Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
MTH Sri Budiastuti
Abstrak :
ABSTRAK Dewasa ini lahan pertanian di daerah bawahan makin terdesak oleh kepentingan lain yang bukan pertanian seperti perluasan jaringan jalan, pengembangan industri dan lain-lain, yang kegiatannya banyak menggunakan sumber air. Oleh karena itu perhatian harus diarahkan ke lahan atasan agar dapat dijadikan pangkalan pengembangan pertanian. Daerah tapak waduk Kedung Ombo meliputi tiga wilayah kabupaten di Jawa Tengah yaitu Boyolali, Sragen dan Grobogan yang merupakan kawasan pertanian lahan kering dengan luas wilayah 4541 km2. Sebagian besar penduduknya hidup sebagai petani dengan mengusahakan tanaman pangan seperti jagung, kedelai, kacang tanah dan ketela pohon. Ketiga wilayah kabupaten ini memiliki topografi bergelombang sehingga termasuk lahan atasan, dan dalam kaitannya dengan lahan pertanian, maka lahan atasan adalah lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan air pada petak pertanaman. Dengan demikian air hujan merupakan sumber air asasi di daerah tapak waduk Kedung Ombo. Tanaman dapat tumbuh dengan baik apabila ketersediaan air dan hara terpenuhi, dengan kata lain persediaan 'air dan hara menentukan kemaujudan pertanian lahan kering. Ketersediaan air bagi tanaman terdapat dalam bentuk lengas tanah yang merupakan hasil saling tindak (interaction) antara tanah dan iklim(musim), sehingga peranan tanah dalam mengubah air menjadi lengas tanah dan kemampuan mempertahankannya serta kemampuan menyediakan hara, sangatlah penting. Fakta menunjukkan bahwa daerah tapak secara potensial sangat rawan terhadap kerusakan, seperti erosi tanah dan kekeringan yang berarti ketersediaan lengas tanah terbatas dan kesuburan tanah rendah, sehingga dapat mempengaruhi kapasitas penghasilan pendapatan penduduk. Untuk itu diperlukan penelaahan potensi lengas tanah dan hara tanah sehingga dapat ditentukan tanaman pangan dengan sistem budidayanya yang menjamin kemanfaatan sumberdaya alam setempat serta berdasarkan konservasi'lengas tanah dan tanah. Mengingat hal tersebut, timbul beberapa pertanyaan penelitian: (1) teknik pengawetan tanah dan lengas tanah apakah yang dapat diterapkan, (2) sistem budidaya tanaman apakah yang mampu beradaptasi pada kondisi lengas tanah dan hara tanah serta mampu menekan erosi, (3) apakah sistem budidaya yang mampu beradaptasi dengan lengas tanah dan hara tanah di daerah tapak juga berpengaruh pada produksi tanaman dan kapasitas penghasilan pendapatan petani dan (4) kendala-kendala apakah yang terjadi di dalam menerapkan sistem budidaya yang paling tepat dan bagaimana upaya mengatasinya. Tujuan umum penelitian ini, menemukan suatu cara memapankan pertanian lahan kering secara terlanjutkan menurut asas adaptasi pada regim lengas tanah dan regim hara tanah. Tujuan khusus: (1) menemukan teknik pengawetan tanah dan lengas tanah yang dapat diterapkan, (2) menemukan sistem budidaya tanaman yang terjamin kebutuhan lengas tanah dan mampu menekan erosi, (3) menemukan sistem budidaya tanaman yang paling tepat dan mampu meningkatkan produksi tanaman dan kapasitas penghasilan pendapatan petani dan (4) menemukan kendala-kendala di dalam menerapkan sistem budidaya yang tepat. Hipotesis yang diajukan: (1) teknik pengawetan tanah dan lengas tanah yang dapat diterapkan adalah teknik vegetatif melalui sistem pertanaman yang menyertakan tanaman tahunan, (2) sistem pertanaman lorong menurut penanaman dalam lajur yang menghasilkan pupuk hijau,terjamin kebutuhan lengas tanahnya dan mampu menekan erosi, (3) diduga sistem pertanaman lorong merupakan sistem budidaya tanaman yang mampu bertahan dengan balk pada kondisi setempat dan dapat meningkatkan produksi tanaman serta kapasitas penghasilan pendapatan petani, (4) kendala sosial ekonomi merupakan kendala utama di dalam menerapkan sistem pertanaman lorong. Metodologi untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini menggunakan analisis sistem dengan membuat acuan pengimakan menurut acuan geografi sebagai gambaran sistem lahan, yang dikerjakan dengan sistem pemutus matrik (decision matrix). Tiap-tiap unsur pengimakan