Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Rasyid Asba
Abstrak :
ABSTRAK Produksi dan kebijakan ekspor kopra di Makassar merupakan jawaban dalam rangka memenuhi kebutuhan ekspor dunia, baik pada masa Kolonial Hindia Belanda maupun pasca awal pembentukan ekonomi nasional Negara Indonesia. Harapan ini dimungkinkan setelah adanya kebijakan Makassar pada tahun 1927 sebagai satu-satunya pengekspor kopra untuk Wilayah Timur Besar. Karena itu lahirnya kebijakan tersebut membawa transformasi bagi terbentuknya kekuatan ekonomi kolonial. Transformasi ini membuat eksportir masuk Makassar. Pada waktu itu kesadaran petani untuk berproduksi semakin meningkat, bahkan melahirkan enterpreneurship lokal dalam membentuk sistem ekonomi Kolonial. Dalam pandangan ini paradigma teori Clifford Geertz dan J.H. Boeke kiranya kurang relevan untuk diterapkan di Makassar karena masyarakat Pribumi (tradisional) telah mampu berakumulasi pada perubahan dinamis dalam kehidupan ekonomi tanpa dikotomi dualisme ekonomi antara Barat dan Timur. Pada awal kemerdekaan proses perkopraan terus berlangsung, kepentingan lokal maupun pusat mulai melibatkan diri dalam tata-niaga perkopraan. Eksportir dan produsen yang terbentuk sebelum perang dielakkan. Pemerintah mulai mengambil alih secara langsung dalam politik perkopraan. Di ujung sistem kebijakanaan itu Militer dan para Veteran mulai mengatur tata-niaga perkopraan. Akibatnya berbagai wilayah produsen kopra mengeluh bahkan terhimpit hutang, karena militer dan veteran pelaku ekonomi itu mengutamakan kekuasaan (keamanan) tanpa modal. Kopra yang telah diambil banyak yang tidak terbayar, akibatnya melahirkan keresahan bahkan sebuah pemberontakan. Landasan teoretis ini memberikan gambaran bahwa pada pasca awal kemerdekaan betapa dominannya pemerintah mengatur prekonomian dan itulah sebabnya perekonomian kita hingga kini masih merupakan sebuah masalah yang belum terselesaikan.
ABSTRACT Production and the policy of copra ex/port in Makassar were the answer to fulfill the needs of world export, in Dutch Colonial era and early formation of National Economy of Indonesia. This hope was possible after Makassar policy in 1927 as the one of copra export for Region Timur Besar. The birth of policy brought transformation for economy development of the Dutch Colonial. At that time, the peasants consciousness to make the production more increased, even gave birth of lokal entrepreneurial in Dutch economy. In this point Clifford Geertz and J.H. Boeke theory are not relevant to implement in Makassar, because the natives have ability to adopt changes in economy without dualism-dichotomy between West and East World. In the early of Indonesia independence (1945) the importance of local and center government began involved in copra trade. Exporter and producer which formatted before the war, was avoided. Government began to take over directly copra trade. Finally some regions of copra production were complaint, even wedged in debt, because both, Military and Veterans gave priority to power and security without capital . Copra which had been taken a lot were not paid, and it caused chaos and revolt. This paradigme, gives the answer that in the early of independence government had power to arrange economy structure.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effendi Wahyono
Abstrak :
ABSTRAK
Kopra merupakan produksi rakyat Minahasa dan menjadi mata pencarian utama masyarakat petani daerah tersebut selama periode 1870-1942.

