Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 315 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sutanto Priyo Hastono
"Latar belakang. Angka kematian perinatal di Indonesia masih tinggi. Angka kematian perinatal pada tahun 1980 sebesar 46 per 1000 kelahiran dan pada tahun 1986 didapatkan angka kematian perinatal sebesar 40,5 per 1000 kelahiran. Salah satu faktor yang diduga mempunyai daya ungkit yang besar dalam menurunkan kematian perinatal adalah pelayanan antenatal. Pelayanan antenatal yang baik akan dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan ibu selama hamil, sehingga dapat menyelesaikan kehamilannya dengan baik dan melahirkan bayi yang sehat.
Tujuan. Tujuan penelitian adalah mengetahui hubungan antara pelayanan antenatal dengan kematian perinatal.
Metode. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Studi Prospektif Keluarga Berencana dan Kesehatan di Kecamatan Gabus Wetan dan Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu. Jumlah sampel penelitian adalah 1284 ibu hamil anggota rumah tangga sampel studi KB-Kesehatan yang melahirkan bayi dari periode I Juni 1991 sampai dengan 30 Desember 1992 dan diamati minimal selama 3 bulan dari seluruh masa kehamilannya. Pelayanan antenatal dilihat dari segi kualitasnya, yaitu melihat pelayanan antenatal selain dari jumlah kunjungannya, juga memperhitungkan jenis pemeriksaan yang diterima selama masa kehamilan.
Hasil. Setelah dikontrol variabel kovariat penolong persalinan dan kondisi persalinan, risiko kejadian kematian perinatal pada ibu hamil yang memperoleh kualitas pemeriksaan buruk 5 kali lebih tinggi dibandingkan ibu hamil yang memperoleh kualitas pemeriksaan baik (OR=4,7, 95% CI:1,59-12,86, p=0,0037). Nilai Atributable Risk sebesar 78,5 %, artinya bila semua ibu hamil memperoleh pemeriksaan kehamilan dengan kualitas baik, maka akan menurunkan kejadian kematian perinatal sebesar 78,5 %.
Kesimpulan. Angka kematian perinatal pada penelitian ini adalah 40,5 per 1000 kelahiran. Kualitas pemeriksaan kehamilan yang baik akan dapat mengurangi risiko kejadian kernatian perinatal. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susilowati Ramelan
"ABSTRAK
Latar belakang
Angka kematian bayi (AKB) sudah sejak lama dipakai sebagai salah satu indikator status kesehatan masyarakat suatu negara. Angka ini di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 93 kematian per 1000 kelahiran pada tahun 1983 ( Utomo, 1984). Pada Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, didapatkan AKB sebesar 71,8 permil (Budiarso dkk., 1986). Meskipun angka tersebut menunjukkan perbaikan bila dibandingkan dengan AKB pada tahun 1983, namun masih merupakan AKB tertinggi di antara negara-negara anggota ASEAN. Pada tahun 2000 diharapkan angka tersebut dapat ditekan menjadi 45 permil (Dep. Kes. RI.1984).
Dari angka kematian bayi tesebut, kematian neonatal dini (KND) merupakan porsi terbesar. Vaughan (1987) memperkirakan bahwa sebagian besar (sekitar 61%) dari kematian bayi terjadi pada masa neonatal dini. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Barros dkk. (1987) meski persentase yang lebih rendah, 45%. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa penurunan AKND akan mengakibatkan penurunan AKB secara bermakna (Markum dkk., 1983). WHO memperkirakan bahwa AKND di Indonesia menduduki tempat tertinggi di negara-negara anggota ASEAN, ialah 32,9 permil (WHO, 1984). Upaya penurunan AKND secara khusus dapat dinilai sebagai bagian dari upaya ilmu kesehatan anak, namun secara. umum hal tersebut juga merupakan upaya pelayanan kesehatan menyeluruh yang melibatkan berbagai bidang dan keahlian.
Tinggi rendahnya AKND dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Faktor tersebut adalah faktor bayi itu sendiri, faktor ibu, faktor perilaku masyarakat khususnya perilaku ibu faktor sosial dan ekonomi, factor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan dan lain-lain. Masing-masing faktor tersebut tidak dapat dianggap
secara eksplisit berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan. Faktor bayi yang sudah banyak dikenal mempengaruhi AKND adalah berat lahir, masa gestasi, nilai Apgar, dan pelbagai penyakit neonatus khususnya sindrom gangguan pernapasan. Pelbagai faktor ibu yang ikut menentukan AKND antara lain adalah umur, pendidikan, penyakit selama masa kehamilan misalnya eklamsia, serta paritas.
