Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vinca Adriana Setiawan
"Penulisan karya tulis ini membahas mengenai kewenangan Notaris untuk melakukan penemuan hukum, dimana Notaris sebagai pejabat Negara harus berada ditengah - tengah kepentingan para pihak yang membuat kontrak atau perjanjian dalam akta. Kewajiban itu ditegaskan dalam Kode Etik dan Undang - Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, dan bagaimana akibat hukumnya terhadap akta yang telah dibuat, jika ternyata dalam prakteknya seorang Notaris tidak bersikap netral ketika membuat suatu klausula. Penulis menggunakan Metode Penelitian Yuridis Normatif, dengan mengacu pada kaidah dan norma - norma hukum yang sudah ada.

This paper discuss the authority of notary to conduct legal discovery, that is the deed as State officials should be in the middle of the interests of the parties who make contracts or agreements in the deed. Liability was asserted in the Code of Ethics and Notary Public Act No. 30 Year 2004, and about the legal consequences of the deed that has been made, if it turns out in practice, a Notary Public is not being neutral when making a clause. The author uses Normative Legal Research Methods, with reference to the rules and norms - the existing legal norms."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27970
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
JY 5:3 (2012) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
JK 6:3 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Stacia Faustine
"Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bersifat independen sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Independensi hakim juga termasuk kebebasan untuk membuat hukum dalam putusannya (juga dikenal sebagai hukum yang dibuat hakim atau pembuatan hukum yudisial) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peran dari hakim dalam pembuatan hukum yudisial semakin penting ketika hukum tidak jelas atau tidak lengkap. Peraturan pertanggungjawaban pidana perusahaan memiliki hubungan yang erat ketika itu sampai pada pembuatan hukum yudisial karena belum diatur dalam Pidana Indonesia Kode (KUHP). Penerimaan perusahaan sebagai subjek kriminal dan karenanya dapat pertanggungjawaban pidana yang terjadi secara bertahap dan simultan dalam tiga tahap dalam berbagai hukum di luar KUHP. Sehubungan dengan tindak pidana korporasi, para hakim di Pengadilan Tinggi Kasus Suwir Laut (2012) dan Indar Atmanto (2014) menjatuhkan sanksi pidana terhadap pihak yang tidak dikenakan biaya, yaitu Asian Agri Group dan PT. IM2, masing-masing. Itu keputusan dua kasus kriminal perusahaan telah mencapai tingkat kasasi dan memiliki kekuatan hukum permanen. Pada tahun 2017 dan 2018, Mahkamah Agung Indonesia mengeluarkan a pernyataan bahwa dua putusan, di mana perusahaan tidak dituntut tetapi dihukum, sebagai a bentuk pembuatan hukum yudisial. Penelitian ini berfokus pada dua perusahaan sebelumnya kasus pidana ketika dikaitkan dengan wewenang hakim untuk pembuatan hukum peradilan, peraturan mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan di Indonesia jika dibandingkan dengan Belanda dan Indonesia Inggris Raya, dan menganalisis pembuatan hukum peradilan oleh hakim dalam setiap kasus. Ini Penelitian adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif, disertai dengan a pendekatan komparatif. Hasil penelitian pada kedua kasus menunjukkan bahwa ketidakjelasan dan ketidaklengkapan undang-undang di Indonesia telah mendorong hakim untuk membuat hukum dalam keputusan mereka ketika dihadapkan dengan kasus-kasus kejahatan perusahaan. Namun, hakim yang dibuat hukum dalam kasus pidana memiliki batasan dalam bentuk prinsip legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan pembatasan mayor-minor. Pengenaan keputusan pidana terhadap perusahaan yang bahkan tidak didakwa adalah hasil tidak hanya dari ketidakjelasan dan kekosongan hukum terkait dengan tindakan kriminal perusahaan, tetapi juga dari hakim kurangnya pemahaman dalam tanggung jawab pidana perusahaan dan adanya batasan pada pembuatan hukum yudisial itu sendiri. Hal ini menyebabkan para hakim akhirnya melampaui batas peradilan pembuatan hukum. Pada akhirnya, vonis terhadap korporasi yang tidak dituntut bukan merupakan bagian pembuatan hukum yudisial.

