Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, M. Arifin
"ABSTRAK
Sistem pelayanan CT Scan yang diselenggarakan UPF Radiodiagnostik RS. Dr. Cipto Mangunkusumo setiap tahun cenderung mengalami antrian pasien yang panjang. Berdasarkan wawancara dan pengamatan lokasi penelitian, ternyata antrian pasien yang membutuhkan pelayanan CT Scan mencapai dua minggu lamanya. Dengan mengacu pada REPELITA ke V RSCM Tahun 1989, bahwa salah satu upaya yang akan dilakukan adalah peninngatan mutu pelayanan medis agar dapat memberikan pelayanan yang cepat, tepat, aman dan efisien, maka antrian yang terjadi pada sistem pelayanan CT Scan merupakan salah satu masalah yang harus di atasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik antrian pada sistem pelayanan CT Scan dengan menggunakan model M/M/1 dari queueing (waiting line) theory dan untuk mendapatkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan pelayanan CT Scan menjadi lebih optimal.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kegunaan fasilitas pelayanan CT Scan belum optimal. Pasien tidak ada yang dilayani tepat jam 08:00 WIB dan umumnya pelayanan telah selesai sebelum jam 14:00 WIB.
Akhirnya dua saran yang dikemukakan untuk mengatasi masalah antrian ini, yaitu penambahan peralatan CT Scan dan penyempurnaan metode kerja yang sesuai bagi sistem pelayanan CT Scan di UPF Radiodiagnostik RS.Dr. Cipto Mangunkusomo"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Iman Wibisono
"Pemanfaatan sinar x sebagai pemindai organ guna menegakan diagnostik masih menjadi pilihan popular dalam dunia kesehatan. Di dalam dunia medis CT Scan cukup memberikan nilai kontribusi dosis yang tinggi. Sehingga perhitungan terhadap dosis yang diterima tubuh dalam pemeriksaan CT Scan penting untuk dipantau. Hingga saat ini yang menjadi referensi dosis, yang diterima pada pemeriksaan CT Scan umumnya menggunakan metode perhitungan CTDI, menggunakan Panthom PMMA yang berbentuk bulat atau silinder. Dan realitasnya postur tubuh manusia tidak bulat sempurna, sehingga penulis merasa perlu diadakan koreksi geometri terhadap phantom PMMA yang digunakan dengan postur tubuh manusia. Untuk itu penulis melakukan survey tebal tubuh manusia sebagai nilai koreksi geometri tersebut, dengan ukuran dewasa dengan rentang usia diatas 15 tahun,adalah 23 cm (kepala),31 cm (rongga thorax), 29,6 cm (abdominal) dan ukuran anak - anak, rentang usia 1-15 tahun, adalah 17 cm (kepala), 21 cm (rongga thorax), 21 cm (abdominal) kemudian merealisaikannya dalam variasi ukuran phantom, sehingga didapat nilai normalisasi CTDI dalam berbagai ukuran. Penggunaan tebal irisan atau bukaan kolimasi yang lebih kecil akan memberikan nilai CTDIw yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan penggunaan tebal irisan atau bukaan kolimasi yang lebih besar, yang dapat dilihat pada pesawat single slice antara tebal slice 3 mm dengan 1 mm memiliki prosentase rasio nilai CTDIw 3 mm terhadap 1 mm sebesar 50,3%? 51,6%. Sedangkan pada pesawat multi slice rasio prosentase tersebut adalah 105,1%-108,2% pada bukaan kolimator 5 mm dengan 1,2 5mm, begitu pula dalam penggunaan variasi ukuran phantom rasio prosentase nilai CTDIw pada pesawat single slice antara phantom 16 cm dengan 10 cm sebesar 75,3% - 77%, sedangkan pada pesawat multi slice prosentase rasio tersebut adalah 76,9 % ? 82,4 % antara phantom diameter 16 cm dan 10 cm, maka didapat nilai CTDIw Phantom 10 > nilai CTDIw Phantom 16 > nilai CTDIw Phantom 32. Sehingga perlu diperhatikan nilai dosis pada organ dengan diameter yang lebih kecil (pada anak-anak), dikarenakan nilai dosis yang diterima organ dengan diameter lebih kecil akan berbeda dengan organ yang diameter besar, walau menggunakan kondisi atau parameter pesawat yang sama.

