Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elisa Dwi Wardani
Abstrak :
Identitas bisa diproduksi melalui representasi yang merupakan sebuah sistem simbolik. Sementara itu, sebuah representasi memiliki karakteristik yang khas, yaitu menunjuk kepada sesuatu yang lain, yang bukan dirinya. Namun seringkali sebuah representasi justru beralih menjadi apa yang direpresentasikannya dan seolah-olah menjadi `realitas' yang baru. Melalui representasi tersebut, sebuah identitas baik yang lama ataupun baru bisa menjadi seolah-olah nyata, dan bukan sebuah rekaan. Desain-desain Dagadu berusaha memperkuat citra-citra tertentu yang positif mengenai kota Yogya, terutama sebagai kota wisata melalui visualisasi dan konotasi positif dengan memadukan berbagai ikon, gambar serta kata-kata. Konotasi-konotasi tersebut hadir sedemikian rupa sehingga nampak natural dan seolah-olah tak terbantahkan. Identitas kota Yogya antara lain sebagai kota wisata, kota pelajar, bahkan kota plesetan dikonstruksi melalui representasi yang diatur sedemikian rupa untuk menimbulkan makna seperti yang diinginkan Dagadu. Produk budaya populer seperti kaos Dagadu Djogdja berperan sebagai alat ideologis karena produk kaos tersebut bisa sdibaca sebagai sebuah konsep yang nyata dan diterima sebagai fakta secara bulat oleh mereka yang merasa menjadi bagian dari sistem makna yang dibangun oleh produsen kaos Dagadu tersebut. Di batik representasi mengenai kota Yogya yang diciptakan oleh Dagadu terdapat sebuah kepentingan demi berputarnya roda ekonomi dan budaya yang akan menghasilkan keuntungan bagi Dagadu. Dengan makin kokohnya citra positif mengenai kota Yogya yang nyaman dan istimewa sebagai kota wisata, identitas kota Yogya sebagai kota wisata akan semakin mantap. Seiring dengan makin menariknya citra kota Yogya sebagai kota wisata, diharapkan akan semakin banyak wisatawan yang datang mengunjungi Yogya. Dengan demikian, semakin besar pula peluang Dagadu untuk memasarkan kaosnya sebagai cinderamata. Dengan memakai pendekatan desain moderen dan populer, kaos-kaos Dagadu yang kebanyakan berupa plesetan clan bersifat menyindir atau menertawakan berbagai hal menjadi tidak menyakitkan bagi yang merasa tersindir, bahkan mungkin saja bisa tertawa bersama Dagadu. Hal tersebut pada akhirnya menguntungkan Dagadu karena dengan `diplomasi tawa' semacam itu `perdamaian' akan terjaga dan roda ekonomi dan budaya akan tetap berputar bagi Dagadu khususnya. Resistensi yang menjadi sifat dasar plesetan dan kaos oblong telah terkomodifikasi dalam kepentingan ideologi kapitalisme yang senantiasa mementingkan profit dan pasar. Dalam menjaga mottonya yang berbunyi `smart, smile and Djokdja' Dagadu memiliki batasan-batasan dalam meloloskan sebuah desain untuk naik cetak atau tidak. Batasan-batasan tersebut mengakibatkan munculnya kesan elit dalam desain kaos Dagadu yang menjadi bagian dari identitasnya. Maka, tindakan membeli kaos Dagadu bisa dibaca sebagai wujud politik identitas atau usaha untuk membedakan diri dari orang atau kelompok lain.
