Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Nurul Qomariyah
"ABSTRAK
Dalam upaya penatalaksanaan penderita penyakit kelenjar tiroid, harus dibuat diagnosis anatomik atau etiologik untuk mengetahui penyebab yang mendasari penyakit dan diagnosis fungsional untuk mengetahui status produksi hormon tiroid. Pemeriksaan laboratorium sangat berguna dalam membedakan fungsi kelenjar tiroid tersebut termasuk hipotiroid, eutiroid atau hipertiroid.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemeriksaan TSH-sensitif metode IRMA dan ICMA dapat membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dengan kata lain apakah pemeriksaan tersebut dapat dipakai sebagai uji saring untuk hipertiroidisme. Disamping itu ingin mendapatkan nilai rujukan TSH-IRMA dan ICMA yang dapat dipakai di UPF Patologi Klinik FKUI/RSCM.
Subyek penelitian adalah 35 penderita hipertiroidisme, terdiri atas 25 orang wanita dan 10 orang laki-laki, berusia 21-59 {30,2) tahun. Sebagai kontrol adalah 70 orang yang mempunyai fungsi kelenjar tiroid eutiroid, terdiri atas 40 laki-laki dan 29 perempuan, berusia 15-73 (37) tahun. Kriteria diagnostik didasarkan pada temuan klinik dan hasil pemeriksaan laboratorium FT4I. Terhadap subyek penelitian dan kontrol dilakukan pemeriksaan T4 total, T3U, TSH-IRMA (DPC) dan TSH-ICMA (Amerlite).
Hasil pemeriksaan kontrol: T4=4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I=0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA=O,25-3,60 (1,38) mIU/L dan TSH-ICMA=0,54-3,12 (1,34) mIU/L. Terdapat korelasi terbalik antara nilai T4 total, T3U dan FT4I dengan TSH-IRMA maupun TSH-ICMA. Tidak terdapat perbedaan nilai TSH kontrol laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat hubungan antara umur dan nilai TSH. Nilai rujukan TSH-IRMA = 0,39-3,63 mIU/L, dan TSH-ICMA = 0,49-2,97 mIU/L.Hasil pemeriksaan penderita hipertiroid: T4 = 16,0->24 ng/dL; T3U=30,3-43,7 (38,3)7.; FT4I = 5,36->10,49; 31 (88,51.) orang mempunyai nilai TSH-IRMA dan ICMA tidak terukur dan, 4 Orang mempunyai nilai TSH-IRMA 0,09; 0,12; 0,16; 0,18 dan TSH-ICMA 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. Nilai TSH-IRMA dan TSH-ICMA penderita hipertiroid berbeda bermakna dengan kontrol eutiroid. Terdapat korelasi antara nilai TSH-IRMA dengan TSH-ICMA (r = 0,9922). Nilai TSH-ICMA lebih rendah 6,6% dibanding TSH-IRMA. Nilai batas deteksi TSH-IRMA = 0,09 mIU/L dan TSH-ICMA = 0,04 mIU/L. Biaya per tes TSH-IRMA lebih mahal dibanding TSH-ICMA, karena pemeriksaan TSH-IRMA harus dilakukan in duplo. Pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH-ICMA sensitif secara analitik dan klinik untuk diagnosis hipertiroidisme.
Kesimpulan penelitian ialah pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH﷓ICMA mampu membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dan dapat dipakai sebagai uji saring hipertiroidisme. Batas deteksi pemeriksaan TSH-ICMA lebih rendah dari pada TSH-IRMA. Nilai rujukan TSH-IRMA berbeda dengan TSH-ICMA.
Disarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan subyek penelitian dan kontrol (penderita rawat tinggal dan rawat jalan) yang lebih banyak agar dapat ditentukan nilai batas TSH untuk diagnosis hipertiroidisme, dan mendapatkan nilai rujukan yang lebih memenuhi syarat. Disarankan pula untuk menilai kemampuan pemeriksaan TSH untuk memantau pengobatan hipertiroidisme dan pengobatan hormon tiroid.

In managing patients with thyroid diseases, an anatomical or etiological diagnosis should be made for knowing the basic causes, and functional diagnosis for knowing the thyroid hormone production. Laboratory tests are necessary to differentiate whether the condition is hypothyroid, euthyroid or hyperthyroid.
The goal of this study was to know whether TSH-IRMA and ICMA tests can clearly differentiate hyperthyroid patients from euthyroid, and whether this test can be used as the first test for hyperthyroidism. More over, to determine the reference range of TSH-IRMA and ICMA which can be used in the Departement of Clinical Pathology, Dr Cipto Mangunkusumo hospital / Faculty of Medicine University of Indonesia.
The subjects of this study were 35 patients with hyperthyroidism. They consist of 25 women and 10 men, who were 21-59 (30,2) years old. We took 70 people who were in euthyroid condition, about 15-73 (37) years old as controls. The criteria of diagnosis were based on clinical finding and FT4I test. Subjects and controls were examined for total T4, T3U, TSH-IRMA (DPC) and TSH-ICMA (Amerlite) levels.