Utilization of x-rays as an organ in order to establish diagnostic scanner is still a popular choice in the health world. In the world of medical CT scans give a fairly high dose contribution. So that the calculation of the dose received in the body CT scan is important to monitor. Until now the reference dose, which received CT scans generally use CTDI calculation method, using PMMA Panthom round or cylinder shaped. And the reality is the human's body is not perfectly round, so I felt needed to be corrected geometry of PMMA phantom used with the human's body. To the authors conducted a survey of the human body thick as the geometry correction value, with an adult size by age range above 15 years old, is 23 cm (head), 31cm (thoracic cavity), 29.6 cm (abdominal) and the size of the children, the range 1-15 years old, is 17 cm (head), 21 cm (thoracic cavity), 21 cm (abdominal) then aplicated in phantom size variation, so the normalized CTDI values obtained in various sizes. The use of thick slices or smaller openings colimation will provide CTDIw a higher value when compared with the use of thick slices or colimator larger openings, which can be viewed on a single slice plane between 3 mm with 1 mm thick slice has the percentage ratio of the value CTDIw 3 mm to 1 mm amount to 50.3% - 51.6%. While on the plane multi-slice percentage ratio was 105.1% -108.2% at 5 mm aperture collimator with 1.25 mm, as well as variations in the use of phantom size ratio of the percentage of the value CTDIw on a single plane between the phantom of 16 cm by 10 cm by 75 , 3% - 77%, while on the plane multi-slice percentage ratio was 76.9% - 82.4% between the phantom size of 16 cm and 10 cm, so that the obtained values CTDIw Phantom 10 > value CTDIw Phantom 16 > value CTDIw Phantom 32 Thus, to consider the dose to the organ with a smaller diameter (in children), because the value of the dose received organs with a smaller diameter will vary with the diameter of the organ, although the conditions or parameters using the same plane"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S42344
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Simatupang, Lydia D.
"We reported here a rare case of a 62 year old male patient with obstructive jaundice due to bile duct tumor. The main clinical features were yellowish eye and skin, followed by pruritus and clay-colored stool. Ultrasonography showed common bile duct dilatation and without evidence of stones. Computed Tomography Scan of upper abdomen showed a mass which were thought of head of pancreas origin. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatograph revealed tight narrowing of the distal bile duct to a malignant tumor. A stent was inserted to allow biliary drainage, A surgical plan for billio digestive anastomosis was rejected by the patient and family."
The Indonesia Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy, 2004
IJGH-5-1-April2004-36
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Penggunaan CT sken kepala pada pasien cedera kranioserebral ringan (CKR), saat ini masih kontroversial. Penelitian ini mempunyai tujuan mengetahui gejala klinis bermakna yang berhubungan dengan adanya gambaran CT sken abnormal pada pasien CKR dengan Skala Koma Glasgow (SKG) 13 - 15. Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menganalisa catatan medik yang dibuat seragam pada penderita CKR dengan SKG 13 - 15 yang dirawat inap di ruang rawat Bagian Neurologi RSCM tahun 1999 - 2001. Hasil penelitian diperoleh data bahwa dari 1663 penderita dengan cedera kranioserebral, yang dirawat terdapat 1166 (70.1 %) penderita CKR dengan SKG 13-15. Dari pasien CKR yang dirawat, hanya 271 (23.2 %) penderita yang menjalani pemeriksaan CT Sken. Kelainan CT Sken yang ditemukan diantaranya edema serebri (11.4 %), perdarahan intra parenkhimal (10.7%), perdarahan epidural (16.2 %), perdarahan subdural (18.1 %), perdarahan subarakhnoid (5.5 %) dan campuran (13.8 %). Analisis lanjutan menunjukkan bahwa gangguan saraf otak, amnesia, kehilangan kesadaran lebih dari 10 menit dan muntah bermakna secara statistik dengan kelainan CT Sken. Kombinasi keempat gejala klinis tersebut mempunyai sensitifitas yang tinggi (90 %) dalam memprediksi adanya kelainan pada gambaran CT sken. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi patokan untuk menganjurkan CT Sken kepala pada penderita CKR dengan SKG (13 – 15). (Med J Indones 2004; 13: 156-60)

