Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diah Mutiara Briliantinna
Abstrak :
Latar belakang: Gangguan Depresi pada pasien pasca IMA sering tidak terdeteksi. Hanya 25% kasus depresi pasca IMA yang terdiagnosis dan hanya 30% yang mendapat pengobatan yang memadai. Dari berbagai penelitian didapatkan bila depresi tidak ditangani dengan baik maka dapat memperburuk prognosis, meningkatkan risiko kematian dan memperlambat penyembuhan. Faktor risiko lain dalam terjadinya IMA adalah faktor pola perilaku. Berdasarkan penelitian perilaku tipe A mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit jantung dibandingkan dengan perilaku tipe B. Sekitar 37-45% penderita iskemi miokard dicetuskan oleh stresor psikososial yang bila tdak diatasi dengan baik dapat berlanjut menjadi infark miokard. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan antara derajat keparahan IMA dan stresor psikososial dengan Gangguan Depresi pada pasien pasca IMA yang mempunyai perilaku tipe A. Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional terhadap 136 responden berusia 25-60 tahun yang datang ke PoIiklinik Jantung Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta dan memenuhi kriteria inkiusi. Instrumen yang digunakan adalah Videotaped Clinical Examination (VCE) perilaku tipe A, Structured CIinical Interview for DSM-IV Axis-1 Disorder (SLID) dan kuesioner stresor psikososial dari Irwin G. Sarasan. Hasil: Dari 136 responden sebesar 57,4% pasien mengalami depresi. Proporsi Gangguan Depresi tertinggi ditemukan pada responden IMA derajat berat dan sangat berat (69%). Pada responden terdapat hubungan antara derajat keparahan IMA dengan Gangguan Depresi (p=0,008) dan terdapat hubungan antara stresor psikososial dengan Gangguan Depresi (p<0,001). Hasil analisis regresi logisitik didapatkan keparahan IMA berat dan sangat berat merupakan faktor yang paling dominan dalam meningkatkan risiko untuk mengalami Gangguan Depresi pada responden (odds ratio 4,6) sedangkan stresor psikososial (odds ratio 1,4). Simpulan: Derajat keparahan IMA dan stresor psikososial adalah faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko untuk mengalami Gangguan Depresi pada pasien pasca IMA yang mempunyai perilaku tipe A.
Background: Depression disorders in post acute myocard infarct (ANTI) patients are frequently not detected. Only 25% of the post AMI cases that have been diagnosed and only 30% of those received adequate treatment. Based on a variety of studies, if depression is not properly handled, the prognosis will become worse augmenting the risk of mortality and slowing down the recovery. Another risk factor in the induction of AMI is a behavior pattern factor. Based on the study, type a behavior runs a higher risk for developing cardiac disease than type B behavior. Approximately 37-45% of the cases, myocard ischemia triggered by unresolved psychosocial stressors could lead to AMI. The purpose of this study was to find out the correlation between the severity degree of AMI and psychosocial stressors with depression disorders in post AMI patients who were identified to have type a behavior. Method: This study was cross-sectional involving 136 respondents aged 25 to 60 years who presented to the cardiac poly of Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta. The respondents fulfilled the inclusion criteria. The instruments employed were VCE of type a behavior SCID and psychosocial stressor questionnaire from Irwin C. Samson. Result: Out of 136 respondents, 57.4% of them had depression. The biggest proportion of depression disorder was found in severe and very severe myocard infarct respondents (69%). In the respondents, association between the severity degree of AMI and depression disorder was found; there was association between psychosocial stressors and depression disorder (p <0.081). The result of the Logistic regression revealed that severe and very severe AMI was the most dominant factor in increasing the risk for developing disorder in the respondents (odds ratio 4.6). Whereas psychosocial stressors had the odds ratio 1.4. Conclusion: The severity of AMI and psychosocial stressors are the two factors that have a role in increasing the risk for developing depression disorder in AMI patients with type A behavior.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilmi Zaky Aulia
Abstrak :
Serat optik ialah media transmisi telekomunikasi yang mempunyai bandwidth serta bit rate yang besar sehingga sanggup penuhi kebutuhan layanan data dikala ini dengan kehandalan serta efisiensi yang besar. Aplikasi serat optik terus menjadi luas serta sudah mencakup jaringan dasar laut, jaringan terestrial, jaringan lingkup metropolitan serta regional, maupun jaringan berskala kecil. Sistem komunikasi serat optik mempunyai 2 fakor yang mempengaruhi mutu unjuk kerja jaringannya ialah aspek internal serta aspek eksternal. Aspek internal dan eksternal tersebut bisa merendahkan mutu unjuk kerja dari serat optik yang digunakan dan bisa memunculkan redaman dan rugi-rugi transmisi yang lain. Selaku upaya buat mencegah penuruan mutu sesuatu jaringan secara tiba- tiba serta signifikan, butuh dicoba kegiatan maintenance secara berkala semacam pengukuran mutu layanan jaringan kabel serat optik yang terjadwal. Aktivitas maintenance tersebut bisa menolong memastikan keputusan kenaikan kapasitas jaringan. Salah satu parameter mutu layanan yang kerap dicoba pengukuran merupakan redaman transmisi serta energi sinyal yang diterima (power receive). Riset ini mengkaji tentang meningkatkan kapasitas bandwidth milik PT PLN Icon Plus regional Sumatera Bagian Tengah pada saat terjadi anomali jaringan, yaitu koneksi internet lambat pada link Panam – Rayon Panam, serta hasilnya akan digunakan untuk implementasi Advanced Metering Infratructure (AMI). Sampel yang diambil dari salah satu pelanggan menunjukkan hasil pengukuran kecepatan internetnya sebesar 4-5 Mbps saja, sedangkan layanan yang diambil adalah 10 Mbps. Hasil pengecekkan pada sisi up-link ke OLT Rayon panam ditemukan output data sudah mendekati kapasitasnya, yaitu sebesar 940.919.000 bits/sec atau 0.9 Gb/sec. Meningkatkan kapasitas bandwidth  dilakukan dengan pemindahan port OLT pada sisi up-link  dari port gigabit ethernet ke port tengigabit ethernet, lalu mengganti SFP tipe SR dengan SFP ER serta penambahan attenuator serat optic sehingga didapat hasil speed test di sisi pelanggan telah kembali sepertinya semula, 10 Mbps. Serta hasil implementasi  AMI menunjukkan OpEx yang timbul sekitar Rp. 1.250.000,-. Sedangkan CapEx sebesar Rp. 1.468.000,-. ......Optical fiber is a telecommunications transmission medium that has a large bandwidth and bit rate so that it can meet the needs of today's data services with great reliability and efficiency. Optical fiber applications continue to be broad and have included seabed networks, terrestrial networks, metropolitan and regional scope networks, and small-scale networks. Optical fiber communication systems have 2 factors that affect the quality of network performance, namely internal aspects and external aspects. These internal and external aspects can degrade the performance quality of the optical fiber used and can cause attenuation and other transmission losses. As an effort to prevent sudden and significant deterioration in the quality of a network, it is necessary to try regular maintenance activities such as scheduled fiber optic cable network service quality measurements. These maintenance activities can help ensure network capacity increase decisions. One of the quality of service parameters that is often measured is transmission attenuation and received signal energy (received power). This research examines increasing the bandwidth capacity of PT PLN Icon Plus in the Central Sumatra region during network anomalies, namely slow internet connections on the Panam - Rayon Panam link, and the results will be used for the implementation of Advanced Metering Infratructure (AMI). The sample taken from one of the customers shows the measurement results of the internet speed of 4-5 Mbps only, while the service taken is 10 Mbps. The results of checking on the up-link side to OLT Rayon panam found that the data output was close to its capacity, which was 940,919,000 bits/sec or 0.9 Gb/sec. Increasing bandwidth capacity is done by moving the OLT port on the up-link side from the gigabit ethernet port to the tengigabit ethernet port, then replacing the SR type SFP with SFP ER and adding fiber optic attenuators so that the speed test results on the customer side have returned to its original appearance, 10 Mbps. And the results of AMI implementation show that the OpEx arising is around Rp. 1,250,000, -. While CapEx amounted to Rp. 1,468,000, -.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Sally Aman
Abstrak :
Kondisi infark miokard akut (IMA) sering disertai hiperglikemia yang meningkatkan risiko aritmia maligna melalui mekanisme yang diduga berupa kerusakan miokard, perubahan kanal ion dan peningkatan respons inflamasi. Penelitian mengenai hubungan hiperglikemia akut dengan kejadian aritmia maligna pada pasien dengan sindrom koroner akut (SKA) sudah banyak dilakukan, namun pada pasien IMA yang merupakan populasi khusus SKA dan memiliki risiko aritmia maligna lebih tinggi, belum ada penelitian yang menelaah peran kerusakan miokard, perubahan kanal ion dan peningkatan respons inflamasi sebagai patomekanisme terjadinya aritmia maligna pada pasien IMA. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh hiperglikemia akut terhadap kejadian aritmia maligna, troponin I, VLP, strain ekokardiografi, perubahan kanal ion (CaMKII) dan hsCRP. Penelitian ini juga bertujuan menilai pengaruh troponin I, VLP, GLS, CaMKII dan hsCRP terhadap kejadian aritmia maligna pada pasien IMA dengan hiperglikemia akut. Penelitian potong lintang yang dilanjutkan kohort prospektif pada pasien IMA yang dirawat di ICCU RSCM Jakarta, dilakukan November 2018-Mei 2019. Pasien dengan infeksi berat dan sudah mengalami aritmia maligna saat masuk RS dieksklusi. Data karakteristik dasar dan variabel kadar glukosa darah sewaktu, troponin I, VLP, GLS, CaMKII pertama dan hsCRP diambil pada hari pertama perawatan. Kejadian aritmia maligna sebagai luaran utama penelitian dan kadar CaMKII kedua dinilai pada hari ke-5 perawatan. Pasien yang meninggal sebelum hari perawatan ke-5 bukan akibat aritmia maligna dikeluarkan dari penelitian. Hubungan hiperglikemia akut dengan VLP dan kejadian aritmia maligna dianalisis dengan uji chi-square, sedangkan troponin I, GLS, CaMKII dan hsCRP berdasarkan status hiperglikemia diuji dengan uji-t atau Mann-Whitney. Sejumlah 110 pasien diikutkan dalam penelitian, 2 pasien meninggal pada hari ke-3 perawatan akibat aritmia maligna. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara hiperglikemia akut pada IMA dengan aritmia maligna. Pada analisis bivariat, CaMKII hari ke-1 dan ke-5 memiliki hubungan bermakna dengan kejadian aritmia maligna (p = 0,03, p = 0,01). Pada kelompok hiperglikemia akut terdapat perbedaan kadar CaMKII di hari ke-5 antara VLP positif dan negatif (p = 0,03). Disimpulkan bahwa IMA pada fase awal akan menimbulkan kerusakan miokard yang lebih dominan dibandingkan peran metabolik. Fase berikutnya terjadi peningkatan katekolamin yang berakibat terjadinya hiperglikemia akut dan akan meningkatkan ROS serta aktivasi perubahan kanal ion yang digambarkan dengan CaMKII. Perubahan ini berakibat remodeling elektrofisiologi jantung yang terlihat dari gambaran VLP pada pemeriksaan SA-ECG. Kata Kunci: Aritmia maligna, CaMKII, Hiperglikemia Akut, hsCRP, IMA, VLP
Acute Myocardial Infarction (AMI) is often followed by hyperglycemia which will increase the risk of malignant arrhythmias through mechanisms that are thought to be myocardial damage, ion channel changes and increased inflammatory response.There have been many studies on the correlation of acute hyperglycemia with the occurrence of malignant arrhythmias in acute coronary syndromes (ACS), but not much in AMI as a special population of ACS with a higher risk of malignant arrhythmias.There are no studies that examine the role of myocardial damage, ion channel changes and increased inflammatory response as a pathomechanism of malignant arrhythmias in AMI patients. The purpose of this study was to determine the effect of acute hyperglycemia on the occurence of malignant arrhythmias, troponin I, VLP, echocardiographic strain, ion channel changes (CaMKII) and hsCRP. This study also aims to assess the effect of troponin I, VLP, GLS, CaMKII and hsCRP on the occurence of malignant arrhythmias in AMI patients with acute hyperglycemia. A cross-sectional study followed by a prospective cohort of AMI patients treated at ICCU Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta was done from November 2018– May 2019. Patients with severe infections and who had experienced malignant arrhythmias at admission were excluded. Data on baseline characteristics and random blood glucose levels, troponin I, VLP, GLS, the first CaMKII and hsCRP were collected on the first day of treatment. The occurence of malignant arrhythmias as the main outcome of this study and the second CaMKII level were assessed on the fifth day of treatment. Patients who died before the fifth day of treatment not due to malignant arrhythmias were excluded. The correlation between acute hyperglycemia with VLP and the occurence of malignant arrhythmias was analyzed by chi-square test, whereas troponin I, GLS, CaMKII and hsCRP based on the hyperglycemia status were tested by t-test of Mann-Whitney test. A total of 110 patients were included in the study, 2 patients died on the third day due to malignant arrhythmias. No significant relationship was found between acute hyperglycemia in AMI and malignant arrhythmias. On the first day and fifth day CaMKII bivariate analysis had a significant correlation with the occurence of malignant arrhythmias (p = 0.03, p = 0.01, respectively). In the acute hyperglycemia group there were differences in CaMKII levels on the fifth day between positive and negative VLP (p = 0.03). It was concluded that AMI in the initial phase would cause more dominant myocardial damage compared to the role of metabolic factors. In the next phase there is an acute hyperglycemia and will increase ROS and activation of ion channel changes described by CaMKII. This change results in the electrophysiological remodeling of the heart as seen from the VLP picture on SA-ECG. Key Words: Acute hyperglycemia, AMI, CaMKII, hsCRP, Malignant arrhythmias, VLP
2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Santoso
Abstrak :
Malaria masih merupakan masalah kesehatan msyarakat yang serius bagi umat manusia di dunia. Saat ini diperkirakan 2,5 milyar manusia hidup di wilayah-wilayah endemis malaria dengan ± 300 juta kasus dan -+ 1juta orang meninggal setiap tahun karena penyakit malaria. Di Indonesia pada periode tahun 2001-2004 mengalami penurunan Annual paracite incidence (API) di Jawa-Bali tahun 2001 (0,62%o), 2002 (0,47%0), 2003 (0,22%o) dan 2004 (0,15%0). Demikian pula annual malaria incidence (AMI) di War Jawa-Bali tahun 2001 (26,20%0), 2002 (22,30%0), 2003 (21,80960) dan 2004 (21,20%o), tetapi penyakit malaria masih menimbulkan KLB pada tahun 2004, di 5 propinsi pada 6 kabupaten dengan 1.959 penderita dan 33 penderita meninggal dunia_

Tujuan penelitian ini, untuk mengetahui hubungan antara faktor pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan dengan kejadian malaria dalam upaya mengidentifikasi karakteristik populasi lokal spesifik.

Desain penelitian adalah studi korelasi populasi, menggunakan data sekunder dari Depkes RI dan BPS Pusat. Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian 108 namun dalam analisisnya menggunakan keseluruhan sampel yang berhasil dikumpulkan sebanyak 46. Kasus adalah kelompok penderita dengan gejala klinis malaria yang sudah didiagnosis oleh petugas kesehatan, tinggal di propinsi Indonesia dan tercatat di Sub Direktorat Malaria Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2000-2004. Pengumpulan data dilakukan pada Bulan Juni 2006. Variabel penelitian adalah faktor pelayanan kesehatan (puskesmas), perilaku (kualitas sumber daya manusia) dan lingkungan (lingkungan sosial ekonomi, lingkungan tingkat rural, lingkungan sosial demografi dan lingkungan fisik) yang berhubungan dengan terjadinya efek yang diteliti (kejadian malaria di propinsi Indonesia tahun 2000-2004).

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan sedang antara variabel puskesmas (1=0,335), sumber daya manusia (1=0,299), pemerataan (r=0,504), aspek lingkungan desa (r=-0,448), aspek pejamu desa (1=-0,493), kepadatan penduduk (1=-0,440) dan potensi perindukan nyamuk (r=-0,326) dengan kejadian malaria di Indonesia tahun 2000 sampai dengan 2004. Variabel yang paling besar berhubungan dengan kejadian malaria di Indonesia tahun 2000-2004 adalah variabel proporsi aspek lingkungan desa dengan model persamaan proporsi kejadian malaria = 2,316 + 0,628 (proporsi puskesmas) + 0,396 (proporsi sumber daya manusia) + 0,037 (proporsi pemerataan ) - 0,335 (proporsi aspek lingkungan desa) - 1,074 (proporsi potensi perindukan nyamuk). Dengan setiap puskesmas memiliki program P2 malaria yang secara aktif menjalankan tugasnya dalam penemuan kasus, pemberantasan, pencegahan dan penyuluhan malaria maka peningkatan faktor pelayanan kesehatan (variabel proporsi puskesmas) akan diikuti dengan penurunan proporsi kejadian malaria.
Malaria is still a serious health problem at society for human being in the world, because of a highest prevalence especially in development countries. Today it is estimated almost 2,5 billions people live at malaria endemic by 300 millions cases and 1 million people died because of malaria disease every year. It decreased in Indonesia at period of 2001-2004, Annual Paracite Incidence in Java - Bali in 2001 (0,62 0/00), in 2002 (0,47 °/oo), in 2003 (0,22 °/oo), and in 2004 (0,15 °/00). Furthermore, Annual Malaria Incident in Java-Bali in 2001, (26,20 0/oo, in 2002 (22,30 °/oo), in 2003 (21,80 °/oo), and in 2004 (21,20 0100). Malaria disease is still an extraordinary occurrence in 2004, 5 provinces, 6 sub-provinces, by 1.959 patients and 33 of them died.

