Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Juliati Adji
"ABSTRAK
Masalah kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu diperhatikan penanggulangannya, oleh karena dapat merupakan serta merupakan beban bagi penderita dan keluarganya, apalagi bila penderita adalah pencari nafkah. Prevalensi kebutaan di Indonesia berkisar 1,2 %. Penyebab kebutaan menurut survei morbiditas DepKes 1982, 0,76 % disebabkan oleh katarak.
Jumlah penderita katarak di Poliklinik Mata R.S.C.M. yang dikumpulkan penulis dari tahun 1987-1988, ada 670 penderita 8,9% dari seluruh penderita penyakit mata baru 60,7 % penderita adalah wanita. Jumlah penderita katarak pada usia angkatan kerja /produktif (20 - 60 tahun) laki-laki dan perempuan ada 41 % .Data ini diambil penulis dari data komputer Poliklinik Mata RSCM . Melihat data di atas, kiranya kita perlu memberikan perhatian terhadap penderita katarak, terlebih bila sipenderita adalah pencari nafkah dan termasuk golongan produktif.
Katarak ialah kelainan patologik pada lensa berupa kekeruhan lensa, yang dapat digolongkan ke dalam : katarak clever lopmental misalnya, katarak kongenital atau juvenil; katarak degeneratif misalnya katarak senil; katarak komplikata dan traumatika. Yang sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari adalah katarak senil. Menurut penelitian data. Framingham, 87,2 % kekeruhan lensa disebabkan oleh katarak senil. Katarak tersebut berhubungan dengan bertambahnya umur dan berkaitan dengan proses penuaan yang terjadi di dalam lensa. Secara klinis proses penuaan lensa sudah tampak pada dekade 4 yang dimanifestasikan dalam bentuk pengurangan kekuatan akomodasi lensa akibat mulai terjadinya sklerose lensa yang disebut sebagai presbiopia.
Pada umumnya katarak senil dapat digolongkan menurut lokasi kekeruhan di dalam lensa dan stadium perkembangannya. Klasifikasi menurut lokasi kekeruhan lensa : nuklear, kortikal dan subkapsular. Pada stadium yang dini bentuk bentuk tersebut dapat terlihat jelas, pada stadium lanjut terdapat campuran dari bentuk bentuk tersebut. Katarak nuklear dibagi menurut stadium dini dan lanjut. Stadium katarak subkapsular: dini, moderat dan lanjut. Stadium katarak kortikal : insipien ,imatur / intumesen, matur dan hipermatur.
Gejala dini pada katarak senil ialah penurunan tajam penglihatan, lentikular miopia, diplopia monokular dan adanya kesilauan (glare). Kesilauan ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari dan pekerjaannya, serta dirasakan sebagai penurunan tajam penglihatan yang menyolok, misalnya : bila penderita sedang mengendarai mobil, bekerja di lapangan pada waktu siang hari, melihat sinar lampu mobil dari arah berlawanan di malam hari. Keluhan ini sangat menonjol pada penderita katarak subkapsular posterior. Bila dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan penderita ini di kamar periksa umumnya baik misalnya 6/10, jadi tajam penglihatan yang dilakukan di kamar periksa tidak cukup menggambarkan tajam pengelihatan yang sesungguhnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David Rudy Wibowo
"Latar Belakang. Pemeriksaan penglihatan stereoskopis (3D) sering dilakukan pada penerimaan calon pekerja pada bidang tertentu, misalnya tentara, pilot, dokter bedah, operator crane, dan lain-lain. TNO Stereoscopic Vision Test (Kartu TNO) – instrumen pemeriksaan stereoskopis yang sering digunakan di Indonesia – masih memiliki kelemahan, misalnya waktu pemeriksaan yang cukup lama, sehingga perlu dicari alternatif pemeriksaan untuk skrining pekerja dalam jumlah besar. Di USA, Optec Vision Tester telah digunakan untuk menguji berbagai fungsi penglihatan, termasuk penglihatan stereoskopis. Namun di Indonesia sampai saat ini belum digunakan dan belum diketahui tingkat kesesuaiannya.
Tujuan. Mengetahui tingkat kesesuaian dan perbandingan durasi pemeriksaan antara Optec Vision Tester dengan pemeriksaan TNO Stereoscopic Vision Test.