There is still a controversy among the neurologists whether brain CT scan must be performed on the mild head trauma patients. This study was executed to find out the correlation between the brain CT scan image findings and its clinical impairment among the mild head trauma patients with Glasgow Coma Scale (GCS) score of 13 to 15. The study was a retrospective study by analyzing the uniform medical records of the head trauma patients hospitalized at the Neurology ward of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital within the period of 1999 to 2001. During that period 1,663 patients were hospitalized due to head trauma, and 1,166 of them (70.1 %) were suffered from mild head trauma patients with GCS score of 13-15. Among those with brain CT scan examinations (N: 271), the neurological abnormalities were found on 144 (53.1%) of patients, consisted of cerebral edema (11,4%), intracerebral hemorrhage (5.5%), epidural hemorrhage (16.2%), subdural hemorrhage (18.1%), subarachnoid hemorrhage (5.5%), and combination (13.8%). The further analysis showed that cranial nerves disturbance, amnesia, loss of conciousness for more than 10 minutes, and vomiting are significantly correlated to the brain CT scan abnormality. Combination of the above four clinical signs and symptoms have sensitivity of 90 % in predicting brain insults. This findings may be used as a simple set of clinical criteria for identifying mild head trauma patients who need undergo CT scan examination. (Med J Indones 2004; 13: 156-60)"
Medical Journal of Indonesia, 13 (3) Juli September 2004: 156-160, 2004
MJIN-13-3-JulSep2004-156
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Oktarina
"Stroke atau cerebrovascular accident(CVA) merupakan penyebab kematian nomor tiga di Amerika Serikat dan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di Indonesia. Stroke merupakan penyakit kronis yang bersifat menetap dan tidak dapat pulih secara total yang disebabkan oleh adanya gangguan peredaran darah otak (GPDO) (Mansjoer et al, 2000; Taylor, 1999). Efek yang ditimbulkan dari CVA beragarn, tergantung pada daerah otak yang terganggu. Selain kelumpuhan, kesulitan berbicara, dan memori yang terganggu, gangguan yang sering rnuncul adalah afasia yaitu gangguan pada kemampuan menggunakan kata-kata (Davison & Neale, 1996).
Gangguan bahasa (Afasia) merupakan salah satu akibat dari kerusakan hemisfer kiri pada pasien stroke yang kinan. Salah satu alat diagnostik untuk melakukan pengukuran dalam bidang neuropsikologi yaitu TADIR (Tes afasia, diagnosa, inforrnasi, dan rehabilitasi). Melalui TADIR dapat dilihat sindrom afasia yang diderita oleh pasien. Pembagian sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasiiikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass dan Kaplan. Atas dasar aspek-aspek penamaan, kelancaran, peniruan dan pernahaman auditif, maka
Goodglass 3: Kaplan (dalam Dharmaperwira-Prins, 2002) menyusun klasifikasi sindrom-sindrom afasia. Setiap sindrom afasia dihubungkan dengan suatu tempat kerusakan tertentu di otak. Salah satu tujuan pemeriksaan ialah menenlukan letak kerusakan. Penelitian yang dilakukan oleh Kertesz (dalam Dharmaperwira-Prius, 2002) dengan menggunakan CT-scan, secara garis besar membenarkan lokalisasi sindrom afasia klasifikasi Boston (Dharmaperwira-Pnns, 2002).
Sementara itu dibidang kedokteran, khusuanya secara neurologis, untuk diagnostik lebih lanjut yang menunjukkan tempat kerusakan di otak dapat dimanfaatkan teknologi tertentu seperti penggunaan CT-scan dan MRI.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di luar negeri dengan menggunakan CT-scan, secara garis besar telah membenarkan lokalisasi sindrom afasia yang klasifikasi Boston. Sedangkan pembagian sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasifikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass dan Kaplan. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti kembali hasil penelitian itu, terutama di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otak dengan
sindrom afasia yang diderita pasien berdasarkan hasil tes TADIR.
