Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maya Agustiana
Abstrak :
ABSTRAK
Sandiwara Sunda Miss Tjitjih sebagai kelompok seni pertunjukkan Indonesia sudah ada sejak pertengahan abad ke-20. Miss Tjitjih merupakan pengolahan kembali dari Komedi Stambul, Komedi Stambul didirikan oleh Agust Mahieu, seorang Indo-Perancis pada tahun 1891. Komedi Stambul mengambil idiom-idiom dari teater bangsawan. Teater bangsawan adalah teater berbahasa Melayu yang berkembang di masyarakat Melayu.

Kelompok sandiwara Sunda ini tiba di Jakarta pada tahun 1928. Namanya diubah dari Opera Valencia menjadi Sandiwara Miss Tjitjih. Sandiwara Sunda ini dipimpin seorang keturunan Arab, Abu Bakar Bafagih. Yang unik adalah penggunaan idiom tradisional Sunda pada setiap pertunjukannya. Bintang primadonanya bernama Nyi Tjitjih yang juga merupakan istri dari Abu Bakar Bafagih.

Setelah berkeliling Jakarta, pada saat kedaulatan RI kembali pada tahun 1951 Miss Tjitjih mendapat tempat di jalan Kramat Raya No. 43, Jakarta Pusat. Di sinilah Miss Tjitjih mendapat zaman keemasan. Hampir setiap hari mereka melakukan pertunjukan. Penontonnya pun datang dari luiar Jakarta, seperti Bekasi, Bogor dan Bandung. Meski begitu mereka tetap melakukan pertunjukkan di daerah seperti Bandung, Tasikmalaya dan Cirebon. Sebagai apresiasi terhadap kiprah mereka di seni tradisional, banyak pihak memberikan penghargaan pada mereka.

Sayangnya sepeninggal Abu Bakar Bafagih, keadaan menjadi terbalik. Gedung pertunjukkan Miss tjitjih di Kramat Raya No. 43 dijual oleh para ahli waris. Harun Bafagih, satu-satunya anak Abu Bakar Bafagih yang mempunyai jiwa seni memutuskan untuk meneruskan jejak ayahnya. Dia memulai dari awal sekali. Dengan jatah warisannya, is membangun sandiwara Sunda Miss Tjitjih di jalan Stasiun Angke No. 2, Jakarta Barat.

Di tempat ini, pengunjung yang datang untuk menonton sandiwara Sunda ini semakin berkurang. Seluruh awak sandiwara mengalami kesulitan. Mereka terpaksa melakukan pekerjaan sampingan seperti menjadi supir atau tukang cuci baju. Pemerintah DKI, mulai dari Ali Sadikin, Tjokropanolo sampai R. Suprapto memberikan subsidi bagi keberlangsungan nasib Miss Tjitjih. Mereka juga. mengusahakan sebuah gedung pertunjukan. Kisah pencarian lokasi gedung begitu panjang, hingga akhimya dibangun sebuah gedung pertunjukan Miss Tjitjih di jalan Label Pendek, Kemayoran, Jakarta pusat.
2001
S12378
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fana Dewi Savitri
Abstrak :

ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kelompok sandiwara Maya yang lahir masa pendudukan Jepang, kegiatan-kegiatannya hingga bubarnya dan lakon-lakon sandiwara yang pernah dimainkannya selama tahun 1943-1950.

Kelompok sandiwara Maya tampil beda dengan kelompok sandiwara lainnya. Mereka menggunakan teori-teori teater Barat, mempunyai naskah sandiwara dan fungsi sutradara yang jelas. Pemain-pemain Maya bukanlah anak wayang, mereka adalah intelektual muda saat itu dan mempunyai pekerjaan, mereka yang ingin mencoba hal baru yang lain dalam kehidupan kesehariannya.

