Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annada Sofia
"Latar Belakang: Prevalensi kanker di Indonesia meningkat menjadi 1,8 per 1000 penduduk pada 2018. Diagnosis dini yang tepat dibutuhkan untuk mengurangi angka mortalitas. Salah satu cara diagnosis tumor berupa pemeriksaan penanda tumor, seperti vanillylmandelic acid (VMA). Penanda tumor tersebut termasuk metabolit katekolamin yang akan meningkat produksinya pada beberapa tumor neuroendokrin. Kadar katekolamin sendiri dapat dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Belum ada data proporsi VMA positif dalam urin pada pasien dugaan tumor neuroendokrin di Jakarta serta hubungan VMA dalam urin dengan usia dan jenis kelamin. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi VMA positif dalam urin pasien dugaan tumor neuroendokrin di Jakarta serta hubungannya dengan usia dan jenis kelamin. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional. Data sekunder dikumpulkan berupa lembar hasil serta formulir pemeriksaan VMA pasien dugaan tumor neuroendokrin pada periode 2010 hingga April 2019. Data didapatkan dari Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler, FKUI. Pengambilan data sekunder dilakukan pada Oktober 2019 dengan total subjek penelitian 295. Pemeriksaan kualitatif VMA dalam urin dilakukan dengan metode spot test. Hasil pemeriksaan positif menunjukkan kadar VMA dalam urin > 8 mg/24 jam, sedangkan hasil negatif menunjukkan kadar VMA dalam urin  8 mg/24 jam. Kriteria inklusi berupa data subjek dengan diagnosis sementara neuroblastoma, pheochromocytoma, dan paraganglioma. Hasil: Proporsi VMA positif dalam urin pasien dugaan tumor neuroendokrin dalam penelitian ini adalah 14,2% (IK95%, 10,2 – 18,2%). Analisis hubungan VMA dalam urin dengan usia memberikan hasil p 0,023. Analisis hubungan VMA dalam urin dengan jenis kelamin menunjukkan hasil p 0,885. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara VMA dalam urin dengan usia dan tidak terdapat hubungan antara VMA dalam urin dengan jenis kelamin.

Kata kunci: Vanillylmandelic Acid, Tumor Neuroendokrin, Neuroblastoma, Pheochromocytoma, Paraganglioma.


Background: Cancer prevalence in Indonesia increased to 1.8 per 1000 population in 2018. Early diagnosis is needed to reduce mortality rate. One of the ways to diagnose tumors is by examining tumor markers, such as vanillylmandelic acid (VMA). VMA is catecholamine metabolites which will increase their production in several neuroendocrine tumors. Catecholamine level can be influenced by age and gender. There is no data about proportion of positive VMA in urine of patients with suspected neuroendocrine tumors in Jakarta and the association of VMA in urine with age and gender. Objective: The objective of this study was to determine the proportion of positive VMA in urine of patients with suspected neuroendocrine tumors and its association with age and gender. Methods: This study used a cross-sectional study design. Secondary data were collected in the form of VMA examination forms and result sheets from patients with suspected neuroendocrine tumors in the period 2010 to April 2019. Data were obtained from the Department of Biochemimstry and Molecular Biology, FKUI. Collection of secondary data conducted in October 2019 with a total of 295 study subjects. Qualitative examination of urinary VMA used spot test method. Positive examination result  showed levels of VMA in urine >8mg/24 hours, while negative result showed levels of VMA in urine  8mg/24 hours. Inclusion criteria were subject data with a provisional diagnosis of neuroblastoma, pheochromocytoma, and paraganglioma. Results: The proportion of positive VMA in urine of suspected neuroendocrine tumor patients in this study was 14,2% (CI95%, 10,2 – 18,2%). Analysis of the association between VMA in urine and age result was p value 0,023. P value form analysis of the association between VMA in urine and gender was 0,885. Conclusion: There is an association between VMA in urine with age and there is no association between VMA in urine with gender.

