Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Octavia
2003
S3315
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yofita
Abstrak :
ABSTRAK
Wanita yang melakukan perselingkuhan makin meningkat jumlahnya (Wrightsman, 1994). Ada bermacam-macam pendapat mengenai arti selingkuh. Seseorang pasti dikatakan telah berseiingkuh apabila ia siidah melakukan hubungan seksual bukan dengan pasangannya dalam perkawinan (Spring, 1996). Scks di luar nikah sangat ditentang baik oleh agama maupun masyarakat (Reed, 1973). Sedangkan untuk mencapai kondisi mental yang sehat, seseorang harus dapat menyelaraskan antara kebutuhan yang dimilikinya dengan tuntutan lingkungannya (John, Button, Webster, 1970). Kriteria subyek adalah wanita yang bertempat tinggal di Jakarta, yang sedang atau pemah melakukan hubungan seksual di luar nikah dalam ikatan perkawinan. BCriteria subyek ditentukan dengan pertimbangan perubahan pola kerjasama dan pola keluarga yahg mengarahkan seseorang melakukan hubung^ seksual di luar nikah lebih tcrlihat pada masyarakat kota besar (Media Indonesia, Juli 1993). Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terfokus. Hasil penelitian menemukan bahwa ketidak puasan tefhadap perkawinan serta tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan subyek dalam perkawinan merupakan sebab utama terjadinya hubungan seksual di luar nikah. Subyek 1 merasa tidak terpenuhi dalam kebutuhan akan cinta, subyek 2 merasa tidak terpenuhi kebutuhan akan perlindungan dan rasa aman, subyek 3 merasa tidak terpenuhi kebutuhan fisiologisnya. Hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan merupakan 'perantara' agar kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat terpenuhi. Pada subyek 1 dan 2, penyesuaian perkawinan diperburuk oleh ketergantungan pasangan terhadap keluarga asal secara finansial dan emosional. Pada subyek 3 ketergantungan pasangan terhadap keluarga asal secara finansial justru dirasakannya amat membantu. Reaksi pasangan setelah subyek diketahui melakukan seks di luar nikah pada umumnya adalah cemburu. Pada subyek 3 kecemburuan dan selalu diungkitnya hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan subyek menyebabkan terjadinya perceraian. Disarankan untuk penelitian yang serupa hendaknya menggunakan subyek lebih bervariasi dan membandingkan antara pelaku yang bertempat tinggal di kota besar dan pedesaan agar terlihat pengaruh perbedaan pola kehidupannya.
1998
S2722
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
L. Mawar Nusantari
Abstrak :
ABSTRAK
Ketika seseorang menginjak usia 18-22 tahun, ia memasuki masa transisi dari remaja menuju dewasa muda (Kail & Cavanaugh, 2000; Smolak, 1993). Menurut Smolak (1993), seseorang pada usia ini bukan anak-anak, dan dianggap bukan remaja lagi, namun mereka juga belum memiliki kriteria dewasa. Banyak ahli yang meyakini bahwa krisis pembentukan identitas terjadi pada masa remaja, namun studi cross sectional dan longitudinal menunjukkan bahwa krisis identitas terjadi pada masa transisi ini (Smolak, 1993). Kail & Cavanaugh (2000) mengemukakan bahwa transisi itu tergantung pada faktor kebudayaan dan beberapa faktor psikologis. Pada budaya timur, patokan yang dipakai untuk menentukan apakah seseorang menjadi dewasa lebih -jelas daripada budaya barat. Pada kebudayaan timur, pernikahan menjadi determinan yang paling penting dalam status kedewasaan (Schlegel & Barry, 1991). Berbicara mengenai menikah dan kemudian memiliki anak akan dikaitkan dengan kematangan dan tanggung jawab seseorang. Oleh karena itu untuk memasuki pernikahan seseorang akan dipertanyakan apakah ia sudah cukup matang atau apakah ia sudah cukup dewasa. Badan Pusat Statistik DKI Jakarta (BPS, 2002) menunjukkan bahwa, kurang lebih 11 % dari penduduk yang berusia 18-22 tahun telah menikah. Data tersebut menunjukkan bahwa banyak orang yang memutuskan untuk menikah di usia muda. Padahal setelah menikah mereka akan dihadapkan pada masalah baru ketika mereka mempunyai anak. Menjadi orang tua