disusun berdasarkan sistem grid (kelas-kelas) dan penetapan banyaknya kelas menurut tingkat kepentingannya. Hasii analisis dengan acuan pengimakan berupa peta agrohidrologi dan peta geografi agihan hara tanah yang digambarkan secara digital dan menjadi data dasar ketersediaan lengas tanah dan hara tanah secara alamiah untuk pertanaman dengan matra keruangan dan kewaktuan, kemudian dari paduan (overlay) peta agrohidrologi dan peta geografi agihan hara tanah diperoleh peta produktivitas alamiah yang menghasilkan kelas-kelas kesatuan lahan (KKL). Tahap kedua adalah menganalisis secara deskriptif, semua model pola tanam dengan sistem tumpangsarinya dan produksi dari tiap-tiap tanaman pangan yang diusahakan, yang berada di tiaptiap kelas kesatuan lahan. Tahap ketiga mengadakan penelitian erosi permukaan tanah dan aliran limpas yang dilakukan pada salah satu kelas kesatuan lahan terpilih karena kelas kesatuan lahan ini hampir berada di seluruh daerah tapak dan memiliki berbagai variasi kemiringan. Pengukuran erosi di lapangan digunakan sebagai pembanding pengukuran erosi potensial berdasarkan rumus USLE yang disajikan dalam bentuk peta kawasan erosi. Tahap terakhir adalah melakukan teknik tumpang tindih antara peta produktivitas alamiah dan peta kawasan erosi potensial sehingga menghasilkan kelas-kelas kesesuaian lahan. Hasil analisis sistem dengan acuan pengimakan terhadap potensi lengas tanah menunjukkan bahwa daerah tapak memiliki ketersediaan lengas tanah cukup balk untuk tanaman semusim maupun, untuk tanaman tahunan, dan terhadap potensi hara tanah menunjukkan bahwa sebagian besar daerah tapak memiliki potensi hara yang rendah (miskin). Kedua potensi tersebut dipadukan, menghasilkan peta produktivitas alamiah dengan empat kelas kesatuan lahan yaitu: (1) kesatuan lahan yang lengas tanahnya tersedia sepanjang tahun dan potensi hara tanah sangat miskin, (2) kesatuan lahan yang lengas tanahnya tersedia sepanjang tahun dan potensi hara tanah miskin, (3) kesatuan lahan yang lengas tanahnya tersedia sepanjang tahun dan potensi hara tanah .sedang, (4) kesatuan lahan yang lengas tanahnya tersedia sepanjang tahun dan potensi hara tanah sangat subur. Keempat kelas kesatuan lahan memiliki model pola tanam dengan sistem tumpangsari antara beberapa jenis tanaman pangan, dan khususnya di kelas kesatuan lahan kedua (desa Genengsari Boyolali) dengan sistem tumpangsari antara tanaman pangan dan tanaman tahunan (legum) menurut pertanaman lorong (alley cropping) dalam sistem lajur. Tanaman tahunan (legum) dalam sistem pertanaman lorong berfungsi sebagai tanaman pagar yang mampu menghasilkan pupuk hijau sebesar 28,6 ton per hektar per tahun. Pupuk hijau dalam sistem pertanaman lorong, disamping berfungsi menyuburkan tanah juga dapat mengurangi evaporasi yang berlebihan pada musim kemarau. Oleh karena sistem pertanaman lorong di desa Genengsari menurut penanaman dalam lajur dan disertai pembuatan teras bangku sederhana, maka terjadinya erosi relatif rendah (0,009 ton ha-1 th-1). Produksi tanaman pangan dan perhitungan kapasitas penghasilan pendapatan petani menunjukkan bahwa model pola tanam dengan sistem tumpangsari menurut pertanaman lorong di KKL 2 memperoleh pendapatan bersih Rp. 3.516.000,- yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan pendapatan bersih di KKL yang lain. Hal itu disebabkan oleh jumlah pengusahaan dalam satu tahun, yakni dalam sistem pertanaman lorong dapat diusahakan 3-4 kali, sedangkan dalam sistem tumpangsari yang lain hanya 1-2 kali. Hal itulah yang secara langsung dapat meningkatkan kapasitas penghasilan pendapatan petani (dengan 5-6 kali panenan dalam satu tahun). Hasil pengukuran erosi permukaan tanah dan aliran limpas di kelas kesatuan lahan yang mendominir daerah tapak (KKL kedua) pada kemiringan 35% adalah 0,031 t ha-1 th-1 (0,12 mm ha-1 th-1) dan jumlah aliran limpas 91 mm ha-1 th-1, berarti masih jauh di bawah tingkat erosi pada lahan dengan model pola tanam yang kurang memperhatikan sifat agronomi tanaman (3-12 mm ha-1 th-1 atau 0,775 t ha-1 th-1) dan juga masih di bawah tingkat erosi yang diijinkan untuk tanah dangkal di atas