Keywords: Vanillylmandelic Acid, Neuroendocrine Tumors, Neuroblastoma, Pheochromocytoma, Paraganglioma.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Familia Bella Rahadiati
"ABSTRAK Karsinoma ovarium adalah salah satu keganasan paling mematikan di bidang ginekologik. Penyebab keganasan belum diketahui pasti dan umumnya tidak memiliki gejala klinik yang jelas. Karsinoma ovarium tipe I khususnya karsinoma endometrioid dan karsinoma sel jernih diketahui dapat berasal dari endometriosis. Karsinoma yang berasal dari endometriosis dikenal sebagai endometriosis-associated ovarian carcinoma (EAOC). Pengembangan model hewan coba karsinoma ovarium yang berhubungan dengan endometriosis diperlukan untuk penelitian dasar dan uji klinik menggantikan jaringan manusia. Pada penelitian ini dikembangkan model hewan coba karsinoma ovarium dengan teknik autoimplantasi dan induksi DMBA. Penelitian ini mengunakan blok parafin dari tikus yang sebelumnya telah mendapatkan operasi plasebo (SHAM), autoimplantasi endometrium, kombinasi autoimplantasi endometrium dan induksi DMBA yang dikorbankan pada minggu ke-5,10, dan 20. Dilakukan penilaian histopatologik dan pulasan imunohistokimia ARID1A dengan penilaian persentase positivitas pada 200 sel. Penelitian ini menghasilkan lesi endometriosis atipik sebanyak 1 (20%) dan karsinoma sel jernih sebanyak 1 (20%) pada implantasi dan induksi DMBA 10 minggu dan karsinoma endometrioid sebanyak 100% pada kelompok induksi DMBA. Pulasan ARID1A tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,313) pada seluruh kelompok perlakuan.
ABSTRACT Ovarian carcinoma is one of the most deadly malignancies in the gynecologic field. The cause of malignancy is not known for sure and generally do not have clear clinical symptoms. Type I ovarian carcinoma especially endometrioid carcinoma and clear cell carcinoma is known to originate from endometriosis. Carcinoma originating from endometriosis is known as endometriosis-associated ovarian carcinoma (EAOC). The development of experimental animal models of ovarian carcinoma associated with endometriosis is needed for basic research and clinical trials replace human tissue. In this study an experimental model of ovarian carcinoma was developed with autoimplantation and DMBA induction techniques.This study used paraffin blocks from mice that had previously received placebo surgery (SHAM), endometrial autoimplantation, combination of endometrial autoimplantation and DMBA induction and were sacrificed at 5,10 and 20 weeks. Assessment of ARID1A expression by assessing the percentage of positivity in 200 cells.This study resulted in 1 (20%) atypical endometriosis lesions and 1 (20%) clear cell carcinoma in 10 weeks DMBA implantation and 100% endometrioid carcinoma in the DMBA induction group. ARID1A ekspression did not show a significant difference (p = 0.313) in all treatment groups.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meidianie Camelia Sutrisna
"Pendahuluan: Kejang pascaoperasi merupakan salah satu komplikasi pascakraniotomi tumor. Prevalensinya antara 4 - 20%, dan paling banyak muncul satu minggu pascaoperasi. Penambahan obat fenitoin pada pemberian obat levetiracetam untuk mengendalikan kejang pascaoperasi belum pernah ditelilti.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara kelompok yang mendapatkan levetiracetam dengan dan tanpa penambahan fenitoin dalam hal kejadian kejang pascaoperasi, efek samping, peningkatan dosis steroid, serta gambaran faktor risiko kejang pascaoperasi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan menggunakan metode uji klinis. Pasien dirandomisasi dan dikelompokkan menjadi kelompok yang mendapatkan levetiracetam saja dan levetiracetam dengan fenitoin. Diobervasi selama 7 hari pascaoperasi, apakah terdapat kejang, efek samping, dan peningkatan dosis steroid. Pada kelompok yang mendapatkan fenitoin, kadar fenitoin dalam darah diukur pada hari ke-7.
Hasil: Manfaat penambahan fenitoin pada pemberian levetiracetam masih belum bisa dinilai karena jumlah sampel masih sedikit. Efek samping lebih banyak ditemukan pada kelompok yang mendapatkan penambahan fenitoin.

Introduction: Postoperative seizure is one of complications of brain tumor surgery. Prevalence is 4-20% and mostly occurred in the first postoperative week. The beneficial of giving add on phenytoin to levetiracetam has never been studied before.
Aims: To determine the difference of postoperative seizure incidence, side effect, elevation of steroid dose, and risk factors profile in both groups, the levetiracetam group and levetiracetam with add on phenytoin group.
Methods: This is a pilot study with clinical trial design. Patients were randomized and allocated into two groups, levetiracetam group and levetiracetam with add on phenytoin group. Observation was done in 7 postoperative days. Any incidence of postoperative seizures, drug side effects, and elevation of steroid dose was noted. In group receiving phenyotin, the blood level of phenytoin was measured on the 7th day.
