Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohamad Topan Raharjo
Abstrak :
Implementasi Perda Tibum DKI Jakarta No 8 Tahun 2007 menuai banyak sekali pro dan kontra. Hal yang menyebabkan banyak pihak yang menolak Perda tersebut, karena pada faktanya implementasi tersebut diwarnai dengan aksi kekerasan, serta diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kaum marginal. Penelitian ini ditujukan untuk menjelaskan dasar moralitas kebijakan Peraturan Daerah DKI Jakarta No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dalam Mengkriminalisasi Kaum Marginal. Untuk melihat dasar moralitas Perda Ketertiban Umum tersebut, peneliti menggunakan enam proposisi Quinney (1970) dalam upayanya menjelaskan realitas sosial kejahatan. Enam proposisi yang dikemukakan Quinney (1970) Rekomendasi yang merupakan bagian dari kesimpulan penelitian ini adalah Seharusnya aparat dalam menertibkan harus benar-benar mengacu pada amanat Perda Tibum itu sendiri. Harus dilakukannya sosialisasi yang baik dan tepat mengenai Perda Tibum DKI Jakarta No 8 Tahun 2007. Dalam melakukan penertiban atau implementasi Perda Ketertiban Umum harus dicari jalan dan solusi yang terbaik, yaitu dengan menggunakan cara-cara persuasif, kemudian segala dimensi sosial kemasyarakatan harus diperhatikan dan diperhitungkan dalam proses pengambilan kebijakan tata ruang kota.
The implementation of DKI Jakarta regional regulation of Public Order No. 8 of 2007 reaped a lot of pros and cons. It causes many people who reject the new law, despite the fact implementations are characterized by violence, discrimination and criminalization of marginal. This study aimed to clarify the basis of morality policy of Jakarta Regional Regulation No. 8 of 2007 on Public Order in criminalizing the Marginal. Initial understanding causes violent incidents are not only caused by factors that are situational, but there are latent factors and structural also affect the occurrence of the event. To see the basic morality of Public Order legislation, researchers used six propositions Quinney (1970) in an attempt to explain the social reality of crime.The recommendations are part of the conclusion of the study was supposed to curb officers should really refer to the regulations mandate of Public Order itself. Had to do a good and proper socialization regarding Public Order Jakarta regulation No. 8 of 2007. In the situation or the implementation of the Public Order legislation to be solved and the best solution, by using persuasive methods, then all social dimension must be considered and taken into account in policy-making processes of urban spatial structure.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45179
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusrina Hidayati
Abstrak :
Kejadian kekerasan paling tinggi yaitu kekerasan dalam rumah tangga, perempuan yang mempunyai sikap tidak setuju terhadap tindak kekerasan mampu melawan dan melaporkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami. Sikap pada istri terhadap kekerasan dipengaruhi oleh faktor individu, keluarga dan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan sikap istri terhadap tindak kekerasan suami dalam rumah tangga di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 dengan desain studi cross sectional. Jumlah sampel sebanyak 19.418 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 19.418 wanita usia 15-49 tahun di Indonesia terdapat 71,1% istri mempunyai sikap tidak setuju terhadap tindak kekerasan suami. Wanita yang mempunyai sikap tidak setuju dipengaruhi oleh faktor usia, pendidikan, daerah tempat tinggal, status ekonomi dan jumlah anak. Usia memiliki pengaruh yang besar dengan nilai OR 1,5 ibu dengan usia ≥35 memiliki sikap tidak setuju terhadap tindak kekerasan suami dari pada ibu yang memiliki usia 15-24 tahun. Masalah kekerasan dapat diselesaikan dengan upaya kampanye isu KDRT kepada masyarakat dilakukan secara intensif dengan pola pendekatan individu, keluarga, kelompok masyarakat dan sesuai budaya masyarakat setempat. ......The highest incidence of violence is domestic violence, women who have an attitude of disapproval of violence are able to fight and report acts of violence committed by their husbands. Attitudes towards wives towards violence are influenced by individual, family and community factors. This study aims to determine the factors related to the attitudes of wives towards violence against husbands in household in Indonesia. This study used secondary data from the 2017 Indonesian Health Demographic Survey (IDHS) with a cross sectional study design. The number of samples was 19,418 people. The results of this study indicate that out of 19,418 women aged 15-49 years in Indonesia, 71.1% of wives have a disagreement with husband's violence. Women who have a disagreement attitude are influenced by factors of age, education, area of residence, economic status and number of children. Education has a great influence with an OR value of 1.5 mothers with higher education have more disagreement with husband's violence than mothers who have low education. The problem of violence can be resolved by campaigning the issue of domestic violence to the community which is carried out intensively with a pattern of approaching individuals, families, community groups and according to the culture of the local community.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernstein, Richard J.