Values of the controls were T4 = 4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I = 0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA = 0,25-3,60 (1,3B) mIU/L and TSH-ICMA = 0,54-3,12 (1,34) mIU/L. There was negative correlation between total T4, T3U or FT4I level and TSH-IRMA or TSH-ICMA. There was no difference between TSH level in male and female controls. No correlation was found between age and TSH level. The reference value of TSH-IRMA was 0,39-3,63 mIU/L and TSH-ICMA was 0,49-2,97 mIU/L.
The level of total T4, T3U and FT4I in hyperthyroid were 16,0->24 ng/dL, 30,3-43,7 (38,3)7 and 5,36-7.10,49 respectively. TSH-IRMA and TSH-ICMA value were undetectable in 31(88,5%) persons, and 4 persons have TSH-IRMA level of 0,09; 0,12; 0,16; 0,1B and TSH-ICMA level of 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. TSH﷓IRMA and TSH-ICMA level in hyperthyroid were significantly lower than in euthyroid.
There was a good correlation between TSH-IRMA and TSH-ICMA (r = 0,9922). T5H-ICMA was 6,6% lower than TSH-IRMA. The detection limit of TSH-IRMA was 0,09 mIU/L and TSH-ICMA was 0,04 mIU/L. One TSH-IRMA test was more expensive than one TSH-ICMA test, because TSH-IRMA test must be performed in duplicate. TSH-IRMA and TSH-ICMA assays were analytically and clinically sensitive and specific for diagnosing hyperthyroidism.
In conclusion, TSH-IRMA and TSH-ICMA assays could clearly differentiate hyperthyroid from euthyroid patients, and suitable as screening tests for hyperthyroidism. The detection limit of TSH-ICMA was lower than T5H-IRMA. The reference range of TSH-IRMA was different from TSH-ICMA.
Further study with more subjects is still needed to determine TSH lower limit value for diagnosing hyperthyroidism and a more acceptable reference value. We suggest another study to evaluate TSH values in controlling treatment of hyperthyroidism and thyroid hormones supplementation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fuisal Muliono
"Selama kehamilan terjadi perubahan hormonal dan metabolik yang kompleks pada wanita hamil, yang dapat memperlihatkan gambaran klinik klasik mirip hipertiroid, sehingga diagnosis hipertiroid pada masa kehamilan menjadi lebih sulit. Perubahan hasil tes fungsi tiroid pada masa kehamilan lebih mempersulit lagi diagnosis tersebut, sehingga perlu dicari parameter yang relatif tidak dipengaruhi kehamilan. Diharapkan pemeriksaan kadar TSH dapat menggantikan parameter yang dipakai sekarang.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui adakah perbedaan kadar TSH antara wanita hamil dengan wanita tidak hamil dan antara wanita hamil trimester II dengan trimester III. Selain itu untuk mendapatkan nilai rujukan kadar TSH pada wanita hamil.
Dari bulan April sampai September 1990 di UPF Bagian Patologi Klinik FKUI- RSCM telah dilakukan pemeriksaan kadar TSH-IRMA terhadap 30 orang wanita usia subur dan 60 orang wanita hamil trimester II, pemeriksaan diulang kembali pada kehamilan trimester III.
Kadar TSH-IRMA pada 30 orang wanita usia subur berkisar antara 0,4 - 3,1 mIU/l dengan nilai rata- rata 1,2 mIU/l. Kadar TSH-IRMA 60 orang wanita hamil trimester II berkisar antara 0,2 - 3,1 mIU/1 dengan nilai rata- rata 1,26 mIU/l. Nilai rujukan kadar TSH-IRMA wanita hamil trimester II adalah 0,29-3,73 mIU/1. Dan kadar TSH-IRMA pada 52 orang wanita hamil trimester III berkisar antara 0,2 - 3,3 mIU/1 dengan nilai rata- rata 1,17 mIU/l. Nilai rujukan kadar TSH-IRMA wanita hamil trimester III adalah 0,26-3,59mIU/1.
Hasil uji distribusi dari ke 3 kelompok data dengan tes Anderson Darling didapat distribusi log Gaussian.
Uji student's t test untuk membandingkan antara wanita usia subur sebagai kontrol dengan wanita hamil trimester II didapat kadar TSH-IRMA ke 2 kelompok tidak berbeda bermakna ( p=O,6955 ). Juga antara kontrol dengan trimester III dan antara trimester II dengan trimester III dengan p=0,7333 dan p=0,297.
Uji korelasi antara trimester II dan trimester III dengan Pearson's r product moment correlation didapat adanya korelasi antara ke 2 kelompok dengan r=0,5783 dan persamaan garis regresi y = 0,6251x± O,38O3.