Judges as executors of judicial power are independent as regulated in Article 24 paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Independence of judges also includes freedom to make laws in their decisions (also known as laws made by judges or judicial making) as referred to in Article 4 paragraph (1), Article 5 paragraph (1), and Article 10 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power. The role of judges in judicial lawmaking is increasingly important when the law is unclear or incomplete. The company's criminal liability regulations have a close relationship when it comes to making judicial law because it has not been regulated in the Indonesian Criminal Code (KUHP). The company acceptance as a criminal subject and therefore criminal liability that occur gradually and simultaneously in three stages in various laws outside the Criminal Code. In connection with corporate criminal acts, the judges in the High Court of the Suwir Laut Case (2012) and Indar Atmanto (2014) imposed criminal sanctions on parties who were not charged, namely the Asian Agri Group and PT. IM2, respectively. That decision of two criminal cases the company has reached the level of cassation and has permanent legal force. In 2017 and 2018, the Indonesian Supreme Court issued a statement that two decisions, in which the company was not prosecuted but were convicted, were a form of judicial law making. This research focuses on the two previous company criminal cases when linked to the judges authority to make judicial laws, regulations regarding criminal liability of companies in Indonesia when compared to the Netherlands and Indonesia Great Britain, and analyze judicial law making by judges in each case. This research is a qualitative research using normative juridical methods, accompanied by a comparative approach. The results of the research in both cases show that the unclear and incomplete laws in Indonesia have encouraged judges to make law in their decisions when faced with corporate crime cases. However, the judge made the law in a criminal case has limitations in the form of the principle of legality as regulated in Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code and major-minor restrictions. The imposition of a criminal decision against a company which is not even charged is the result not only of obscurity and legal vacuum related to corporate criminal acts, but also from judges' lack of understanding of corporate criminal liability and limitations on the making of judicial law itself. This caused the judges to finally go beyond the judicial limits of lawmaking. In the end, a verdict against a corporation that is not prosecuted is not part of judicial law making."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinta Dewi HTP
"Perkembangan teknologi modern membawa perubahan dalam dunia hukum, salah satu diantaranya yakni penggunaan audio visual (teleconference) dalam memberikan keterangan (kesaksian) di depan persidangan perkara pidana. Di satu sisi, penggunaan fasilitas ini merupakan terobosan positif dalam peradilan pidana di Indonesia, namun di sisi lain menimbulkan banyak kontroversi karena penyelenggaraan audio visual (teleconference) dalam pemeriksaan saksi tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), akan tetapi kenyataannya sarana tersebut dipakai untuk memeriksa saksi dalam persidangan perkara pidana diantaranya dalam perkara tindak pidana korupsi, pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat di Timor-Timur, dan perkara tindak pidana terorisme. Berangkat dari hal tersebut, penulis berusaha mengkaji mengenai pemanfaatan audio visual (teleconference) di persidangan dalam perkara pidana sebagai alat bukti keterangan saksi.
Dari data yang penulis peroleh, dalam praktek persidangan diijinkannya penggunaan audio visual (teleconference) dalam pemeriksaan saksi karena untuk menguji kebenaran dari keterangan saksi itu sendiri. Selain itu, dengan telah terbentuknya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang memberikan pilihan bagi saksi dalam memberikan kesaksiannya yang tidak harus hadir ke pengadilan tetapi dapat melalui sarana elektronik (Pasal 9). Pemeriksaan saksi melalui audio visual (teleconference) pada prinsipnya merupakan komunikasi langsung secara interaktif dimana para pihak satu sama lain dapat berdialog (tanya/jawab) walaupun masing-masing berada di tempat yang berbeda dan dapat bertatap muka meskipun melalui monitor/layar, dengan demikian keterangan saksi yang disampaikan melalui teknologi audio visual (teleconference) di depan persidangan pada dasarnya adalah sama dengan keterangan saksi yang diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Selain itu penggunaan audio visual (teleconference) juga telah memenuhi asas-asas umum yang berlaku pada hukum acara pidana.
Dengan demikian keterangan saksi melalui audio visual (teleconference) dapat dijadikan alat bukti yang sah sebagai alat bukti keterangan saksi, sepanjang saksi tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai saksi, harus mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu (Pasal 160 ayat (3) jo. Pasal 185 ayat (7) KUHAP); dinyatakan secara lisan melalui alat komunikasi audio visual (teleconference) di muka sidang pengadilan (merupakan perluasan dari Pasal 185 ayat (1) KUHAP); Isi keterangan harus mengenai hal yang saksi lihat, dengar, dan alami sendiri, serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka 27 KUHAP) dan Keterangan saksi tersebut saling bersesuaian satu sama lain (Pasal 185 ayat (6) KUHAP). Penggunaan teknologi audio visual (teleconference) dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan memang masih menimbulkan beberapa kendala selain kendala teknis juga kendala karena belum ada kesamaan pandangan dalam menyikapi penggunaan audio visual (teleconference) ini, untuk itu pemerintah segera merevisi KUHAP terutama yang berkaitan dengan hukum pembuktian.
