Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lusiana Kurniawati
"ABSTRAK
Latar Belakang
Trakeostomi merupakan tindakan yang umum dilakukan di unit perawatan intensif. Tindakan trakeostomi dapat menurunkan hambatan udara jalan napas, memiliki potensi untuk menurunkan obat sedasi dan pneumonia terkait ventilator sehingga diharapkan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien di unit perawatan intensif. Namun batasan waktu untuk melakukan trakeostomi pada pasien kritis yang diprediksikan akan memerlukan bantuan ventilasi jangka panjang hingga saat ini masih dalam perdebatan karena berbagai penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang berbeda-beda.
Tujuan
Mengetahui hubungan antara saat trakeostomi dengan mortalitas perawatan unit intensif. Mengetahui insiden mortalitas antara trakeostomi dini dan lanjut pada pasien perawatan unit intensif dengan ventilasi mekanik.
Metodologi
Penelitian dengan desain kohort retrospektif, dilakukan terhadap 162 pasien kritis dengan ventilasi mekanik yang menerima tindakan trakeostomi selama perawatan intensif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada kurun waktu Januari 2008-Desember 2012. Data saat untuk melakukan trakeostomi, klinis, laboratorium, dan radiologis dikumpulkan. Pasien diamati untuk melihat kejadian mortalitas selama perawatan intensif. Analisis hubungan antara saat trakeostomi dengan mortalitas perawatan intensif menggunakan tes X2. Analisis multivariat dengan regresi logistik digunakan untuk menghitung adjusted odds ratio (dan interval kepercayaan 95%) antara kelompok trakeostomi dini dan lanjut untuk terjadinya mortalitas perawatan intensif dengan memasukkan variabel-variabel perancu sebagai kovariat.
Hasil
Terdapat hubungan yang tidak bermakna antara trakeostomi dini dan lanjut dengan mortalitas unit perawatan intensif pada uji X2 (p=0,07) dengan RR 0,67 (IK95% 0,51-1,05). Insiden mortalitas pada trakeostomi dini dan lanjut sebesar 28,4% dan 42%.
Kesimpulan
Kelompok trakeostomi dini cenderung untuk memiliki insiden mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan trakeostomi lanjut. Namun saat trakeostomi tidak berhubungan dengan mortalitas unit perawatan intensif secara statistik.

ABSTRACT
Background
Tracheostomy is a common procedure in the intensive care unit . Tracheostomy can reduce airway resistance, the usage of sedation and ventilator-associated pneumonia. Based on these advantages, tracheostomy can potentially reduce ICU mortality and morbidity . But the timing to perform a tracheostomy in critically ill patients who are predicted to require long-term ventilatory support is still under debate, because previous studies showed different results.
Objective
Investigating the association between tracheostomy timing with intensive care unit mortality. Knowing the incidence of ICU mortality between early and late tracheostomy in patients with mechanical ventilation in intensive care unit.
Methods
Retrospective cohort study design was conducted on 162 critically ill patients in mechanical ventilation. These patients also underwent tracheostomy procedure during intensive care treatment in Cipto Mangunkusumo during period from January 2008-December 2012. The timing to tracheostomy, clinical, laboratory, and radiological data were collected . Patients were observed for the incidence of mortality during intensive care. Chi Square test was used to analyze the relationship between tracheostomy timing with intensive care unit mortality. Multivariate analysis with logistic regression was used to calculate adjusted odds ratios ( and 95% confidence intervals ) between early and late tracheostomy group to the intensive care mortality by including confounding variables as covariates .
Results
There is no significant association between early and late tracheostomy with the intensive care unit mortality ( p = 0.07 ) with a risk ratio (RR) of 0.67 ( CI 95 % 0.51 to 1.05 ) . The incidence of mortality in early and late tracheostomy was 28.4 % and 42 % .
Conclusion
Early tracheostomy group tended to have a lower mortality incidence compared with late tracheostomy. Association between timing to tracheostomy with the intensive care unit mortality was not statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Monasari
"

Latar belakang: Kanul dalam trakea yang dibersihkan secara rutin sangat penting untuk pencegahan infeksi. Belum diketahui cara pencucian kanul trakea yang baik untuk mengurangi kemungkinan terjadinya koloni bakteri pembentuk biofilm dan pertumbuhan kuman serta pola kuman pada kanul trakea.