This research purpose is to know a relation between health services, behavior and environment factor with malaria occurrence in the effort of identifying a local population characteristic specifically.

Research used a correlated population design with secondary data from Indonesia Ministry of Health and Indonesia Statistic Bureau. This research conducted to 108 samples but its analysis used all of samples which were success collected by 46 samples. Cases were patient groups with clinic symptom of malaria which have been diagnosed by a health worker, living in province of Indonesia and noted in Sub Directorate of Malaria, General Directorate of Infectious Disease Prevention and Environment Health, Indonesia Ministry of Health in 2000-2004. Data collecting was conducted on June 2006. Research variables are health service (primary health care), behavior (human resources quality) and environment (social economic, rural level, social demography and physic environment) related to the assessed effect (malaria occurrence in province of Indonesia, 2000-2004).

Research result indicated that there was a medium relationship between primary health care (r=,335), human resources (r3,299), equity (r=0,504), district environment aspect (r),448), district host aspect (r),493), high population (r.1,440) and mosquito breeding places potency (r 0,326) variables with malaria occurrence in Indonesia, 2000-2004. The biggest variable related to malaria occurrence in Indonesia, 2000-2004 was proportion variable of district environment aspect with equity model of malaria occurrence proportion = 2,316 + 0,628 (proportion of primary health care) + 0,396 (proportion of human resources) + 0,037 (proportion of equity) - 0,335 (proportion of district environment aspect) -- 1,074 (proportion of mosquito breeding places potency). Each primary health care has a malaria eradication program which running their job actively on cases invention, eradication, prevention and counseling of malaria. Therefore, improvement of health service factor (proportion variable of primary health care) followed by proportion degradation of malaria occurrence.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19007
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Sri Wariyastuti
Abstrak :

 

Aktivitas seksual adalah kebutuhan vital bagi manusia yang dapat terganggu setelah Infark Miokard Akut (IMA) sehingga kapan kembali melakukan aktivitas seksual merupakan hal yang harus menjadi perhatian. Namun saat ini, kembali beraktivitas seksual belum menjadi prioritas dalam pelayanan keperawatan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh dari karakteristik responden, farmakologi, komorbiditas, masalah seksual, dukungan pasangan, dukungan tenaga kesehatan, pengetahuan, fungsi fisik dan faktor psikologis (ansietas-depresi) terhadap kembali beraktivitas seksual. Penelitian menggunakan desain survey analitik cross sectional pada 107 responden rawat jalan yang diambil dengan teknik consecutive sampling. Penelitian menggunakan instrumen Short-Form 12 (SF-12) untuk menilai fungsi fisik, Sex after MI Knowledge Test (SMIKT) untuk mengukur pengetahuan seksual paska IMA dan The Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) untuk mengukur ansietas dan depresi. Hasil penelitian yang dianalisa dengan uji chi-square dan fishers exact menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan signifikan adalah farmakologi (beta-blocker) (p=0,020), masalah seksual (p=0,017) dan pengetahuan (p=0,038). Responden dengan beta-bloker, mempunyai masalah seksual dan pengetahuan seksual yang kurang cenderung terlambat kembali beraktivitas seksual. Program edukasi seksual dan peningkatan kolaborasi interprofesional diharapkan dapat membantu pasien lebih cepat kembali beraktivitas seksual paska IMA.

 

 


 

Sexual activity is a vital need for humans which can be distrupted due to Acute Myocardial Infarction (AMI) therefore when to resumption of sexual activity is an important matter must be concern. However, return to sexual activity have not been a priority in nursing care nowadays. The study aimed to identify influence of characteristics respondent, pharmacology, comorbidity, sexual problem, partners support, health professional support, sexual knowledge, physical function and psychology factors (anxiety-depression) on returning to sexual activity. The study used analytic survey with cross sectional approach and consecutive sampling involving 107  outpatient. The instruments used were Short Form 12 (SF-12) to assess physical function, Sex after MI Knowledge Test (SMIKT) to measure the post-IMA sexual knowledge and The Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) to measure anxiety and depression level. The results were analyzed by fishers exact and chi square test showed a significant relationship between  pharmacological factor (beta-blocker) (p=0,02), sexual problems (p=0,017) and sexual knowledge (0,038) with returning to sexual activity after IMA. Respondents were receiving beta-blocker, having sexual problems and lacking of sexual knowledge tend to be late resuming sexual activity. Sexual education programe and increased interprofessional collaboration are expected to help post-IMA patients regain their sexual activity  faster.

 

 

Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library