Result: The benefit of add on phenytoin to levetiracetam therapy for postoperative seizure in brain tumor patients could not be evaluated due to small sample size. More drug related side effects were found on group receiving phenytoin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sembiring, Muhamat Gozali Arif
"Pendahuluan dan tujuan: Peradangan yang berasal dari batu buli dapat dikaitkan dengan tumor buli. Meskipun infeksi saluran kemih dan batu buli sebelumnya dianggap sebagai faktor risiko terjadinya tumor buli, hingga saat ini hubungan antara batu buli dan tumor masih belum jelas. Sehingga studi ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor resiko apa saja yang mempengaruhi terjadinya tumor buli pada penderita batu buli.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan Study Crossectional Analitik untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian kanker buli pada pasien Batu Buli di RSUP H. Adam Malik Medan. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014 s/d 2018 dan pasien diambil secara total sampling berdasarkan data registrasi pasien batu buli yang dilakukan biopsi dasar batu pada periode trsebut. Jumlah pasien yang diperoleh sebanyak 32 pasien. Tes korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan perbaikan fungsi ginjal dengan faktor-faktor terukur. Dilakukan analisa multivariat dengan regersi linier untuk memperoleh faktor mana yang memiliki pengaruh paling besar terhadap pencetus terjadinya kanker. Data yang diperoleh diolah menggunakan SPSS 23.0 dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
Hasil: pasien berjenis kelamin laki-laki sebanyak 31 orang, atau 96,9% berbanding 1 pasien perempuan hanya 1 pasien (3,1%). Keseluruhan rata-rata usia pasien adalah 43,72 (±16,79) tahun. Karsinoma sel skuamosa 15 sampel (46,9%), sel radang 10 sampel (31,3%), dysplasia 3 sampel (9,4%), karsinoma sel transisional 2 sampel (6,3%), dan metaplasia skuamosa 2 sampel (6,3%). Rata-rata ukuran batu buli adalah 5,88 (±2,00) cm. Batu tunggal yang dijumpai pada 27 sampel (84,4%), sedangkan untuk batu multipel pada 5 sampel (15,6%). Infeksi saluran kemih dijumpai pada 12 sampel (37,5%). Lebih dari setengah sampel memiliki riwayat merokok, yaitu pada 20 pasien (62,5%). Tidak terdapat hubungan antara infeksi saluran kemih dengan tumor buli (p = 0,314), terdapat perbedaan yang signifikan (p = 0,001) antara pasien dengan riwayat merokok dengan kejadian kanker buli, tidak terdapat hubungan bermakna antara jumlah batu dengan kanker buli (p = 0,737). Pada kelompok dengan kanker buli, rerata dari ukuran batunya adalah 6,65 (±2,09) cm berbanding pada kelompok tanpa kanker buli dengan nilai rerata 5,00 (±1,51) cm.
Kesimpulan: Pasien dengan batu buli memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena tumor buli dan terdapat hubungan yang bermakna antara tumor buli dan riwayat merokok.

Introduction and purpose: Inflammation of bladder origin can be associated with bladder tumors. Although urinary tract infections and bladder stones were previously considered a risk factor for bladder tumors, the relationship between bladder stones and tumors is still unclear. So this study aims to analyze what risk factors influence the occurrence of bladder tumors in patients with bladder stones.
Methods: This research is an analytical study with an analytical cross-sectional study design to determine what factors influence the incidence of bladder cancer in patients with bladder stones at H. Adam Malik Hospital, Medan. The affordable population in this study were patients who were hospitalized at H. Adam Malik Hospital Medan from 2014 to 2018 and patients were taken by total sampling based on the registration data of bladder stone patients who underwent a stone base biopsy during that period. The number of patients obtained were 32 patients. Correlation test was used to determine the relationship between improvement in kidney function and measurable factors. Multivariate analysis was performed with linear regression to obtain which factors had the greatest influence on the originator of cancer. The data obtained were processed using SPSS 23.0 and presented in the form of tables and narratives.