Penelitian tentang pembudidayaan dan perdagangan kopra di Minahasa dalam kurun waktu 1870-1942 ini secara khusus menyoroti struktur pertanian dan pola pembudidayaan serta sistem perdagangan kopra, dengan menggunakan bahan-bahan arsip, laporan-laporan sezaman baik yang diterbitkan maupun tidak, serta literatur yang berkaitan dengan tema tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan pola pertanian di Minahasa karena adanya tuntutan pasar. Minahasa pada abad ke-17 sampai ke-18 merupakan lumbung padi bagi daerah Sulawesi dan Maluku. Adanya tanaman wajib kopi pada pertengahan abad ke-19 membuat sebagian petani Minahasa beralih menjadi penanam kopi. Kemudian setelah terjadi boom kopra sejak akhir abad ke-19 sebagian petani Minahasa beralih menanam kelapa.

Pola perdagangan kopra dilakukan melalui tiga golongan,yaitu produsen, perdagang perantara, dan pedagang besar/ekspor. Pola jual-belinya tidak dilakukan di dalam pasar (dalam arti fisik) secara terbuka tetapi melalui sistem kontrak.

Jual beli dengan sistem kontrak ini lebih merugikan petani. Untuk melindungi petani dari jeratan pedagang perantara yang sebagian besar dikuasai pedagang Cina, berbagai upaya dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah, misalnya dengan mendirikan volksbauk Taa rsea Producferr Verkoop Central,dan yayasan Kopra.
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T10190
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ode Zulkarnain Sahji Tihurua
Abstrak :
Artikel ini mengambil “komoditas” sebagai isu utama, dengan fokus pada dinamika produksi komoditas kopra di Yainuelo, pulau Seram. Mengikuti Escobar (1995) dan Tsing (2005), saya melihat dinamika produksi komoditas sebagai “arena produksi budaya”. Sebagai komoditas, kopra bukanlah entitas material yang statis seperti dibayangkan oleh ilmu ekonomi moderen. Artikulasi dan pemaknaan komoditas kopra oleh pengelola kopra selalu berubah-ubah dalam lintasan sejarah komoditas pada level produksi. Artikel ini memposisikan kopra seperti Rudyansjah melihat “kekuasaan”. kopra seperti kekuasaan, tidak pernah terperagakan dalam wujud yang final dan selalu di-dialog-kan oleh berbagai aktor dengan kepentingannya masing-masing pada bentangan ruang dan waktu yang panjang. Artikel ini berupaya mengungkapkan transformasi dan kontinuitas budaya yang muncul dalam lintasan sejarah produksi komoditas pada rentang waktu - yang dalam istilah Braudel disebut “conjuncture” (satu abad). Mengikuti logika konseptual “lanskap budaya” yang diajukan oleh Rudyansjah untuk melihat kopra, saya melihat fenomena transformasi dan kontinuitas budaya muncul secara berkelindan dalam kehidupan komoditas di Yainuelo. Dalam kajian ini, saya juga berusaha memahami “friksi” yang menjadi bingkai dari proses transformasi dan kontinuitas budaya pada dinamika komoditas kopra di Yainuelo. ......This article examines “commodity” by focusing on the dynamics of producing copra commodity in Yainuelo, Seram Island. Following Escobar (1995) and Tsing (2005), I see the dynamics of copra production as “cultural production arena”. As a commodity, copra is not an unchanging material as imagined by modern economics. Its meaning and articulation always changes under the historical trajectory of its production. This article positions copra the way Rudyansjah sees power: never enacted in final form and always under dialogical interactions of various actors in their respective interest crossing a range of space and time. This article attempts to reveal cultural transformation and continuity that appears on a historical trajectory of commodity production under a certain range of time - termed by Braudle as "conjuncture" (a century). Using conceptual logics of "cultural landscape" /"landscape of culture" proposed by Rudyansjah to understand copra, I see the phenomenon of transformation and continuity appear entangled in the life of commodity in Yainuelo. In this study, I also attempt to understand "friction" that frames the process of cultural transformation and continuity within the dynamics of copra commodity in Yainuelo.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novan Akhiriyanto