juga merupakan krisis dalam hidup, karena menyebabkan perubahan besar dalam sikap, nilai, dan peran seseorang. Mempunyai anak juga berarti mendapatkan tekanan untuk terikat pada tingkah laku peran jender sebagai ayah dan ibu (Carstensen, dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Oleh karena itu untuk menjadi orangtua diperlukan persiapan yang matang baik secara finansial, mental, maupun emosional. - Laki-laki yang berperan sebagai ayah dituntut untuk bertanggung jawab yang besar sebagai pemimpin keluarga serta bertanggung jawab sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga sehingga memerlukan perlu persiapan yang matang untuk memasuki jenjang perkawinan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana seorang pria yang berada pada usia transisi dewasa muda (18 - 22 tahun) yang telah menikah dan memiliki anak menghayati perannya sebagai seorang ayah. Penghayatan yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk alasan seorang pria berusia transisi dewasa muda memutuskan untuk menikah, pemahaman tentang peran ayah, bagaimana mereka menghayati tuntutan perannya sebagai seorang ayah, serta interaksi yang mereka lakukan dalam memenuhi tugasnya sebagai seorang ayah, serta bagaimana penghayatan peran sebagai ayah tersebut mempengaruhi perkembangan kepribadian mereka. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perkembangan usia transisi dewasa muda, teori peran dikhususkan pada teori peran ayah dalam keluarga. Peneliti mengambil 5 orang sampel dengan kriteria seorang pria, berusia 18 - 22 tahun, telah menikah dan memiliki anak, serta pendidikan minimal SMU atau sederajat untuk diwawancara secara mendalam. Sampel berasal dari kota Jakarta dan Cirebon. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sebagian besar subjek, yaitu 4 dari 5 orang subjek penelitian ini menikah di usia muda karena terpaksa. Karena melakukan pacarnya terlanjur hamil, maka subjek pun bertanggung jawab untuk menikahi pacarnya. Maka menjalani peran sebagai seorang ayah pun tidak dapat dihindari, walaupun mereka mengaku merasa belum siap menjadi seorang ayah. Menjalani peran sebagai seorang ayah memerlukan tanggung jawab yang besar dan memerlukan kesiapan baik secara materi maupun mental. Walaupun subjek merasakan adanya tuntutan peran sebagai ayah dari lingkungan namun yang berperan lebih besar dalam tingkah laku subjek dalam menjalani peran sebagai ayah adalah tuntutan peran yang ada dalam diri subjek sendiri. Tuntutan peran yang ada dalam diri subjek tersebut diperoleh dari konsep subjek mengenai ayah yang ideal serta berpatokan pada tingkah laku dan pendidikan orangtuanya dulu, terutama ayah mereka. Walaupun subjek merasa belum sesuai dengan konsep ayah yang ideal tersebut, namun mereka semua berusaha menuju ke arah sana. Sebagian besar subjek penelitian ini sudah menyadari betapa penting perannya sebagai ayah terhadap perkembangan anak. Dalam penelitian ini terlihat bahwa selain melakukan aktivitas mendidik dan bermain, mereka juga merasa bertanggung jawab untuk ikut terlibat dalam aktivitas merawat anaknya terutama kegiatan memandikan, menina-bobokan, serta melindungi saat anak bermain. Mereka menyadari bahwa dalam aktivitas merawat tersebut merupakan saat yang tepat untuk membangun kedekatan emosional dengan anak mereka. Setelah menikah dan memiliki anak, banyak perubahan yang terjadi pada diri subjek, terutama mengenai cara subjek memandang tentang hidup. Subjek yang sebelumnya merupakan orang-orang yang selalu berorientasi pada kesenangan diri sendiri dan selalu mengikuti hati nurani dalam bertindak. Setelah menikah dan memiliki anak, timbul rasa tanggung jawab yang besar pada diri mereka, mereka mulai berpikir bahwa hidup tidak selamanya santai dan ada yang perlu diperjuangkan, terutama mengenai anak. Mereka mulai berpikir panjang sebelum bertindak dan mulai berpikir tentang masa depan. Selain itu mereka juga merasa hidupnya lebih baik dan lebih teratur serta lebih termotivasi dalam melakukan sesuatu.
2003
S3219
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Dini Susilowati
Abstrak :
ABSTRAK
Merokok merupakan salah satu dari kebiasaan atau gaya hidup yang kurang baik karena memberikan resiko atau dampak yang tinggi terhadap penurunan kesehatan atau bahkan menjadi penyebab kematian. Studi WHO menunjukan kematian akibat merokok sekitar 30 juta orang setahun, 10 kali lebih tinggi dari angka kematian akibat kecelakaan berlalulintas. Di Indonesia sendiri perokok aktif mencapai 70 % dari total penduduk atau sebesar 141,44 juta orang. Dan kecenderungan perokok di kalangan wanita dan remaja pada usia 15-18 tahun mengalami peningkatan (http://www.koalisi.org). Sedangkan penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa 64,8% pria dan 9,8% wanita dengan usia di atas 13 tahun adalah perokok (Tandra, 2003). Berbagai alasan yang melatarbelakangi mulai maraknya kebiasaan merokok di kalangan wanita, salah satunya adalah gaya hidup. Persepsi tersebut dipicu oleh gencarnya iklan yang ditayangkan media massa, yang mencitrakan wanita modem dengan kebiasaan merokok. Realita ini berbeda dengan kondisi puluhan tahun lalu dimana wanita perokok distereotipkan sebagai wanita "nakal" alias tidak baik. Komponen yang paling berbahaya dari merokok dengan membakar tembakau adalah nikotin, carbon monoxide, yang dikenal sebagai carcinogens. Efek jangka panjang dari merokok adalah kanker paru, emphysema, kanker larynx dan esophagus dan sejumlah penyakit cardiovascular (Davison & Neale, 2001). Pada wanita yang merokok terdapat dampak-dampak khusus yang ditimbulkan oleh rokok antara lain masalah-masalah pada organ reproduksi wanita (diantaranya menurunkan kesuburan), meningkatkan jumlah kehamilan ektopik, aborsi spontan, kelahiran prematur, menopause dini, serta meningkatkan resiko kanker leher rahim. Informasi mengenai dampak buruk dari rokok terhadap kesehatan tersebut di atas, menjadi salah satu alasan untuk berhenti merokok. Kaplan, Sallis dan Patterson (1993) mengatakan bahwa perokok berhenti atau mencoba berhenti merokok untuk berbagai alasan, antara lain: masalah kesehatan, masalah penerimaan sosial, usia, serta alasan untuk menjadi contoh yang baik. 50% dari usaha untuk berhenti merokok adalah membuat keputusan untuk berhenti. Terkadang sangat sulit bagi perokok untuk memutuskan berhenti merokok. Berbagai pertimbangan dilakukan seorang perokok dalam memutuskan berhenti merokok Karenanya penelitian ini bermaksud memperoleh gambaran proses pengambilan keputusan yang terjadi pada seorang mantan perokok beserta faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusannya. Selain itu diteliti pula strategi ketika memutuskan untuk berhenti merokok. Penelitian ini mengacu pada teori pengambilan keputusan yang dikemukakan oleh Janis & Mann (1977). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Oleh karena itu dalam pengumpulan data peneliti melakukan wawancara dan observasi. Subyek penelitian berjumlah 4 orang dengan kriteria wanita usia dewasa muda yang dulu pernah merokok tetapi telah berhenti minimal 6 bulan. Hasil penelitian menujukkan hanya satu subyek yang terlihat melalui kelima tahap. Subyek umumnya tidak melalui tahap kedua (mencari alternatif). Faktor yang paling berpengaruh adalah faktor circumstances dan preferences. Hal ini menunjukkan bahwa selain merupakan proses internal, pengambilan keputusan untuk berhenti merokok juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Sedangkan strategi yang digunakan dalam situasi berhenti merokok ini adalah safe strategy (memilih alternatif yang paling aman dan membawa keberhasilan) atau escape strategy (memilih alternatif yang paling memungkinkan untuk menghindar dari hasil yang buruk).
