Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raden Mas Ngabehi Sumahatmaka
Abstrak :
Buku ini berisi uraian tentang teosofi yang berkaitan dengan ?terjadinya? manusia. Menurut penulis, proses terjadinya manusia ada 7 (tujuh) tahapan, yaitu: 1. Badan kasar atau wadag; 2. Badan rarangkepan; 3. Prana; 4. Badan pepenginan, badan bagian bawah; 5. Manas/juru cipta (pandamelan ing manas); 6. Atma; 7. Budi.
Kediri: Boekhandel Tan Khoen Swie, 1923
BKL.0442-PW 100
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Naupal
Abstrak :
Konsep mengenai Tuhan bersifat fluksitas atau mengalir. Makna kata "Tuhan" terus menerus mengalami pengayaan semantis dan sosio-pragmatis. Perjalanan konsep Tuhan berkembang sesuai dengan perkembangan alam pikiran manusia Sejarah perkembangan manusia memperlihatkan adanya aliran-aliran dalam konsep ketuhanan, misalnya dikenal konsep teisme, deism; panteisme dan lain sebagainya Aliran-aliran itu muncul sebagai keragaman cara pandang terhadap realitas yang tertinggi dari fenomena di batik dunia yang tampak. Kekayaan makna konseptual Tuhan menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelisahkan penulis. Apa yang menyebabkan keragaman tersebut muncul dan apakah ada suatu landasan dasariah atas keragaman tersebut. Pertanyaan tersebut muncul sebagai akibat dari realitas empirik yang memperlihatkan bahwa konsep tentang Tuhan sernakin terpragmentasi dan multiperspektif; bahkan dalam satu agama pun orang mungkin memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhannya. Hal ini dapat terjadi karena konsep Tuhan tidak lahir dari ruang hampa budaya, melainkan dari interpretasi dan penalaran manusia yang terbungkus dalam konteks. Cara pandang manusia tentang Tuhan dalam perjalanan selanjutnya dilandasi oleh dua sumber: 1. Akal budi (rasio), yang menghasilkan argumen filosofis mengenai keberadaan Tuhan 2. Pengungkapan (revelation) yang tertuang dalam teks-teks suci (wahyu) dengan argumen teologisnya. Kedua sumber itu yang kemudian sering kali menjadi dua kutub yang saling bertubrukan dan bergesekan, yaitu kebenaran wahyu dan kebenaran akal budi. Kedua legitimasi kebenaran tersebut bagaikan pendulum selalu berayun dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain sehingga ada kelompok yang menafikan kebenaran akal budi dan hanya mau menerima kebenaran wahyu, seperti kelompok aliran kebatinan dalam Islam atau yang terlihat pada masa dark ages sebagian umat Kristiani di Eropa pada abad pertengahan. Sedang sisi ekstrim kebenaran akal terlihat pada para filsuf positivistik yang menafikan segala yang berbau metafesik termasuk Tuhan. Sikap berlebih-lebihan dari dua kelompok tersebut mendapat perhatian yang cukup mendalam dari para filsuf ketnhanan. Tesis ini akan menunjukkan bagaimana Al-Ghazali dan Thomas Aquinas sebagai tokoh filsuf ketuhanan dalam Islam dan Kristen berusaha mendamaikan kedua paham ekstrim tersebut dengan argumen-argumen yang kokoh. Baik Al Ghazali maupun Thomas Aquinas berusaha menempatkan kedudukan akal dan wahyu secara proporsional sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pandangan kedua filsuf tentang kedudukan akal dan wahyu sangat penting untuk dipahami, karena akan mengantarkan kita kepada pemahanan akan pernikiran filsafat ketuhanan mereka, seperti tentang konsep keesaaan, transendensi dan imanensi, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Walaupun ada beberapa hal yang berbeda tentang konsep ketuhanan dari kedua tokoh tersebut, karena perbedaan agama, budaya, dan latar belakang kehidupan dan gagasan dasar ide ketuhanan, tapi keduanya telah berusaha memurnikan ajaran agama masing-masing dari segala bidang, baik dari kaum filsuf dan kaum teolog. Keduanya telah menggunakan argumentasi argumentasi rasional dan filosofis bagi eksistensi Allah dengan tetap menaruh pertalian yang besar terhadap kebenaraan wahyu sebagai argumen tekstual yang bersifat adi kodrati. Pemikiran-pemikiran filosofis tentang konsep ketuhanan dari Al-Ghazali dan Thomas Aquinas masih perlu untuk diteliti, bahkan tetap relevan hingga kini, walaupun keduanya hidup pada abad pertengahan, sebab ajaran-ajaran mereka hingga kini masih tetap dilestarikan dan terus dikaji. Di hampir seluruh Pondok Pesantren di Indonesia, karya-karya Al-Ghazali masih menjadi bacaan wajib, demikian juga ajaran Thomas Aquinas masih terus dipelajari, bahkan para mahasiswa di Sekolah Tinggi Driyarkara begitu akrab dengan Thomisme.