batuan (1,12 t ha-1 th-1). Adapun peta kawasan erosi potensial daerah tapak menunjukkan bahwa besarnya erosi potensial di tiap-tiap kemiringan lahan, bagaimanapun juga masih berada di bawah tingkat erosi yang diijinkan. Dengan demikian persoalan erosi di daerah tapak masih relatif kacil. Untuk menentukan sistem pertanaman menurut keterlanjutan fungsi sumberdaya, diperlukan kelas?kelas kesesuaian lahan. Kelas-kelas tersebut adalah: (1) lokasi pertama lengas tanah tersedia sepanjang tahun, hara tanah sangat miskin, tidak ada erosi potensial, sesuai untuk pola tanam tanaman pangan yang mendahulukan kacang tanah, dan sisa tanaman tersebut digunakan sebagai mulsa, lokasi kedua, erosi potensial 1,925 t ha-1 th-1, sesuai untuk tanamansayuran dengan pengelolaan searah kontur, (2) lengas tanah tersedia sepanjang tahun untuk tanaman semusim dan sedikit risiko untuk tanaman tahunan, hara tanah sangat miskin, erosi potensial 0,065 t ha-1 th-1, sesuai untuk pola tanam tanman pangan yang mendahulukan kacang tanah serta penanaman tanaman tahunan tahan keying, (3) lengas tanah tersedia sepanjang tahun, hara tanah miskin, erosi potensial berkisar antara 0,092 t hart th-1 sampai dengan 0,96 t ha -l th-1, sesuai untuk pola tanam dengan sistem pertanaman lorong, (4) lengas tanah tersedia sepanjang tahun, hara tanah sedang, erosi potensial 0,09 t ha-1 th-l, sesuai untuk pola tanam tanaman pangan dengan tanaman pokok padi pogo dan kacang tanah yang dapat disisipi jagung dan ubi kayu, (5) lengas tanah tersedia sepanjang tahun untuk tanaman semusim dan sedikit risiko untuk tanaman tahunan, hara tanah sangat subur,erosi potensial 0,60 t ha-l th-l, sesuai untuk tanaman sayuran dan tanaman tahunan (buah-buahan) yang mangkus (efisien) dalam menggunakan air. Sebagian besar daerah tapak termasuk kolas kesesuaian lahan ketiga yaitu lahan yang sesuai untuk sistem pertanaman lorong. Bagaimanapun juga upaya mengatasi ketidakmampuan tanah mempertahankan lengas tanah dan meningkatkan.hara tanah, harus mengacu kepada sumber utama penghidupan penduduk yaitu usaha pertanian dengan penekanan utama pada sistem pertanaman. Sistem pertanaman yang dilakukan adalah sistem pertanaman yang dititik beratkan pada masukan bahan organik sebagai unsur yang menyokong, memperbaiki dan memelihara kesuburan tanah melalui proses daur ulang. Sistem ini disebut Sistem Gizi Tanaman Terpadu atau Integrated Plant Nutrition System. Dalam hal sistem gizi tanaman terpadu, maka sistem budidaya tanaman dengan sistem pertanaman lorong (alley cropping) menurut penanaman dalam strip sangat tepat untuk diterapkan karena dapat mengendalikan evaporasi, transpirasi, aliran limpas dan menghasilkan pupuk hijau yang dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, sehingga mengurangi penggunaan pupuk buatan. Dalam hubungannya dengan persoalan erosi tanah, maka besarnya erosi pada model pola tanam dengan sistem pertanaman lorong adalah 0,009 t ha-1 th-l, yang berarti jauh di bawah besarnya erosi pada model pola tanam yang dilakukan rakyat yaitu 0,775 t ha-i th-l. Apabila dilihat dari segi kapasitas penghasilan pendapatan petani, maka pendapatan bersih terbesar juga terdapat pada kelas kesatuan lahan dengan model pola tanam menurut sistem pertanaman lorong. Oleh karena itu sistem pertanaman lorong merupakan sistem pertanaman yang mengarah ke keterlanjutan fungsi sumberdaya, ditinjau dari segi fisik (tingkat erosi) maupun segi ekonomi (kapasitas penghasilan pendapatan). Namun demikian, terdapat juga kendalakendala dalam melaksanakan sistem pertanaman lorong, yaitu tentang anggapan petani bahwa tanaman pagar dalam sistem pertanaman lorong dianggap mengganggu tanaman pangan dan mempersempit bidang olah. Usaha mengatasinya adalah dengan pendekatan manusiawi melalui penyuluhan maupun plot-plot percontohan yang secara langsung dapat dilihat olah petani.Dengan tercapai melalui suatu rangkaian proses. ;