Bayi baru lahir adalah hasil reproduksi yang dipaparkan pada lingkungan baru melalui proses persalinan. Hasil reproduksi tersebut dapat dinilai antara lain dengan berat badan bayi waktu lahir. Berat badan waktu lahir tersebut, di lingkungan kedokteran dikenal sebagai berat lahir, dinilai seba-gai salah satu
indikator tumbuh-kembang janin dari sudut gizi?
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Rahayu
"Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan angka kematian balita di Indonesia adalah sebesar 44 kematian per 1000 kelahiran hidup. Secara keseluruhan, angka kematian balita di Indonesia sudah mengalami penurunan. Namun, bila dilihat di setiap tahun penurunannya semakin kecil. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan disain potong lintang dan kasus kontrol yang bertujuan untuk melihat hubungan antara kemandirian ibu dan kejadian kematian balita di Indonesia, dengan mengikutsertakan beberapa karakteristik responden. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ibu yang kemandiriannya kurang baik, dalam kelompok pendidikan rendah memiliki risiko 7,95 kali untuk mengalami kematian balita, dalam kelompok pendidikan menengah memiliki risiko 1,127 kali untuk mengalami kematian balita, serta dalam kelompok pendidikan tinggi memilki risiko 1,135 kali untuk mengalami kematian balita. Selain itu, beberapa karakteristik ibu, karakteristik balita, karakteristik sosial ekonomi dan lingkungan tempat tinggal, serta interaksi antara kemandirian dan pendidikan juga berhubungan dengan kematian balita. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah kematian balita, proporsi wanita dengan pendidikan tinggi perlu ditingkatkan.

Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) 2007 shows that under-five mortality in Indonesia is 44 deaths per 1000 live births. Overall, the number of under-five mortality in Indonesia has reduced. But, if seen in every years, the reduction is more minor. This research is the quantitative research, uses crosssectional and case control design and wants to know the relation between mother’s autonomy and under-five mortality in Indonesia, including some caracteristics. According to this research, mother who has not too good autonomy, in low education has probability 7,95 times in under-five mortality, in medium education has probablity 1,127 times in under-five mortality, in high education has probablity 1,135 times in under-five mortality. Besides, some mother’s caracteristics, child’s caracteristics, socioeconomic and sorrounding caracteristic, and interaction of autonomy and education also related to under-five mortality. Thus, decreasing under-five mortality problem can be done by increasing proportion of woman with high education."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Darmayanto
"Berbagai upaya dilakukaq untuk memelihara kelangsungan hidup anak agar dapat dihasilkan generasi berkualitas guna menunjang Pembangunan Nasional. Baqyak faktor mempengaruhi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, salah satu faktor terpenting adalah carak reproduksi ibu. TIngkat kematian bayi dan anak merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat baik secara makro maupun secara mikro. Pada penelitian ini telah diteliti hubungan corak reproduksi ibu terhadap morbiditas dan mortalistas balita. Penelitian ini merupakan studi deskriptif terhadap balita yang datang berobat ke poliklinik umum bagian ilmu kesehatan anak FK UI/RSCM dan seluruh balita yang dilahirkan dalam kurun reproduksi ibu, 0-4 tahun sebelum penelitian."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Irawaty
"Pendahuluan:
Peningkatan kadar laktat pada saat masuk UPI secara independent berhubungan dengan outcome yang buruk. Kadar laktat sebagai parameter prognostik di UPI RSCM belum pemah diteliti sebelumnya. Pada penelitian pendahulu, skor SAPS II menunjukkan kemampuan yang baik dalam memprediksi mortalitas di UPI. Penelitian ini bertujuan membandingkan kadar laktat arteri inisial dengan SAPS II sebagai prediktor mortalitas di UPI RSCM.