Results: 31 male patients, or 96.9% compared to 1 female patient, only 1 patient (3.1%). The overall mean age of the patients was 43.72 (±16.79) years. Squamous cell carcinoma 15 samples (46.9%), inflammatory cell 10 samples (31.3%), dysplasia 3 samples (9.4%), transitional cell carcinoma 2 samples (6.3%), and squamous metaplasia 2 samples (6.3%). The average bladder size is 5.88 (±2.00) cm. Single stones were found in 27 samples (84.4%), while for multiple stones in 5 samples (15.6%). Urinary tract infection was found in 12 samples (37.5%). More than half of the sample had a history of smoking, namely in 20 patients (62.5%). There was no relationship between urinary tract infections and bladder tumors (p = 0.314), there was a significant difference (p = 0.001) between patients with a history of smoking and the incidence of bladder cancer, there was no significant relationship between the number of stones and bladder cancer (p = 0.737) . In the group with bladder cancer, the mean stone size was 6.65 (±2.09) cm compared to the group without bladder cancer with a mean value of 5.00 (±1.51) cm.
Conclusion: Patients with bladder stones have a greater risk of developing bladder tumors and there is a significant relationship between bladder tumors and smoking history
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Jarullah
"Neuroendocrine tumors (NETs) merupakan tumor yang berasal dari sel-sel neuroendokrin dan dapat diobati menggunakan Peptide-Receptor Radionuclide Therapy (PRRT). PRRT memiliki tujuan untuk memastikan aktivitas radiofarmaka yang tinggi pada sel tumor dan rendah pada organ at risk. Model Physiologically Based Pharmacokinetics (PBPK) sangat baik untuk analisis, simulasi, dan prediksi biodistribusi dari radiofarmaka yang diberikan. Penelitian ini menggunakan metode fitting Nonlinear Mixed Effect (NLME) pada parameter PBPK dari pasien PRRT. Pilihan starting value yang tepat membantu mengurangi risiko menemukan local minimum berdasarkan estimasi Objective Function (OF) sehingga diperoleh fitting yang baik. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh starting value terhadap tingkat akurasi Single Timepoint Dosimetry pada late timepoint menggunakan model PBPK dan metode NLME. Penelitian ini terbatas pada pasien terdiagnosis NETs dan meningioma menggunakan pengobatan PRRT. Proses pengukuran pre-terapi pada 8 pasien menggunakan radiofarmaka 111In- DOTATATE untuk mengetahui biokinetik pasien dengan aktivitas sekitar 140 ± 14 MBq (jumlah total peptida 75 ± 10 nmol) yang diinjeksi secara intravena. Parameter yang diestimasi terdiri dari densitas reseptor organ (Ri), release rate normal tissue (λNT,release), perfusi tumor (fTU), dan linear binding rate dari protein serum (KonAlb). Dua teknik dilakukan dalam penelitian ini yaitu, Full Timepoint Dosimetry (FTD) dan Single Timepoint Dosimetry (STD). FTD dilakukan menggunakan 5 timepoint yang berbeda, sedangkan untuk STD dilakukan pada 2 timepoint terakhir yaitu, timepoint 4 (T4) dan timepoint 5 (T5). Perubahan starting value hanya diberikan untuk parameter reseptor densitas ginjal (RK) dan perfusi tumor (ftu) pada STD yang divariasikan (STD(V,T)). Variasi starting value yang diberikan adalah 100 (V1), 10 (V2), 5 (V3), 2 (V4), 1/2 (V5), 1/5 (V6), 1/10 (V7), dan 1/100 (V8) kali dari nilai awal. Total fitting dilakukan sebanyak 145 kali dengan FTD berjumlah 1 kali, STD awal 16 kali. Time-Integrated Activity Coefficients (TIACs) yang diperoleh dari hasil simulasi FTD dan STD(0,T) akan ditinjau dengan Relative Deviation (RD). RD juga dilakukan untuk simulasi STD(V,T) terhadap STD(0,T). RD dikatakan baik apabila hasil yang diperoleh <10%. Rata-rata RD STD(0,T4) terhadap FTD memiliki nilai untuk organ ginjal (5±7)%, organ limfa (7±9)%, organ hati (-4±6)%, tumor (8±8)%, dan seluruh tubuh (11±13)%. Rata-rata RD STD(0,T5) terhadap FTD memiliki nilai untuk organ ginjal (-2±7)%, organ limfa (6±11)%, organ hati (-9±8)%, tumor (7±22)%, dan seluruh tubuh (3±8)%. Variasi V2, V3, V4, V5, dan V6 pada STD untuk T4 dan T5 memiliki RD <10%. Rentang variasi starting value untuk parameter densitas reseptor ginjal (RK) 5.57 x 105 nmol.L-1 - 2.79 x 107 nmol.L-1 dan untuk paramter perfusi tumor (ftu) adalah 8.67 x 10-3 mL.min-1.g-1 - 4.53 x 10-1 mL.min-1.g-1. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa STD yang divariasikan memiliki threshold 10 sd. 1/5 kali nilai awal.