Lakon-lakon yang dipentaskan Maya menggambarkan kehidupan masyarakat saat itu. Walaupun isi lakonnya terpengaruh propaganda Jepang, namun pengarangnya tidak lupa menyuarakan juga cita-cita kemerdekaan Indonesia.
1997
S12351
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naila Putri Hanifa
Abstrak :
Tulisan ini membahas mengenai perkembangan Teater Koma pada masa Reformasi pada tahun 1998 hingga 2009. Teater Koma yang berdiri pada tahun 1977 oleh Nano Riantiarno dan 12 pendiri lainnya. Teater Koma memadukan unsur teater tradisional dan modern. Pada masa Orde Baru, teater Koma mendapatkan banyak pelarangan pentas karena dianggap menganggu stabilitas nasional. Pada masa Reformasi salah satu dampak yang dirasakan adalah kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat ini justru membuat Teater Koma menjadi kurang produktif dan mengalami kemunduran. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana Teater Koma mempertahankan eksistensinya di era Reformasi pada tahun 19998 hingga 2009. Tulisan ini menggunakan metode sejarah dengan empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Berdasarkan telaah yang dilakukan, untuk tetap produktif memproduksi karya-karya baru yang menjadi cermin politik pada masa Reformasi yaitu dalam Trilogi Kisah Republik yang terdiri dari Republik Bagong, Republik Togog, dan Republik Petruk. Teater Koma membuktikan dedikasinya sesuai dengan namanya yaitu, "koma" yang artinya tidak pernah selesai. ......This article discusses the development of the Koma Theater during the Reformation period from 1998 to 2009. The Koma Theater was founded in 1977 by Nano Riantiarno and 12 other founders. Teater Koma combines traditional and modern theater elements. During the New Order era, the Koma theater received many bans from performing because it was considered to disturb national stability. During the Reformation, one of the impacts felt was freedom of opinion. This freedom of expression actually makes Teater Koma less productive and suffers setbacks. The purpose of this paper is to find out how Teater Koma maintained its existence in the Reformation era from 19998 to 2009. This paper uses historical methods with four stages, namely heuristics, criticism, interpretation and historiography. Based on the research conducted, to remain productive in producing new works that became a political mirror during the Reformation period, namely the Trilogy of Acts of the Republic which consisted of the Republic of Bagong, the Republic of Togog, and the Republic of Petruk. Teater Koma proves its dedication to its name, namely, "koma" which means never ending.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saini K. M., 1938-
Bandung: ITB Press, 1996
792.095 98 SAI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nunung Husnul Chatimah
Abstrak :
Akademi Teater Nasional Indonesia merupakan lembaga pendidikan kesenian pertama di Jakarta yang berdiri tahun 1955. Terbentuknya ATNI atas prakarsa tokoh kesenian yakni Usmar Ismail dan Asrul Sani. Dengan latar belakang pengalaman Usmar Ismail di bidang teater dan film serta juga Asrul Sani yang mengenyam pendidikan teater di Amerika serikat, sepakat untuk membentuk pendidikan teater di dalam ATNI mengacu pada kesenian teater Barat. Kondisi perkembangan pemikiran berbagai golongan politik, kesenian dan kebudayaan pada saat itu mendukung kehadiran ATNI di tengah masyarakat. Dukungan nyata kepada ATNI terlihat dari partisipasi tokoh `cendikiawan yang seniman' untuk menjadi pengajar di ATNI. Selain itu juga dukungan terlihat dari minat penonton di setiap pertunjukan yang ATNI tampilkan. Tak luput peran media massa yang pada saat itu sedang berkembang dengan pesat. Kebesaran nama ATNI yang nampak dari luar ternyata merupakan hasil dari suatu proses belajar mengajar yang kerap berpindah-pindah tempat belajar. Hal ini disebabkan minimnya dana yang dimiliki ATNI pada masa itu. Bantuan yang diterima ATNI selain dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga dari Rockefeller Foundation, sebuah yayasan dari Amerika yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan dan kesenian di Indonesia. ATNI yang pada awal berdirinya telah memiliki serangkaian konsep dan peraturan yang jelas tentang cara menjalankan pendidikan, dalam prakteknya sering kali ATNI harus menyesuaikan diri dengan keadaan dan tidak berhasil menjalankan ketetapan yang telah dibuatnya sendiri. ATNI dengan konsep teater Barat menggunakan metode teater Stanislavsky di dalam pelajaran dan praktek teater. Wujud karya ATNI terlihat dari berbagai pementasan teater yang berhasil ATNI pentaskan selama kurun waktu 1957-1963. Kondisi jaman pada masa itu tidak sedikit memberikan dampak pada ATNI. Sebuah kondisi masyarakat yang sedang meneari dan membutuhkan alternatif lain dalam bentuk apresiasi kesenian menerima kehadiran ATNI dengan baik di tengah-tengah masyarak.at. Model Barat dianggap suatu bentuk modern. Namun juga karena Barat dan bekerjasama dengan sebuah yayasan Barat (Rockefeller Foundation) ATNI menerima kecaman dari tokoh kesenian dan politik yang beraliran Realisme sosialis. Meski kecaman ini hanya berupa perdebatan pemikiran di media massa, namun cukup membuat kondisi ATNI tidak lagi memiliki kegiatan di tahun 1965-1966. Kelumpuhan ATNI selain dikarenakan masalah teknis keuangan juga kondisi politik yang tidak kendusif serta para pengajar ATNI yang terlibat kegiatan lain di luar Akademi. ATNI, meski hanya berusia 13 tahun telah mampu menghasilkan anak didik yang dapat mengembangkan kesenian teater di masa setelahnya dan membawa altematif bentuk teater di dalam sejarah teater modern Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12391
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asrul Sani
Jakarta: Pustaka Jaya, 1997
899.221 3 ASR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library