Tujuan penelitian: Memperbaiki tatalaksana perawatan kanul trakea terkait dengan penghambatan koloni bakteri pembentuk biofilm, resistensi kuman terhadap antibiotika dengan kombinasi pencucian kanul trakea menggunakan klorheksidin dan NaCl 0,9% pada pasien yang menggunakan kanul trakea.
Metode: Terdapat 40 subjek yang dikelompokkan menjadi 20 subjek kelompok kontrol (dilakukan pencucian kanul menggunakan NaCl 0,9 % dicuci 100 ml selama 10 menit) sedangkan kelompok studi (pencucian kanul menggunakan NaCl 0,9 % sebanyak 100 ml lalu dicuci dengan cairan klorheksidin 2,5 % minimal 20 ml secara merata selama 10 menit). Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol paralel 2 kelompok dengan penyamaran tunggal.
Hasil: Dari 40 subjek yang diteliti, didapatkan 17 subjek (85 %) masing-masing kelompok yang menghasilkan bakteri pembentuk biofilm sebelum dilakukan intervensi. Setelah dilakukan intervensi pada kelompok studi didapatkan, 15 subjek negatif biofilm dan 5 subjek positif biofilm p=0,001. Bakteri paling banyak ditemukan pada kelompok kontrol adalah Pseudomonas aeruginosa sedangkan pada kelompok studi masih didapatkan bebrapa bakteri seperti Acinetobacter sp. dan Proteus mirabilis. Amoxicilin-Clavulanat memiliki resisten yang paling tinggi terhadap bakteri pembentuk biofilm pada kedua kelompok. Piperacilin, ceftazidime, ciprofloxacin dan meropenem memiliki sensitifitas yang paling tinggi terhadap bakteri pembentuk biofilm.
Kesimpulan: Terdapat penurunan yang bermakna jumlah koloni yang menghasilkan biofilm pada kanul trakea pada kelompok studi dibandingkan kelompok kontrol dalam pencucian kanul trakea (p=0,001).

Background: Regular cleaning of the cannula in the trachea is very important for infection prevention. How to wash the tracheal cannula which is good to reduce the possibility of colonies of biofilm-forming bacteria and the growth of germs and the pattern of germs on the tracheal cannula is still unknown.
Aim : To improve the treatment of tracheal cannula related to inhibition of biofilm-forming bacterial colonies, resistance to antibiotics with a combination of washing the tracheal cannula using chlorhexidine and NaCl 0.9% in patients using tracheal cannula.
Methods: There were 40 subjects who were grouped into 20 subjects in the control group (washing the cannula using 0.9% NaCl washed 100 ml for 10 minutes) while the study group (washing cannula using 0.9% NaCl as much as 100 ml then washed with 2.5% chlorhexidine solution at least 20 ml evenly for 10 minutes). This study used a parallel randomized controlled trial of 2 groups with a single blinded.
Results: Of the 40 subjects studied, 17 subjects (85%) each group produced biofilm-forming bacteria prior to intervention. After intervention in the study group, 15 subjects were biofilm negative and 5 biofilm positive subjects p = 0.001. The most common bacteria found in the control group is Pseudomonas aeruginosa, while in the study group some bacteria such as Acinetobacter sp. and Proteus mirabilis. Amoxicilin-Clavulanate had the highest resistance to biofilm forming bacteria in both groups. Piperacillin, ceftazidime, ciprofloxacin and meropenem have the highest sensitivity to biofilm-forming bacteria.
Conclusion: There was a significant decrease in the number of colonies that produced biofilm in the tracheal cannula in the study group compared to the control group in tracheal cannula washing (p = 0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putra Prasetio Nugraha
"Trakeostomi adalah salah satu tindakan pilihan pada kasus obstruksi jalan nafas atas. Blok pleksus servikalis superfisialis bilateral merupakan teknik regional anestesi yang populer untuk tatalaksana nyeri selama dan pasca operasi regio leher, namun jarang dipergunakan pada tindakan trakeostomi. Subtansia P adalah neurotransmitter utama nyeri dan mediator poten inflamasi neurogenik yang menyebabkan aktivasi sel-sel inflamatori, vasodilatasi, dan edema setelah manipuasi pada ujung saraf sensori. Kadar substansia P meningkat pada saat nyeri akut, sehingga juga dapat dianggap berperan sebagai mediator nyeri dan digunakan sebagai penanda kejadian nyeri akut. Metode: Kelompok Blok servikalis superfisialis bilateral: Penyuntikan dilakukan dengan menggunakan Bupivakain 0,25% sebanyak 10-15 ml pada masing-masing sisi. Setelah 20 menit, operasi dapat dilakukan. Kelompok Infiltrasi dilakukan penyuntikan infiltrasi lokal lidokain 2% pada daerah insisi. Pra dan Pasca tindakan trakeostomi, segera dilakukan pengambilan sample darah untuk pemeriksaan kadar Substansia P. Hasil: Jumlah sampel penelitian yang didapatkan adalah 34 sampel, usia 12-80 tahun. Hasil uji satistik variabel skala nyeri insisi menunjukkan nilai p<0,001. Hasil uji Mann-Whitney selisih Substansia P menunjukkan nilai p>0,05 (p=0,692). Simpulan: Blok pleksus servikalis superfisialis bilateral memiliki efektivitas analgesia yang lebih baik dibandingkan dengan infiltrasi lokal lidokain 2% pada tindakan trakeostomi.