Neuroendocrine tumors (NETs) are tumors derived from neuroendocrine cells and can be treated using Peptide-Receptor Radionuclide Therapy (PRRT). PRRT aims to ensure high radiopharmaceutical activity in tumor cells and low in organ at risk. The Physiologically Based Pharmacokinetics (PBPK) model is excellent for analysis, simulation, and prediction of the biodistribution of a given radiopharmaceutical. This study uses the Nonlinear Mixed Effect (NLME) fitting method on the PBPK parameters of the patient's PRRT. Choosing the right starting value helps reduce the risk of finding the minimum locale based on the estimated Objective Function (OF) so that a good fit is obtained. This study aims to analyze the effect of starting values on the accuracy of Single Timepoint Dosimetry at late time points using the PBPK model and the NLME method. This study was limited to patients diagnosed with NETs and meningiomas using PRRT treatment. The process of pre-therapy measurement in 8 patients using radiopharmaceutical 111In- DOTATATE to determine the biokinetics of patients with an activity of about 140 ± 14 MBq (total amount of peptide 75 ± 10 nmol) which was injected intravenously. The estimated parameters consisted of organ receptor density (Ri), normal tissue release rate (λNT,release), tumor perfusion (ftu), and linear binding rate of serum protein (KonAlb). Two techniques were used in this study, namely, Full Timepoint Dosimetry (FTD) and Single Timepoint Dosimetry (STD). FTD is performed using 5 different timepoints, while for STD it is carried out at the last 2 timepoints, namely, timepoint 4 (T4) and timepoint 5 (T5). Changes in the starting values were only given for the parameters of kidney density receptor (RK) and tumor perfusion (ftu) in the STD varied (STD(V,T)). The initial value variations given are 100 (V1), 10 (V2), 5 (V3), 2 (V4), 1/2 (V5), 1/5 (V6), 1/10 (V7), and 1/ 100 (V8) times the starting value. A total of 145 fittings were performed with FTD opened once, initial STD 16 times (STD(0,T)), and STD varied (STD(V,T)) 128 times. Time- Integrated Activity Coefficients (TIACs) obtained from FTD and STD(0,T) simulation results will be reviewed with Relative Deviation (RD). RD was also performed to simulate STD(V,T) against STD(0,T). RD is said to be good if the results obtained are <10%. The mean RD STD(0,T4) against FTD had values for kidney (5±7)%, lymph (7±9)%, liver (-4±6)%, tumor (8±8)% , and whole body (11±13)%. The mean RD STD(0,T5) against FTD had values for kidney (-2±7)%, lymph (6±11)%, liver (-9±8)%, tumors (7±22) %, and whole body (3±8)%. Variations V2, V3, V4, V5, and V6 on STD for T4 and T5 had RD <10%. The range of variation of the starting value for the kidney receptor density (RK) parameter is 5.57 x 105 nmol.L-1 - 2.79 x 107 nmol.L-1 and for the tumor perfusion parameter (ftu) is 8.67 x 10-3 mL.min-1. g-1 - 4.53 x 10-1 mL.min-1.g-1. The results of this study indicate that the STD which is varied has a threshold of 10 sd. 1/5 times the initial value."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyo Ismawati Sulistyorini
"Pasien dengan kasus tumor otak memerlukan perawatan yang komprehensif dan membutuhkan waktu yang lama untuk pasien dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya. Selama pasien menjalani masa perawatan di rumah sakit, asuhan keperawatan yang tepat diberikan kepada pasien adalah dengan model konsep teori adaptasi Roy. Asuhan dengan pendekatan model adaptasi ini menjadi pilihan yang sesuai untuk kasus-kasus perawatan jangka panjang sehingga pasien dapat menjalani kehidupan lanjutan pasca perawatan dengan baik, mengembalikan kemandirian, kepercayaan diri terutama konsep gambaran diri dan status peran di masyarakat. Perawat dengan pendidikan spesialis harus mampu menjalankan berbagai peran terutama sebagai Clinical Care Manager, dengan demikian peningkatan layanan keperawatan di rumah sakit dapat dicapai dengan lebih optimal dan memberikan kepuasan pelanggan. Laporan analisis praktek ini membahas mengenai asuhan keperawatan perioperative pada pasien dengan tumor otak, laporan praktik keperawatan berbasis fakta yaitu early mobilization dan resume pasien dengan gangguan neurologis di RS PON Jakarta,serta e handbook peran perawat perioperative dalam pembedahan spinal. Analisis praktik residensi ini dapat digunakan sebagai dasar perawat dalam latihan critical thinking, mengelola kasus sulit dan menerapkan asuhan keperawatan berbasis bukti.

