Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erwin Suryadi Setiawan
"Kepailitan telah dikenal di Indonpsia sejak jaman kolonial Belanda, yang diatur dalaln Faillissements verordening stb 1905 217 jo stb 1906 348. dalam perkembangannya peraturan mengenai kepailitan ini terus berkembang dan terakhir diperbarui dengan Undang-undang No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan (UUK). Sebagaimana ketentuan dalam hukum perdata, bahwa prinsip dari kepailitan adalah sitaan umum atas harta si debitur pailit, baik benda bergerak ataupun tidak bergerak untuk dijadikan jaminan hutang bagi seluruh %reditur dengan mempertimbangkan asas berimbang menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur. Sitaan umum tersebut dilakukan oleh Kurator melalui penetapan keputusan pailit. Menjadi persoalan adalah ketika dalam pelaksanaan sitaan umum tersebut terdapat hak merek yang merupakan salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual yang merupakan suatu konsep hak kebendaan (dapat dimiliki) dan termasuk kategori benda bergerak tidak berwujud / intangible moveable goods. Terlebih nilai ekonomis atas hak merek tersebut cenderung lebih ditentukan oleh faktor subyektivitas yang nilainya sulit di prediksikan oleh orang awam bahkan Kurator sekalipun. Oleh karena sifat subyektifnya inilah yang dalam beberapa kasus, menyebabkan Kurator tidak memasukkan hak merek ini kedalam budel pailit. Yang menarik dikaji dasar apakah yang memungkinkan hak merek ini dapat dimasukkan menjadi budel pailit sedangkan dalam pasal 20 UUK secara tegas mengecualikan hak cipta dalam budel pailit? Terkait dengan nilai subyektif tersebut, bagaimana perhitungan nilai ekonomis dan proses pencairan budel pailit dalam lingkup pembagian budel pailit kepada masing¬masing kreditumya berikut peralihan hak merek tersebut dan tanggung jawab kurator atas kelalaiannya bilamana tidak memasukkan hak merek tersebut sebagal budel pailit? Disamping itu akan dikaji pula akibat hukum dari suatu putusan pailit terhadap peijanjian lisensi yang telah diberikan oleh pemegang merek kepada penerima lisensi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T19172
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parlindungan, Andi
"Dalam praktek pergaulan internasional, HKI telah menjadi salah satu isu panting yang selalu diperhatikan oleh kalangan negara - negara maju di dalam melakukan hubungan perdagangan dan atau hubungan ekonomi lainnya, khusus dalam kaitannya dengan Amerika Serikat misalnya, hingga scat ini status Indonesia masih tetap sebagai negara dengan status 'Priority Watch List' (PWL)' sehingga memperlemah negosiasi, globalisasi yang sangat identik dengan free market, free competition dan transparansi memberikan dampak yang cukup besar terhadap perlindungan HKI di Indonesia dimana situasi ini memberikan tantangan kepada Indonesia karena diharuskan untuk dapat memberikan perlindungan yang memadai atas HKI sehingga menciptakan persaingan yang sehat yang tentu saja dapat memberikan kepercayaan kepada investor untuk berinvestasi di Indonesia karena dengan meningkatnya kegiatan investasi yang sedikit banyak melibatkan proses transfer teknologi yang dilindungi HKI-nya supaya dapat terlaksana dengan baik, apabila terdapat perlindungan yang memadai atas HKI itu sendiri di Indonesia.
Mengingat hal-hal tersebut diatas maka tanpa usaha sosialisasi di berbagai lapisan masyarakat kesadaran akan keberhargaan HKI tidak akan tercipta. Sosialisasi HKI hams dilakukan pads semua kalangan terkait seperti aparat penegak hukum, pelajar, masyarakat pemakai, para pencipta dan yang tak kalah pentingnya adalah kalangan pars karena dengan kekuatan tinta kalangan jumalis upaya kesadaran akan pentingnya HKI akan relatif lebih mudah terwujud karena selama ini berbagai usaha untuk mensosialisasikan tersebut tampaknya belum cukup berhasil.