ABSTRACT The Establisment Of Upland Agriculture Based On The Concept Of The Sustainability Of Environmental Function (Case Of Kedung Ombo Dam Site Area)The current situation in Indonesia shows that the area of lowland agriculture is gradually decreasing due to conversion to other uses. The building of new and the expansion of existing roads, and land development for industrial estates, to mention just a few, are steadily encoding into productive paddy lands. Industrial and urban developments also claim much water from existing sources, posing a serious threat to lowland agriculture. This thesis tries to elucidate the potential and prospect of upland agriculture as an alternative approach to the problem of diminishing land areas for lowland agriculture and the increased competition for water used. The catchments area of Kedung Ombo reservoir is within the area of three kabupatens, namely Boyolali, Sragen and Grobogan. It covers 4541 square km where most upland agriculture has been practice. The main crops are food crops like maize, soybean, peanut and cassava, cultivated as rain fed crops. The relief of the terrain is strongly undulating to rolling, so that the land is very susceptible to erosion and water deficit. The sustain rain fed cropping it is compulsory to integrate soil and water conservation in the general practice of farming. In principle, soil conservation is intended to keep plant nutrient losses from the rooting zone at reasonable minimum, and to maintain a good rooting space. Water conservation is basically aimed at ensuring the effective transformation of precipitation water into available soil moisture for plants, and to hold the obtainable soil moisture as long as possible to used during rainless periods. To design an appropriate system of soil and water conservation, it is necessary to define the prevailing soil condition in terms of nutrient and water supplies as related to the physical environment in which the soil exists. These are called the soil nutrient regime (SNR) and the soil moisture regime (SMR). With the understanding of SNR and SMR of each land unit, the following questions can be raised and the relevant answers can be sought: (1) what kinds of soil and water conservation technique are required, (2) what kinds of cropping system may be alternatively introduce to each of the different land units which can accommodate the soil and water conservation techniques, (3) what will be the consequences of each alternative system on crop yields, and income producing capacity for farmers, and (4) what will be the constraints of each alternative system, and how may the be immigated. To seek the answers to the questions a number of hypothesis can be formulated: (1) a vegetative technique of planting method by using tree crops will be applicable as a method to conserve the soil and soil moisture, (2) alley cropping with row planting which produce green manure will stabilize the soil moisture and prevent soil erosion, (3) alley cropping as an agricultural system will be sustainable at local condition and increase plant production and income producing capacity for the farmers, (4) the social economics constraint is the main constraint in applying alley cropping. The methodology which is appropriate for solving the research questions will be a system analysis which refer to the geographical models as an outlay of soil type, which is carried out by a decision matrix. Each element of the simulation models are arranged based on the grid system. The number of classes were decided according to needs. The analytical results based on simulations models is an agro hydrological mapping and a geographical distribution of soil nutrient mapping, which is presented in a digital form and will be as data base of soil moisture and soil nutrient regim. In so doing the agricultural system will be proposed according to time and space which is supported by the overlay agro hydrological and geographical mapping as a picture of natural productivity which produced the classes of unit land. The second step is to conduct a descriptive analysis of the production of every food crop, which is different on every class of unit land. The third step is the research on a soil erosion and run off on a unit land which is dominant in the effort supporting to solve the problem by using small scale for one rainy occasion. The measurement of soil erosion in the field has been done and the data were compared with the potential soil erosion according ISLE as based for drawing a regional map in soil erosion. The last phase of the technique of the overlay mapping among the natural land productivity and the potential soil erosion will give the land classification for the relevant land used. The result of the system analysis referred to the simulation of the soil moisture showed that the region surrounding Kedung Ombo reservoir contain adequate soil moisture for food crops as well for annual crops. The soil nutrient showed that most part of the region have low potential in nutritious elements. By adding of the two potentials above, the natural land productivity was produced with four classes: (1) agricultural land where the soil .moisture are available all year long with very low nutritious elements, (2) agricultural land where the soil moisture are available all year long with low nutritious elements, (3) agricultural land where the soil moisture are available all year long with fair nutritious elements, (4) agricultural land where the soil moisture are available all year long with rich nutritious elements. These four classes of unit land were interplant with several variety of food crops. Especially for class number two (at Genengsari, Boyolali) were interplant with food crops and perennials (legumes) according to the system of alley cropping and row planting. The perennials crops of, the alley cropping had the function of fence which produced green manure of 28.6 tons per hectare per year. The green manure of the alley cropping will also fertilized the land beside decreasing evaporation in the dry season. Since the implementation of alley cropping and bench ' terracing at village Genengsari, accordingly the soil erosion were relatively low (0.009 t per hectare per year). Food production and income producing capacity of the farmers by applying of the intercropping system and alley cropping at KKL 2 were Rp. 3,516,000,- per year, which were far above the average farmers income from other KKL's, due to the several painting periods in every year. In alley cropping 3-4 times a year, while in interplanting the farmers planted 1-2 times a year. Therefore, their income producing capacities were increased by 5-6 times. The experimental data of soil erosion and run off of the most agricultural land (class of unit land number two) at KKL 2 where the slopes is 35%, were 0.031 ton per hectare per year, and the run off were 91 mm per hectare per year. This means under the soil erosion at land without any conservation farming method (0.775 t ha-1 th-1), and were sill under the tolerable erosion level (1120 kg per hectare per year). This means that the soil erosion of the region were relatively low. For deciding a cropping system which will be sustainable in an agricultural land used, a suitable land classification is needed. Those classes are: (1) land where the soil moisture are available all the year, with poor in plant nutrition, without potential in soil erosion, is suitable for food crops, by planting peanut as the first crop, by planting peanut as the first crop, and using the hay as mulch; when soil erosion reached 1.925 t per hectare per year, those land can be used for horticultural crops, planted according to the contour, (2) land where the soil moisture are available all the year and can be used for annual crops and for trees with minimum risk, poor in plant nutrition, the potential in soil erosion is 0.065 tons ha-1 th-1, is suitable for food crops, with peanut as the first planting and annual crops which stand against drying, (3) land where the soil moisture available all the year, poor in plant nutrition, the soil erosion potential between 0.092 t per hectare per year and 0.96 t ha-1 th-1, is suitable for alley cropping, (4) land where the soil moisture available all the year, medium in plant nutrition, the soil erosion potential is 0.09 t ha-1 th-1, is suitable for food crop and "padi gaga" as main crop, with peanut and cassava for intercropping, (5) land