Di dalam penelitian ini digunakan data sekunder dari bagian Fungsi Luhur, Neurologi RSCM selama tahun 2003. Untuk menghitung korelasi antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otak dengan sindrom afasia yang diderita pasien berdasarkan hasil tes TADIR, digunakan teknik Cramer Coejicient C dan diolah dengan menggunakan program SPSS 10.0 for Windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otalc dengan sindrom afasia yang diderita pasien berdasarlcan hasil tes TADIR. Dengan demikian hasil penelitian ini akan memperkuat teori klasifikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass & Kaplan (dalam Dharmapenvira-Prius, 2002) yang menyusun klasifikasi sindrom-sindrom afasia dimana tiap sindrom afasia dihubungkan
dengan suatu tempat kerusakan tertentu di otak. Selain itu hasil penelitian ini juga
mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan Kertesz (dalam Dharmaperwira-Prins, 2002) dengan menggunakan CT-scan yang secara garis besar membenarkan lokalisasi sindrom afasia berdasarkan klasifikasi Boston.
Sebagai penutup, diberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Untuk penelitian lanjutan dapat memperbanyak sampel, hal ini terkait dengan generalisaai hasil pada populasi. Selain itu secara statistik, dengan sampel besar diharapkan agar semua kategori dalam perhitungan dapat diolah dan tidak ada kategori yang hilang. Perlunya penelitian lanjutan akan afasia terkait dengan aspek psikososial yang ditimbulkannya, dimana seseorang yang terkena afasia akan mempunyai kesulitan besar atau kecil dalam penggunaan bahasanya. Dampak dari perubahan itu tidak hanya dirasakan oleh pasien tetapi juga keluarga dan lingkungan sekitarnya. Perlunya kerjasama lebih lanjut antara bidang neurologi, psikologi, logopedi dan Iinguistik dalam menangani gangguan bahasa atau afasia. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan informasi bagi para dokter, perawat, psikolog, terapis wicara, dan pihak lain yang terkait bahwa selain CT-scan dan MRI, tes TADIR dapat digunakan untuk mendeteksi lokasi kerusakan di otak, serta merupakan salah satu pilihan dari alat diagnostik gangguan bahasa (Afasia) dengan biaya yang relatif tenjangkau dan pelaksanaannya tidak memakan banyak waktu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38382
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Adhitya Latief
"ABSTRAK
Pendahuluan : Perkembangan teknologi telah menghasilkan model 3-dimensi berdasarkan data CT-Scan yang mampu menyajikan data lebih informatif. Karena dapat menghasilkan bentuk seperti anatomi tubuh, maka model 3-dimensi dijadikan acuan dalam bidang rekonstruksi mandibula menggantikan peran CT-Scan.
Tujuan Penelitian: Membandingkan hasil pengukuran tebal dan tingginya symphisis mandibula pada model 3 dimensi terhadap data CT-Scan sehingga diketahui tingkat akurasinya.
Material dan Metode : 8 data CT-Scan Maksilofasial Pasien dalam bentuk DICOM (Digital Imaging and Communication for Medicine) dengan mandibula bebas defek atau hanya sebagian, dengan gigi geligi telah erupsi penuh dilakukan analisa dan pengukuran dengan piranti lunak OSIRIX pada komputer, kemudian dibuatkan 8 Model 3-Dimensi berdasarkan data DICOM dengan menggunakan mesin printing FDM (Fused Deposition Modelling) untuk dilakukan analisa dan pengukuran menggunakan kaliper digital.
Hasil : Tebal dan Tinggi Symphisis Mandibula hasil pengukuran model 3-Dimensi dan data CT-Scan berbeda, terdapat deviasi ukuran lebih kecil pada model 3 Dimensi, Nilai akurasi model 3-dimensi yang dihasilkan mesin FDM sebesar 98% dari data aslinya.