Metode. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan analisis kesesuaian menggunakan pengujian Cohen’s Kappa. Semua subyek diperiksa dengan Kartu TNO dan Optec Vision Tester oleh dua pemeriksa yang berbeda. Hasil pemeriksaan (dalam detik busur) dan durasinya dicatat, dan diperoleh sampel sebanyak 341 subyek yang memenuhi syarat. Hasil pemeriksaan vision tester dan Kartu TNO dikatakan normal bila mencapai stereoakuitas 50 dan 60 detik busur, secara berturut-turut.
Hasil. Secara statistik, diperoleh nilai Kappa = 0,625, yang termasuk kategori “fair to good” menurut Fleiss. Median durasi pemeriksaan Kartu TNO dan vision tester secara berturut-turut adalah 96 dan 33 detik, dan berbeda bermakna secara statistik menurut Mann-Whitney U Test.
Kesimpulan. Optec Vision Tester mempunyai nilai kesesuaian tingkat sedang dan durasi pemeriksaan yang lebih singkat bila dibandingkan dengan Kartu TNO.

Background. Examination of stereoscopic vision (3D) is often performed at medical check up recruitment in certain fields, such as soldiers, pilots, surgeons, crane operators, and others. However, the TNO Stereoscopic Vision Test (TNO Test) – a widely used instrument for stereoscopic vision inspection in Indonesia – still have some weaknesses, one of them is long examination time. So, it is necessary to look for an alternative screening examination for workers in large numbers. In the USA, Optec Vision Tester has been used to test a variety of visual functions, including stereoscopic vision. But to date in Indonesia it has not been used, and the level of suitability is still unknown.
Objectives. To determine the level of suitability and the comparison of the duration between Optec Vision Tester and TNO Stereoscopic Vision Test.
Methods. The study design is cross sectional analysis of the suitability test using the Cohen’s Kappa calculation. All subjects examined by the TNO Test and Optec Vision Tester by two different examiners. Examination results (in arc seconds) and durations recorded, and obtained eligible samples of 341 subjects. Normal vision tester and TNO Test results determined when a subject could reach the stereoacuity 50 and 60 arc seconds respectively.
Results. Statistically, the Kappa value is 0,625, which is "fair to good" according to Fleiss. Median duration of TNO Test and vision tester examination respectively are 96 and 33 seconds, and statistically significant according to Mann-Whitney U Test.
Conclusion. Optec Vision Tester has a fair to good suitability level and shorter examination duration if compared to the TNO test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wechsler, Harry
Boston: Academic Press, 1990
006.3 WEC c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Cambridge, UK: Mass. MIT Press, 1989
006.37 SHA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yosephine Sri Sutanti
"Studi kasus terhadap kegiatan informal dilakukan di bengkel mobil "A", Jakarta. Desain ini dipilih karena memang sektor informal masih belum banyak diteliti. Data dikumpulkan dari pengamatan, anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang dan lingkungan. Hasil kajian didapatkan 2 kasus tenaga kerja , masa kerja 15 dan 11 tahun, dengan keluhan mata silau, yang mendapat pajanan kronik radiasi sinar ultra violet dan percikan logam (gram) berulang. Pengukuran pajanan radiasi yang diterima jaringan masih di bawah NAB, kelainan berupa sikatriks kornea (nebula) pada kedua pengelas dan pinguekula pada seorang pengelas.
Faktor yang mendukung terjadinya kelainan yaitu akibat kurangnya pengetahuan tentang bahaya pengelasan dan tidak adanya alat pelindung mata (goggles) selama pengelasan. Diagnosis penyakit akibat kerja pada studi ini sikatriks kornea berupa nebula akibat percikan logam berulang selama pengelasan.

Disorder of the Eye of Welding Labor, A Case Study at a Garage "A" in Jakarta, 1998.A case study on informal sector was conducted at a garage "A" in Jakarta. This design was selected because there has not much studies being conducted on informal sector. Data were collected from observation, anamnesis, physical and laboratory examination and environment condition. As a result, there were two workers with 15 and 11 years of working period who have eye complaints due to the chronically exposed of ultra violet radiation and repeatedly hit metal sparks. Measurement of radiation exposure to the tissue was still under the TLV. Disorder of the eyes were corneal cicatrices (nebula) in both workers and pingeucula in one of the workers.
Contributing factor to the disorder was due to the lack of knowledge about the dangerous of welding and no protection (goggles) during the welding activities. The occupational diseases diagnosed in this studio arc corneal cicatrices (nebula) due to repeatedly metal sparks during welding activities.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julfrida
"ABSTRAK
Dalam menjalankan misinya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat bawah, RSUD Pasar Rebo selalu berusaha meningkatkan pelayanannya.