Cambridge, UK: Polity, 2013
303.6 BER v
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nadila Adani
Abstrak :
Sejumlah riset telah menemukan adanya peran dukungan sosial dalam memoderasi hubungan antara intimate partner violence (IPV) dan depresi. Namun limitasi yang secara konsisten ditemukan dari riset terdahulu adalah sampel penelitian yang cenderung berfokus hanya pada perempuan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara IPV dan depresi dengan peran dukungan sosial sebagai moderator tidak hanya pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Revised Conflict Tactics Scale (CTS-2), Center for Epidemiologic Studies Depression Scale Revised (CESD-R), dan Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). Partisipan penelitian merupakan 148 perempuan dan 48 laki-laki dalam tahap perkembangan emerging adulthood. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara setiap variabel. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dukungan sosial bukan merupakan moderator yang signifikan terhadap hubungan antara IPV dan depresi. Dalam penelitian ini, peneliti membahas kemungkinan alasan dan implikasi dari temuan tersebut. ......A number of studies have found the role of social support in moderating the relationship between intimate partner violence (IPV) and depression. However, the limitations that have been consistently found from previous research are samples that tend to focus only on women. This research was conducted to see the relationship between IPV and depression with the role of social support as a moderator not only in women, but also in men. The measurement instruments used in this study are the Revised Conflict Tactics Scale (CTS-2), the Center for Epidemiologic Studies Depression Scale Revised (CESD-R), and the Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). Research participants consist of 148 females and 48 males in the developmental stage of emerging adulthood. The results show that there are significant correlations between each variable. The results also show that social support is not a significant moderator of the relationship between IPV and depression. In this study, the researcher discusses the possible reasons for and implications of these findings.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ray, Larry
Los Angeles: Sage, 2018
303.6 RAY v
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jayusman
Abstrak :
Dalam sejarah DI/TII Jawa Tengah, masa kepemimpinan Amir Fatah (1949-1950) merupakan periode awal dari gerakan tersebut secara keseluruhan. Dalam periode tersebut, aktivitas gerakan baru terbatas pada daerah Tegal-Brebes. Peranan Amir Fatah dalam masa-masa awal gerakan DI/TII Jawa Tengah ini sangatlah menonjol. Namun demikian, sejauh ini belum ada studi yang membahas secara khusus dan mendalam mengenai hal tersebut. Oleh karena itu, sangatlah beralasan apabila studi ini dilakukan. Permasalahan yang akan dicari jawabannya lewat studi ini adalah: mengapa Gerakan DI/TII Amir Fatah muncul di daerah Tegal- Brebes, bagaimana pertumbuhan dan perkemhangannya selama di bawah kepemimpinan Amir Fatah, serta bagaimana Iangkah Pemerintah untuk menyelesaikan pemberontakan tersebut ? Gerakan DI/TII Amir Fatah dapat dikategorikan sebagai aksi kolektif yang sifatnya proaktif. Ini disebabkan karena gerakan tersebut memperjuangkan sesuatu yang belum dimiliki, yaitu diakuinya kedaulatan Negara Islam Indonesia (NII). Studi ini dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah yang berlaku dalam metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, serta penulisan. Data diperoleh dari sumber-sumber sejarah baik primer maupun sekunder. Sumber primer meliputi arsip, koran, dan majalah sejaman, serta hasil wawancara dengan para pelaku sejarah. Sedangkan sumber sekunder diperoleh dari sejumlah buku dan artikel. Gerakan DI/Tll Amir Fatah muncul setelah Agresi Militer Belanda II, yang ditandai dengan diproklamasikannya NII di desa Pengarasan, tanggal 28 April 1949. Gerakan ini didukung oleh Laskar Hisbullah dan Majelis Islam (MI), yang merupakan pendukung inti gerakan, serta massa rakyat yang mayoritas terdiri dari para petani pedesaan. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memberikan dukungannya kepada DI/TII karena alasan ideologi, yaitu memperjuangkan Ideologi Islam dengan mengakui eksistensi Negara Islam Indonesia (NII). Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwiryo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan MI yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus disebahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Dalam meiakukan aksi-aksi militernya, Amir Fatah berhasil memobiliasikan berbagai sumber daya dari para pendukungnya, baik normatif, utilities, maupun Koersif. Namun di samping itu juga terdapat hambatan yang harus dilaluinya, yaitu berupa tentangan yang datang dari kelompok gerilyawan Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI), dan Gerilya Republik Indonesia (GRI), serta dari "Orang-orang Kiri", terutama kaum Komunis. Dalam menyelesaikan pemberontakan Dl/TII tersebut, Pemerintah RI menempuh dua cara, yaitu operasi militer dan politik. Operasi militer dilakukan dengan membentuk Komando Gerakan Banteng Nasional (GBN). Untuk cara-cara politis, Pemerintah menawarkan amnesti kepada para pemberontak. Pelaksanaan kedua cara yang ditempuh oleh Pemerintah itu, ditambah dengan kekecewaan Amir Fatah terhadap intern organisasi DI/TII telah berhasil memaksa Amir Fatah untuk meninjau kembali perjuangannya selama itu, dan kemudian menyerah. Kekecewaan itu muncul karena dalam struktur organisasi Divisi IV Syarif Hidayat yang baru terbentuk, posisinya berada di bawah Satibi Mughny, yang dahulu merupakan anak buahnya. Dalam kesatuan tersebut Amir Fatah hanya menjabat sebagai Komandan Brigade, sedangkan Satibi Mughnya menduduki jabatan Kepala Staf Divisi. Dibawah kepemimpinan Amir Fatah, sampai dengan tahun akhir tahun 1950, Gerakan DI/TII mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan ia behasil mempengaruhi Angkatan Oemat Islam (AOI), dan Batalyon 426 untuk melakukan pemberontakan. Sedangkan pengaruhnya terhadap Batalyon 423 tidak sempat memunculkan pemberontakan kerena adanya tindakan pencegahan dan Panglima Divisi Diponegoro.
In the history of DI/TII of Central Java, the leadership of Amir Fatah (1949-1950) was the first period of the movement entirely. In this period, the activities of the movement was only in Tegal and Brebes. Amir fatah had a great part in Central Java in the first of DI/TII movement So far, there weren't any studies ,specifically and deeply, that discussed about it. Through this study, we want to know why Amir Fatah's DI/TII movement appeared in Tegal-Brebes, How it grew and developed under Amir Fatah leader ship, and How Government faced this movement. Amir Fatah's movement could be Categorized as a collective action that was pro-active, because it struggle from something that they hadn't had before, it was the recoaizing of the Indonesian Islamic Country (NII) sovereignty. This study based on the steps of the method of history : heuristic, critic, interpretation and also in writing. The Batas have been got from the primary and secondary history resources. And also from the interview results of the actor of the history. The secondary resources were from the books and articles. The movement appeared after the aggression of Dutch Military II when the NII was proclaimed in Pengarasan Village, April 28, 1949. It was also supported by the Hisbullah Army (Laskar Hisbullah) and Islamic Council(Majelis Islam), and the farmers in the village (a group of society). This group gave their support to DI/TII because of Islamic Ideology in order to proclaim Indonesian Islamic Country (Negara Islam Indonesia). Amir Fatah was the former of DI/TII of Central java. He supported the movement very much even before he was loyal to the Indonesian Republic (RI). It was caused by many reason : first, He had the same ideology with S.M. Kartosuwiryo and also both of them supported Islamic Ideology faithfully. Second, according to Amir and his friends that the Government apparatus of Indonesia and Also the army (TNI) that were in Tegal-Brebes had been influenced by "the leftist" and had disturbed the Moslem. Third, the influence of "the leftist" had made the RI government and the army (TNI) not respect to the struggle of Amir and his followers in Tegal-Brebes. Even the Islamic Council (Majelis Islam), that had been formed before Militer Aggression II, should be given to the TNI under Wongsoatmojo. Fourth, Major Wongsoatmojo give a command to arrest him. In his military actions, Amir had been success in mobilizing many recourses of his follower in normative, utilities, and coercive. But still there were some problems that they had to face it, that was from the Antareja Movement of Indonesian Republic (Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI) and Guerrilla of Indonesian Republic (Gerilya Republic Indonesia (GRI), also from "The leftist" especially the communist. The government of Indonesian Republic had two ways to face the revolt of DI/TII : Military and Political Operations . The military operation was done by the forming of the command of the National Banteng Movement (Gerakan Banteng National/GBN). Politically, the Government offered amnesty to the insurgents. The execution of the two ways by the government was in the same time that Amir had been very disappointed of the intern of DM because his friends insisted him to reconsider their struggle and then to give up. His disappointment also because his new position in the structure of division II organisation/Syarif Hidayat was under Satibi Mughny that used to be his crew member. In this unit Amir was only the Brigade Commander, but Satibi Mughny was the chief of Division Staff. DI/TII movement developed very quick under the Leadership of Amir Fatah until 1950. He also had influenced Moslem Forces (Angkatan Oemat Islam/AOI) and Battalion 426 to make a revolt. But he failed to influence Battalion 423 because of the preventive of Diponegoro Division Commander.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover