Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dannissa Aryani
"ABSTRAK
Nama : Dannissa AryaniProgram Studi : Kajian Wilayah EropaJudul : Partai Alternative f r Deutschland dan Pengaruhnya Dalam Peningkatan Gerakan Populisme Sayap Kanan di Jerman Penelitian ini berfokus pada partai sayap kanan Alternative f r Deutschland AfD yang dianggap oleh media sebagai partai populis. Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti kemunculan gerakan populisme di Jerman dan bagaimana partai AfD yang dianggap partai populisme sayap kanan modern mendapat dukungannya, serta bagaimana media di Jerman melihatnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teori utama populisme milik Cas Mudde ditambah dengan analisis wacana kritis milik Teun Van Dijk untuk analisis medianya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populisme muncul di Jerman pada dekade awal pasca perang dunia kedua dan berkembang hingga saat ini, hingga muncullah partai AfD yang semakin mendapat dukungan karena memberikan alternatif baru bagi warga Jerman dan dari empat media yang analisis masing-masing memiliki pandangan tersendiri mengenai partai AfD, tergantung dari ideologi medianya. Kata kunci: populisme, Alternative f r Deutschland, ideologi, media massa di Jerman
ABSTRACT
Name Dannissa AryaniStudy Program Kajian Wilayah EropaTitle Alternative f r Deutschland Party and its Influence on the Rise of Right Wing Populism in Germany This research is focused on right wing party Alternative f r Deutschland AfD of Germany, which labelled by the media as Populist Party. The purpose of this research is to identify the emergence of populism in Germany and how AfD which is labelled as the modern right wing populist party receive the support from German people, also how the leading medias in Germany see this phenomena. The methods used in this research is qualitative method with the main theory of populism by Cas Mudde and additional critical discourse analysis theory by Teun Van Dijk to analyze the media articles. The result shows that populism in Germany emerged since the first decade of post WWII in Europe and is still developing until today and the AfD party received a big amount of support from the people because of its ldquo alternative rdquo policies. Finally, the leading medias analyzed indicates that each has its own view towards AfD party, depending on their media ideology. Keyword populism, Alternative for Germany, ideology, mass media in Germany"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryodi Wahyu Kurniawan
"Populisme berkembang di berbagai negara pada dua dekade terakhir, termasuk di Indonesia. Sebagian besar penelitian terkait populisme di Indonesia terpusat pada tokoh politik dan masih sedikit yang berfokus pada faktor-faktor psikologi sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara group relative deprivation (GRD), resentment, dan sikap populis, serta peran mediasi resentment terhadap hubungan antara GRD dengan sikap populis. Responden berjumlah 180 orang, 38,3% laki-laki dan 61,7% perempuan, dengan rata-rata umur 30 tahun (SD = 10,30). Hasil penelitian menunjukkan GRD berhubungan positif signifikan dengan sikap populis (r = 0,182, p < 0,05) dan resentment (r = 0,15, p < 0,05). Resentment ditemukan berhubungan positif signifikan dengan sikap populis (r = 0,231, p < 0,01). Selain itu, resentment memiliki efek mediasi parsial yang signifikan terhadap hubungan GRD dengan sikap populis (β = 0,06, SE = 0,04). Dapat disimpulkan bahwa GRD dapat memprediksi sikap populis dan hubungan tersebut dimediasi oleh resentment. Penelitian ini melengkapi kerumpangan hasil penelitian tentang hubungan antara GRD terhadap sikap populis dengan resentment sebagai mediator, serta mengetahui faktor afektif yang berhubungan dengan sikap populis. Hasil dari penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi publik agar mendasarkan penentuan keberpihakan dan dukungan politik dengan lebih kritis dan rasional, bukan dilandaskan oleh narasi kampanye yang mempolitisasi perasaan kekurangan dari rakyat dan kemarahan rakyat semata.