Abstrak :
ABSTRAK
Kepulauan Selayar sebagai salah satu Kabupaten penghasil kelapa beserta kopra terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki potensi energi dari limbah industri kopra yang cukup besar berupa tempurung dan sabut kelapa. PLTD berbahan bakar BBM merupakan satu-satunya pemasok energi listrik di Selayar, sehingga biaya pembangkitan listrik relatif lebih mahal dibanding dengan menggunakan bahan bakar fosil lainnya dan juga menimbulkan permasalahan emisi gas buang. Pemanfaatan limbah industri kopra sebagai bahan bakar pembangkitan listrik merupakan alternatif yang ditawarkan dalam studi ini. Pembangkit listrik tenaga gasifikasi biomassa PLTGBm dengan reaktor downdraft gasifier menghasilkan gas mudah terbakar yang digunakan sebagai bahan bakar generator mesin gas untuk menghasilkan energi listrik diterapkan dengan 2 dua skenario pengoperasian, yaitu untuk membantu memikul beban siang 16 jam operasi dengan faktor kapasitas CF sebesar 66,67 dan beban malam 8 jam operasi dengan CF sebesar 33,33 . Potensi daya listrik dengan CF 66,67 sebesar 730 kW dari PLTGBm tempurung mempunyai kontribusi pembangkitan listrik mencapai 12,47 dalam memikul beban listrik pada April 2017 dengan potensi penghematan biaya bahan bakar menggantikan biaya pengadaan BBM untuk pembangkitan listrik sebesar Rp. 29.101.125,80 dan 1.470 kW dari PLTGBm sabut mempunyai kontribusi mencapai 25,10 dengan potensi penghematan sebesar Rp. 58.618.416,79. Sedangkan potensi daya listrik dengan CF 33,33 sebesar 1.470 kW dari PLTGBm tempurung mempunyai kontribusi mencapai 14,14 dengan potensi penghematan sebesar Rp. 19.462.180,74 dan 2.950 kW dari PLTGBm sabut mempunyai kontribusi mencapai 28,38 dengan potensi penghematan sebesar Rp. 39.063.083,22. Analisis kelayakan ekonomi juga diperhitungkan dalam studi, ditemukan bahwa PLTGBm tempurung 730 kW dan PLTGBm 1.470 kW layak untuk dikembangkan untuk memikul beban siang sedangkan PLTGBm tempurung 1.470 kW dan PLTGBm 2.950 kW tidak layak secara keekonomian.54
ABSTRACT
Selayar Islands as one of the largest copra producing district in South Sulawesi province has large enough the potential of energy from copra industry waste in the form fo coconut shell and husk. Diesel generator is the primary supplier of electricity in Selayar, so that the cost of power generation is relatively more expensive than using other fossil fuels and also raises the problem of emissions. Utilization of copra industry waste as fuel for electricity generation is an alternative offered in this study. Biomass gasification power plant PLTGBm with reactor downdraft gasifier produce flammable gas used as fuel gas engine generator to generate electrical energy is applied to the 2 two scenarios of operation, which is to help carry the day load 16 operation hours by a capacity factor CF of 66.67 and night load 8 operation hours with CF of 33.33 . Electric power potential with CF 66.67 amounting to 730 kW of PLTGBm shell contributes power generation to 12.47 in the burden of electricity load in April 2017 with the potential fuel cost savings offset the cost of procurement of oil fuel for electricity generation amounted to Rp. 29.101.125,80 and 1,470 kW from PLTGBm husk have contribution to 25,10 with the potential of savings amount Rp. 58.618.416,79. While the potential of electric power with CF 33.33 of 1470 kW from PLTGBm shell has a contribution to 14.14 with a potential savings of Rp. 19.462.180,74 and 2,950 kW from PLTGBm husk have contributed to 28.38 with a potential savings of Rp. 39.063.083,22. Economic feasibility analysis is also taken into account in the study, it was found that the shell PLTGBm 730 kW and 1,470 kW PLTGBm are feasible to be developed to carry the load during PLTGBm shell while 1,470 kW and 2,950 kW PLTGBm unfeasible economically.55
