Such exception is aimed to guarantee that the tax goes to the Government Treasury more smoothly.
Mechanism of crediting VAT input tax requires accurate evidence concerning tax levies. The evidence of the existence of a transaction in which tax must be levied is tax invoice. At transaction to Government Treasurer as VAT levier, tax invoice is made at the latest on the same date as the date of the invoice. In practice, tax payers who carry out projects with government and financed by loan, donation from other countries or merely by The National Budget always make commercial invoice and tax invoice by not putting the date of the tax invoice or by leaving it blank when they hand over the claim to the treasurer.
The problems in this research are: What is the background of the issue of tax invoice regulation? What is the implication of tax invoice regulation towards the implementation of VAT which involves the Treasurer as tax levier for tax payers as well as tax officers? How to anticipate the problems in implementing VAT which involves the Treasurer as VAT levier? What policy can be used as the best solution of the problem caused by the Treasurer as VAT levier? The research method used is descriptive method with both qualitative and quantitative approaches. Data collection is done by interview and library research.
The result of the analysis shows that the background of the issue of tax invoice regulation includes some aspects, namely: to play the role as the rules of implementation of VAT Law, to assure law certainty, to optimize tax invoice system, and to be an instrument to monitor tax invoice. The implication of tax invoice regulation making is difficult for taxable entrepreneur. The other hand, Directorate General of Tax must do extra monitoring in doing the obligation of taxable entrepreneur.It is suggested that the appointment of the Treasurer and KPPN as VAT levier be eliminated since it does not go with the concept and the characteristics of VAT."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24608
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wandayani Nurfadilah
"ABSTRAK
Joint analysis merupakan bagian dari Joint Program, dirilis oleh Kementerian Keuangan dengan tujuan untuk optimalisasi penerimaan negara dan meningkatkan kepatuhan di bidang perpajakan, kepabeanan dan cukai. Kegiatan joint analysis menghasilkan suatu rekomendasi berupa data dan informasi yang dapat dimanfaatkan oleh keseluruhan Joint Program sehingga sangat perlu untuk dikaji agar pemanfaatan data dan informasi tersebut efektif dan efisien. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kebijakan tersebut dengan menggunakan konsep evaluasi OECD dan menganalisis faktor-faktor pemampu dalam implementasi kebijakan berdasarkan WCO Guidelines. Penelitian ini mengadopsi paradigma pos-positivisme dan menggunakan metode analisis kualitatif. Sumber data terdiri dari data primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan joint analysis relevan dalam memecahkan masalah terkait kebutuhan sinkronisasi data Pajak dan Bea Cukai, dilaksanakan dengan efektif dan efisien di wilayah Jakarta Utara, memiliki dampak positif yaitu meningkatkan penerimaan negara dan kepatuhan, dan oleh karena itu kebijakan ini perlu dilanjutkan dan diperbaiki. Selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor pemampu dalam implementasi telah dilaksanakan dengan cukup baik meliputi dukungan politis dan komitmen pimpinan, peraturan hukum, sumber daya dan proses tata kelola.

ABSTRACT
Joint analysis is part of the Joint Program, released by the Ministry of Finance with the aim of optimizing state revenue and increasing compliance in the fields of taxation, customs and excise. Joint analysis activities produce a recommendation in the form of data and information that can be utilized by the whole Joint Program so that it is very necessary to be reviewed so that the utilization of the data and information is effective and efficient. The purpose of this study is to analyze the policy using the OECD evaluation concept and analyze the enabling factors in implementing the policy based on the WCO Guidelines. This study adopts the positivism paradigm and uses qualitative analysis methods. Data sources consist of primary and secondary data. The results show that the joint analysis policy is relevant in solving problems related to the need for synchronizing Tax and Customs data, implemented effectively and efficiently in the North Jakarta area, has a positive impact of increasing state revenue and compliance, and therefore this policy needs to be continued and improved. In addition, the results of the study indicate that the enabling factors in the implementation have been implemented quite well including political support and commitment of the leadership, the rule of law, resources and governance processes."
2020
T55352
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library