Kesimpulan : Perbandingan pengukuran ketebalan dan ketinggian tulang symphisis mandibula pada model 3 Dimensi terhadap CT-Scan memiliki perbedaan yang signifikan secara statistik namun secara klinis dapat digunakan sebagai alternatif sebagai acuan rekonstruksi mandibula.

ABSTRACT
Introduction : the emerging technologies has invented 3-dimensional model based on CT-Scan data that able to present better information. Because of the similiarity to anatomy, 3-Dimensional model became guidance for mandible reconstruction, replacing the role of CT-Scan imaging.
Objective : To compare the measurements of mandibular symphisis height and thickness using 3 Dimensional model to CT-Scan data and be able to define the accuracy level of it.
Materials and Methods : 8 CT-Scan maxillofacial data in form of DICOM (Digital Imaging and Communication for Medicine) were analyzed and measured using OSIRIX software on computer, continued with production of 8 3-Dimensional model based on DICOM data using printing FDM (Fused Deposition Modelling) machine, model then analyzed and measured using digital caliper.
Result : The thickness and height of mandible symphisis from 3 dimensional model measurement compared with CT-Scan are different. Smaller deviation were measured in 3 dimensional model, the accuracy level of 3 Dimensional model made from FDM printing machine is 98% from original data.
Conclussion : The measurement comparison of mandibular symphisis height and thickness using 3 Dimensional model to CT-Scan data is statistically different but clinically 3 dimensional model could be used as alternative as mandibular reconstruction guidance.
"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nur Hidayati
"Penelitian ini menggunakan fantom abdomen in house dengan tujuan mengukur dosis di berbagai daerah organ yaitu hepar, ginjal, reproduksi dan bladder. Pengukuran dosis pada daerah organ dilakukandengan menggunakan dosimeter gafchromic dan TLD. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil dosis sepanjang sumbu-z dan image quality dengan variasi pitch factor. Faktor eksposi yang digunakan disesuaikan dengan aplikasi klinis abdomen yaitu 130 kV, 80 mAs, rotation 1.5 s dan delay 3 s. Pemilihan parameter pitch factor pada pemeriksaan CT abdomen akan mempengaruhi nilai dosis dan image quality. Variasi Pitch factor yang digunakan 0,8; 1 dan 1.5. Secara umum pengukuran dosis dengan gafchromic dan TLD di berbagai daerah organ memperlihatkan bahwa semakin besar penggunaan pitch factor maka dosis yang didapatkan semakin kecil. Profil dosis sepanjang sumbu-z berbentuk parabola yang simetris dengan dosis maksimum di sekitar 3.45 mGy dan dosis minimum pada awal dan akhir scanning sekitar 3.286 mGy. Hubungan nilai SNR dan slice untuk ketiga nilai pitch 0.8, 1 dan 1.5 pada umumnya sinusoidal dan untuk obyek di daerah kanan dan kiri menunjukkan kurva yang berbeda fase. Demikian juga antara dua titik atas dan bawah. Pengukuran kesesuaian antara citra obyek dengan ukuran obyek sebenarnya dari 512 data diperoleh hasil pada pitch factor 0.8 deviasi diameter 0 ndash; 5 sekitar 50.5 dan selebihnya 49.5 deviasinya diatas 5 . Pada pitch factor 1 deviasi 0 ndash; 5 sekitar 53.5 dan deviasi lebih dari 5 sekitar 46.7 , sedangkan untuk pitch factor 1.5 deviasi 0 ndash; 5 sekitar 68 dan deviasi lebih dari 5 sekitar 32.