Kesimpulan penelitian ini adalah kadar TSH wanita usia subur yang tidak hamil tidak berbeda dengan kadar TSH wanita hamil trimester II dan trimester III. Juga tidak terdapat perbedaan antara kadar TSH wanita hamil trimester II dengan trimester III.
Disarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan subjek yang lebih banyak termasuk wanita hamil trimester I untuk mendapatkan nilai rujukan yang lebih memenuhi syarat.
Juga disarankan melakukan penelitian kadar TSH pada wanita hamil yang menderita hipo/ hipertiroid.

During pregnancy, there are hormonal and metabolic changes, which can mimic the classical picture of hyperthyroid, so diagnosis of hyperthyroid during pregnancy is difficult. The changes of thyroid function test results make the diagnosis even more difficult. It is necessary to find a parameter which is relatively not influence by pregnancy.
The aims of this study are to evaluate the differences of TSH level between pregnant women with non pregnant women and between pregnant women trimester II with trimester III. Beside these, to get the reference range of TSH level in pregnant women.
From April to September 1990 in Department of Clinical Pathology, Dr Cipto Mangunkusumo Hospital/ University of Indonesia, 30 women in child bearing period and 60 pregnant women trimester II had been evaluated their TSH-IRMA level, this test had been repeated in pregnancy trimester III.
TSH-IRMA level in 30 women was between 0,4-3,1 mIU/1 (mean : 1,2 mIU/1). In 60 pregnant women trimester II TSH level was between 0,2 - 3,1 mIU/l (mean 1,28 mIU/1). The reference range was between 0,29 - 3,73 mIU/1. In 52 women trimester III TSH-IRMA level was between 0,2 - 3,3 mIU/1 (mean : 1,17 mIU/1). The reference range was between 0,28 - 3,59 mIU/l.
The data of these 3 groups with Anderson Darling's test were found to be log Gaussian distribution.
TSH-IRHA level of pregnant women trimester II and trimester Ill were not significantly different from control. (p = 0,6955 and p = 0,7333). Also between trimester II and trimester III with p = 0, 297.
There is a correlation between trimester II and trimester III' with r = 0,5783 and regression line Y = 0,6251X ± 0,3803.
In conclusions, TSH level in non pregnant woman, did not differ to pregnant women trimester II and trimester III. There was no difference between TSH level trimester II; and trimester III.
We suggest to make the same evaluation with more subject included pregnant women in trimester I for getting more acceptable reference range.
Also we suggest to evaluate TSH level in pregnant women who suffer hypo/ hyperthyroidism.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaenal Arifin
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian pengaruh tanggapan detektor kamera gamma SPECT dan evaluasi pengaruhnya pada pemeriksaan fungsi tiroid dan ginjal dengan citra planar. Pengukuran tanggapan detektor menggunakan sumber 1 mCi sampai 25 mCi 99mTc diletakkan dalam fantom akrilik pada kedalaman 10 cm, yang dideteksi bergantian oleh kedua detektor dengan kondisi geometri sama. Hasil tanggapan detektor 1 relatif lebih tinggi 6 sampai 16 %, namun kedua detektor masih mempunyai linieritas yang tinggi. Pemeriksaan tiroid dilakukan pada 5 orang pasien dengan 2 kali pemeriksaan dan pemindaian selama 5 menit, setiap pasien menerima 4 mCi 99mTc perteknetat dan pengambilan citra dengan detektor 1. Selanjutnya pasien menerima 2 mCi 99mTc perteknetat dan pengambilan citra dengan detektor 1 dan 2. Evaluasi hasil citra 4 mCi lebih jelas, kontras tinggi dan noise rendah dibanding citra 2 mCi. Evaluasi nilai uptake tiroid dengan kedua pemeriksaan tidak ada perbedaan signifikan. Pemeriksaan ginjal dilakukan pada 4 orang pasien dengan 2 kali pemeriksaan dalam interval waktu 5 bulan. Setiap pasien diberikan aktivitas 4 mCi 99mTc DTPA dan pemindaian selama 20 menit menggunakan detektor 1 dan 2 secara bergantian. Evaluasi hasil laju cacah detektor 1 relatif lebih tinggi dan hasil citra detektor 1 relatif lebih jelas. Evaluasi nilai uptake ginjal, GFR dan fungsi transit waktu dengan kedua pemeriksaan tidak ada perbedaan yang signifikan. Tanggapan detektor 2 telah mengalami degradasi dibanding detektor 1 namun masih linier terhadap aktivitas, sehingga belum menunjukkan perubahan yang signifikan untuk pemeriksaan klinis fungsi tiroid dan ginjal.