Identity can be produced through representation which is a symbolic system. A specific characteristic of representation is its nature to always refer to something other than itself. Nevertheless, a representation may transform into what it represents and becomes a new `reality'. Through a representation, an identity, whether it is an already existing one or a new one, can be presented as if it is a fact, and not created. Dagadu's designs try to establish certain positive images about Yogya, especially the image of a well known tourist destination through visualization and positive connotations which come as the result of combining various icons, graphics, and words. Those connotations present themselves in such a way so that they seem or feel so natural, as if irrefutable. Identities of Yogya as a tourist destination, a student town, and even as town of `plesetan', among others, are constructed through representations which are arranged in such a way to imply meanings desirable to Dagadu. A product of popular culture like a Dagadu T-shirt can enact as an ideological tool because the product may be read by those who voluntarily become a part of the system of meanings built by Dagadu as a real concept, and that it is accepted as a fact. Behind every representation created by Dagadu lies Dagadu's interest to keep the economic and cultural wheels rolling, as it will produce profit for Dagadu. The more the positive image of Yogya as a pleasant and extraordinary tourist destination is imposed, the more people believe in its strong identity. As Yogya's image as a tourist destination gains more popularity, more tourists will visit it. Thus, Dagadu has an even bigger chance to sell its products. Applying modern design and popular design approach, Dagadu T-shirts, most of which contains `plesetan' which basically mock at many things, become less irritating for those who regard themselves to be the object of mockery. They may even laugh with Dagadu. This of course benefits Dagadu because laughter has been proven to be a good ambassador in negotiating ?peace? in order to keep the economic and cultural wheels rolling, especially for the sake of Dagadu. Resistance which has been the main characteristic of ?plesetan? and T-shirt is now commodified by capitalism whose interest is to always put profits and market at top priorities. To sustain its motto of ?smart, smile and Djogdja?, Dagadu has been determined to make its designs meet certain criteria before they can be executed or produced. Those criteria cause an elitist impression on Dagadu T-shirts. This elitist impression is attached as a part of its identity. Therefore, an act of buying a Dagadu T-shirt can be interpreted as a materialization of an identity politics or an attempt to distinguish oneself from others.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17238
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kawuryan, Megandaru W.
Abstrak :
ABSTRAK
Pada tanggal 27 Mei 2006, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diguncang oleh gempa bumi berkekuatan 5,9 pada skala Richter, akibat dari gempa bumi tersebut tercatat 428.909 orang kehilangan rumah tinggal. Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman merupakan dua Kabupaten yang wilayahnya mengalami kerusakaan paling parah, di Kabupaten Bantul tercatat 245.073 rumah rusak, sedangkan di Kabupaten Sleman tercatat 96.792 rumah rusak. Untuk menangani musibah Gempa Bumi di Yogyakarta, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 23 tahun 2006, dimana dalam Peraturan Gubernur tersebut tersurat prinsip dasar Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah di DIY Berbasis Pada Komunitas. Berdasarkan dari Peraturan Gubernur tersebut, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman memilih kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi rumah dengan menyerahkan sepenuhnya proses pendataan sampai dengan pencairan dana rekonstruksi kepada masyarakat. Menurut pemerintah Kabupaten Sleman, pembagian dana rekonstruksi akan sulit dikontrol oleh pemerintah karena masyarakat memiliki cara tersendiri untuk membagikan bantuan yang mereka terima, kebijakan yang bersifat bottom up ini kemudian diwadahi dalam lembaga yang disebut dengan Organisasi Masyarakat Setempat (OMS). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, pengamatan, dan studi kepustakaan. Wawancara dilakukan dengan 13 informan yang sengaja dipilih oleh peneliti berdasarkan pemikiran yang logis dan sesuai dengan informasi yang dicari dan mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian maka didapatkan pokok-pokok kesimpulan sebagai berikut: OMS adalah terobosan kebijakan yang dibuat Pemkab Sleman untuk meminimalisasi peluang munculnya konflik di tengah-tengah masyarakat Posisi OMS bertanggung jawab kepada dua pihak sekaligus, yaitu pemerintah dan masyarakat. Lembaga ini melaporkan hasil penilaiannya kepada pemerintah. Laporan ini dijadikan dasar bagi pembentukan kelompok-kelompok masyarakat yang pada gilirannya akan menerima bantuan dana rekonstruksi. OMS menjalankan sebagian peran Pemkab Sleman, yaitu dalam pendataan kerusakan rumah warga. OMS dirasa lebih mampu melakukan pendataan karena mereka mengetahui secara pasti letak rumah, status kepemilikan dan kondisinya setelah diguncang gempa. Pemberdayaan masyarakat terlihat dari beberapa indikasi. Pertama, para tukang menjadi pemain kunci karena penguasaan mereka dalam hal-hal teknis menyangkut bangunan rumah. Ke dua, individu-individu yang memiliki kecakapan administratif ditempatkan pada salah satu posisi penting dalam pokmas, Ke tiga, sejumlah keputusan penting pada tingkat lokal lebih banyak diselesaikan oleh warga sendiri tanpa banyak campur tangan dari pejabat pemerintah di atasnya. Gotong-royong dalam membangun rumah warga tidak dapat berjalan maksimal. Gotong-royong dijalankan pada rumah-rumah yang pemiliknya dipandang tidak mampu secara ekonomis dan tidak memiliki tenaga kerja. Kemandirian masyarakat dapat dilihat dari cepatnya proses pembangunan kembali rumah warga serta besarnya porsi dana mandiri (di atas 80 per sen) yang mereka gunakan dalam seluruh proses pembangunan rumah. Saran dari penelitian adalah sebagai berikut: OMS dapat dijadikan sebagai model pendataan korban bencana berbasis masyarakat, dapat diterapkan untuk daerah-daerah lain yang menghadapi masalah serupa. Diperlukan patokan baku dalam menentukan kriteria warga penerima bantuan. Patokan baku menjadi penting, karena berimplikasi pada wilayah hukum positif. Lembaga RT, RW, dusun dan pemimpin formal di pedesaan dapat dioptimalkan kinerjanya, sehingga dapat dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan selain administrasi kependudukan. Perlu ada operasi pasar secara lebih intensif untuk menstabilkan harga yang melonjak akibat besarnya permintaan bahan bangunan dan tenaga kerja pasca bencana. Komposisi keanggotaan OMS sebaiknya diisi oleh para tokoh masyarakat setempat seperti di Kecamatan Prambanan, sehingga akurasi pendataan akan lebih baik. Penyelesaian sengketa masalah, di Kecamatan Berbah mengenal system berlapis, dari RT keatas sampai Camat, dengan system penyelesaian berlapis, maka Kepala Desa dan Camat tidak terlalu terbebani masalah sengketa teknis lapangan. Kesulitan yang dihadapi selama penelitian adalah beberapa informan tidak menjelaskan hal-hal relevan yang diketahuinya secara transparan. Ada kekhawatiran akan adanya masalah yang menimpa diri mereka jika ternyata di kemudian hari ditemukan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan program ini.