This study uses in house phantom abdomen with the aim of measuring doses in different regions of the organ namely liver, kidney, reproduction and bladder. Measurement of dose in the organ region is done by using gafchromic and TLD dosimeter. In addition, this study aims to determine the profil dose along the z axis and image quality with variation of pitch factor. The exposure factors were adjusted for the clinical application of abdomen 130 kV, 80 mAs, rotation 1.5 and delay 3 s. Selection of pitch factor parameters on abdominal CT examination will affect the dose value and image quality. Variation of pitch factor used 0.8 1 and 1.5. In general, Measurements dose with gafchromic and TLD in different organ regions showed that the greater the use pitch factor the smaller the dose. Profil doses along the z axis are parabolic shapes symmetrical with maximum doses about 3.450 mGy and minimum doses at the start and end of scanning around 3.286 mGy. The relation of SNR and slice values to the three pitch values 0.8 1 and 1.5 is generally sinusoidal and for the object in the right and left regions show different curves of phase. Likewise between the two points above and below. Measurement of conformity between object image and actual object size from 512 data obtained result on pitch 0.8 deviation of 0 ndash 5 diameter around 50.5 and 49.5 deviation over 5 . In pitch factor 1 deviation 0 ndash 5 about 53.5 and deviation more than 5 about 46.7 , while for pitch factor 1.5 deviations 0 ndash 5 about 68 and deviation more than 5 about 32 ."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
T49770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Rica Sari
"Latar belakang dan tujuan : CT scan merupakan modalitas pencitraan utama pada berbagai tumor primer kepala dan leher serta ketersedian modalitas CT yang lebih luas di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskusikan peranan CT sebagai modalitas yang berpotensi membantu menegakkan diagnosis keterlibatan lokoregional kelenjar getah bening KGB leher sehingga didapatkan perencanaan tatalaksana karsinoma sel skuamosa KSS dengan nilai terapi dan prognosis terbaik. Penelitian ini modifikasi Choi dan meneliti kesesuaian antara kriteria diagnostik KGB metastasis pada CT scan dibandingkan dengan hasil histopatologik pada pasien KSS. Metode : Penelitian ini merupakan studi asosiatif secara potong lintang pada data primer kasus baru KSS-KL. Pengambilan data berlangsung dari bulan Februari 2018 hingga April 2018 di Poli Onkologi Departemen THT, Departemen Radiologi dan Departemen Patologi Anatomi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sebanyak 90 unit sampel dievaluasi lokasi, morfologi dan kemungkinan metastasis pada CT scan preoperatif menggunakan kriteria diagnostik, kemudian tiap unit sampel diberi label untuk menunjang kesesuaian node-per-node yang kemudian disesuaikan dengan KGB temuan intraoperasi. Operasi diseksi leher dilakukan dengan jarak kurang dari 1 minggu pasca CT scan preoperatif. Pasca diseksi, setiap KGB yang telah diberi label dilakukan pemeriksaan histopatologik. Kemudian asumsi kesesuaian temuan pada CT scan preoperatif dan histopatologik diuji hipotesis komparatif menggunakan uji McNemar. Hasil : Penelitian ini menunjukkan nilai p = 0,000 yaitu terdapat perbedaan bermakna antara kriteria diagnostik KGB maligna pada CT scan dengan histopatologik. Penilaian kesesuaian kriteria diagnostik KGB maligna pada CT scan dengan histopatologik menggunakan Kappa didapatkan R = 0,12 p=0,100 . Kriteria diagnostik KGB maligna pada CT scan pada penelitian ini memiliki nilai sensitivitas 33,3 dan nilai spesifisitas 61,7 dengan nilai spesifisitas ukuran aksis pendek, hipodensitas dan penyangatan heterogen masing-masing 100 dan nilai sensitivitas lokasi drainase primer 100 . Kesimpulan : Tidak terdapat kesesuaian antara kriteria diagnostik KGB maligna pada CT scan dengan hasil histopatologik. Adanya komponen kriteria diagnostik yang sangat sensitif tapi tidak spesifik dan yang sangat spesifik tapi tidak sensitif menyebabkan nilai sensitivitas dan spesifisitas kriteria diagnostik ini rendah.