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Etika lingkungan berdasarkan pada kesatuan wujud Teosofi Transenden merupakan kritik terhadap paradigma modern yang bercorak antroposentris. Perspektif ini memiliki keyakinan bahwa hanya manusia yang memiliki nilai di dalam dirinya (nilai intrinsik) sedang nilai yang terdapat pada alam semata instrumental dalam kaitannya dengan kepentingan manusia. Di sisi lain ia juga mengkritik pandangan ekosentrisme yang memandang alam memiliki nilainya sendiri terlepas dari kepentingan manusia. Prinsip kesatuan wujud (oneness of being, waḥdat al-wujūd) merupakan argumentasi ontologis para filsuf Muslim, termasuk di dalamnya Mulla Sadra sebagai pendiri aliran Teosofi Transenden. Teosofi Transenden sendiri merupakan perspektif yang relatif baru dalam tradisi filsafat Islam yang mendasarkan dirinya pada sintesis-kreatif dan harmonisasi semua aliran filsafat.
297 KANZ 4:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar P. Nugraha
Jakarta: Komunitas Bambu , 2001
320.5 ISK m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar P. Nugraha
Jakarta: Komunitas Bambu , 2001
320.5 ISK m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar P. Nugraha
Jakarta: Komunitas Bambu , 2001
320.5 ISK m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar P. Nugraha
Abstrak :
Gerakan Theosofi merupakan salah satu elemen penting pembangkit kesadaran nasionalisme di kalangan masyarakat bumiputra ( Indonesia ) pada permulaan abad 20. Hal ini dimungkinkan karena organisasi Theosofi menjelma menjadi organisasi transisi yang menjalankan peran sebagai jembatan atau katalisator sebagian kaum intelektual terpelajar Indonesia yang tengah berubah dari masyarakat berpola pikir kolonial dan beridentitas kedaerahan kepada masyarakat baru yang menuju corak dan identitas nasional yang sesungguhnya. Peran ini dimungkinkan karena berpadunya konsep-kon_sep Theosofi dengan gagasan-gagasan asosiasi dalam konteks Politik Etika Pemerintah Hindia Belanda. Melalui konsep itu, pelbagai aktivitas serta kepeloporan tokoh-tokohnya yang sebagian besar kalangan penting dan terpelajar di Hindia-Belanda, organisasi Theosofi menjadi agen bagi terjadinya proses tranformasi ide-ide yang kemudian bermuara pada kesadaran kebangsaan yang kuat di antara masyarakat bumiputra terpelajar. Proses ini berjalan terus, bahkan ketika organisasi Theosofi perlahan pudar pengaruhnya sejak tahun 20-an. Penyebabnya : adanya warisan kalangan asosiasi pengikut Gerakan Theosofi berupa pranata pendidikan (sekolah guru dan sekolah Arjuna), yang tampaknya menjembatani munculnya perasaan-perasaan atau jiwa kebangsaan. Proses tersebut sama sekali tidak dimaksudkan para pelopor dan aktivisnya yang kebanyakan orang Eropa (Belanda) itu. Maka ketika nasionalisme yang sesungguhnya mulai muncul semenjak tahun 20-an, peran sebagai bapak angkat kaum intelektual Indonesia, yang antara lain telah mempengaruhi perkembangan nasionalisme awal, seperti yang tampak dalam organisasi BO, IP, dan Jong Java, tampaknya harus segera berakhir. Organisasi ini harus menyingkir dari kancah pergerakan nasional yang tidak lagi memberi tempat bagi para penganut gagasan asosiasi. Itulah sebabnya posisi Gerakan Theosofi menjadi sulit ditempatkan di tengah-tengah masyarakat yang secara tidak sadar atau tidak sengaja dibesarkan dan didewasakan, lewat kiprahnya yang sangat dinamis pada awal abad ini hingga tahun 1930-an.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library