......The development of modern technology to bring a change in the legal world, one of them the use of audio visual/teleconference to give testimony in the trial of criminal cases. On the one hand, the use of this facility is a positive breakthrough in criminal justice in Indonesia, but on the other hand caused much controversy due to the implementation of audio visual/teleconference in the examination of witnesses is not regulated in Criminal Procedure Code (KUHAP), but the fact means may be used to examine witnesses in the trial of criminal cases including cases of corruption, gross human rights violations after the popular consultation in Timor-Timur, and terrorism. Departing from this, the authors tried to examine the use of audio visual/teleconference in proceedings in criminal cases as evidence the testimony of witnesses.
From the data the authors obtained, in a trial practice in allowing the use of audio visual/teleconference in the examination of witnesses as to test the truth of the witness testimony itself. In addition, the formation has Law of Indonesia Number 13 Year 2006 on Witnesses and Victims Protection that provides an option for witnesses to provide testimony that does not have to present to the court but can be by electronic means (Article 9). Examination of witnesses through the audio visual/teleconference in principle is a direct interactive communication where the parties can engage in dialogue with one another (question / answer), although each are in different places and can even come face to face through the monitor/screen, with the statement witnesses are delivered via audio visual technologies (teleconference) before the trial is essentially the same as set forth in the statements of witnesses that the provisions of Article 184 paragraph (1) Criminal Procedure Code (KUHAP).
In addition, the use of audio visual/teleconference also meets the general principles that apply to criminal procedure. Thus, the statements of witnesses through the audio visual/teleconference can be used as valid evidence as evidence the witnesses testimony, all witnesses are to meet the requirements as a witness, took the oath or affirmation must be first (Article 160 paragraph (3) jo. Article 185 paragraph (7) Criminal Procedur Code/KUHAP); expressed verbally through audio visual means of communication (teleconference) before the trial court (an extension of Article 185 paragraph (1) Criminal Procedure Code/KUHAP); content information must be on the witness see, hear, and experience, and state the reason of his knowledge of it (Article 1 number 27 Criminal Procedur Code/KUHAP) and the witness are compatible with each other (Article 185 paragraph (6) Procedur Code/KUHAP). The use of audio visual technologies (teleconference) in the examination of criminal cases in court is still causing some problems in addition to the technical constraints because there is no obstacle too common view in addressing the use of audio visual/teleconference, for the government to revise the Procedur Code/KUHAP, especially relating to the law proof."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30089
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bibit Gunawan
"Tesis ini membahas tentang penemuan hukum (rechtsvinding) dalam judicial review putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, khususnya hak serikat pekerja dalam satu perusahaan dalam merundingkan perjanjian kerja bersama (PKB). Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan 2 metode pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statuta approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach) dengan desain deskriptif analitis dan analisa kualitatif serta menggunakan teknik pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer antara lain putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 dan peraturan perundangan-undangan yang relevan dengan penelitian; bahan hukum sekunder yang terdiri dari tulisan atau pendapat para ahli yang termuat di dalam buku-buku, atau hasil penelitian sebelumnya yang terkait penelitian ini; bahan hukum tersier seperti kamus, ensiklopedia dan indeks kumulatif.
Hasil penelitian menghasilkan 3 kesimpulan. Pertama, bahwa hak berunding PKB sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 terdapat pengaturan hak berunding serikat pekerja yang menerapkan asas tunggal atau proporsional tidak terbatas (UU No.21/1954) dan opsi asas mayoritas atau proporsional tidak terbatas (UU No.13/2003) Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 menyatakan UU No.13/2003 Pasal 120 ayat (1) dan (2) bertentangan dengan UUD 1945, dan menyatakan Pasal 120 ayat (3) sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yang merupakan penemuan hukum dalam pengaturan hak berunding serikat pekerja yang menerapkan asas proporsional terbatas. Ketiga, dampak dari putusan a quo antara lain bahwa sebagai pasal konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maka putusan ini mengandung sifat ultra petita, negative legislature, dan inkonsistensi dalam sinkronisasi horizontal dengan undang-undang yang lain yaitu UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, sehingga penemuan hukum ini perlu segera ditindaklanjuti oleh fungsi legislative review berupa revisi UU a quo dengan memperhatikan jiwa putusan Mahkamah Konstitusi No. 115/PUU-VII/2009.