where the soil moisture available all the year that can be used for annual crops and trees with a little risk, rich on plant nutrition, the soil erosion potential 0.060 t ha -1 thll is suitable for horticultural crops and fruit trees which efficient in using the soil moisture. Most of the regime surrounding the dam are in the third class (group), therefore, suitable for alley cropping system. The way to maintain the soil moisture and soil nutrient during the dry season should be based on the farmers livelihood, namely by focusing on food crops planting by doing organic farming. That means that intake and outtake of organic matter should be equal. The system is an Integrated Plant Nutrition System. Alley cropping with row planting can be done to maintain evaporation, transpiration, run off, and produce green manure which improve the physical and chemical condition of the soil, so that the input of chemical fertilizers can be limited. Since perennial- crops which planted as fences competed food crops in using sunlight for photosynthesis, intensive extension services should be done, more demonstration plots should be held to give prove for farmers that alley cropping is a proper system on the upland as a sustainable farming system.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suprodjo Pusposutardjo
Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001
631.587 SUP p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2008
630.6 PRO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bunch, Roland
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001
338.1 BUN dt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suwasono Heddy
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010
632 SUW a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yustina Dinar Moneta
Abstrak :
Skripsi ini menganalisis alasan pemerintah Jepang meliberalisasi sektor agrikulturnya pada European Union-Japan Economic Partnership Agreement (EU-JEPA) padahal sebelumnya, seringkali mendapatkan penolakan dari aktor-aktor domestiknya. Metodologi yang digunakan studi ini adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi literatur dan wawancara. Melalui teori two-level games, skripsi ini menjelaskan proses negosiasi dan alasan Jepang meliberalisasi sektor agrikulturnya melalui tiga determinan dan satu faktor pendukung dalam penelitian ini yang dirangkum dari proses negosiasi di Level I dan Level II. Pada Level I, terdapat kompromi antara Jepang dan UE terhadap tarif produk sektor agrikultur yang menguntungkan kedua belah pihak dan adanya kebijakan Abenomics dengan salah satu pilar reformasi agrikultur. Pada Level II determinan I, terdapat pengurangan dominasi aktor-aktor domestik yang tidak pro liberalisasi sektor agrikultur dan adanya kepentingan Shinzo Abe untuk melakukan kerja sama ekonomi. Pada Level II determinan II, semakin besarnya peran lembaga eksekutif Jepang (perdana menteri dan Kantei) di bawah Shinzo Abe yang intervensionis dan suara partai oposisi yang terpecah belah dan lemah. Adapun faktor pendukung yang ditemukan dalam studi ini adalah keberhasilan liberalisasi sektor agrikultur Jepang di Trans-Pacific Partnership (TPP). Berdasarkan temuan tersebut, studi ini melihat bahwa sikap proteksionis Jepang terhadap sektor agrikulturnya mengalami adaptasi seiring dengan desakan liberalisasi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daffa Pratama
Abstrak :

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat urgensi overeducation dan undereducation pada pekerja sektor agrikultur yang dapat menghambat terpenuhinya kebutuhan dharruriyat. Penelitian ini menggunakan metode regresi linear berganda dengan menggunakan data Sakernas 2019 dari BPS untuk mengetahui pengaruh overeducation dan undereducation pada pendapatan pekerja pada sektor agrikultur di Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah terjadi fenomena overeducation dan undereducation pada sektor agrikultur yang menyebabkan wage penalty dan wage premium pada para pekerja. Karena itu, perlu adanya evaluasi pada sektor agrikultur baik dari pekerja atau lapangan pekerjaannya.