......Populism has developed in various countries in the last two decades, including in Indonesia. Most of the research related to populism in Indonesia has focused on political figures and only a few have focused on social psychology factors. This study aims to determine the relationship between group relative deprivation (GRD), resentment, and populist attitudes, as well as the role of mediating resentment on the relationship between GRD and populist attitudes. Respondents totaled 180 people, 38,3% male and 61,7% female with an mean age of 30 years (SD = 10.30). The results showed that GRD had a significant positive relationship with populist attitudes (r = 0.182, p < 0.05) and resentment (r = 0.15, p < 0.05). Resentment was found to be significantly and positively related to populist attitudes (r = 0.231, p < 0.01). In addition, resentment has a significant partial mediating effect on the relationship between GRD and populist attitudes (β = 0.06, SE = 0.04). It can be concluded that GRD can predict populist attitudes and the relationship is mediated by resentment. This study completes the gap in research results on the relationship between GRD on populist attitudes and resentment as a mediator, as well as looking at affective factors related to populist attitudes. The results of this research can also be useful for the public in order to base their determination on political alignments and support more critically and rationally, instead of being based on campaign narratives that politicize the people's feelings of inadequacy and people's anger alone.

"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Khirzul Alim
"ABSTRAK
Stand-up comedy tengah menjadi fenomena baru di industri hiburan tanah air. Sebagai hiburan yang digandrungi generasi milenial, stand-up comedy kerap masuk dalam ranah sensitif seperti agama. Kondisi ini menarik perhatian dan perdebatan dikalangan generasi milenial Indonesia. Pro dan kontra muncul dan bahkan tengah merepresentasikan sebuah kubu atau keterbelahan masyarakat. Karakter milenial yang sensitif dan mudah terpengaruh oleh tren media sosial disinyalir memberi angin segar bagi tren populisme di Indonesia yang akhir-akhir ini masih terasa kuat pasca politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Sementara itu, populisme di Indonesia telah berhasil mengawinkan isu-isu ketimpangan ekonomi, politik dan agama. Perkawinan tersebut bermuara pada satu politik identitas yang mereduksi kesempatan etnis dan agama yang dianggap berbeda. Ujungnya, ketahanan nasional sebagai sebuah komunitas besar yang disebut bangsa terancam retak. Tidak hanya di Indonesia, tren populisme ini sebelumnya tengah terjadi di Amerika dengan ditandainya kemenangan Trump pada pemilihan Presiden Amerika dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa British Exit 2016 silam. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komedi di tengah era populisme pada generasi milenial. Pendekatan penelitian ini menggunakan penelitian campuran dengan strategi sequential explanatory. Survei penelitian ini menggunakan 3 tiga basis video. Wawancara digunakan untuk menggali informasi tentang beberapa jawaban dalam survei. Penelitian ini mengemukakan bahwa generasi milenial Indonesia tengah terpapar populisme, sakralitas agama masih menjadi kerangka berpikir generasi milenial dalam menginterpretasikan fenomena atau realitas sosial yang sedang terjadi yang berkaitan dengan agama. Adanya keterbelahan generasi milenial yang merepresentasikan kubu dan saling berhadap-hadapan. Menguatnya segregasi melahirkan krisis kebangsaan dan mengancam ketahanan nasional. Meski demikian, situasi keterbelahan yang terjadi masih menunjukkan adanya nasionalisme banal yang masih melekat dalam diri generasi milenial.

ABSTRACT
Stand up comedy is becoming a new phenomenon in the home entertainment industry. As entertainment is loved millenial generation, stand up comedy often enter in the sensitive sphere like religion. This condition attracted the attention and debate among millenial generation of Indonesia. Pros and cons arise and even represent a stronghold or society 39 s split. Milenial characters are sensitive and easily influenced by social media trends allegedly give fresh wind to the trend of populism in Indonesia that lately still feels strong post identity politics in elections DKI Jakarta 2017 ago. Meanwhile, populism in Indonesia has successfully married issues of economic, political and religious imbalance. The marriage comes down to an identity politics that reduces ethnic and religious opportunities that are perceived differently. In the end, the national resilience as a great community called the nation threatened to crack. Not only in Indonesia, the trend of populism was previously happening in America with marked Trump victory in the election of the American President and the exit of Britain from the European Union British Exit 2016 ago. This study aims to analyze comedy in the middle of the era of populism in the millennial generation. This research approach uses mixed research with sequential explanatory strategy. The research survey used 3 three video bases. Interviews are used to gather information about some answers in the survey. This research suggests that the millennial generation of Indonesia is being exposed to populism, the sacrality of religion is still the millennial generation 39 s framework in interpreting the current social phenomenon or reality that is related to religion. The existence of millenial generation of separation that represents the stronghold and face to face. The strengthening of segregation gave birth to the national crisis and threatened national resilience. Nevertheless, the situation of the occurrence still shows the existence of banal nationalism that is still inherent in the millennial generation."