ABSTRACT
It has been a research on the impact of SPECT gamma detector response and the evalution of impact on the examination of thyroid and kidney function with planar imaging. Research conducted by measuring the detector response 99mTc source of 1 mCi to 25 mCi at depth of 10 cm acrylic phantom, that is detected by both detector with the same geometry condition by turns. The result of detector 1 response is relatively higher 6 to 16% but the both detector has high linearity. Thyroid examination was done 5 patients with twice of examination and scanning for 5 minutes, each patient receives 4 mCi 99mTc pertechnetat and imaging with detector 1. Then, patient receives 2 mCi 99mTc pertechnetat and imaging with detector 1 and 2. The result of 4 mCi image evaluation is obtained clearer images, high contrast and low noise than 2 mCi image. The evaluation of thyroid uptake for two of examination did not differ significantly. Renal examination was done 4 patients with twice of examination in time interval 5 months. Each patient receives 4 mCi 99mTc DTPA and scanning for 20 minutes using detector 1 and 2 by turns. Evaluation of count rate detector 1 is higher relatively and the result of image detector 1 is clearer relatively. Evaluation of renal uptake, GFR and time transit function did not differ significantly. Response of detector 2 has been degradation compared with detector 1 but is still linear with respect to activity, so it hasn?t showed no differ siginificantly for thyroid and kidney function examination.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T32674
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Ayu Chitrasmara
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Nodul tiroid banyak ditemukan pada populasi dewasa. Kebanyakan merupakan lesi jinak yang tidak memerlukan tindakan lanjutan, namun 7-15% dapat ganas. Modalitas paling sensitif untuk evaluasi adalah ultrasonografi (USG), namun untuk memastikan jenis nodul tetap diperlukan diagnosis invasif dengan lini pertama yaitu pemeriksaan sitopatologi dengan fine needle aspiration biopsy (FNAB). Saat ini berkembang elastografi untuk menilai kekakuan jaringan, dengan teori semakin ganas nodul maka semakin padat jaringan dan elastisitas berkurang. Elastografi kualitatif menggunakan skoring dengan kriteria Rago berdasarkan warna nodul yang semakin gelap dengan meningkatnya kepadatan. Diharapkan elastografi dapat menjadi tambahan untuk evaluasi nodul tiroid. Tujuan penelitian untuk mengetahui kesesuaian antara pemeriksaan strain elastografi kualitatif kriteria Rago dengan hasil sitopatologi. Metode : Uji kesesuaian menggunakan data primer elastografi nodul tiroid berdasarkan sistem skoring Rago dengan hasil sitopatologi berdasarkan klasifikasi Bethesda, dengan desain potong lintang (cross sectional), di RSCM bulan Juli-Agustus 2018. Subjek penelitian adalah 39 nodul yang dikategorikan menjadi benign, intermediate, dan malignant. Analisis statistik menggunakan uji McNemar dan Kappa. Hasil : Didapatkan kesesuaian antara hasil strain elastografi dengan FNAB dengan hasil McNemar test p=0,214, nilai Kappa R=0,52 dan p=0,000. Kesimpulan : Terdapat kesesuaian antara elastografi menggunakan sistem skoring kategori Rago dengan sitopatologi dengan tingkat kesesuaian moderate sehingga elastografi dapat menjadi pemeriksaan tambahan untuk evaluasi nodul tiroid.

ABSTRACT
Introduction : Thyroid nodule is common condition in adult populations, which mostly are benign. Nevertheless, malignancy can be found in 7-15% nodules. The most sensitive modality to evaluate thyroid nodule is ultrasonography (USG), although invasive examination is still necessary to confirm benignity or malignancy with first line is cytopathology with fine needle aspiration biopsy (FNAB). Elastography is developed to asses tissue elasticity, with theory that higher malignancy the cells are denser and elasticity is decreasing. In qualitative elastography there is Rago scoring system criteria based on colors appearing in nodules which darker as nodule grows denser. Elastography may become additional examination to evaluate thyroid nodules. The objective of this research is to acknowledge the concordance between qualitative strain elastography and cytopathology result. Methods : This research is suitability test using primary data of thyroid nodules elastography and cytopathology results in RSCM between July to August 2018. The design is cross sectional. The subjects are 39 nodules and every nodule is grouped into three categories which is benign, intermediate, and malignant. Statistical analysis is performed using McNemar and Kappa test. Result : Concordance can be found between scoring system strain elastography with FNAB results with McNemar test p=0,214, Kappa R=0,52 and p=0,000. Conclusion : There is concordance between scoring system strain elastography using Rago criteria with FNAB results with moderate level of agreement. Thus, elastography can be used as additional examination to evaluate thyroid nodules."
2019
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suprayadi
"Pendahuluan. Tiroidektomi total merupakan prosedur baku pada penanganan keganasan tiroid maupun kelainan jinak tiroid yang gagal pengobatan. Namun sering terjadi komplikasi hipokalsemia akibat cedera kelenjar paratiroid. Upaya untuk mengurangi komplikasi tersebut telah banyak dilakukan, namun komplikasi hipokalsemia tetap tinggi. Banyak faktor dapat menimbulkan hipokalsemia pasca tiroidektomi total telah diteliti di seluruh dunia. Di RSCM sejauh ini belum ada studi yang terfokus pada faktor-faktor yang memengaruhi kejadian hipokalsemia pasca tiroidektomi total.