Dengan fasilitas dan dana yang terbatas usaha ini perlu lebih baik difokuskan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah merumuskan RSUD Pasar Rebo tahun 2003. Visi organisasi biasanya dibuat oleh pemilik dan karyawan harus menjalani. Suatu hal yang menarik dalam perumusan visi di RSUD Pasar Rebo, karena dirumuskan secara bersama oleh karyawan.
Masalahnya bagaimana merumuskan visi suatu organisasi dengan melibatkan karyawan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui proses perumusan visi organisasi, siapa saja yang terlibat dan bagaimana tahapannya.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitaf dengan design studi kasus, karena hanya melakukan pengkajian terhadap proses yang telah berjalan. Analisa data dilakukan dengan menelaah data yang tersedia dari sumber data sekunder, pengamatan dan wawancara. Dilakukan reduksi data, kemudian menyusun dalam satuan-satuan dan dikatagorikan, lalu dilakukan pengolahan data. Data disajikan dengan cara tekstular dan tabulasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di RSUD Pasar Rebo pengambilan keputusan dilakukan dalam pertemuan-pertemuan tidak formal. Suatu kekuatan di rumah sakit ini adalah budaya kerja sama staf ( manajer , dokter , perawat dan staf lainnya) untuk mencapai tujuan. Beberapa proses perubahan telah terjadi antara tahun 1988 sampai tahun 1996, yang merubah pandangan terhadap rumah sakit ini dari rumah sakit yang tidak dikenal menjadi rumah sakit yang cukup dikenal di Jakarta dan Indonesia.
Setelah gedung baru 8 lantai selesai pembangunannya, rumah sakit memerlukan arah baru untuk menjalankan misinya. Untuk itu dalam suatu pertemuan informal yang biasa dilakukan, dibicarakan akan kemana rumah sakit ini enam tahun yang akan datang. Proses perumusan visi ini memakan waktu delapan kali pertemuan, yang diikuti sebagian besar karyawan ( dokter , perawat dan staf lainya) untuk merumuskan visi untuk tahun 2003.
Hasil perumusan ini adalah RSUD Pasar Rebo menjadi salah satu dari tiga rumah sakit yang terbaik di Indonesia dalam bidang IGD dan rawat jalan. Proses ini adalah proses berharga karena merupakan proses yang dihasilkan oleh karyawan secara bersama.

ABSTRACT
The Process of vision development at Pasar Reba General Hospital, Indonesia The mission of Pasar Rebo General Hospital is to provide health services for community, especially the middle class and the poor . The limited budget and facilities at the hospital force the hospital manager to focus its services for the most important and efficient ones .
One of the hospital effort to focus its services, is to develop their vision for hospital development for the next six years (1997-2003). Vision development usually is developed the owner or top manager of the organization.
The distinct characteristics of vision development at Pasar Rebo General Hospital is that the vision development process involving all doctors, nurses, managers and personnel at the hospital.
The study objective is to analyze the vision development at Pasar Rebo General , how the process is evolving and who are involved in that process .
Design of this study is a case study using qualitative research methodology. Data is collected using indepth interview and secondary data.
The study found that Pasar Rebo General Hospital has been used to make routine decisions using informal meeting. The strong internal culture of the hospital bind all the hospital staff ( manager, doctors, nurses, and other staff) to work together toward their common goal . Several hospital transformation process during the period of 1988 to 1996, has been transformed the hospital image from the bottom one into one of the famous government hospital in Jakarta and Indonesia .
After the completion of 8 stories hospital building , the hospital need a new direction to reach their mission objective . Therefore, the routine informal meeting was initiated to find out what will be the future of Pasar Rebo Hospital six years from now. This process comprised of eight meetings, and involving all the hospital personnels (doctors, nurses, and staff) to develop the hospital vision for 2003 . They decided that Pasar Rebo Hospital will be one of three best hospital in Ambulatory care and Emergency care in the year of 2003 . The study conclusion is that vision development is a rewarding process for organization if the process has been developed by all member of organization.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hendarsetoprabowo
"Latar Belakang. Penglihatan perifer sangat penting disamping ketajaman mata bagi seorang penerbang. Penelitian mengenai penglihatan perifer yang pemah dilakukan adalah pada ketinggian 10.000, 12.500, 15.000 serta 23.000 kaki, belum pernah dilakukan penelitian pada ketinggian 18.000 kaki, dimana pada ketinggian 18.000 kaki ini tekanan menjadi 112 atmosfir dan subyek penelitian dapat dimanipulir selama 30 menit dengan aman. Oleh sebab itu akan dilakukan penelitian pengaruh hipoksia terhadap penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dan untuk mengetahui beberapa faktor lain yang mempengaruhinya.