2018
T51300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Daniel P.
"Ernesto Laclau membuka cakrawala baru dalam memahami yang-politis, saat politik dipahami semata-mata sebagai perkara administrasi, birokrasi dan teknokrasi. “Politik” direduksi menjadi sekadar “politik kepentingan”, artinya pencapaian kepentingan berbeda-beda yang ditentukan sebelumnya dan terpisah dari kemungkinan artikulasinya dalam diskursus-diskursus alternatif yang berkompetisi satu sama lain. Dengan cara berpikir demikian, maka konflik, antagonisme, relasi kekuasaan, bentuk-bentuk subordinasi, dan represi yang menjadi kekhasan wilayah politik menjadi hilang. Menurut Laclau, yang-politis hanya bisa dipahami di dalam logika populisme. Laclau memosisikan populisme justru sebagai jalan paling baik untuk memahami pembentukan ontologis dari yang-politik. Yang-politis hanya bisa dipahami dalam logika populisme. Laclau memahami populisme sebagai usaha unifikasi simbolik kelompok di seputar individu bagai suatu yang inheren untuk membentuk kesatuan “orang-orang”. 
......Ernesto Laclau has opened up a new horizon in understanding the concept of the political in a system that understood politics merely as administrative, bureaucratic and technocratic issues. The term “politics” has been reduced merely to ‘political interest’, which means that achieving these interests is different and determined in advance and separated from its possible articulation among competing discourses. Therefore, according to this reasoning, the specific characteristics of the political arena, namely conflicts, antagonisms, power relations, forms of subordination and repression, disappear from the equation. According to Laclau, the political can be understood only through the logic of populism. Laclau viewed populism as the best way to understand the ontological formation of the political. For Laclau, the symbolic unification of the group around an individuality is inherent to the formation of a “people”."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Kusumo
"ABSTRAK
Studi ini menganalisis fenomena Aksi Bela Islam ldquo;411 rdquo; dan ldquo;212 rdquo; tahun 2016 oleh Gerakan Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia GNPF-MUI dalam perspektif populism. Argumentasi dalam penelitian ini adalah Aksi Bela Islam oleh GNPF-MUI merupakan gerakan populisme dalam bentuk strategi politk dan termasuk dalam varian populisme Islam. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus case study . Adapun instrumen penelitian yang akan digunakan untuk mendapatkan data adalah melalui wawancara dan pemberitaan seputar GNPF-MUI di berbagai media massa. Temuan dari penelitian ini didapatkan penjelasan bahwa penyebab kemunculan Aksi Bela Islam oleh GNPF-MUI adalah adanya konteks Ahok menjadi kontestan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, sentiment anti-Ahok, dan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Aksi Bela Islam GNPF-MUI merupakan pupulisme dalam bentuk strategi politik Jansen, 2011 karena mampu memobilisasi massa yang berasal dari kalangan yang terpinggirkan dari sektor sosial dan berbagai ormas Islam, diajak untuk melakukan tindakan politik dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 untuk tidak memilih Ahok anti Ahok . Di dalam Aksi Bela Islam GNPF-MUI juga terdapat elemen populisme Islam Vedi R. Hadiz , yaitu koalisi multi kelas yang terbentuk dari berbagai ormas Islam, disatukan oleh identitas bersama yang sengaja dibentuk yaitu sebagai pembela Islam Islamic Defender dengan seruan ldquo;Bela Quran rdquo; sebagai pemersatu.Kata kunci : penyebab kemunculan, strategi politik, mobilisasi massa, populisme Islam.