Metode. Studi potong lintang dilakukan pada subjek yang menjalani tiroidektomi total dan completion pada periode Januari 2013 ? Desember 2015 di Divisi Bedah Onkologi FKUI/RSCM. Faktor yang memengaruhi hipokalsemia diketahui melalui telusur rekam medis.
Hasil. Dari 250 subjek (33 laki-laki, 217 perempuan) dilakukan tiroidektomi total (197 subjek) dan completion (53 subjek). Diperoleh prevalensi hipokalsemia 39,6%. Rerata usia subjek 44,2 tahun. Ukuran tumor tiroid lebih besar dari 4 cm pada 161 subjek (64%). Metastasis KGB pada 56 subjek (26,8%). Histopatologik tiroid ganas pada 209 subjek (83,6%). Diseksi leher dilakukan pada 56 subjek (22,4%). Operator junior sebagai operator utama pada 129 subjek (51,6%). Rata-rata Lama rawat 4,85±2,2 hari bila timbul hipokalsemia. Mayoritas (70,7%) penurunan kalsium serum terjadi pada hari pertama pascaoperasi. Gejala hipokalsemia ringan pada 82 subjek (82,8%). Hanya 1% yang mengalami hipokalsemia berat. Analisis statistik menunjukkan diseksi leher dan operator junior merupakan faktor risiko yang bermakna (nilai P. 0,027 dan nilai P. 0,002).
Kesimpulan. Prevalensi hipokalsemia pasca tiroidektomi total sebesar 39,6%. Faktor yang berisiko menyebabkan hipokalsemia pascaoperasi tiroidektomi total adalah dilakukan diseksi leher dan operator junior.

ABSTRACT
Introduction: Total thyroidectomy is a standard procedure in the treatment of thyroid malignancies and benign thyroid disorder treatment failures. The most frequently complication of total thyroidectomy is hypocalcemia due to injury to the parathyroid glands. Efforts to reduce these complications has been widely applied, but the complication rate is still high. Many factors could cause hypocalcaemia recognizable after total thyroidectomy has been investigated throughout the world. In the Faculty of medicine / RSCM no study has focused on the factors that influence the incidence of hypocalcemia after total thyroidectomy.
Methods: A cross-sectional study was conducted by taking medical record data subjects who have undergone total thyroidectomy and completion operations in the period January 2013 - December 2015 in the Division of Surgical Oncology Faculty of Medicine / RSCM. The factors that affect hypocalcemia identified through a search of medical records.
Results: Of the 250 subjects (33 male, 217 female) with thyroid tumor action has been taken total thyroidectomy (197 subjects) and completion (53 subjects). Hypocalcemia prevalence of 39.6%. The mean age of subjects was 44.2 years. 64% (161 subjects) to measure thyroid tumors larger than 4 cm. 26.8% (56 subjects) had metastatic lymph nodes. 83.6% (209 subjects) with malignant thyroid tumors. 22.4% of the subjects underwent neck dissection. 51.6% (129 subjects) surgery performed by a junior operator. The average length of stay was 4.85 ± 2.2 days in case of hypocalcaemia. The majority (70.7%) decrease in serum calcium occur on the first day after surgery. 82.8% (82 subjects) experienced mild symptoms of hypocalcemia. Only 1% experiencing severe hypocalcemia. Factors that cause the risk of hypocalcemia is performed neck dissection and junior operator.
Conclusion: The prevalence of post-thyroidectomy hypocalcemia total of 39.6%. These risk factors cause postoperative hypocalcemia total thyroidectomy was performed neck dissection and junior operator.
Keywords: Total thyroidectomy; completion; hypocalcemia; parathyroid glands."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indina Sastrini Sekarnesia
"Latar belakang: Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat yang
disebabkan disfungsi melanogenesis, berupa makula coklat kehitaman simetris,
terutama mengenai area wajah. Patogenesis melasma belum diketahui dengan jelas,
beberapa faktor yang diduga berperan, di antaranya disfungsi tiroid dan defisiensi seng.
Tujuan: Mengetahui kadar seng serum pada pasien melasma dan nonmelasma dengan
dan tanpa disfungsi tiroid.
Metode: Sebuah penelitian dengan desain potong lintang dilakukan di Jakarta pada
September-Desember 2019. Terdapat 60 pasien melasma dan 60 pasien nonmelasma.
Kedua kelompok dilakukan matching usia dan jenis kelamin. Atomic absorption
spectrophotometry digunakan untuk mengukur kadar seng serum. Laboratorium darah
untuk memeriksa fungsi tiroid (TSH dan FT4). Analisis statistik menggunakan software
SPSS.
