Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Emyda Djauhari S.
"Resorpsi apikal akar pada perawatan ortodonti adalah suatu hal yang biasa terjadi, tapi hal ini secara klinis tidak bermakna. Resorpsi apikal akar tidak baik untuk fungsi dan retensi apabila resorpsi akar sudah mencapai setengah dari panjang akar. Keadaan seperti ini dapat berpengaruh terhadap kestabilan dari hasil akhir perawatan ortodonti. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan, bahwa perawatan ortodonti dengan tehnik Begg tidak menyebabkan resorpsi pada apikal akar gigi molar satu bawah, yang dipakai sebagai penjangkar. Sampel penelitian diambil dari 23 kasus maloklusi kelas 1 dan kelas II. Data diolah dengan uji student t- test. Hasil dari penelitian ini menunjukkan, terjadinya pemendekan panjang akar gigi pada sebagian sampel, sebelum dan sesudah perawatan . Ini berarti terjadi resorpsi akar gigi, akan tetapi perbedaan panjang akar gigi tersebut secara statistik tidak berrnakna."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penggunaan gutaperca yang dipanaskan menghasilkan adaptasi
yang baik dan material obturasi yang homogen. Teknik kompaksi lateral panas
menggabungkan kon gutaperca utama dan aksesoris menjadi satu massa homogen
yang solid. Teknik carrier-based gutta-percha memiliki seal dan adaptasi yang
baik. Teknik downpack-backfill mengkombinasikan teknik kompaksi vertikal dan
injeksi termoplastis. Tujuan: Membandingkan adaptasi tepi sepertiga apikal
apeks antara teknik kompaksi lateral panas, carrier-based gutta-percha, dan
downpack-backfill. Metode: Preparasi saluran akar pada 90 gigi saluran akar
tunggal dan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kompaksi lateral panas (KLP),
carrier-based gutta-percha (T), dan downpack-backfill (DB). Adaptasi tepi
sepertiga apikal apeks ditentukan dengan melihat penetrasi pewarna di antara
material obturasi dan dinding dentin pada sampel yang dipotong melintang. Hasil:
Adaptasi tepi sepertiga apikal apeks DB paling baik, diikuti T dan KLP (p>0,05).
Kesimpulan: Adaptasi tepi sepertiga apikal apeks teknik downpack-backfill
paling baik, namun tidak berbeda bermakna.

ABSTRACT
Background: The use of heated gutta-percha can provide good adaptation and
homogeneity of obturation material. Warm lateral compaction technique
combines primary and accessory gutta-percha cones into one solid homogeneous
mass. Carrier-based gutta-percha technique has a good adaptation and sealing
ability. Downpack-backfill technique combines warm vertical compaction and
thermoplastic injection techniques. Aim: Compare the apical third marginal
adaptation of warm lateral compaction, carrier-based gutta-percha, and
downpack-backfill techniques. Methods: Ninety single rooted teeth were prepared
and assigned to three groups: warm lateral compaction (KLP), carrier-based
gutta-percha (T), and downpack-backfill (DB). Apical third marginal adaptation
was evaluated by observing the dye penetration between the obturation material
and the root canal walls on cross sectioned samples. Results: DB showed the best
apical third marginal adaptation, followed by T and KLP (p>0,05). Conclusion:
Downpack-backfill technique has the best apical third marginal adaptation, but
no significant difference was observed between the three techniques."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shofwatul Nafi’ah
"Latar Belakang: Hubungan kedekatan antara sinus maksilaris dan gigi posterior rahang atas sering menjadi tantangan dalam kedokteran gigi karena dapat menyebabkan komplikasi. Evaluasi posisi akar gigi posterior rahang atas sinus maksilaris dapat dinilai melalui radiograf panoramik.
Tujuan: Mengetahui posisi akar gigi posterior terhadap sinus maksilaris menurut jenis kelamin dan kelompok usia pada radiograf panoramik.
Metode: Penelitian ini menggunakan 192 radiograf panoramik digital laki-laki dan perempuan berusia 20-70 tahun di RSKGM FKG UI. Posisi akar gigi posterior rahang atas terhadap sinus maksilaris dievaluasi berdasarkan klasifikasi oleh Ok et al, yang mengkategorikan menjadi 3 tipe. Tipe 1 adalah ketika akar menonjol atau overlap dengan rongga sinus. Tipe 2 adalah ketika akar berkontak dengan dasar sinus. Tipe 3 adalah ketika akar tidak berkontak atau memanjang di bawah dasar sinus.
Hasil: Berdasarkan jenis kelamin, tipe 1 didominasi oleh laki-laki, sedangkan tipe 2 dan tipe 3 didominasi oleh perempuan. Berdasarkan kelompok usia, tipe 1 didominasi oleh kelompok usia >39 tahun, sedangkan tipe 2 dan tipe 3 didominasi oleh kelompok usia 20-39 tahun.
Kesimpulan: Posisi akar gigi posterior rahang atas terhadap sinus maksilaris pada kelompok laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan bermakna secara statistik, namun tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok usia 20-39 tahun dan >39 tahun.