 


The purpose of this study was to see the urgency of overeducation and undereducation in agricultural sector workers that could hinder the fulfillment of dharruriyat needs. This study uses a Ordinary Least Square regression method using Sakernas 2019 data from BPS to determine the effect of overeducation and undereducation on the income of workers in the agricultural sector in Indonesia. The results of this study are the phenomenon of overeducation and undereducation in the agricultural sector which causes a wage penalty and a wage premium for workers. Therefore, it is necessary to evaluate the agricultural sector, both from workers and their fields of work.

 

Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arinta Andayu Putri
Abstrak :
Kondisi fisik alam dan pengetahuan lokal petani di desa adat Kasepuhan Sinarresmi membentuk pola lanskap agrikultur yang memilki keunikan tersendiri. Penelitian ini bertujuan menganalisis pola lasnkap agrikultur dan kesesuaiannya dengan Wilayah Tanah Usaha WTU . Data penelitian diperoleh melalui obeservasi lapang dan wawancara dengan informan kunci dan petani setempat. Analisis spasial dan deskriptif dilakukan dengan metode overlay dan penarikan garis penampang melintang. Hasil penelitian menyatakan bahwa dari bentuk medan datar yang dekat dari sungai hingga pegunungan curam yang semakin menjauhi aliran sungai, kegiatan intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi pertanian pada wilayah Kasepuhan Sinarresmi semakin berkurang. Bentuk-bentuk pengusahaan tanah pertanian pada umumnya sesuai dengan Wilayah Tanah Usaha dan dibarengi oleh pengetahuan lokal sehingga keberlanjutan keberadaan lanskap agrikultur dapat terjaga. ......The natural physical features and farmers rsquo local knowledge in Sinarresmi indigenous village has uniquely set up an agricultural landscape. The purpose of this study is to analyze how the agricultural landscape is formed and its suitability to become a sustainable landscape. The data in this study were obtained from field observation and interviews with key informant and local farmers. Spatial and descriptive analysis was carried out in this study by overlay method and cross section line. The results suggest that the steeper the shape of the terrain and the farther away from the river, the agricultural intensification, extensification, and diversification activities are diminished. The agricultural land in the Sinarresmi indigenous village are generally in accordance with farmland suitability and are accompanied by the farmers rsquo local knowledge so that the sustainability of the agricultural landscape can be maintained.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S66780
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Muzakki Utomo
Abstrak :
Hutan industri merupakan wilayah hutan dengan persentase paling banyak di Indonesia. Hutan industri juga menyumbang salah satu pemasukan yang cukup besar bagi negara. Untuk menghasilkan kualitas kayu yang konsisten diperlukan perawatan pada pohon yang menghasilkan kayu industri. Salah satu cara perawatan yang dapat dilakukan untuk menjaga kualitas hasil kayu adalah melalui pemangkasan ranting. Pemangkasan ranting merupakan hal yang cukup berbahaya untuk dilakukan seseorang. Resiko yang dihadapi oleh pekerja untuk melakukan perawatan pohon sangatlah besar. Jatuh dari ketinggian merupakan kecelakaan kerja terbesar bagi pekerja yang berada dalam bidang kehutanan. Untuk mengurangi resiko tersebut, dilakukanlah suatu perancangan alat untuk melakukan pemangkasan pada pohon yang dapat dilakukan tanpa perlu memanjat pohon. Alat yang dirancang disesuaikan dengan kebutuhan dari industri di Indonesia yang berfokus pada pohon jati dan pohon mahoni. Perancangan dilakukan dengan pemilihan komponen yang yang dapat dicari serta proses perakitan yang mudah untuk dilakukan. Perancangan