Metodologi. Penelitian eksperimental terhadap 100 calon penerbang berumur antara 17 - 23 tahun. Diukur berat badan, tinggi badan, tekanan darah, denyut nadi, hemoglobin, saturasi oksigen, kapasitas vital paru dan penglihatan perifer pada permukaan tanah dan dalam ruang udara bertekanan rendah pada ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi saturasi oksigen 64% - 72%, diukur denyut nadi, saturasi oksigen dan penglihatan perifer.
Hasil. Rerata penglihatan perifer pada permukaan tanah 84,5° dengan simpang baku 4,94° dan pada ketinggian 18.000 kaki reratanya 76,5° dengan simpang baku 5,23° dan terdapat perbedaan bermakna (t tes berpasangan p = 0,000). Penurunan penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki berkorelasi positif bermakna dengan penglihatan perifer pada permukaan tanah (r = 0,48; p = 0,000) serta berkorelasi negatif dengan tekanan darah diastolik(r = -0,20; p = 0,050). Suatu model yang pantas untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki terdiri dari variabel tekanan darah distolik pada permukaan tanah (B= -0.2359) dan variabel penglihatan perifer pada permukaan tanah (B= 0.5087).
Kesimpulan. Hipoksia menyebabkan penurunan penglihatan perifer. Untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dapat digunakan variabel penglihatan perifer dan tekanan darah diastolik pada permukaan tanah.

Background. Peripheral vision is important for a pilot. Up to present time, the study on peripheral vision were conducted at 10.000, 12.500, 15.000 and 23.000 feet level. There was no study at 18.000 feet level where the barometer pressure 112 atmosphere where subjects can be safely manipulated untill 30 minute. Therefore it is beneficially to conduct study on influence hypoxya at 18.000 feet on peripheral vision and its relationship with the other factor.
Methods. An experimental study using 100 candidate pilots, age 17 - 23 years. Height, weight, blood pressure, pulse rate, vital lung capasity, oxygen saturation, peripheral vision were meassured at a ground level and decompression chamber equal to 18.000 feet condition at 64% to 72 % oxygen saturation.
Results. Peripheral vision at ground level, the mean was 84.5° with standard deviation of 4.94° and at 18.000 feet level the mean was 76.5° with standard deviation of 5.23°, It showed a significant difference (paired t test p = 0.000). Our data revealed the decreasing peripheral vision were significantly positive correlated with peripheral vision at ground level (r = 0.48 ; p = 0.000). and negative correlated with diastolic blood pressure (r= - 0.20 ; p = 0.050). The most suitable model for peripheral vision at 18.000 feet consisted of diastolic pressure at ground level (B= -0.2359) and peripheral vision at ground level (B= 0.5087).
Conclusion. Hypoxia lowering peripheral vision. To predict peripheral vision at 18.000 feet, a varible of peripheral vision and diastolic blood pressure at ground level can be used.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T2578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Macnaughton, Jane
London : Elsevier , 2005
573.88 MAC e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
London: MIT Press, 1991
R 621.36 MOD
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyudi
"Pengembangan Sistem Informasi Perencanaan Obat berdasarkan Metoda Morbiditas dilatarbelakangi adanya masalah berkaitan dengan pengelolaan obat khususnya pada tahap perencanaan obat dimana obat direncanakan hanya berdasarkan pada konsumsi obat tahun sebelumnya dan belum berdasarkan pada pola penyakit yang ada sehingga ketersediaan obat belum optimal, disatu sisi terdapat obat yang ketersediaannya sangat terbatas dan disisi lain terdapat obat yang ketersediaannya berlebihan. Disamping itu keciinya anggaran obat perlu terns ditingkatkan melalui penyediaan data kebutuhan obat yang lebih lengkap dihitung berdasarkan Metoda Konsumsi dan Metoda Morbiditas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan membuat suatu sistem inforrnasi yang mampu mengolah data kasus penyakit dari LB1 menjadi informasi kebutuhan obat sehingga diharapkan bermanfaat untuk menentukan jenis, jumlah, dan biaya kebutuhan obat pada scat membuat perencanaan obat. Dan diharapkan dihasilkannya indikator penggunaan obat sehingga dapat dipantau ketaatan pelaksanaan pengobatan pada standar pengobatan yang ada.