2017
T47936
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tita Yulia Purwanti
Abstrak :
Sektor usaha minyak kelapa yang berkembang di wilayah Jawa Timur sekitar tahun 1913 - 1921 merupakan usaha yang berkesinambungann dengan produksi pertanian yakni pertanian kelapa. Yang menarik adalah usaha minyak kelapa terkonsentrasi pada beberapa daerah penghasil kelapa dan kopra terbesar di wilayah Jawa Timur. Usaha minyak kelapa rakyat yang Iebih awal berkembang pada wilayah ini serta munculnya campur tangan pemerintah Hindia Belanda dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk menimbulkan alam industri baru di Hindia Belanda. Alam industrialisasi khususnya di sektor usaha minyak kelapa menjadi primadona baru di Jawa Timur. Namun yang terjadi adalah kesempatan dan saran untuk mengembangkan usaha tersebut di respon Iangsung oleh para pemodal swasta yakni pemodal Eropa, sehingga industri yang berkembang adalah usaha minyak kelapa pabrikan. Keberadaan dua jenis usaha minyak kelapa di Jawa Timur yakni usaha industri minyak kelapa pabrikan dan usaha industri minyak kelapa rakyat, masing-masing memiliki karakter berbeda. Karakter tersebut bersumber dari perbedaan dalam sistem dan proses produksi, distribusi serta sasaran pemasaran, yang merupakan faktor yang mempengaruhi pergeseran orientasi pemasaran produk. Usaha minyak kelapa rakyat yang bermodal kecil, karena modal usaha berasal dari mobilisasi tabungan pengusaha, tidak ada upah bagi buruh (no labor cost) serta lebih memfokuskan produknya pada pemenuhan kebutuhan pribadi dan pasaran setempat menyebabkan usaha tersebut dapat dikatakan merupakan ciri khas dari usaha minyak kelapa rakyat. Sedangkan karakter usaha minyak kelapa pabrikan yang padat modal, menggunakan teknologi modern, berdaya jual murah karena merupakan produk yang dihasilkan secara massal serta memiliki standarisasi produk yang kelas dan bersifat mencari keuntungan sebesar-besarnya (profit oriented), menyebabkan adanya pergeseran orientasi pemasaran. Seperti tercermin dalam kasus N. V. Dliefabrieken Insulinde yang lebih melebarkan sayap usahanya dari pasar lokal bergeser ke pasaran manca negara. Seperti usaha industri lainnya, usaha minyak kelapa mengalami ups and down atau dinamika selama perjalanan produksinya. Begitupula dengan yang terjadi pada industri minyak kelapa di wilayah Jawa Timur. Kondisi global pada pasca perang dunia I yakni resesi dunia, cenderung tidak menguntungkan bagi banyak usaha industri, khususnya usaha minyak kelapa pabrikan yang berdiri di Jawa Timur. Seperti yang terjadi dengan beberapa usaha minyak kelapa pabrikan Oliefabrieken van Dongen, Firma de Jurgens, dan kemudian disusul oleh N. V. Oliefabrieken lnsulinde, yang harus menghentikan usaha produksi bahkan melikuidasi usahanya. Bagi usaha usaha minyak kelapa rakyat, kondisi tersebut masih mampu tetap produktif meskipun dengan keprihatinan. Keprihatinan tersebut dipicu oleh kalahnya persaingan dengan produk minyak kelapa pabrikan impor serta daya beli penduduk yang semakin rendah akibat krisis ekonomi_ Krisis ekonomi setempat yang cukup memukul adalah kegagalan panen padi dan palawija akibat musim kering yang berkepanjangan. Masing-masing tipe usaha minyak kelapa mengalami kemerosotan yang dipicu oleh resesi pasca perang dunia I dan kondisi alam yang kurang menguntungkan.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12567
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heersink, Christiaan.
Leiden : KITLV Press, 1999
330.959 8 HEE d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library