Salah satu komponen HKI yang sangat diperlukan perlindungan adalah merek karena mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi sehingga bila terjadi penyalahgunaan maupun pemalsuan terhadap merek suatu produk yang sudah terdaftar akan menyebabkan kerugian secara ekonomi bagi pemilik merek tersebut.
Hak atas merek merupakan hak yang konstitutif dimana siapa yang mereknya terdapat dalam Daftar Umum Kantor Merek dialah yang berhak terhadap merek tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 UU No 15 tahun 2001 tentang merek yang menyatakan bahwa : "Hak atas merek adalah hak khusus atau ekslusif yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang secara beramai-ramai atau badan hukum untuk menggunakannya."
Merk mempunyai suatu ciri khas yang menjadi daya pembeda dari produk atau jasa yang dihasilkan oleh suatu produsen tertentu dengan produk atau jasa yang lainnya sehingga konsumen atau masyarakat dapat mengingat serta menggunakannya selain itu dapat juga menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa basil usahanya waktu diperdagangkan dan digunakan oleh konsumen Namun diantara para pengusaha yang mempunyai jenis usaha yang sama banyak sekali terjadi persaingan yang dilakukan baik secara sehat maupun secara tidak sehat dimana salah satu bentuknya dengan menjual barang atau produk mereka dengan meniru merek dari produk yang telah didaflarkan dan dipasarkan serta mempunyai daya jual besar dan telah banyak digunakan oleh konsumen.
Karena pads dasarnya setiap orang adalah konsumen3 dimana manusia sebagai konsumen tidak dapat dilepaskan dari kemajuan teknologi4 dan sepanjang sejarah manusia, manusia selalu menciptakan teknologi untuk keperluan hidupnya dan teknologi yang diciptakan manusia berkembang seiring dengan kebutuhan manusia untuk memudahkan hidup manusia dari yang sebelumnya5 sehingga menyebabkan produsen saling berlomba dan bersaing untuk menyediakan kebutuhan - kebutuhan tersebut.
Dengan adanya persaingan yang dilakukan oleh para pengusaha yang dilakukan dengan berbagai macam cara dimana salah satunya dengan melakukan peniruan terhadap merek Dari suatu produk terdapatlah pelanggaran terhadap merek sehingga peneliti tertarik mewujudkan permasalahan tersebut dalam judul: "Aspek Hukum Perlindungan Merek Terdaftar Menurut Undang-Undang No 15 Tahun 2001 Tentang Merek: Studi Kasus Merek Extra Joss"."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T18904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, Indra Jaya
"Maraknya permasalahan hukum dalam perdagangan khususnya tentang pelanggaran merek, mendorong Pemerinlah untuk melakukan pengaturan merek dalam hubungannya dengan penegakan hukum di Indonesia. Salah satu upaya Pemerinlah tersebut dituangkan dalam Undang-Undang RI Nomor.15 tahun 2001 tentang Merek. Undang - Undang RI Nomor.15 tahun 2001 tentang Merek, ini diperlukan sebagai pengaturan yang memadai tentang merek guna memberikan perlindungan bagi pemegang merek dagang maupun merek jasa.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ; kriteria apakah yang dipakai untuk menentukan terjadinya penggunaan merek tanpa hak/pemalsuan merek, bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh Dit.Jen Hak Kekayaan Intektual Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Merek terhadap merek terkenal, bagaimana proses pembuktian terjadinya penggunaan merek tanpa hak di Indonesia.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, dan pendekatan deskTiptif kualitatif. Pendekatan yuridif normati dipergunakan dalam usaha menganalisis data dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat.dalam Persetujuan TRIPs, Konvensi Paris khususnya yang berkaitan dengan merek atau trademark dan Peraturan Undang-undang tentang Merek yang berlaku di Indonesia yang dimulai sejak lahimya Undang-Undang RI Nomor.21 tahun 1961 sampai dengan Undang-Undang RI Nomor.I5 tahun 2001, dokumen lainnya seperti buku, majalah, jurnal dan basil penelitian lain dengan pembaca dan mengkaji literature yang relevan dengan materi penelitian.