......This thesis discusses the rechtsvinding in a judicial review against the decision of the Constitutional Court Act No. 13/2003 on Employment, in particular the right of trade unions in the company in negotiating a collective bargaining agreement (CBA). This study is a normative legal research by using two methods of statutory approach and the conceptual approach with analytical and descriptive design and qualitative analysis using secondary data collection techniques that include primary legal materials, among others, the decision of the Constitutional Court number 115/PUUVII/ 2009 and legislation regulations relevant to the study; secondary legal material consisting of paper or expert opinions contained in the books, or the results of previous studies related to this research; tertiary legal materials such as dictionaries, encyclopedias and a cumulative index.
The results of the study resulted in three conclusions. First, that the collective bargaining rights before the Constitutional Court decision No. 115/PUU-VII/2009 are setting the union bargaining rights which apply the single principle or proportional unlimited (Law No.21/1954) and the options of principle of majority or proportional unlimited (Law no. 13/2003) Secondly, the Constitutional Court Decision No. 115/PUU-VII/2009 declare Law No.13/2003 Article 120 paragraph (1) and (2) contrary to the 1945 Constitution, and declared Article 120 paragraph (3) as a conditionally constitutional which is the rechtsvinding in the regulation of union bargaining rights which apply the principle of proportional limited. Third, the impact of the decision a quo among others, that the conditionally constitutional then this decision contains the ultra petita, negative legislature, and inconsistencies in horizontal synchronization with other legislation, namely Law no. 42/2008 on General Election of President and Vice President, so this rechtsvinding needs to be followed up by legislative function in the form of a revised Act a quo with regarding the decision of the Constitutional Court No. 115/PUU-VII/2009."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Dianita Prosperiani
"Negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum. Salah satu bentuknya adalah hak untuk bebas dari ancaman dan kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Namun dalam konstruksi masyarakat Indonesia yang masih menggunakan paradigma patriarki, perempuan ditempatkan sebagai warga kelas dua, sehingga perempuan menjadi orang yang paling sering menjadi korban kekerasan seksual. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai hukum positif yang mengatur mengenai kekerasan seksual, khususnya delik perkosaan tidak lagi mampu memberikan perlindungan kepada perempuan korban kekerasan. Dalam kondisi yang demikian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkulu melalui Putusan Nomor 410/Pid.B/2014/PN.Bgl dan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bengkulu melalui Putusan Nomor 12/Pid/2015/PT.BGL melakukan penemuan hukum yang melindungi perempuan dengan perspektif feminist legal theory. Penelitian ini dibuat untuk mengkaji kewenangan hakim dalam melakukan penemuan hukum melalui putusan serta metode penemuan hukum dan perspektif feminist legal theory yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara kekerasan seksual. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Dari penelitian yang dilakukan didapati bahwa Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 memberi kewenangan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum melalui putusan. Selain itu Majelis Hakim menggunakan metode penemuan hukum berupa interpretasi dan eksposisi, serta dalam menyusun pertimbangannya menggunakan perspektif feminist legal theory dengan memahami adanya relasi kuasa yang timpang antara korban dan pelaku.
......