2004
S3394
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Rozandi Suhaidi
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini ingin mengetahui perbedaan strategi regulasi emosi pada individu dengan kecenderungan locus of control internal dan individu dengan kecenderungan locus of control eksternal pada pria dewasa muda. Strategi regulasi emosi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 9 strategi yang digunakan oleh Gamefski (2001) pada penelitiannya yaitu self-blame, other-blame, acceptance, refocus on planning, refocus positive, rumination or focus on thought, positive reappraisal, putting into perspective, dan catastrophizing. Subyek penelitian adalah sebanyak 232 pria dewasa muda. Data untuk mengukur regulasi emosi diperoleh melalui kuesioner the cognitive emotion regulation questionnaire (CERQ) dan alat ukur locus of control menggunakan Rotter I-E scale. Uji validitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan konsistensi internal, sedangkan perhitungan reliabilitas alat ukur menggunakan metode Cronbach alpha. Metode analisis yang digunakan untuk mengukur perbedaan penggunaan strategi adalah t-test, dan analisis faktor untuk mendapatkan pengelompokkan data. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan strategi regulasi emosi pada individu dengan kecenderungan loc internal dan individu dengan kecenderungan loc eksternal pada pria dewasa muda. Hasil lain yang diperoleh adalah adanya perbedaan yang signifikan pada pengguna strategi refocus positive ditinjau dari kecenderungan loc individu dengan nilai koefisien signifikansi 0,009. Dan strategi regulasi emosi yang banyak digunakan oleh pria dewasa muda adalah rumination or focus on thought. Saran yang diajukan peneliti adalah, (1) untuk meyakinkan nilai reliabilitas dan validitas, maka sampel yang dipergunakan dalam penelitian diperbanyak dan instruksi harus diberikan sejelas-jelasnya kepada responden (2) melakukan penelitian lanjutan dengan menambah variabel penelitian lain, agar penelitian ini dapat lebih bermanfaat bagi dunia psikologi.
2005
S3481
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisya Eka Setiawati
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini adalah mengenai perbedaan strategi regulasi emosi ditinjau dari trait arvciety pada dewasa muda. Dari beberapa literatur diketahui bahwa terdapat perbedaan antara individu yang memiliki trait arvciety tinggi dengan individu yang memiliki trait arvciety rendah dalam menilai dan memproses informasi yang dirasakan mengancam (Eysenck, 2000; MacLeod et al., 1997). Hal ini memungkinkan adanya perbedaan strategi dalam mengatasi stimuius tersebut dan dapat berpengaruh pada keadaan emosional yang ditimbulkannya. Cara seseorang mempengaruhi kondisi emosionalnya disebut regulasi emosi (Gross, 1999). Regulasi emosi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah regulasi emosi kognitif yaitu cara yang digunakan individu untuk mengatur pengaruh dari informasi yang dapat meningkatkan kondisi emosionalnya dengan melibatkan aspek kognisi atau pikiran yang bertujuan untuk dapat mengatur atau meregulasi keadaan emosional yang dirasakannya (Thompson dalam Gamefski et al., 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan strategi regulasi emosi kognitif yang digunakan dewasa muda yang memiliki trait arvciety tinggi dengan dewasa muda yang memiliki trait arvciety rendah. Subyek dari penelitian ini adalah pria dan wanita yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda (20-40 tahun) karena trait kepribadian yang dimiliki seseorang bersifat lebih stabil pada tahap perkembangan ini. Selain itu, emosi negatif sering terjadi pada tahap dewasa muda (Garnefski et al., 2002; Cartensen et ai.. 2000) sehingga dibutuhkan kemampuan regulasi emosi yang baik dalam menghadapi emosi negatif tersebut. Penelitian ini menggunakan Cognitive Emotion Regulaliort Ouestiorrnaire untuk mengukur strategi regulasi emosi kognitif yang digunakan subyek dan State-Trait Anxiety Inventory untuk mengukur trait arvciety yang dimiliki subvek. Berdasarkan penghitungan kuesioner yang diisi oleh 141 subyek pria dan 170 subyek wanita diperoleh 88 subyek yang memiliki trait arvciety rendah dan 79 subyek yang memiliki trait arvciety tinggi. Dari penghitungan dengan menggunakan metode penghitungan t-test diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam penggunaan strategi self blartre, rumination, refocus on planning, positivc reappraisal, catastrophizing, blamir.g others, dan positive refocusing. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam penggunaan strategi acceptance dan putling into perspective antara kedua kelompok. Berdasarkan perbandingan nilai mean diketahui bahwa dewasa muda yang memiliki Irail awtiety tinggi lebih sering menggunakan strategi yang kurang adaptif dibandingkan dewasa muda yang memiliki trait aivcicty rendah. Saran yang dapat diberikan sehubungan dengan hasil penelitian ini. sebaiknya digunakan metode pengumpulan data selain self report questiormaire untuk memperoleh gambaran lebih jelas mengenai irait aivciety dan strategi regulasi emosi yang digunakan subyek. Saran lainnya, perlu diteliti lebih lanjut mengenai pengaruh proses kognitif terhadap strategi regulasi yang digunakan seseorang dan untuk tujuan intervensi, perlu diteliti strategi regulasi emosi kognitif apa yang paling efektif dalam membantu mengatasi kecemasan.
2005
S3482
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karinka Febritta Anindyasari
Abstrak :
ABSTRAK
Selfie saat ini menjadi sebuah tren yang mendunia diiringi dengan teknologi kamera yang semakin berkembang pesat dan meluasnya fungsi sosial media. Selfie adalah sebuah foto diri yang diambil oleh dirinya sendiri, biasanya menggunakan kamera smartphone atau kamera webcam dan biasanya di unggah ke sosial media. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran locus of control dan trait kepribadian pelaku selfie pada emerging adulthood. Pengukuran intensitas selfie menggunakan alat ukur Skala Intensitas Selfie, pengukuran locus of control menggunakan alat ukur IE-Locus of Control Scale yang disusun oleh Rotter (1966) dan pengukuran trait kepribadian menggunakan alat ukur Big Five Inventory yang disusun oleh John dan Srisvatava (1999). Penelitian ini melibatkan 321 responden pelaku selfie pada kelompok usia emerging adulthood. Hasil penelitian menggambarkan bahwa responden rata-rata berada pada kelompok locus of control internal, lalu skor trait kepribadian tertinggi ada pada trait openness to experience. Melalui teknik ANOVA, hasil penelitian menunjukkan adanya pola linier positif antara intensitas selfie dengan trait extraversion. Namun, untuk intensitas selfie dengan locus of control serta trait kepribadian agreeableness, conscientiousness, neuroticism dan openness to experience menunjukkan pola linier yang negatif.
ABSTRACT
Nowadays, selfie has become world’s trend followed by rapid growing of camera technology and social media. Selfie is a photograph that one has taken of oneself, typically with a smartphone or webcam and uploaded to a social media website. This research purposes is to know the locus of control and selfie personality trait towards emerging adulthood. Selfie intensity was measured using an instrument named Selfie Intensity Scale, locus of control was measured using an instrument named IE-Locus of Control Scale made by Rotter (1966) and personality traits was measured using an instrument named Big Five Inventory made by John and Srisvatava (1999). This research involved 321 respondents of Selfie-Doers in the age of emerging adulthood. This research captured that the respondents tend to have internal locus of control, and then the highest personality traits score is on openness to experience trait. Using ANOVA technique, it indicates a positive linear pattern between selfie intensity and extraversion trait. However, intensity selfie with locus of control and personality trait agreeableness, conscientiousness, neuroticism and openness to experience shows negative linear pattern.