Metodologi penelitian dilakukan dengan pendekatan pengembangan sistem, yaitu pendekatan System Development Life Cycle - SDLC meliputi tahap perencanaan sister, analisis sistem, perancangan sistem, uji coba dan koreksi, dan penggunaan sistem. Pengambilan data pada tahap perencanaan sistem dilakukan dengan teknik telaah dokumen dan wawancara guna memperoleh gambaran sistem yang lama dan melakukan identifikasi masalah, peluang dan kelayakan sistem secara operasional dan teknis. Pada tahap analisis sistem dilakukan analisa secara lebih mendalam sehingga diketahui bentuk informasi yang diperlukan, siapa pengguna informasi, waktu keluarnya informasi, dan kriteria sistem informasi yang diharapkan pengguna. Pada tahap perancangan sistem dilakukan perancangan secara terperinci pengenai basis data, masukan, keluaran, alur proses atau algoritma, program aplikasi dan pemilihan konvigurasi perangkat keras yang akan menjalankan sistem. Uji cobs dan koreksi prototipe dilakukan pada laboratorium komputer FKM UI, disamping itu juga dilakukan penilaian kelebihan dan kelemahan sistem. Sebagai hasilnya program aplikasi Sistem Informasi Perencanaan Obat berdasarkan Metoda Morbiditas ini diharapkan dapat dipergunakan di lingkungan Dinas Kesehatan Kota Pontianak.
Beberapa simpulan dari penelitian ini antara lain bahwa Pengembangan Sistem Informasi Perencanaan Obat berdasarkan Metoda Morbiditas dapat diterapkan dilingkungan Dinas Kesehatan Kota Pontianak dengan beberapa prakondisi yang memungkinkan sistem berjalan untuk memenuhi keseluruhan kebutuhan informasi yang diharapkan pengguna untuk perencanaan kebutuhan obat dan pemantauan penggunaan obat. Program aplikasi yang sederhana, mudah dalam penggunaan, tingkat pengarnanan data yang baik dan dapat dikembangkan sehingga pengiriman data dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan menjadi lebih mudah. Beberapa saran pada tahap lanjutan hendaknya juga dilakukan pengembangan sistem yang terkomputerisasi di Puslofar terhadap penerimaan, penyimpanan, pendistribusian dan pelaporan mutasi obat; adanya penyempumaan pada format form LB 1 dan penyempumaan standar pengobatan sehingga mencakup keseluruhan penyakit yang ada pada LB1.

The background of drug planning information system development base on morbidity method was the problem related to drug management particularly in drug planning step, where drug was planned merely based on drug consumption in a previous year and still not based on existing disease pattern, thus drug availability was still not optimal, in one side there was very limited drug availability and in the other side drug availability was excessive, Additionally, small drug budget need to be increased through more complete data provision of drug requirement calculated based on consumption method and morbidity method.
The aim of this study was to identify and build a information system that can process data of disease case of LB 1 to drug requirement information that expected useful to determine type, number and cost of drug requirement when performing drug planning. It is expected to produce drug utility indicator so that treatment implementation adherence on existing treatment standard can be monitored. The study was carried out by system development approach, System Development Life Cycle (SDLC) approach including system planning, system analysis, system design, system testing and revising, and system use steps.
In system planning step, document review and interview technique were employed to collect data in order to obtain the description of old system and to identify the problem, the chance and advisability of the system operationally and technically. In system analysis step, analysis is performed more deeply so that information form needed, information user, time of information out, and information system user criteria expected can be identified. In system design step, design is performed in detail on data, input, output, process flow or algorithm, applied program and hardware configuration selection to carry out the system. Prototype testing and correction were conducted in FKM UI computer laboratory, in addition, assessment of system benefit and limitation were performed. As a result, the application of program of drug planning information system base on morbidity method is expected can be used in Pontianak Health District.
Some conclusions from this study include drug planning information system development base on morbidity method can be used in Pontianak Health District with some preconditions allowing the system to be carried out to meet all information need that user expected to drug requirement planning and drug utilization monitoring. Simple and easy applicable program, high level of data safety to be developed so that data transferring from health centre to health district is much easier. Some advises for the next step that it is needed to perform computerized system development on drug receiving, maintenance, distribution and drug mutation reporting in Puslofar; it is expected the finishing on LB 1 format and treatment standard, thus cover all of disease LB 1.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T19099
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>