The State has a responsibility to provide legal protection. One of it is the right to be free from threats and violence, including sexual violence. Within the construction of the Indonesian people who still use the patriarchal paradigm, women are placed as the second sex, which often makes them become the victim of sexual violence. While the Criminal Code as a positive law governing sexual offences, specifically the rape crime, is no longer able to provide protection to women victim of violence. In such conditions the Judges of the Bengkulu Distric Court through Decicion Number 410/Pid.B/2014/PN.Bgl and the Judges of Bengkulu Higher Court through Decicion Number 12/Pid/2015/PT.BGL conducted lawmaking that protects women in feminist legal theory perspective. This study was made to examine the judge`s authority in making law through decicions, the method that judges use to make the law, and the feminist legal theory perspective that used by the judges in deciding sexual offence. This research conducted by collecting data through examining library materials or secondary data. From the research conducted, it was found that Article 5 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 authorizes judges to do judicial lawmaking through decicions. In addition, the Judges used interpretation and exposition methods in making law, and produce their considerations using the feminist legal theory perspective by understanding the existence of imbalance power relation between victim and perpretator."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rompas, Kevin Bryan Simon
"Penelitian ini membedah tentang sewa pacar, dengan memulai dari sejarah dan perkembangan konsep dari pacaran sebagai objek yang disewakan dalam sewa pacar, lalu melanjutkan pada praktik sewa pacar itu sendiri dengan menggunakan ilmu kriminologi sebagai pisau bedahnya, kemudian melihat hasil dari pembedahan tersebut dengan menggunakan lensa politik hukum pidana dan lensa hukum pidana, juga menyarankan metode yang tepat untuk menanggulangi sewa pacar. Penelitian ini menggunakan gabungan dari metode penelitian non-doktrinal dan metode penelitian doktrinal. Sewa pacar dalam pembedahan secara kriminologis menghasilkan bahwa sewa pacar adalah kriminogen atau sesuatu yang menciptakan adanya tindak-tindak pidana dan menempatkan pemberi jasa sewa pacar sebagai pihak yang rentan terhadap kejahatan. Dalam pandangan lensa politik hukum pidana, sewa pacar telah bertentangan dengan tujuan dari politik hukum pidana yang selaras dengan tujuan dari keseluruhan politik kriminal Indonesia. Keseluruhan politik kriminal Indonesia atau disebut juga social defence planning merupakan bagian yang terintegrasi dengan politik sosial negara Indonesia. Politik sosial negara Indonesia diatur dalam Rencana Pembangunan Nasional (UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), sehingga tujuan dari politik kriminal ini juga selaras dengan tujuan pembangunan nasional yang memperhatikan semua bidang kehidupan bangsa Indonesia. Sewa pacar menjadi bertentangan dengan politik hukum pidana karena keberadaan dari sewa pacar mengancam bidang kehidupan bangsa Indonesia. Dalam pandangan lensa hukum pidana, sewa pacar secara kualifikasi bukan merupakan tindak pidana, oleh sebab tidak adanya delik yang secara khusus mengatur tentang sewa pacar. Akan tetapi secara konseptual, unsur-unsur yang terkandung dalam sewa pacar seperti: menawarkan, menyepakati dan memberikan jasa seksual, itu ada diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama dan baru maupun peraturan perundang-undangan lain di luar KUHP, khususnya delik yang berhubungan dengan bidang kesusilaan masyarakat. Proses untuk menghubungkan antara sewa pacar dan tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dilakukan dengan menggunakan metode penemuan hukum, yaitu penafsiran hukum.
......This research dissects the phenomenon of renting a boyfriend/girlfriend starting from the history and development of the concept of dating as an object that is being rented out in said phenomenon, then continuing to the practice of renting a boyfriend/girlfriend itself using criminology as a scalpel to further looking at the results through the lenses of criminal law and political criminal law while also suggest appropriate methods for dealing with boyfriend/girlfriend rent. This research uses a combination of doctrinal and non-doctrinal research methods. Renting a boyfriend/girlfriend  analysed through criminological perspective resulting in it being a criminogen, something that concoct criminal acts and subjecting the perpetrator of renting a boyfriend/girlfriend  as a party vulnerable to crime. From the perspective of political criminal law, renting a boyfriend/girlfriend is contrary to the objectives of criminal legal politics which are in line with the objectives of the entire Indonesian criminal politics. The entire Indonesian criminal politics or also known as “social defence planning” is an integrated part of the social politics of the Indonesian state. The social politics of the Indonesian state are regulated in the National Development Plan (Law Number 25 of 2004 concerning the National Development Planning System), so that the goals of criminal politics are also in line with national development goals which pay attention to all areas of the life of the Indonesian nation. Renting a girlfriend is in conflict with criminal law politics because the existence of renting a boyfriend/girlfriend threatens the areas of life of the Indonesian. From a criminal law perspective, renting a boyfriend/girlfriend is not a criminal offence because there are no offences specifically regulating renting a boyfriend/girlfriend. However, conceptually, the elements contained in renting a boyfriend/girlfriend, such as: offering, agreeing to and providing sexual services, are regulated by the old and new Criminal Code (KUHP) as well as other laws and regulations outside the Criminal Code, in particular offences related to the field of public morality. The process of connecting between renting a girlfriend and criminal acts in criminal law is carried out using the legal discovery method, namely legal interpretation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library