2015
S60655
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meidiati Sekarsari
Abstrak :
Pesatnya perkembangan dunia hiburan memungkinkan kita untuk mengetahui lebih jauh akan kehidupan sehari-hari selebriti favorit. Dengan kesempatan tersebut, kita kemudian merasa mengenal dan memiliki hubungan dengan selebriti favorit, yang disebut dengan perilaku parasosial. Beberapa karakteristik individu yang memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku parasosial adalah individu yang kurang dalam interaksi sosialnya dan memiliki self-esteem rendah. Kedua karakteristik tersebut ternyata juga merupakan karakteristik personal dari individu yang sering mengalami loneliness. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah loneliness berhubungan dengan kuatnya perilaku parasosial seseorang. Peneliti menggunakan UCLA Loneliness Scale ver 2. untuk mengukur loneliness dan Celebrity Attitude Scale untuk mengukur perilaku parasosial. Sampel dalam penelitian ini adalah 84 orang wanita dewasa muda yang berusia antara 20 - 40 tahun. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara loneliness dan perilaku parasosial pada wanita dewasa muda.
The rapid change in the entertainment world give us the opportunity to know the daily lives of the celebrity. With that opportunity, we could then feel that we know the celebrity and have a relationship with that person, which can be called as parasocial. Some of the characteristics of an individual who have the tendency to do a parasocial behavior are having a lack of social interaction and low self-esteem. Both of those characteristics are also a personal characteristics of an individual who tend to experience loneliness. The aim of this research is to know if loneliness would be linked to the strenght of one?s parasocial behavior. The researcher used UCLA Loneliness Scale ver. 2 to measure loneliness and Celebrity Attitude Scale to measure paraosical behaviors. The sample of this research was 84 young adulthood women in the age range between 20-40 years old. The result of this research shown that there are significant positive relationship between loneliness and parasocial behavior in young adulthood women.
Depok: Universitas Indonesia, 2009
155.92 MEI h
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chicago: American Library Association, 1980
809.892 82 YOU
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Fitri Izzati Ramadhani
Abstrak :
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) gagal mengesahkan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada 2019, yang merupakan RUU usulan DPR pada 2016 dalam RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2014-2019. Pembahasan RUU ini cukup lama sejak dirumuskan pada 2014, dan hingga 2019 pembahasan hanya sampai pada tingkat pertama karena menuai pro-kontra di masyarakat. Studi ini fokus menganalisis kegagalan DPR dalam mengesahkan RUU PKS ini dengan menggunaka metode kualitatif berupa wawancara mendalam dan kajian literatur. Hasil penelitian menunjukan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan pada dasarnya merupakan isu krusial yang memerlukan solusi melalui sebuah regulasi. RUU PKS dianggap dapat melindungi hak-hak perempuan dari kekerasan. Tetapi pada sisi lainnya, RUU PKS dinilai bertentangan dengan moral maupun ajaran agama bahkan sampai dianggap melegalkan seks bebas ataupun LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Masih melekatnya budaya patriarki, kurangnya komitmen maupun pemahaman representasi politik para anggota legislatif dalam membela hak-hak perempuan, juga masih adanya seksisme institusional di lembaga legislatif Indonesia, menjadi temuan dari penelitian terkait penyebab gagalnya pengesahan RUU PKS pada tahun 2019. ......The People's Representative Council of the Republic of Indonesia (DPR RI) failed to pass the Bill on the Elimination of Sexual Violence (RUU PKS) in 2019, which was the draft proposed by the DPR in 2016 in the 2014-2019 Priority National Legislation Program (Prolegnas) Bill. The discussion of this bill has taken a long time since it was formulated in 2014, and until 2019 discussions only reached the first level because of the pros and cons in society. This study focuses on analyzing the failure of the DPR in passing the PKS Bill by using qualitative methods in the form of in-depth interviews and literature review. The results showed that sexual violence against women is basically a crucial issue that requires a solution through a regulation. The PKS Bill is considered to be able to protect women's rights from violence. But on the other hand, the PKS Bill is considered to be contrary to moral and religious teachings and is even considered legalizing free sex or LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender). The inherent patriarchal culture, lack of commitment and understanding of the political representation of legislators in defending women's rights, as well as institutional sexism in the Indonesian legislature, are findings from research related to the failure to ratify the PKS Bill in 2019.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>