Patients with cases of brain tumor require comprehensive care and require a long time for the patient to adapt of the changes that occur. As long as the patient is undergoing treatment in the hospital, the appropriate nursing care is using Roy's adaptation teori concept model. Adaptation model approach is an appropriate choice for cases of long-term care so that patients can live a good post- treatment follow-up life, restore independence, self-confidence, especially the concept of self-image and role status in society. Nurses with specialist education must be able to carry out various roles, especially as Clinical Care Managers, thus improving nursing services in hospitals can be achieved more optimally and provide customer satisfaction. This practice analysis report discusses perioperative nursing care for patients with brain tumor, a fact-based nursing practice report, namely and resumes of patients early mobilization with neurological disorders at National brain centre Hospital Jakarta. E handbook about perioperative nursing at spinal surgery. This residency practice analysis can be used as a basis for nurses in critical thinking exercises, managing difficult cases and implementing evidence-based nursing care. Keywords: Brain tumor, Roy's adaptation model, early mobilization, E handbook about perioperative nursing at spinal surgery."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anindhita
"Studi analitik kohort untuk membuktikan peningkatan sensitivitas PNI preoperatif ditambah hemoglobin akan lebih tinggi diibandingkan PNI preoperatif dalam memprediksi kesintasan 1 tahun kanker ovarium tipe epitel yang dilakukan pembedahan (complete surgical staging atau optimal debulking) dilanjutkan kemoterapi menggunakan Carboplatin dan Paclitaxel di RSCM, RSP, RSF dan RS Dharmais pada Januari 2017 sampai Desember 2018. Hasil penelitian adalah dari 32 sampel didapatkan 6 sampel mengalami rekurensi dalam 1 tahun pasca pembedahan dan kemoterapi. Secara karakteristik didapatkan kanker ovarium terbanyak terjadi pada usia > 50 tahun (62,5 %), paritas 0 (46,87 %), dengan histopatologi tersering clear cell carcinoma (31,25 %), derajat diferensiasi terbanyak adalah derajat berat (56,25 %) dan stadium terbanyak adalah stadium I-II (56,25 %). Sensitivitas PNI penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya dan penambahan hemoglobin penelitian ini tidak dapat digunakan untuk dapat meningkatkan sensitivitas. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara PNI preoperatif, Hb preoperatif, PNI + Hb preoperatif dengan kesintasan 1 tahun kanker ovarium tipe epitel. Kesimpulan adalah penambahan hemoglobin pada PNI preoperatif tidak dapat digunakan untuk menentukan sensitivitas dalam memprediksi kesintasan 1 tahun kanker ovarium tipe epitel. Tidak terdapat hubungan bermakna antara PNI preoperatif, Hb preoperatif, PNI + Hb preoperatif dengan kesintasan 1 tahun kanker ovarium tipe epitel.