ABSTRAK
On May 27, 2006, Yogyakarta province was hit by a 5.9 Richter scale earthquake. It caused 428.909 people loose their houses. Bantul and Sleman districts are the most seriously affected areas. In Bantul district it was reported that 245.073 houses were damaged, while in Sleman district it was known that 96.792 houses were ruined into pieces. To handle such situation, Governor of Yogyakarta province issued a Governor Rule Number 23 2006, which states that the basic principles of Rehabilitation and Reconstruction of Housing in the region is a community-based one. According to the Governor Rule, local government of Sleman district decided the policy of rehabilitation and reconstruction in its area by giving people full authority to list the broken houses and eventually distribute reconstruction fund. Local government of Sleman district stated that the distribution of reconstruction fund will be difficult to control by the government because society has its own local wisdom in distributing aid they receive. This bottom-up policy was then manifested in an institution so-called Organisasi Masyarakat Setempat (Local Community Organization) (OMS). This research utilizes qualitative approach, by using qualitative ? descriptive method. Data was collected by using techniques, such as interview, observation, and literary studies. Interview was conducted to 13 informants who are intentionally chosen based on logical frame of thinking and are relevant to the research topic. Referring to the analysis of research results, it is concluded that: OMS is a brilliant policy made by local government of Sleman district in order to minimize any conflict among members of the society. OMS holds responsibilities to two parties, namely government and society. This institution reports its assessment to the government. This report becomes a data-base for the formation of local community groups that will eventually receive reconstruction fund. OMS plays some roles of Sleman local government, namely assessing damaged houses. OMS is considered as more able to do such assessment because they know exactly the house locations, their ownership statuses, and their condition after the earthquake. Community development can be seen at a number of indicators. Firstly, carpenters play key roles for their mastery of technical skills on building. Secondly, individuals with clerical skills are given special position in the local community groups. Thirdly, a number of important decisions at local level are mostly made by the community without any government?s intervention. Gotong-royong in building people?s houses cannot be effectively conducted. It is only the case for those are considered as economically incapable and for those are unemployed. Community?s self-reliance can be seen from the quickness of the housing reconstruction and the bigger portion of self-finance (above 80 per cent) they spend for building of their houses. This research recommends: OMS can be model for community-based victim of disaster assessment, and it can be practiced in other regions facing similar problems. It is necessary to have a fixed regulation in determining the criteria of those who receive aid. It is important for it implied to positive law. RT, RW, sub-village and rural informal leaders can be optimized their roles other than clerical things pertaining to population administration. It is necessary to do a more market intervention in order to stabilize the prices heightening caused by the inflation of demand in building materials and labors after the disaster. Composition of OMS membership is more better filled by local leaders like in Prambanan sub-district. It results in the data accuracy. Concerning conflict resolution, Berbah sub-district implements multi-layered conflict resolution, by encouraging resolution from the lowest level to the higher. By this system, the head of sub-district is not so much burdened by technical problems. Difficulty faced during the research is that a number of informants do not explain relevant things they know transparently. They are worried about any possible serious problems they will face if in fact there are things breaking the rule in the implementation of such policy.
2007
T22901
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rosiyah
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini menyajikan deskripsi dan suntingan teks naskah sejarah keris koleksi FSUI berkode KR.7 ndash;NR.381 serta terdapat analisis makna pamor. Teks di tulis menggunakan bahasa dan aksara Jawa yang di salin Pigeaud pada Agustus 1939 di Yogyakarta. Teks berbentuk Prosa ini menceritakan tentang sejarah raja-raja yang pertama kali membuat keris dengan dhapur dan jenis pamor tertentu. Metode penelitian filologi yang digunakan adalah metode intuitif. Suntingan teks dilakukan dengan menerapkan metode edisi standar metode kritis dengan melakukan perbaikan teks yang dilengkapi dengan ringkasan cerita dan pedoman alihaksara.
ABSTRACT
This undergraduate bachelor thesis presents description and text editing on the history of keris owned by FS UI coded KR.7 ndash NR.381. This writing also presents the analysis of blade patterning pamor . Texts were written in the language and alphabet of Javanese copied by Pigeaud in the year of 1939 in Yogyakarta. This prose shaped text tells about the history of the king who the first made a keris with certain dhapur and pamor. Philological research method that used in this research were intuitive method. Text editing were conducted by applying standard edition method critical method by doing text refinement that completed by summary of the story and guidelines translation.
2016
S66044
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukirman Dharmamulya
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983
790.19 SUK p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1992
615.882 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Smithies, Michael, translator
Singapore: Oxford University Press, 1986
959.82 SMI y (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ricklefs, Merle Calvin, 1943-
London: Oxford University Press, 1974
959.827 RIC j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sukiman Dharmamulja
Yogayakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Balai Penelitian Sejarah dan Budaya, 1981
913.926 SUK m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987
959.827 SEJ
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhi Irawan
Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2009
091 YUD f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>