Hasil: Rerata kadar seng serum pada kelompok melasma 10,25±1,89 μmol/L dan
nonmelasma adalah 10,29±1,46 μmol/L (p <0,901). Rerata kadar seng serum pada
pasien melasma dengan disfungsi tiroid 8,77±0,69, melasma tanpa disfungsi tiroid
10,33±1,89, nonmelasma dengan disfungsi tiroid 10,48±2,4, dan nonmelasma tanpa
disfungsi tiroid 10,27±1,4 (p <0,184).
Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kadar seng serum pada
kelompok melasma dan nonmelasma dengan dan tanpa disfungsi tiroid.
......Background: Melasma is an acquired hyperpigmentation disorder, clinically as
asymmetrical blackish brown macules, especially on the facial area. Several factors are
thought to play a role, including thyroid dysfunction and zinc deficiency.
Objective: To determine serum zinc levels in melasma and non-melasma patients with
and without thyroid dysfunction.
Methods: A cross-sectional study was conducted in Jakarta in September-December
2019. There were 60 melasma patients and 60 non-melasma patients. The two groups
were matched for age and sex. Atomic absorption spectrophotometry was used to
measure serum zinc levels. Blood laboratory was used to check thyroid function (TSH
and FT4). Statistical analysis was done by SPSS software.
Results: The mean serum zinc level in the melasma group was 10.25 ± 1.89 μmol / L
and non-melasma was 10.29 ± 1.46 μmol / L (p <0.901). The mean serum zinc level in
melasma patients with thyroid dysfunction was 8.77 ± 0.69, melasma without thyroid
dysfunction 10.33 ± 1.89, non-melasma with thyroid dysfunction 10.48 ± 2.4, and nonmelasma
without thyroid dysfunction 10.27 ± 1.4 (p <0.184).
Conclusions: There was no significant difference between serum zinc levels in the
melasma and non-melasma groups with and without thyroid dysfunction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asman Boedisantoso Ranakusuma
"Pada pagi hari ini bagi kita yang hadir, tiada kata yang lebih indah untuk diucapkan selain puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan kesehatan kepada kita semua, sehingga pada pagi hari ini kita dapat berkumpul di ruangan ini untuk mendengarkan pidato pengukuhan saya.
Mengapa saya memilih Ilmu Penyakit Dalam (IPD)?
Sebenarnya mudah dimengerti dan dipahami bahwa seorang dokter muda memilih IPD karena ilmu penyakit dalam adalah ibu dari semua cabang ilmu kedokteran. Ilmu ini melihat manusia sebagai sosok tubuh seutuhnya, dari ujung rambut ke ujung jari kaki; dan kulit luar ke dalam sel yang paling dalam pada tubuh kita. Ilmu ini juga menelusuri titik awal penyakit dengan segala akibat-akbatnya. Pengembangan logika analitik sangat diperlukan, pola pikir holistik, integral antar organ dan sistem dibutuhkan. Agaknya dunia ilmu ini penuh tantangan. Di sini titik mula.hati saya terpikat. Sebagai seorang dokter muda yang penuh khayalan ternyata pola pikir itu bukanlah mudah dan sederhana. Ternyata ilmu penyakit dalam tidak semudah yang dikhayalkan, terlalu banyak untuk dicerna dan terlalu sulit untuk diantisipasi apalagi 'untuk menyembuhkan pasien. Angka kematian di bangsal perawatan rumah sakit tinggi. Pada saat itu kesulitan tetap berputar-putar di.sekitar diri saya. Terkadang tidak tahu harus mulai dari mana, selalu terbayang wajah pasien yang menderita yang hanya dapat saya obati dengan kata-kata.
Wajah pucat pasi
pedih cemas berbaur satu
Langan tangan menggapai
seraya mencari siapakah membantu
Kuberi lengan sebelah
Sepenggal ilmu
Sia, sia
Kau, Aku Berpisah
Sama-sama meniti jalan panjang
Kelam
(Antara Jakarta ,- Magelang, Media- Juli 1984)
Kalimat di atas dapat menggambarkan betapa galau hati seorang dokter muda sewaktu mulai bekerja di bagian IPD. Dalam proses peningkatan keterampilan, saya dapat merasakan pendidikan dengan pola penalaran holistik integral, tidak terkotak kotak, pengembangan logika analitik dan kerjasama yang erat antar sejawat telah dapat meningkatkan keterampilan dan mengikis sedikit demi sedikit kegalauan yang ada."