Pasien & Metode:
Suatu studi observasi yang prospektif selama periode bulan April sampai Juni 2006 yang dilakukan di UPI bedah-medik. Data dikumpulkan dari 153 pasien yang memenuhi kriteria penerimaan. Data dasar: kadar laktat arteri inisial pada sate jam pertama masuk UPI dan 24 jam pertama untuk skor SAPS II. Mortalitas UPI pun dicatat. Analisis statistik menggunakan Uji Student t and chi-square. Kurva ROC (Receiver Operating Curve) dibuat dan titik potong optimal ditetapkan serta luas daerah di bawah kurva dihitung, untuk menilai untuk nilai prognostik kadar laktat arteri inisial dan SAPS II. Koefisien Pearson digunakan un tuk menganalisa hubungan antara kadar laktat inisial dan skor SAPS II.
Hasil:
Dari 153 pasien yang memenuhi kriteria, 16 pasien (10,5%) mengalami kematian di UPI. Kelompok survivor memiliki rerata kadar laktat arteri inisial dan skor SAPS II yang lebih rendah dibandingkan kelompok nonsurvivor. Terdapat perbedaan yang berrnakna antara kadar laktat dan mortalitas UPI (p=0,001). Titik potong ditetapkan 3 mmolll. Analisis ROC menunjukkan bahwa kadar laktat arteri inisial (leas daerah di bawah kurva=0,732) tidak lebih baik bila dibandingkan dengan skor SAPS II (luas daerah di bawah kurva=0,915) sebagai prediktor mortalitas di UPI. Terdapat hubungan yang lemah antara kadar laktat arteri inisial dan SAPS II (p=0,002).
Kesimpulan:
Kadar laktat arteri inisial dan skor SAPS H yang tinggi secara independent berhubungan dengan peningkatan mortalitas UPI di UPI RSCM.

Introduction:
Elevated lactate levels on ICU admission have been independently associated with poor outcome. The prognostic values of this value have not been investigated in Cipto Mangunkusumo Hospital's ICU
Patients & Methods:
A prospective observational study over a periode from April to June 2006 was conducted in a medical-surgical ICU. Data were extracted from ICU data base: arterial blood lactate at the first hour on admission and the worst clinical & laboratory findings in the first 24 hours for SAPS II scoring. ICU mortality are also recorded. Statistical analyses were performed using Student t-test and chi-square tests_ Receiver Operating Curve were constructed, the optimal cut off point have been obtained and area under curve was used to assess the prognostic value of initial arterial lactate and SAPS H. The coefficient of Pearson were analyzed to assess the relation between initial lactate levels and SAPS II score.
Main Outcome:
Of the 153 evaluable patients, 16 patients (10.5%) were died in ICU Survivor had a lower mean of arterial lactate levels and SAPS II score than nonsurvivor). The mean of initial arterial lactate in survivor group is low than the nonsurvivor. There are a sign{flcant differences between initial lactate level and ICU mortality (p=0,001). The cut off point was obtained at 3.0 mmolll. ROC analysis demonstrated that initial arterial lactate level (AUC=0.732) is worsen than SAPS II Score (AUC=0,915) as a predictor of ICU mortality. There is a weak correlation between initial lactate and SAPS II score.
Conclusion:
An high initial arterial lactate and SAP II score are independently associated with increased ICU mortality in Cipto Mangunkusumo Central Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Harry Pahala
"Introduksi:
Untuk menilai apakah kadar defisit basa inisial dapat menjadi prediktor mortalitas di UPI
Pasien dan metode:
Studi retrospektif selama periode November 2004 sampai Oktober 2005 yang dilakukan di UPI medis-bedah. Data diarnbil dari rekam medik: defisit basa dan variabel untuk skor SAPS II serta dinilai keluaran pasien (mati atau hidup). Kurva Receiver Operating dibuat, titik potong optimal ditentukan dan dinilai prognostik dari defisit basa inisial dan SAPS II. Koefisien Pearson digunakan untuk menilai hubungan antara defisit basa inisial dan skor SAPS U.
Hasil:
Dui 456 pasien yang dievaluasi, 40 pasien (9,4%) meninggal di UPI. Kelompok survivor memiliki rerata defisit basa inisial yang lebih rendah dibandingkan kelompok nonsurvivor. Terdapat perbedaan yang bermakna antara defisit basa inisial dengan mortalitas UPI (p=0,000). Titik potong ditetapkan pada -4,2 mmolll. Analisa ROC menunjukkan defisit basa inisial (AUC=0,711) lebih buruk dibandingkan skor SAPS II (AUC=0,98) sebagai prediktor mortalitas_ Terdapat hubungan yang lemah antara defisit basa inisial dan skor SAPS II.