An analytic cohort study to prove sensitivity of hemoglobin level added to PNI will be higher comparing to PNI only in predicting 1 year survival in epithelial ovarian cancer underwent surgery (complete surgical staging or optimal debulking) and chemotherapy (Carboplatin and Paclitaxel) at Cipto Mangunkusumo Hospital, Persahabatan Hospital, Fatmawati Hospital and Dharmais Cancer Hospital on January 2017 until December 2018. The result was from 32 samples, recurrences occurred in 6 samples within 1 year after surgery and chemotherapy. From characteristic finding we found epithelial ovarian cancer occurred mostly in age > 50 years old (62,5 %), parity 0 (46,87 %), histopathology clear cell carcinoma (31,25 %), poor differentiation (56,25 %) and I-II (56,25 %). Sensitivity of PNI is lower comparing to previous studies. Addition of hemoglobin level cannot be used to measure the sensitivity level. There was no statistical correlation between preoperative PNI, preoperative hemoglobin level, and PNI + Hb with the survival. The conclusion was addition of hemoglobin level to preoperatif PNI cannot be used to measure the sensitivity level in predicting epithelial ovarian cancer survival. There was no statistical correlation between preoperative PNI, preoperative hemoglobin level, and PNI + Hb with 1-year survival in epithelial ovarian cancer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Lidya Ningsih
"Latar Belakang: Enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT merupakan suatu DNA-repair enzyme yang dapat menghambat proses kematian sel tumor akibat proses alkilasi oleh zat alkilasi termasuk zat kemoterapi. Enzim ini berhubungan dengan mekanisme pertahanan tumor terhadap zat kemoterapi. Eskpresi dari enzim MGMT ini ditemukan tinggi pada pada berbagai tumor termasuk glioma. Metilasi promoter MGMT mengakibatkan gen dalam sel tumor berhenti menghasilkan MGMT. Adanya metilasi dari promoter MGMT dihubungkan dengan respon yang lebih baik terhadap zat alkilasi termasuk kemoterapi. Status metilasi dari promoter MGMT pada pasien glioma dapat digunakan untuk memperkirakan efektifitas kemoterapi dengan zat alkilasi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah dan karakteristik pasien glioma di Departemen Bedah Saraf RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode: Peneliti mengumpulkan data profil MGMT yang diperiksa menggunakan methylation-specific polymerase chain reaction pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah yang menjalani pembedahan di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam periode 1 tahun. Data berupa usia, jenis kelamin, Karnofsky Performance Scale KPS, and derajat serta jenis histopatologi tumor dikumpulkan.
Hasil: Dalam periode 1 tahun terdapat 17 pasien dengan hasil histopatologi glioma derajat tinggi dan derajat rendah yang masuk kriteria inklusi. Promoter MGMT termetilasi ditemukan pada 11 pasien 64,7 dan tidak termetilasi pada 6 pasien 35,3. Promoter MGMT termetilasi methylated MGMT lebih banyak didapatkan pada pasien berusia ge; 40 tahun dibandingkan pasien yang berusia < 40 tahun 85,7 vs 50 dan pada pasien laki-laki dibandingkan perempuan 77,7 vs 50. Sedangkan berdasarkan KPS, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada pasien dengan KPS > 70 dibandingkan dengan KPS le; 70 70 vs 57,1. Berdasarkan derajat keganasan, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak ditemukan pada glioma derajat rendah WHO grade II dibandingkan pada glioma derajat tinggi WHO grade III dan IV 85,7 vs 50. Pada glioma derajat tinggi, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada astrositoma/oligoastrositoma anaplastik WHO grade III dibandingkan glioblastoma WHO grade IV 66,6 vs 42,8. Pada glioma derajat rendah, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada oligoastrositoma dibandingkan astrositoma difus 100 vs 75.
Kesimpulan: Promoter MGMT termetilasi lebih sedikit ditemukan pada derajat tumor yang lebih tinggi WHO grade IV, KPS yang rendah, usia lebih muda saat diagnosis dan pasien wanita, meskipun perbedaannya belum dibuktikan signifikan secara statistik. Promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada tumor dengan komponen oligodendroglioma. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menentukan apakah metilasi promoter MGMT memiliki hubungan yang signifikan dengan faktor-faktor tersebut.

Background: O6 methylguanine DNA methyltransferase MGMT is a DNA repair enzyme that correlates with resistance mechanism of tumors to chemotherapy. MGMT inhibits the killing process of tumor cells by alkylating agents including chemotherapy MGMT expression has been noted higher in several tumors including glioma.. Methylation of MGMT promoter inhibits the cells to produce MGMT. Methylation status of the MGMT promoter in gliomas is useful to predict the effectiveness of chemotherapy with alkylating agents.
Objective: The purpose of this study was to evaluate profile of MGMT enzyme and characteristic of low grade and high grade glioma patients in Neurosurgery Department of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta.
Methods: We evaluated data of MGMT promoter methylation status from methylation specific polymerase chain reaction result in low grade and high glioma patients who underwent surgical resection in Department of Neurosurgery, Cipto Mangunkusomo Hospital Jakarta. Demographic characteristic and clinical data of glioma patiens including age, sex, Karnofsky Performance Scale KPS, and grading of tumor were collected.