Background: The close relationship between the maxillary sinus and posterior maxillary teeth is often a challenge in dentistry because it can cause complications. Evaluation of the root position of the maxillary posterior maxillary sinus can be assessed using a panoramic radiograph.
Objective: To determine the position of the roots of the posterior teeth to the maxillary sinus according to gender and age group on a panoramic radiograph.
Methods: This study used 192 digital panoramic radiographs of men and women aged 20-70 at RSKGM FKG UI. Subjects were divided into two categories: 20-39 years old and >39 years old. The position of the posterior maxillary teeth to the maxillary sinus was evaluated based on the classification by Ok et al., which categorizes it into 3 types. Type 1 is when the root protrudes or overlaps with the sinus cavity. Type 2 is when the root is in contact with the sinus floor. Type 3 is when the root is not in contact or extends below the sinus floor.
Results: Based on gender, type 1 was dominated by men, while type 2 and type 3 were dominated by women. Based on age group, type 1 is dominated by the age group >39 years, while type 2 and type 3 are dominated by the age group 20-39 years.
Conclusion: The position of the roots of the posterior maxillary teeth to the maxillary sinus in the male and female groups was statistically significant, but there was no significant difference in the 20-39 years and >39 years age groups.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Widyaningrum
"Osteonectin adalah glikoprotein matricellular yang terlibat dalam berbagai proses biologis seperti remodeling jaringan, perbaikan luka, angiogenesis serta diferensiasi seluler, adhesi, proliferasi sel endotel dan fibroblas serta migrasi. Tujuan: mengevaluasi ekspresi mRNA osteonectin sebagai indikator potensial penyembuhan setelah skeling dan penghalusan akar pada pasien periodontitis. Pemeriksaan kedalaman poket dan indeks perdarahan gingiva dilakukan sebelum dan empat minggu setelah skeling dan penghalusan akar. Sampel cairan krevikuler gingiva dikumpulkan dari lima pasien sehat (kontrol) dan 14 pasien periodontitis dengan kedalaman poket absolut 4-6 mm (subjek penelitian) pada sebelum, satu minggu, dua minggu dan empat minggu setelah skeling dan penghalusan akar. Ekspresi mRNA osteonectin dianalisis menggunakan quantitative real-time polymerase chain reaction (qPCR). Uji Friedman ekspresi mRNA osteonectin antara sebelum dan sesudah skeling dan penghalusan akar menunjukkan terdapat perbedaan ekspresi mRNA osteonectin antara sebelum dan satu minggu setelah skeling dan penghalusan akar (p<0,05); penurunan kedalaman poket dan indeks perdarahan gingiva terjadi secara bermakna (p<0,05) antara sebelum dan empat minggu setelah skeling dan penghalusan akar. Uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan antara ekspresi mRNA osteonectin dengan kedalaman poket (p>0,05, r=0,036) maupun indeks perdarahan gingiva (p>0,05, r=0,421). Ekspresi mRNA osteonectin sebelum dan setelah skeling dan penghalusan akar tidak berhubungan terhadap kedalaman poket maupun indek perdarahan gingiva.

Osteonectin is a matricellular glycoprotein that is involved in various biological processes involves tissue remodeling, wound repair, angiogenesis, cellular differentiation, adhesion, endothelial cell proliferation and migration. Objective: to evaluate the expression of osteonection mRNA as potential indicator of periodontal healing response after scaling and root planing (SRP) in periodontitis patients. Gingival crevicular fluid (GCF) samples were collected from five periodontally healthy subjects and fourteen periodontitis patients with probing pocket depth (PPDs) of 4-6 mm at baseline and one, two, and four weeks respectively after SRP. The expression levels of osteonectin mRNA were measured using quantitative real-time polymerase chain reaction (qPCR). The Friedman test results of osteonectin mRNA expression between before and after SRP showed there were differences in osteonectin mRNA expression between before and one week after SRP (p< 0.05). A decrease in PPDs and Papillar bleeding index (PBI) occured significantly (p<0.05) between before and four weeks after SRP. The Spearman test showed no association between osteonectin mRNA expression and pocket depth (p>0.05; r=0.036), also with gingival index (p>0.05; r=0.421). The expression of osteonectin mRNA before and after SRP is no related to PPD and PBI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mora Octavia
"Latar belakang: Skeling dan penghalusan akar (SPA) dapat mengubah komposisi bakteri patogen.
Tujuan: Mengetahui efek klinis dan mikrobiologis (P. gingivalis, T. forsythia) setelah SPA pada periodontitis kronis poket 4-6 mm.
Metode: Empat puluh tiga subjek diperiksa kedalaman poket, indeks pendarahan gingiva, sampel plak subgingiva, serta dilakukan SPA pada kunjungan awal, bulan kedua, ketiga, keenam.
Hasil: Kedalaman poket, pendarahan gingiva, populasi P. gingivalis, T. forsythia menurun (p<0,05). Penurunan kedalaman poket tidak berhubungan dengan penurunan populasi P.g (p>0,05).
Kesimpulan: SPA meningkatkan kondisi klinis dan mikrobiologis poket 4-6 mm. Perbaikan kondisi klinis berhubungan dengan penurunan kedua bakteri kecuali kedalaman poket dengan populasi P.gingivalis.