Kesimpulan:
Defisit basa inisial dan skor SAPS II yang tinggi secara independen berhubungan dengan peningkatan mortalitas di UPI RSCM.

Introduction :
To examine initial base deficit could be used as a predictor of mortality in ICU
Patients & methods:
A retrospective study over a period from November 2004 until Oktober2005 was conducted in a medical-surgical ICU. Data were extracted from ICU medical records: the base deficits and variables for SAPS II score and also the outcome of those patients (survivor or nonsurvivor). Receiver Operating Curve were constructed, the optimal cut offpoint have been obtained and area under curve was used to asses the prognostic value of initial base deficit and SAPS IL The coefficient of Pearson were analyzed to asses the relation between initial base deficit and SAPS II score.
Main outcome:
Of the 456 evaluable patients, 40 patients (9,4%),were died in ICU Survivor had lower mean of initial base deficit than nonsurvivor. There are a significant differences between initial base deficit and ICU mortality (p= 0, 000). The cut off point was obtained at -4,2 mmol II. ROC analysis demonstrated that initial base deficit (AUC=O, 711) is worsen than SAPS II Score (A UC=0, 98) as predictor mortality. There is a weak correlation between initial base deficit and SAPS II score.
Conclusion:
A high initial base deficit and SAPS II score are independently associated with increased ICU mortality in Cipto Mangunkusumo Central Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Life table (also interchangeably called mortality table or actuarial table) is one instrument to define feasibility on life insurance, health insurance, or newly developed financial investment...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Qolby Lazuardi
"Unit Perawatan Intensif (UPI) merupakan bagian rumah sakit yang berfungsi untuk melakukan perawatan pada pasien yang mengalami penyakit dengan potensi mengancam nyawa. Data menunjukkan angka mortalitas pasien UPI dewasa di seluruh dunia memiliki rerata sekitar 10-29%, sedangkan di RSCM berada di kisaran 28,63-33,56%. Keadaan tersebut membuat kemampuan memprediksi luaran mortalitas menjadi penting untuk menentukan perawatan yang tepat. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) merupakan salah satu metode skoring yang dapat digunakan untuk memprediksi luaran mortalitas pasien, namun penelitian untuk menguji hal tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan skor LODS dalam memprediksi luaran mortalitas pasien dewasa UPI RSCM. Penelitian ini menggunakan 331 sampel data rekam medik pasien UPI RSCM, didapati hasil bahwa rerata pasien meninggal memiliki skor LODS yang lebih besar daripada pasien yang hidup, yaitu rerata 5,854 (median: 6) pada pasien meninggal, dan rerata 2,551 (median: 2) pada pasien yang hidup. Pada uji kalibrasi, didapati hasil Hosmer-Lemeshow test sebesar 0,524, yang menandakan hasil uji kalibrasi yang baik (>0,05). Sedangkan pada uji diskriminasi menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC), nilai Area Under the Curve (AUC) sebesar 79,2%, yang menandakan kemampuan diskriminasi dari skor LODS cukup (70-80%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa skor LODS dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam memprediksi luaran mortalitas pasien UPI RSCM.

Intensive Care Unit (ICU) is the part of hospital that do the care for patients with disease that threaten their life. Data shows that the mortality rate in ICU in the whole world revolved aroung 10-29%, and in RSCM revolved around 28,63-33,56%. This condition makes the ability to predict mortality outcome become important to help decide the correct treatment. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) is one of scoring method that is able to help predict patients mortality outcome, but there is still no study for this scoring method for adult patients in Indonesia. This study inteded to evaluate the ability of LODS scoring in predicting ICU RSCM patients mortality outcome. This study used 331 ICU RSCM patients as its samples, and the result shows that the mean LODS score of the patients that died is greater than the one that lives, the mean LODS score of the patients that died is 5,854 (median: 6), and the mean score of the patients that lives is 2,551 (median: 2). In calibration test using Hosmer-Lemeshow test, the result shows a good outcome that is 0,524 (P>0,05). While in discrimantion test using Receiver Operating Characteristic (ROC) curve, the Area Under the Curve (AUC) value is 79,2%, showing that the ability of LODS score to discriminate is sufficient. This results show that LOD score can be used as one of the refference to predict patients mortality outcome in ICU RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Perepa, terence
India: World Health Organization - SEARO, 1984
312.24 PER p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gershenson, Harry
Chicago: Society of Actuaries, 1961
312.23 GER m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>