ABSTRACT
This study analyzes the phenomenon of Aksi Bela Islam 411 and 212 in 2016 by the Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia GNPF MUI in the perspective of populism. The argument in this research presents that the Aksi Bela Islam by GNPF MUI is a populist movement in the form of political strategy and included into one of Islamic populism. This research uses qualitative approach with case study method. The data obtained by interviewing and researching news about GNPF MUI in various mass media. This study finds that the cause of the emergence of Aksi Bela Islam by GNPF MUI are the existence of Ahok related to his status as candidate of Jakarta rsquo s Governor elections in 2017, anti Ahok sentiment, and the blasphemy of Ahok. The Aksi Bela Islam of GNPF MUI is a populism in the form of political strategy Jansen, 2011 because it is able to mobilize people from various background such as the marginalized, Islamic mass organizations, who were invited to take political action not to vote Ahok anti Ahok in Jakarta elections 2017. In the Aksi Bela Islam of GNPF MUI there is also an element of Islamic populism Vedi R. Hadiz , a multi class coalition formed from various Islamic mass organizations, united by a commonly formed identity of the defender of Islam Pembela Islam with the call Bela Quran as a unifier.Keywords causes of emergence, political strategy, mass mobilization, Islamic populism"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariansyah Arsyi
"Kemenangan Pakistan Tehreek-e-Insaf pada pemilihan umum Pakistan 2018 menjadi fenomena tersendiri dalam kontestasi politik di Pakistan. Partai yang dipimpin oleh Imran Khan ini berhasil secara cukup signifikan mengalahkan kekuatan-kekuatan partai politik lama yang telah bergantian memimpin parlemen Pakistan, seperti Pakistan Muslim League Nawaz dan Pakistan People’s Party. Dalam hal ini, penggunaan narasi populisme menjadi senjata utama bagi Imran Khan dan partainya dalam menyaingi partai-partai lama tersebut. Narasi dikotomis antara identitas kelompok elit korup dengan the people yang menginginkan perubahan, serta retorika anti Barat dan islamisme yang kuat, merupakan ciri khas dalam strategi politik Imran Khan yang pada tahun 2018 berhasil menjadi Perdana Menteri Pakistan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi komunikasi dan sikap populis Imran Khan dalam kemenangan Pakistan Tehreek-e-Insaf pada pemilihan umum Pakistan 2018. Dengan melakukan studi literatur melalui metode kualitatif, tulisan ini menyimpulkan bahwa strategi komunikasi dan sikap populis lewat konstituen kedaulatan the people, people-centrism, dan anti elitisme yang digunakan oleh Imran Khan berhasil dalam memenangkan Pakistan Tehreek-e-Insaf pada pemilihan umum Pakistan 2018.
...... Pakistan Tehreek-e-Insaf’s victory in the 2018 Pakistan general election has become a phenomenon in Pakistan’s political contest. The party led by Imran Khan has succeeded
in significantly defeating the forces of the old political parties which have taken turns leading the Pakistan parliament, such as the Pakistan Muslim League Nawaz and the Pakistan People’s Party. In this case, the use of populism narratives is the main weapon for Imran Khan and his party in competing with these old parties. The dichotomous narrative between the corrupt elite groups and people who want change, as well as strong anti-Western rhetoric and islamism, are the characteristics of Imran Khan’s
political strategy, which in 2018 succeeded in becoming the Prime Minister of Pakistan. This study aims to analyze Imran Khan’s populist communication and attitude strategy in Pakistan Tehreek-e-Insaf’s victory in the 2018 Pakistan general election. By conducting a literature study through qualitative methods, this paper concluded that the populist communication and attitude strategy through the constituents of the people’s sovereignty, people-centrism, and anti-elitism used by Imran Khan was successful in winning Pakistan Tehreek-e-Insaf at the 2018 Pakistan general election."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Anggraini
"ABSTRAK
Tahun 2010 ketika Viktor Orban terpilih sebagai Perdana Menteri Hungaria, populisme semakin kuat hingga berujung dengan kemunculan iliberalisme demokrasi di Hungaria. Bentuk pemerintahan di era Viktor Orban cukup bertentangan dengan nilai dan prinsip Uni Eropa yang termaktub dalam Artikel 2 Treaty on European Union (TEU), yaitu berdasarkan kebijakannya, Hungaria dianggap telah membahayakan nilai demokrasi, hak asasi manusia, nilai kebebasan, dan supremasi hukum. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut dengan menggunakan konsep populisme. Sebagai salah satu negara anggota Uni Eropa, Hungaria mendapat berbagai teguran dan peringatan dari Uni Eropa. Viktor Orbán pun seringkali tidak mempedulikan peringatan Uni Eropa, sehingga berujung pada keputusan Uni Eropa yang pada akhirnya sepakat untuk melakukan aktivasi mekanisme Artikel 7 TEU pada September 2018. Berdasarkan Artikel 7 TEU, Uni Eropa melalui hasil pemungutan suara Parlemen Eropa telah menyepakati bahwa terdapat clear risk of a serious breach di Hungaria. Sampai dengan saat ini, proses kelanjutan reaksi Uni Eropa terhadap Hungaria measih menunggu keputusan dari Komisi, yaitu menunggu hasil apakah Hungaria akan diberikan sanksi atau tidak. Kesepakatan untuk melakukan aktivasi mekanisme Artikel 7 TEU juga merupakan hal yang pertama kali dilakukan oleh Uni Eropa sejak institusi tersebut dibentuk, sehingga penelitian ini menggunakan teori liberal intergovernmentalisme untuk melihat lebih dalam terkait proses terbentuknya keputusan Uni Eropa tersebut.