Jakarta: UI-Press, 1994
PGB Pdf
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Makes, Benyamin
"Keganasan tiroid dapat ditemukan sekitar 5% dari kasus dengan nodul tiroid. Untuk penatalaksanaan kasus nodul tiroid perlu membedakan kasus jinak dari yang ganas. Biopsi aspirasi jarum halus (BAJaH) dilakukan praoperasi sedangkan potong beku dilakukan pada saat operasi. Tujuan tulisan ini ialah mengevaluasi ketepatan diagnosis pemeriksaan BAJaH serta PB bersama sitologi imprint (PB+I) pada kasus-kasus nodul tiroid di Departemen Patologi Anatomik FKUI-RSCM. Penelitian ini merupakan uji diagnostik menggunakan data arsip klinikopatologik di Departemen Patologi Anatmik FKUI-RSCM selama tahun 1999-2003. Spesimen dengan kelengkapan data hasil pemeriksaan BAJaH; data hasil pemeriksaan potong beku disertai sediaan sitologi imprint, serta sediaan histologik terfiksasi formalin dari bahan biopsi / operasi tiroid yang sama, digunakan dalam penelitian ini. Sensitivitas, spesifisitas dan akurasi PB+I lebih tinggi daripada BAJaH (berturut-turut 86,8% vs 73,7% ; 99,0% vs 83,9% ; 94,8% vs 80,5%). Bila hasil BAJaH konkordan dengan hasil PB+I, akurasi gabungan ke dua pemeriksaan tersebut menjadi 95,1%. Evaluasi potong beku bersama sitologi imprint masih sangat bermanfaat, karena pemeriksaan ini secara bermakna menunjukkan akurasi yang tinggi dalam mendiagnosis keganasan tiroid. (Med J Indones 2007; 16:89-93).

Thyroid malignancy can be found on 5% of thyroid nodules. In order to better managed of thyroid nodules, skills to differentiate benign from malignant cases were needed. Fine needle aspiration biopsy (FNAB) was done preoperatively while frozen section (FS) and imprint cytology (IC) should be done intra-operatively. The objective of this research paper is to evaluate the diagnostic accuracy of FNAB versus frozen section combined with imprint cytology (FS+IC) in thyroid nodules at the Anatomic-Pathology Department FMUI-CM Hospital, Jakarta. This diagnostic test, used data from clinico-pathological records in Anatomic Pathology Department, Faculty of Medicine University of Indonesia / Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia during 1999-2003. Specimens with complete data of FNAB results, data of FS and slides of IC. All formalin fixed`specimens were reevaluated and used as the golden standard. Sensitivity, spesificity and accuracy of FS+IC were higher than FNAB (86.8% vs 73.7% ; 99.0% vs 83.9% ; 94.8% vs 80.5% respectively). If the results of FNAB were concordant with the result of FS+IC, the combined examination yields accuracy of 95.1%. The evaluation of frozen section combined with imprint cytology is very useful, because this examination significantly showed high accuracy in diagnosing thyroid malignancy. (Med J Indones 2007; 16:89-93) ."
Medical Journal of Indonesia, 2007
MJIN-16-2-AprJun2007-89
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Damayanti
"Kanker adalah pertumbuhan sel baru yang tidak terkontrol, mampu menyebar danmenginvasi sehingga mengancam kehidupan. Insiden kanker dilaporkan daritahun ke tahun terjadi peningkatan. Berbagai upaya telah dilakukan untukmenurunkan morbiditas dan mortalitas kanker. Karya Ilmiah Akhir KIA iniadalah sebagai laporan praktik residensi keperawatan medikal bedah peminatanonkologi di RS Kanker Dharmais Jakarta. Karya ilmiah ini berisi tentang: 1 penerapan teori Konservasi Levine pada pasien kanker Tiroid, 2 IntervensiMenghirup Aromaterapi untuk mengurangi kerusakan kelenjar ludah selama dansetelah pemberian Terapi Radioactif Iodine 3 proyek inovasi manajemen edukasipre intra dan pasca ablasi pada pasien kanker tiroid yang menjalani terapiradioactive iodine I-131.
Kesimpulan: bahwa teori Konservasi Levin tepatdigunakan untuk meningkatkan ketersediaan energy pada pasien kanker tiroid.Intervensi menghirup aromaterapi kombinasi citrus lemon dan jahe dapatdigunakan sebagai salah satu alternatif pilihan manajemen unuk mengurangikerusakan kelenjar ludah pada pasien kanker tiroid selama dan setelah pemberianterapi radioactive iodine. Edukasi berbasis multi median pre inra dan pasca ablasidiharapkan mampu memberikan pendidikan kesehatan yang bermanfaat bagipasien kanker tiroid yang akan menjalani terapi radiactif iodine

Cancer is the growth of new cells that are not controlled, capable of spreading andinvading so life threatening. The increase of incidence cancer is reported fromyear to year. Various attempts have been made to reduce cancer morbidity andmortality. This Final Scientific Work is a practice report of medical oncologymedical residency of oncology in Dharmais Jakarta Cancer Hospital. Thisscientific work contains 1 the application of Levine Conservation theory inThyroid cancer patients, 2 Aromatherapy Inhalation Intervention to reducesalivary gland damage during and after the administration of Radioactive IodineTherapy 3 innovation project management of intra and post Ablation educationin patients Thyroid cancer through radioactive iodine I 131 therapy.