Background: Tracheostomy is one of choice for upper airway obstruction management. Bilateral superficial cervical plexus block is a popular technique for pain management during and post neck region surgery, but rarely used in tracheostomy. Subtansia P is a major neurotransmitter of pain and a potential mediator of neurogenic inflammation that causes activation of inflammatory cells, vasodilation, and edema after manipulation of sensory nerve endings. The level of substance P is increased during acute pain, so it can also be considered as a mediator of pain and is used as a marker of acute pain events. Methods: Bilateral superficial cervical block group: Injections were carried out using 10-15 ml Bupivacaine 0.25% on each side. After 20 minutes, surgery can be proced. Infiltration group was injected with 2% lidocaine local infiltration in the incision area. Pre and post tracheostomy, blood samples were taken immediately to check the Substance Level P. Results: The number of research samples obtained was 34 samples, aged 12-80 years. The statistical test results of incision pain scale variable showed p value <0.001. Mann-Whitney test results on the P Substance differences showed a value of p> 0.05 (p = 0.692). Conclusion: Bilateral superficial cervical plexus block has better analgesia effectiveness compared to 2% local lidocaine infiltration in tracheostomy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arti Indira
"Latar Belakang: Sebanyak 40 pasien kanker laring mengalami malnutrisi sebelum protokol terapi dimulai, dan meningkat menjadi 54 pasca laringektomi. Laringektomi total menyebabkan pasien bernapas melalui trakeostomi sehingga terjadi disabilitas fisik, perubahan psikis, dan juga masalah nutrisi. Radioterapi merupakan pilihan terapi pada kanker laring dan seringkali memengaruhi status gizi dan kapasitas fungsional.
Metode: Pasien kanker laring stadium III dan IV ini berusia antara 50 ndash;66 tahun. Seluruh pasien telah menjalani laringektomi dengan trakeostomi dan radioterapi eksterna, dan tiga orang menjalani kombinasi dengan kemoterapi. Dua orang menggunakan nasogastric tube NGT untuk asupan nutrisi dan dua orang dengan asupan per oral. Pasien memiliki hasil skrining MST > 2. Pemantauan dilakukan meliputi keluhan subjektif, kondisi klinis, tanda vital, pemeriksaan laboratorium, antropometri, komposisi tubuh, kapasitas fungsional dan analisis asupan 24 jam. Keempat pasien mendapatkan edukasi nutrisi, oral nutrition support ONS dan kapsul omega-3.
Hasil: Dari hasil pemantauan diketahui bahwa pasien kanker laring yang mendapatkan terapi nutrisi dapat meningkatkan asupan makanannya, berat badan, massa otot, kekuatan genggam tangan, dan kadar hemoglobin. Karnofsky Performance Score dari keempat pasien tidak mengalami perubahan.
Kesimpulan: Pemberian terapi nutrisi dapat memperbaiki status gizi, parameter laboratorium dan komposisi tubuh pada semua pasien dalam serial kasus ini.Kata Kunci: kanker laring; radioterapi; terapi medik gizi

Objective: Forty percent of laryngeal cancer patients were already malnourished before the therapy protocol began and increased to 54 post laryngectomy. Total laryngectomy causes the patient to breathe through the tracheostomy resulting physical disability, psychic changes, as well as nutritional problems. Radiotherapy is a treatment of choices for laryngeal cancer, often affects nutritional status and functional capacity.
Methods: Stages III and IV of laryngeal cancer patients aged 50 66 years old with. All patients had undergone laryngectomy with tracheostomy and external radiotherapy, and three patients underwent a combination with chemotherapy. Two patients used nasogastric tube NGT for nutritional intake and two patients with oral intake. All patients had a screening score of MST 2. Monitoring included subjective complaints, clinical conditions, vital signs, laboratory tests, anthropometric measured, body composition analysis, functional capacity and 24 hour records of intake analysis. All patients received nutritional counselling, oral nutrition support ONS and omega 3 capsules.
Results: From the result of monitoring, laryngeal cancer patients who get nutrition therapy could increased their food intakes, body weight, skeletal mass, handgrip strength, and hemoglobin level. The Karnofsky Performance Score of all patients was unchanged.
Conclusions: Nutritional therapy may improve nutritional status, laboratory parameters and body composition in laryngeal cancer patientsKey Word larynx cancer radiotherapy nutritional therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library