Penelitian kualitatif yaitu melakukan penelitian langsung ke obyek yang dapat memberikan informasi dan data, dengan mewawancarai respon dart masyarakat yang meliputi unsur Penyidik POLRI; Penitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan HAM RI, dalam hal ini Direktorat Merek.
Berdasarkan pembahasan dapat diperoleh basil sebagai berikut:
1. Kriteria terjadinya penggunaan merek tanpa hal/pemalsuan karena adanya unsur
a. Dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak Iain untuk barang dan/jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan.
b. Dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang danlatau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan.
2. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal dilakukan dengan penerapan Undang-Undang RI Nomor.i5 Tahun 2001 tentang Merek yang menyalakan bahwa merek tidak dapat terdaftar pada Direktorat Merek apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur :
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum.
b. Tidak memiliki daya pembeda
c. Teiah menjadi milik umum
d. Merupakan kelerangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
3. Proses pembuktian terjadinya penggunaan merek tanpa hak didasarkan pada ketentuan Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dalam hal ini Pasal 90, dan 91, yakni Pasal 90 mengatur tentang pelanggaran penggunaan merek tanpa hak pada keseluruhannya dan Pasal 91 mengatur tentang penggunaan merek tanpa hak pada pokoknya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T19188
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wienda Messabela
"Setiap individu tentu membutuhkan barang dan/atau jasa dalam kehidupan sehari-harinya. Keberadaan barang dan/atau jasa tersebut tentunya tidak terlepas dari aspek merek. Sebagai salah satu bidang dalam Hak Kekayaan Intelektual, merek, khususnya merek terkenal yang lebih ditekankan disini memiliki suatu nilai tersendiri yang bersifat komersil. Merek terkenal umumnya lebih diprioritaskan seseorang dalam menentukan pilihan, dan dengan sendirinya, menjadikan pemilik dari merek terkenal pada umumnya mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pemilik merek biasa.
Dengan tingginya nilai yang terkandung dalam merek terkenal, maka menimbulkan minat dari pihak lain untuk turut dapat menikmati keuntungan merek terkenal tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cara yang dimaksud adalah dengan pemberian lisensi. Dinyatakan baik dalam ketentuan internasional melalui Paris Convention dan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) dan peraturan perundang-undangan nasional melalui Undang-undang Horror 15 tahun 2001 bahwa pemilik merek berhak dan dapat memberikan izin bagi pihak ketiga untuk dapat turut serta menggunakan nama merek yang dimilikinya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Apabila kita berbicara mengenai lisensi, tentunya berbicara mengenai sejumlah hak dan kewajiban baik bagi pemberi lisensi maupun penerima lisensi. Hal ini dikarenakan pada intinya setiap perjanjian menerbitkan prestasi dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, serta salah satu pihak lainnya yang berhak akan prestasi tersebut. Mengingat begitu kompleksnya permasalahan hukum yang ada dalam lisensi, serta kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual maka umumnya pemilik merek mengkaji kualitas dari penerima lisensi terlebih dahulu sebelum memberikan lisensinya. Di sisi lain, penerima lisensi juga mengadakan pengkajian terlebih dahulu terhadap merek terkenal yang dimiliki pemberi lisensi. Hal inilah yang menyebabkan perjanjian lisensi dalam bidang merek umumnya terjadi terhadap merek terkenal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19886
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abe Gabrial Nappoe
"Perjanjian lisensi antara Adidas dan PT BWI berisikan ketentuan bahwa Adidas memberikan ijin bagi PT BWI untuk memproduksi produk tas, tekstil, sepatu dan bola dengan menggunakan merek dagang, paten dan know how kepunyaan Adidas di dalam wilayah Indonesia, dengan imbalan PT BWI harus membayar royalti. Ditinjau dari huk um perjanjian Indonesia perjanjian lisensi dimungkinkan keberadaannya oleh asas kebebasan berkontrak, seperti yang terdapat dalam pasal 1338 KUHPer. Para pihak dalam perjanjian lisensi tersebut menyatakan kehendaknya masing-masing dalam klausula-klausula yang terdapat didalamnya, dimana juga terdapat didalamnya prestasi-prestasi masing-masing pihak yang mesti dilakukan oleh mereka. Oleh sebab itu perjanji an lisensi tersebut dapat dikategorikan sebagai perjanjian timbal balik. Hukum yang berlaku atas perjanjian lisensi antara Adidas dan PT BWI ini adalah Hukum Republik Federasi Jerman , yang ditentukan berdasarkan pilihan hukum yang dilakukan para pihak. Sedangkan cara penyelesaian sengketa yang dipilih para pihak adalah penyelesaian secara damai dan penyelesaian melalui peradilan.