ABSTRACT
In 2010 when Viktor Orban was elected Prime Minister of Hungary, populism grow stronger until it ended with the emergence of the illiberalism democracy in Hungary. The form of government in the Viktor Orban era is quite contrary to the values and principles of the European Union as contained in Article 2 of the Treaty on European Union (TEU), which is based on its policy, Hungary is considered to endanger the values of democracy, human rights, values of freedom, and the rule of law. Therefore, this study aims to research further using the concept of populism. As one of the European Union member states, Hungary has received various warnings from the European Union. Viktor Orban often ignored the EUs warnings, which led to the European Unions decision finally agreed to activate the mechanism of Article 7 TEU in September 2018. Based on Article 7 TEU, the European Union passed the results of the European Parliaments agreement that there was clear risk of a serious breach in Hungary. Until now, the process of continuing the European Unions reaction to Hungary has awaited a decision from the Commission, which is awaiting the results of whether or not Hungary will be sanctioned. The agreement to activate the Article 7 TEU mechanism is also the first thing that has been done by the European Union since the institution was formed, so that this study uses the liberal intergovernmentalism theory to look deeper into the process of the European Unions decision"
Depok: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2019
T52496
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alva Lashyadi
"Beberapa tahun terakhir, populisme menjadi fenomena politik yang terjadi di berbagai negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada fenomena politik menjelang kontestasi Pilkada 2017 DKI Jakarta. Hadirnya kelompok massa yang menamakan dirinya sebagai Aksi Bela Islam membentuk populisme yang dilandaskan pada agama Islam, yang kemudian disebut dengan populisme Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat sebagai instrumen penting atas terjadinya krisis representasi dalam perkembangan demokrasi representatif di Indonesia. Meski begitu, alih-alih menjadi jawaban atas krisis representasi yang ada, dampak dari hal ini justru dapat menimbulkan krisis representasi bagi warganegara yang bukan merupakan bagian kelompok tersebut, serta berpotensi menjadi penghambat atas perkembangan demokrasi. Guna merespons hal tersebut, penulis akan mengangkat demokrasi deliberatif demi menjaga nilai-nilai demokrasi atas hadirnya populisme Islam di Indonesia.
ABSTRACT
In recent years, populism has become a political phenomenon that occurs in various countries in the world, including in Indonesia. This can be seen in the political phenomenon ahead of the regional election 2017 DKI Jakarta.. The presence of a mass group that calling itself the Action to Defend Islam formed populism based on Islam, which is later called Islamic populism in Indonesia. This can be seen as an important instrument for the crisis of representation in the development of representative democracy in Indonesia. Even so, instead of being the answer to the existing crisis of representation, the impact of this can actually create a crisis of representation for citizens who are not part of that group, and have the potential to become an obstacle to the development of democracy. In response to this, the author will raise deliberative democracy in order to maintain democratic values over the presence of Islamic populism in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wortman, Richard
New York: Cambridge University Press, 1967
320.947 WOR c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Love, Peter
Carlton, Victoria: Melbourne University Press, 1984
361.65 LOV l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>