Background: Scaling and root planing (SRP) can change the composition of bacterial pathogens.
Objective: To know the clinical and microbiological effects (P.gingivalis and T. forsythia) of SRP at 4-6 mm pocket depth of chronic periodontitis.
Method: Forty-three subject were performed with SRP on the initial visit, two, three, six month. Pocket depth, gingival bleeding index (PBI) and subgingival plaque samples were examined.
Result: (There is a) decrease in pocket depth, gingival bleeding index, populations of P. gingivalis and T. forsythia (p <0.05). The decrease in pocket depth was not associated with a decrease in the population of P.g (p >0.05).
Conclusion: SRP can improve clinical and microbiological condition in the treatment of chronic periodontitis with 4-6 mm pocket depth. The improvement of clinical condition is associated with the decreasing of bacteria population, except pocket depth is not associated with the P. gingivalis population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zahratul Umami Annisa
"Latar Belakang: Poket periodontal merupakan karakteristik periodontitis. Scaling dan root planing merupakan standar emas untuk perawatan periodontitis. Antimikroba lokal tambahan direkomendasikan pada pasien dengan kedalaman probing ≥5 mm.
Tujuan: Untuk mengetahui efektivitas klorheksidin dibandingkan dengan antimikroba lokal lainnya pada periodontitis.
Metode: Pencarian dilakukan dengan menggunakan panduan Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta Analysis (PRISMA). Meta-analisis dilakukan pada studi yang memenuhi kriteria inklusi setelah penilaian risiko bias.
Hasil: Meta-analisis antara chip klorheksidin dan antimikroba lain menunjukkan perbedaan rata-rata kedalaman probing setelah satu bulan sebesar 0,58 mm (p<0,00001) sedangkan setelah tiga bulan perbedaan rata-rata kedalaman probing adalah 0,50 mm (p=0,001), indeks plak 0,01 (p=0,94) dan indeks gingiva -0,11 mm (p=0,02). Antara gel chlorhexidine dan antimikroba lainnya menunjukkan perbedaan rata-rata kedalaman probing 0,40 mm (p=0,30), indeks plak 0,20 mm (p=0,0008) dan indeks gingiva -0,04 mm (p=0,83) setelah satu bulan.
Kesimpulan: Chip klorheksidin lebih efektif pada indeks gingiva dibandingkan antimikroba lainnya setelah tiga bulan. Antimikroba lainnya lebih efektif daripada chip klorheksidin pada kedalaman probing setelah satu dan tiga bulan, dan dari gel klorheksidin pada indeks plak setelah satu bulan.

Background: Periodontal pockets are characteristic of periodontitis. Scaling and root planing is the gold standard for periodontitis treatment. Additional local antimicrobials are recommended in patients with a probing depth of ≥5 mm.
Objective: To determine the effectiveness of chlorhexidine compared to other local antimicrobials in periodontitis.
Method: Searches were conducted using the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta Analysis (PRISMA) guidelines. Meta-analysis was performed on studies that met inclusion criteria after risk of bias assessment.
Results: Meta-analysis between chlorhexidine chips and other antimicrobials showed a mean difference in probing depth after one month of 0.58 mm (p<0.00001) whereas after three months the mean difference in probing depth was 0.50 mm (p=0.001), index plaque 0.01 (p=0.94) and gingival index -0.11 mm (p=0.02). Between chlorhexidine gel and other antimicrobials showed a mean difference in probing depth of 0.40 mm (p=0.30), plaque index of 0.20 mm (p=0.0008) and gingival index of -0.04 mm (p=0.83) after one month.
Conclusion: Chlorhexidine chips were more effective on the gingival index than other antimicrobials after three months. The other antimicrobials were more effective than chlorhexidine chips on probing depth after one and three months, and than chlorhexidine gels on plaque index after one month.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library