Results: In one year period, there are 17 patients with pathological finding of low grade and high grade gliomas met criteria of inclusion. Methylated MGMT promoter was found in 11 patients 64.7 and unmethylated in 6 patients 35.3. MGMT promoter methylation was observed more often in patients diagnosed in age more than 40 years old than in patient less than 40 years old 85,7 vs 50, and men than women 77,7 vs 50. In patients with KPS more than 70 and KPS 70 or less, methylation of MGMT promoter was observed in 70 and 57,1, respectively. Base on tumors grading, MGMT promoter methylation was observed more often in low grade gliomas WHO grade II than high grade gliomas WHO grade II and IV 85,7 vs 50. In high grade glioma, methylation was observed more often in grade III tumors anaplastic astrocytomas oligoastrocytomas than grade IV tumors glioblastomas 66,6 vs 42,8. In low grade gliomas, methylation was observed more in oligoastrocytomas than difus astrocytomas 100 vs 75.
Conclusions. MGMT promoter methylation was observed less in higher grade of tumors grade IV, lower KPS, younger age at time of diagnosis and female patients, although the differences were not statistically significant. MGMT promoter methylation was observed more often in gliomas with oligodendroglioma component. Further and larger scale of research is needed to determine whether MGMT promoter methylation significantly correlates with these factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarrah Stiafani Afientari
"Tujuan: Mengetahui bahwa indeks morfometrik USG merupakan metode yang baik dalam mendiagnosis keganasan ovarium tipe epitelial.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji diagnostik yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan mengambil data retrospektif dari Januari 2016 hingga Desember 2017. Pasien poliklinik rawat jalan ginekologi dengan kecurigaan memiliki neoplasma ovarium kistik direkrut. Standar baku emas adalah temuan histologi dari massa adneksa yang dioperasi. Karakteristik gambaran pola morfometrik ultrasonografi meliputi bilateralitas, jumlah lokus, regularitas dinding dalam (inner wall), tonjolan papiler (papillary projection), bagian padat (solid part), asites, dan doppler blood flow.  Analisis ROC dilakukan untuk menentukan seberapa baik model ini digunakan sebagai metode diagnostik keganasan ovarium tipe epitelial. Analisis statistik dihitung, untuk mendapatkan nilai akurasi, sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 178 pasien, sebanyak 101 kasus (56.74%) adalah k asusjinak dan 77 kasus (43.25%) adalah kasus ganas. Pola karakteristik USG, papillary projection (p-value = 0.000), solid part (p-value = 0.000), inner wall (p-value = 0.000), asites (p-value = 0.000) dan Doppler blood flow (p-value = 0.000) subjek penelitian memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian keganasan ovarium. Pola morfologi papillary projection memiliki nilai sensitifitas yang paling tinggi (83%), kemudian adanya asites (82%), dan iregularitas dinding (81%). Untuk kategori spesifisitas, didapatkan adanya bagian padat (solid part) memiliki nilai spesifisitas yang paling tinggi (93%).Analisis regresi multinomial digunakan untuk menilai gabungan pola karateristik yang bermakna untuk diagnostik keganasan ovarium tipe epitelial dengan AUC 89.40% (95%CI 84.70%-94.00%), Model ini akurat  secara statistik (p <0,05).
Kesimpulan: Indeks morfometrik USG merupakan salah satu metode yang baik dalam memprediksi keganasan ovarium.

Objective: To know whether the ultrasound morphometric index is a good method to diagnose epithelial ovarian malignancy.
Materials and methods: This study is a diagnostic test conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. All data were taken retrospectively from January 2016 to December 2017. Gynecological outpatient polyclinic patients with suspicion of having cystic ovarian neoplasms were recruited. Characteristics of ultrasound morphometric patterns include bilaterality, number of loci, inner wall regularity, papillary projection, solid part, ascites, and doppler blood flow.
Results: The study involved 178 patients, 101 cases (56.74%) were malignant and 77 cases (43.25%) were malignant cases. The characteristics of ultrasound, papillary projection, solid part, inner wall, ascites and Doppler blood flow patterns of the study subjects had a significant relationship with the incidence of ovarian malignancy. Multinomial regression analysis was used to assess the combined characteristic patterns for the diagnostic epithelial type ovarian malignancy with AUC 89.40% (95% CI 84.70% -94.00%), this model was statistically accurate (p <0.05).
Conclusion: Morphometric index of ultrasound is a good methods in predicting epithelial ovarian malignancy 
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>