Background and Objective CT scan is the main imaging modality in various head and neck primary tumors and broader availability in Indonesia. This study aims to discuss CT as a modality that helps establish the diagnosis of lymph node metastases so the management of head and neck squamous cell carcinoma HNSCC can be done with the best therapeutic value and prognosis. This study of Choi modification is trying to research about association between diagnostic criteria of metastases lymph node in CT Scan and histopathologic in SCC Patients Methods This research is a cross sectional associative study on the primary data of the new case of HNSCC. Data collection took place from February 2018 to April 2018 at the Polyclinic Oncology Department of ENT, Department of Radiology and Department of Pathology Anatomy Cipto Mangunkusumo Hospital. A total of 90 sample units were evaluated for location, morphology and possible metastasis on preoperative CT scans using diagnostic criteria, then each sample unit was labeled to support node per node association which was then adjusted to intraoperative lymph node findings. Neck dissection surgery is performed less than 1 week after a preoperative CT scan. After the operation, every lymph node that has been labeled is carried out to histopathologic examination. Then the hypothesis of association of the findings on preoperative CT scans and histopathologic is tested using McNemar test. Results This study shows p value 0,000 so that there is a significant difference between the diagnostic criteria on CT scan and histopathologic examination. Assessment of the diagnostic criteria for malignant KGB on CT scans and histopathologic examination using Kappa obtained R 0.12 p 0.100 , which shows no suitability between them. The diagnostic criteria for malignant lymph node on CT scan in this study have a sensitivity value of 33.3 and a specificity value of 61.7 with a specificity value of the size of the short axis, hypodensity and heterogeneous enhancement respectively 100 and the sensitivity value of the primary drainage site 100 . Conclusion There is no agreement between the diagnostic criteria for malignant lymph nodes on CT scan with histopathologic examination. The existence of a highly sensitive but non specific and a highly specific but insensitive component of the diagnostic criteria might causes the sensitivity and specificity of these diagnostic criteria to be low."
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denie Kartono
"Latar Belakang: CT scan orbita merupakan modalitas radiologi yang mudah dan efisien untuk menilai adanya penebalan otot ekstraokular pada penderita oftalmopati Graves. Penebalan otot ekstraokular memiliki korelasi dengan masing-masing derajat oftalmopati Graves. Di Indonesia, belum ada korelasi antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves menurut klasifikasi NOSPECS.
Tujuan: Mendapatkan nilai korelasi antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling. Sampel penelitian berjumlah 89 orbita yang berasal dari 50 pasien penderita oftalmopati Graves yang telah menjalani pemeriksaan CT scan orbita di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2012 hingga Desember 2016. Penelitian dilakukan sejak Februari hingga Maret 2017. Pengukuran ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dilakukan setelah meninjau ulang derajat oftalmopati Graves melalui hasil pemeriksaan oftalmologi.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna di antara rerata ketebalan otot ekstraokular menurut derajat oftalmopati Graves (p<0,05). Uji korelasi Spearman didapatkan korelasi yang bermakna dan nilai r yang bervariasi di antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves. Nilai r=0,43 untuk rektus medial, r=0,37 untuk rektus lateral, r=0,49 untuk rektus superior, r=0,45 untuk rektus inferior dan r=0,57 untuk ketebalan total ekstraokular.
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves.

Background: CT scan is an easy and efficient radiological modality to measure extraocular enlargement in the patient with Graves' ophthalmopathy disease. Extraocular muscles enlargements were had correlated with each grade of Graves' ophthalmopathy. In Indonesia, there is not yet a study about correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity based on NOCPECS classification.
Purpose: To obtain the correlation values between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity.
Method: This study used a cross sectional design. Eighty nine samples from fifty patients with Graves' opthalmopathy were chosen using consecutive sampling from patients that underwent orbital CT scan at the Radiology Departement of the Indonesia University's Faculty of Medicine' Cipto Mangunkusumo Hospital from time periode January 2012 until December 2016. This study was done from February until March 2017. The measurement of extraocular muscles diameter in orbital CT scan was performed after had reviewed Graves' ophthalmopathy severity from ophthalmology examination on medical record.
Results: There are significantly differences between extraocular muscles diameter mean with Graves' ophthalmopathy severity (p<0,05). Spearman correlation test between extraocular muscles diameter with Graves' ophthalmopathy grading shows significant correlation with varied r values, r=0,43 for rectus medial, r=0,37 for rectus lateral, r=0,49 for rektus superior, r=0,45 for rectus inferior and r=0,57 for total diameters of extraocular muscles.
Conclusion: There is a moderate positive correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>