(ABE G. NAPPOE)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S20336
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Hayati
"Sub-lisensi adalah suatu hak bagi pihak licensee untuk memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga. Namun demikian hak ini baru melekat pada diri lisensee apabila secara tegas diatur dalam perjanjian lisensi antara licensor dan licensee. Jika tidak ditentukan dalam perjanjian, berarti licensee tidak berhak untuk melisensikan lebih lanjut. Lahirnya hubungan hukum sublisensi, hanya melalui perjanjian. Harus berdasar kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan demikian per janjian sublisensi ini bersifat konsesual yang merupakan syarat mutlak bagi lahirnya perjanjian dalam hukum perjanjian. Hingga saat ini belum ada peraturan pelaksana terhadap perjanjian lisensi. Pada umumnya baik perjanjian lisensi maupun perjanjian sublisensi merupakan perjanjian yang baku atau standard, sehingga tidak ada keseimbangan tawar menawar di antara para pihak. Perjanjian yang dibuat hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja yaitu pihak yang membuat perjanjian baku atau standard tersebut tanpa mencantumkan atau kurang mencantumkan apa yang menjadi kewajiban-kewajiban pihaknya dan sebaliknya hanya atau terutama menyebutkan kewajiban-kewajiban pihak lainnya sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu tidak disebutkan. Dengan demikian sangat diharapkan adanya pengaturan terhadap perjanjian baku atau standard ini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S20923
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaslyn Annisa
"Skripsi ini membahas tentang perlindungan yang diberikan kepada pemegang merek terkenal tidak terdaftar dengan berlakunya Pasal 83 dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, serta untuk menentukan apakah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Merek Indonesia tersebut mengakomodir perlindungan melalui gugatan passing off dengan membandingkan pada ketentuan gugatan passing off di Inggris dan Republik Rakyat Cina. Penelitian hukum ini ialah penelitian normatif yuridis, dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan menghasilkan suatu bentuk penelitian deskriptif. Hasil penelitian hukum dengan membandingkan ketentuan gugatan passing off di Inggris dan Republik Rakyat Cina ialah berlakunya Pasal 83 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tidak mengakomodir gugatan passing off dalam perlindungan merek di Indonesia. Sehingga, penulis menyarankan untuk mempertimbangkan perubahan pada ketentuan Undang-Undang Merek Indonesia agar dapat memberikan perlindungan terhadap merek terkenal tidak terdaftar.

This undergraduate thesis discussed about the measure of protection provided for the unregistered well known trademark holder by the recent enactment of Indonesia Trademark Law, in which contained in Article 83 of Law No. 20 Year 2016 concerning Trademark and Geographical Indication, and whether the provision provided within the law serve similar measure of protection that catered by passing off lawsuit, using comparison with passing off in United Kingdom and People rsquo s Republic of China. This legal research is juridical normative legal research, conducted by qualitative approach and resulted in a form of descriptive research. The result of this legal research is that by comparing with passing off lawsuit in the United Kingdom and People rsquo s Republic of China, the enactment of Article 83 does not accommodate passing off lawsuit within Indonesia trademark protection. Hence, the author suggests taking into consideration to revised the provision in Indonesia Trademark Law to provide extended protection towards unregistered well known trademark
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kris Henry Yohanes
"Impor paralel merupakan fenomena yang muncul karena perkembangan pasar yang saat ini dialami oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Produk impor paralel sendiri merupakan produk asli dan secara teoritis bukan merupakan pelanggaran merek, sesuai dengan prinsip exhaustion dalam hukum merek. Namun, pada praktiknya impor paralel dapat merugikan berbagai pihak. Salah satu pihak yang dinilai merasakan dampak terbesar dari impor paralel adalah pemegang lisensi merek. Sayangnya, hukum Indonesia tidak secara jelas dan eksplisit mengatur mengenai legalitas dan penanganan impor paralel, sehingga pemegang lisensi merek pun dapat merasa kesulitan untuk memulihkan kerugian yang timbul dari praktik tesebut. Oleh karena itu, skripsi ini bertujuan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait upaya yang tersedia bagi pemegang lisensi merek untuk menangani dampak yang timbul dari praktik impor paralel, serta membandingkannya dengan hukum yang berlaku di negara lain, yaitu Amerika Serikat dan Singapura. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru serta memberikan masukan kepada pembuat peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk memperjelas posisi hukum Indonesia dalam menanggapi dan menyelesaikan sengketa impor paralel yang terjadi di Indonesia.