Conclusion Levin conservation theory is appropriately used to increase theavailability of energy in patients rsquo thyroid cancer. Interventions inhalingaromatherapy combinations of citrus lemon and ginger can be used as analternative management option to reduce salivary gland damage in patients withthyroid cancer during and after administration of radioactive iodine therapy. Preintraand post ablative multimedia based education is expected to provide a usefulhealth education for patients with thyroid cancer who will radiodic iodine therapy."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budiman Gumilang Koerniawan
"Latar Belakang: Kanker tiroid adalah keganasan yang paling sering terjadi pada sistem endokrin. Kanker tiroid yang paling sering terjadi adalah karsinoma tiroid papiler (KTP), dengan sebagian besar kasus dapat disembuhkan dengan angka kesintasan >95% selama 20 tahun. Namun, apabila terjadi kekambuhan, maka angka mortalitasnya yang meningkat. Skoring prognostik penting sebagai penentu pengobatan yang bertujuan untuk mengelompokkan pasien ke dalam kelompok risiko yang sesuai sehingga memungkinkan pasien untuk mendapatkan optimalisasi modalitas pengobatan. Skoring prognosis yang umum digunakan adalah skoring AMES, MACIS, dan AGES. Mutasi gen BRAF V600E dihubungkan dengan prognosis yang buruk karena persistensi dan kekambuhan penyakit. Suatu studi menambahkan pemeriksaan mutasi BRAF V600E kedalam skoring prognosis dan bermakna secara statistik sedangkan studi lainnya tidak memiliki kemaknaan secara statistik. Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap pasien KTP di RSUPN Cipto Mangunkusumo menggunakan data sekunder berupa status mutasi BRAF V600E dan data untuk mengkalkulasi skoring prognosis (Usia, USG preoperatif, CT-Scan atau MRI, data histopatologi, dan data laporan pembedahan). Parameter yang diukur meliputi proporsi dan hubungan antara mutasi BRAF V600E dengan skoring prognosis (AMES, MACIS, dan AGES). Hasil: Proporsi mutasi BRAF V600E pada skoring prognosis yaitu: Skoring AMES: High Risk: 71,4% dan Low Risk: 28,6%, Skoring MACIS: Skor ³ 8: 38,1%; Skor 7 – 7,99: 9,5%; Skor 6 – 6,99: 19%; dan Skor < 6: 33,3%, dan Skoring AGES: Skor ³ 6: 61,9%; Skor 5 – 5,99: 0%; Skor 4 – 4,99: 4,8%; dan Skor < 4: 33,3%. Analisis bivariat menunjukan mutasi BRAF V600E bermakna secara statistik dengan skoring MACIS dengan Odd Ratio (OR) 2,96 (p Value = 0,044, Confidence Interval (CI) 95% = 1,01 – 8,64), sedangkan skoring AMES dan AGES tidak bermakna secara statistik. Kesimpulan: Mutasi BRAF V600E dengan hasil positif meningkatkan prognosis buruk pada skoring MACIS sebanyak 2,96 kali.
......Introduction: Thyroid cancer is the most common malignancy of the endocrine system. The most common type of thyroid cancer is papillary thyroid carcinoma (PTC), and most cases are curable, with a 20-year survival rate of more than 95%. However, when it recurs, it has a high mortality rate. Prognostic scoring systems are important as treatment determinants that aim to classify patients into appropriate risk groups to optimize treatment modalities. Commonly used prognostic scoring systems are the AMES, MACIS, and AGES. Mutation of BRAF V600E is associated with a poor prognosis due to disease persistence and recurrence. One study added the BRAF V600E mutation to the prognosis scoring, and it was statistically significant, while another study showed no statistical significance. Methods: This study was a cross-sectional study of PTC patients at Cipto Mangunkusumo Hospital using secondary data, such as BRAF V600E mutation status and data to calculate prognosis scoring systems. Parameters measured included the proportion and association between the BRAF V600E mutation and prognosis scoring systems (AMES, MACIS, and AGES). Results: The proportion of BRAF V600E mutations in prognosis scoring systems was as follows: AMES - High Risk: 71.4% and Low Risk: 28.6%; MACIS Scoring - Score ≥ 8: 38.1%; Score 7–7.99: 9.5%; Score 6–6.99: 19%; and Score < 6: 33.3%; and AGES - Score ≥ 6: 61.9%; Score 5–5.99: 0%; Score 4–4.99: 4.8%; and Score < 4: 33.3%. Bivariate analysis showed that the BRAF V600E mutation was statistically significant with MACIS scoring, with an Odd Ratio (OR) of 2.96 (p Value = 0.044, Confidence Interval (CI) 95% = 1.01–8.64), while AMES and AGES scoring were not statistically significant. Conclusion: A positive BRAF V600E mutation result increases the poor prognosis on MACIS scoring by 2.96 times."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>