dilakukan menggunakan perhitungan kinematika dan dinamika serta pengguanaan aplikasi CAD untuk melakukan proses desain. ......Industrial forest is the forest area with the highest percentage in Indonesia. Industrial forests are also a fairly large source of income for the state. To produce consistent wood quality, care is needed on trees that produce industrial wood. One way of care that can be done to maintain the quality of wood products is through nagging pruning. Pruning nagging is a pretty dangerous thing for a person to do. risks faced by workers to carry out tree maintenance on big hills. Falling from a height is the biggest occupational accident for workers in forestry. To reduce this risk, a tool is designed for pruning trees that can be done without the need to climb trees. A tool designed according to the needs of the industry in Indonesia which focuses on teak and mahogany trees. The design is done by selecting components that can be searched and the assembly process is easy to do. The design is carried out using kinematics and dynamics calculations and the use of CAD applications to carry out the design process.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Narapadya Saraswati
Abstrak :
ABSTRAK
Setelah periode 1960-an perhatian masyarakat terhadap isu lingkungan meningkat seiring dengan perkembangan sains, teknologi, maupun pemikiran. Ketiga hal ini memengaruhi pembuatan kebijakan ekologis di Prancis mengenai limbah pertanian dan peternakan, rekayasa genetika, dan perubahan status hewan. Beberapa aspek dalam kebijakan yang dibuat berdampak pada petani dan peternak. Aturan mengenai limbah nitrat dan larangan pembudidayaan produk rekayasa genetika mengakibatkan konversi pertanian konvensional ke organik meningkat sebanyak 9,5% dalam lima tahun. Kebijakan mengenai kesejahteraan hewan memengaruhi perbaikan dalam cara pemeliharaan hewan ternak. Akan tetapi, aturan-aturan itu juga memberi dampak negatif. Produksi pertanian gandum menurun hingga 20%, peternak harus mengeluarkan biaya tambahan hingga 50.000 euro untuk pemeliharaan ternak. Akibat yang ditimbulkan oleh kebijakan ekologis akan diteliti dengan metode sejarah politik yang mencakup gejala-gejala yang terjadi di masyarakat serta keputusan dan kebijakan politik (Kuntowijoyo, 2003). Penelitian ini memperlihatkan bahwa kebijakan ekologis yang diterapkan mendukung keberlangsungan lingkungan dan penghormatan pada makhluk hidup. Akan tetapi, perlu ada penyempurnaan agar aturan tersebut tidak membebani petani dan peternak, utamanya petani dan peternak kecil.
ABSTRACT
After the 1960s public attention to environmental issues increased along with the development of science, technology, and thought. All three of these affect ecological policy making in France regarding agricultural and livestock waste, genetic engineering, and changes in animal status. Some aspects of the policies made have an impact on farmers. The rules regarding nitrate waste and the prohibition of cultivating genetic engineering products have resulted in the conversion of conventional agriculture to organic increased by 9.5% in five years. Policies on animal welfare affect improvements in how livestock are raised. However, the rules also have a negative impact. Wheat farming production has dropped by 20%, whereas farmers have to pay an additional up to 50,000 euros for livestock farming. The consequences of ecological policies will be examined by the method of political history that includes the symptoms that occur in society and political decisions and policies (Kuntowijoyo, 2003). This research shows that the ecological policies applied support environmental sustainability and respect for living things. However, improvements need to be made so that the regulation does not burden farmers, especially small farmers.
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>