Parallel Importation is a phenomenon that rises as a consequence of globalization and market development that affect various countries across the globe, including Indonesia. The imported goods themselves are genuine goods, so theoretically, parallel importation is not classified as a trademark infringement, according to the exhaustion principle. Yet, in practice, parallel importation can cause a damage to various parties. One of the parties that potentially suffers the biggest loss is trademark licensee. Unfortunately, Indonesian law does not explicitly regulate the legality nor a mechanism to handle parallel importation, so a party that affected by the damage may find it difficult to recover from their loss. Therefore, this thesis will try to analyze the Indonesian trademark law to find an available procedure for trademark licensees to handle parallel importation, and will also compare such procedure with regulations in the United States of America and Singapore. The research method in writing this thesis is a juridical-normative method, using library materials that include primary, secondary, and tertiary legal materials. Hopefully, this thesis can give new insights to the readers, while also suggests the Indonesian lawmakers to clear up the position of Indonesian law on handling and resolving the parallel importation issues in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiguna Purnama
"Di dalam dunia usaha, merupakan suatu hal yang wajar jika semua pengusaha saling berkompetisi untuk menjual produk-produknya yang berupa barang dan/atau jasa. Pada produk-produk mereka yang dijual di pasaran itu, mereka menggunakan merek dagang sebagai alat untuk mengidentifikasi produk mereka dan membedakannya dengan produk yang dihasilkan oleh pengusaha-pengusaha lainnya. Namun merek dagang yang memiliki fungsi untuk mengidentifikasi dan membedakan suatu produk itu, sering menjadi sasaran penyalahgunaan oleh pihak lain secara melawan hukum. Bahkan merek dagang milik pengusaha lain sering ditiru atau digunakan oleh pihak atau pengusaha yang sebenarnya bukan pemilik yang sah atas merek dagang tersebut, kemudian didaftarkan ke Kantor Merek sebagai usaha mengklaimnya. Untuk melindungi merek-merek yang dimiliki dan digunakan oleh para pengusaha, serta untuk menghindari pelanggaran hukum seperti itu, pemerintah Indonesia membentuk suatu ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang mengatur sahnya pendaftaran suatu merek dagang, yaitu kewajiban beritikad baik dalam mendaftarkan suatu merek dagang. Penelitian ini akan meninjau asas pendaftaran dengan itikad baik dalam merek di Indonesia, kemudian membandingkannya dengan di Inggris yang sama-sama mengacu kepada ketentuan-ketentuan Internasional yang berhubungan dengan Hak Kekayaan Intelektual, khususnya merek dagang.

In the business world, it is a natural thing that all entrepreneurs compete to sell their products in the form of goods and/or services. On their products sold in the market, they use trademarks as a tool to identify and to distinguish their products with other products produced by other entrepreneurs. However, a trademark which has a function to identify and to distinguish a product, often became a target for abuse by other party or entrepreneur unlawfully. Even a trademark of another entrepreneur often imitated or used by the other party who is not the legal owner of such trademark, and then register it to the Trademark Office in an effort to claim it. In order to protect the trademarks that are owned and used by entrepreneurs, as well as to avoid violation of such laws, the Indonesian government established a provision in the Law No. 15 Year 2001 concerning on Marks which regulating the validity of the registration of trademark, namely the obligation of acting in good faith in registering a trademark. This study will review the principle of good faith in the registration of a trademark in Indonesia, and then compare it to the United Kingdom, which equally refer to the International provisions relating to the intellectual property, particularly a trademark."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53485
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Faradissa Testa
"Merek memiliki peran penting dalam jalannya kegiatan usaha terkhusus bagi produsen (pemilik usaha) dan konsumen. UU No. 20 Tahun 2016 memberikan ketentuan terkait kriteria merek yang tidak dapat diterima (Pasal 20) dan kriteria merek yang ditolak (Pasal 21). Dalam hal adanya suatu merek terdaftar yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21, maka pihak yang berkepentingan atau pemilik merek tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan pembatalan merek. Tahun 2021-2022 pemilik Merek Gudang Garam mengajukan gugatan pembatalan atas Merek Gudang Baru sebagaimana diputus dalam Putusan Pengadilan Niaga Nomor 4/Pdt.Sus-Hki/Merek/2021/PN Niaga Sby sebagaimana dikukuhkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 427 K/Pdt.Sus-Hki/2022. Pada putusan tersebut Majelis Hakim menjatuhkan salah satu amar putusan yang pada pokoknya memerintahkan Direktorat Merek untuk menolak seluruh pendaftaran merek-merek dengan basis kata Gudang Baru, Gudang Baru Origin, dan Gedung Baru yang mempunyai persamaan pada pokoknya dan/atau secara keseluruhan dengan Merek-Merek Terkenal Gudang Garam, dengan ketentuan apabila Direktorat Merek tetap mengabulkan permohonan merek tersebut maka pendaftaran merek dengan sendirinya batal demi hukum. Hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam menyelesaikan dan menjatuhkan putusan a quo tidak sesuai dengan ketentuan, prosedur dan pengaturan terkait pembatalan merek sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Pasal 92 UU No. 20 Tahun 2016, serta pengaturan penolakan pendaftaran merek khususnya Pasal 19 ayat (3) Permenkumham No. 67 Tahun 2016. Seharusnya suatu putusan khususnya putusan perdata tidak memberikan dampak terhadap pihak dan objek perkara diluar sengketa. Bunyi putusan seperti ini merupakan bunyi putusan yang baru dalam putusan sengketa pembatalan merek yangmana juga menimbulkan dampak hukum terhadap permohonan pendaftaran merek yang melibatkan beberapa aspek yakni terhadap Direktorat Merek, terhadap pihak ketiga, dan terhadap konsep pembatalan itu sendiri.

Trademark plays an important role in business activities, especially for producers (business owners) and consumers. Law No. 20 of 2016 regulates criteria for unacceptable trademark (Article 20) and the criteria for to be rejected trademark (Article 21). In the case of a registered trademark does not comply with the provisions of Article 20 and Article 21, interested parties can file a lawsuit for the cancellation of the relevant trademark. In 2021 to 2022 the owner of Gudang Garam Trademark filed a lawsuit for the cancellation of the Gudang Baru Trademark, as decided in Commercial Court Decision No. 4/Pdt.Sus-Hki/Merek/2021/PN Niaga Sby, as confirmed by Supreme Court Decision No. 427 K/Pdt.Sus-Hki/2022. In this case, the panel of judges issued a ruling that ordered the Trademark Office to reject all trademark application that contains the words "Gudang Baru," "Gudang Baru Origin," and "Gedung Baru" that are substantively similar or identical to the well-known Gudang Garam trademark, and if the Trademark Office still grants the registration of such trademarks, the registration will be automatically considered null and void. The judge, in performing their duties and authority in resolving and issuing the aforesaid decission did not comply with the procedures, and regulations related to trademark cancellation as stipulated in the applicable legislation, particularly Article 92 of Law No. 20 of 2016, as well as the regulations concerning refusal of a trademark registration Article 19 paragraph (3) of Minister of Law and Human Rights Regulation No. 67 of 2016. A judge’s civil decision are not supposed to create impact on parties and matters out of the dispute. Such wording is a new and out of the usual of trademark cancellation disputes, which would have legal implications to trademark application that involves several aspects namely the Trademark Office, third parties, and the concept of cancellation itself."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>