Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sarah Mahri
"Latar belakang: Saat ini, peran vitamin D dalam berbagai penyakit kronis banyak diteliti. Vitamin D dianggap memiliki efek imunomodulator sehingga diduga berkaitan dengan beberapa penyakit alergi dan autoimun, termasuk urtikaria kronik. Terdapat laporan kadar vitamin D yang rendah pada pasien urtikaria kronik dan suplementasi vitamin D terbukti memperbaiki gejala urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner yang sudah tervalidasi Urticaria activity score 7 (UAS7). Namun, penelitian mengenai korelasi kadar vitamin D serum dengan aktivitas penyakit urtikaria masih terbatas, terutama di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis korelasi kadar vitamin D (25[OH]D) serum dengan aktivitas penyakit pada pasien urtikaria kronik.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan desain potong lintang. Tiga puluh pasien urtikaria kronik usia 18–59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan direkrut dalam penelitian ini. Penilaian aktivitas penyakit menggunakan UAS7 dan dilakukan pengukuran kadar 25(OH)D serum. Korelasi kadar 25(OH)D serum dan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan analisis Spearman. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan.
Hasil: Rerata skor UAS7 adalah 14,63±7,8, median durasi penyakit adalah 12 (2–120) bulan, median skor pajanan matahari mingguan adalah 8 (2–34), dan median kadar 25(OH)D serum adalah 12,10 ng/mL (6,85–29.87). Mayoritas subjek mengalami defisiensi vitamin D (80%). Tidak terdapat korelasi antara kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit (r=0,151; p=0,425), tetapi didapatkan korelasi negatif kuat yang bermakna pada kelompok defisiensi vitamin D berat (r=-0,916; p=0,001). Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara aktivitas penyakit dan durasi penyakit (r=0,391; p=0,033). Pada kuesioner pajanan sinar matahari mingguan, didapatkan perbedaan bermakna skor bagian tubuh yang terpajan matahari antar kelompok insufisiensi dan defisiensi vitamin D (p=0,031).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit pasien urtikaria kronik, namun terdapat kecenderungan peningkatan aktivitas penyakit pada kelompok defisiensi berat vitamin D.
......Background: Nowadays, the role of vitamin D in various chronic diseases is a matter of great interest. Vitamin D is thought to have an immunomodulatory effect so it is thought to be associated with several allergic and autoimmune diseases, including chronic urticaria. There have been reports of low vitamin D levels in patients with chronic urticaria and vitamin D supplementations has been shown to improve symptoms of chronic urticaria which was assessed by a validated questionnaire Urticaria activity score 7 (UAS7). However, data on the correlation between serum vitamin D levels and disease activity in chronic urticaria are still limited, especially in Indonesia.
Objective: To analyze the correlation between vitamin D (25[OH]D) serum and disease activity in chronic urticaria patients.
Methods:
This is an analytic-descriptive cross-sectional study. Thirty chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias were recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of 25(OH)D serum levels were performed. Correlation of 25(OH)D serum levels and disease activity was done using Spearman analysis. In this study, an assessment of sun exposure adequacy was carried out using a weekly sunlight exposure questionnaire.
Results: The mean of UAS7 was 14.63±7.8, median duration of illness was 12 (2 – 120) month, median weekly sunlight exposure score was 8 (2 – 34), and the median serum 25(OH)D was 12.10 ng/mL (6.85 – 29.87). The majority of subjects had vitamin D deficiency (80%). There was no correlations between serum 25(OH)D levels and disease activity (r=0.151; p=0.425). However, a significant negative correlation was found in severe deficiency vitamin D group (r=-0.916; p=0.001). There was also significant moderate correlation between disease activity and duration of illness (r=0.391; p=0.033). In weekly sunlight exposure questionnaire, we found that body surface area score was significantly different between insufficiency and deficiency vitamin D groups (p=0,031).
Conclusion: There was no correlation between serum 25(OH)D levels and disease activity in chronic urticaria patients, however there was a tendency of increasing disease activity in severe deficiency vitamin D group"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myra Puspitasari
"Latar Belakang. Artritis Reumatoid AR merupakan penyakit kronik, sistemik. Depresi sering menyertai pasien AR sebanyak 20-30 . Derajat aktivitas penyakit AR dapat mempengaruhi terjadinya depresi.
Tujuan. Mengetahui prevalensi depresi pada pasien AR dan mengetahui hubungan antara derajat aktivitas penyakit dengan depresi pada pasien AR.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan dengan memeriksa pasien AR di poliklinik rematologi RSCM yang memenuhi kriteria inklusi dengan consecutive sampling selama periode Januari sampai Maret 2017. Pasien dinilai derajat aktivitas penyakitnya dengan menggunakan DAS 28 dan diminta untuk mengisi kuesioner BDI. Analasis statistik dilakukan dengan menggunakan metode chi-square.
Hasil Penelitian. Pada studi ini, didapatkan hasil bahwa prevalensi depresi pada pasien AR di RSCM adalah 35,9 dengan interval kepercayaan 95 sebesar 30 ndash; 42 . Derajat aktivitas penyakit memiliki hubungan yang bermakna dengan depresi pada pasien AR. p = 0,001.
Kesimpulan. Prevalensi kejadian depresi pada pasien AR di RSCM pada adalah sebesar 35,9 . Derajat aktivitas penyakit memiliki hubungan yang bermakna dengan depresi pada pasien AR.
......
Background. Rheumatoid Arthritis RA is a chronic, systemic disease that cause synovial inflammation and progressive destruction to cartilages and deformities. Prevalence of depression in RA patients is 20 to 30 . Disease activity is considered to have relation with depression.
Objective. To identify the prevalence of depression in RA patients and to identify association between disease activity index and depression in RA patients.
Method. A cross sectional study of 145 RA patients that fulfilled the inclusion and exclusion criteria was held in Rheumatology Outpatient Clinic at RSCM from January to March 2017. Evaluation of DAS 28 and BDI was done to the patients. Chi square method was used to analyse the statistic.
Results. The prevalence of depression in RA patients at RSCM is 35,9 with 95 confidence of interval 30 42 . There is significant relation between disease activity with depression in rheumatoid arthritis patient p 0,001.
Conclusion. The prevalence of depression in RA patients at RSCM is 35,9 . There is significant relation between disease activity with depression in RA patients. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutrisno
"ABSTRAK
Program rehabilitasi jantung fase 1 merupakan salah satu upaya mencapai tingkat fungsional yang memungkinkan pasien melakukan sendiri aktifitas awal dalam rangka persiapan melaksanakan kegiatan sehari-hari di rumah dan sebagai pencegahan efek yang kurang menguntungkan dari tirah baring yang lama.
Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi pengaruh rehabilitasi jantung fase I terhadap peningkatan toleransi aktifitas pada pasien PJK. Desain penelitian ini menggunakan desain quasi experiment with post test-only non equivalent control group. Jumlah sampel sebanyak 24 responden.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam kemampuan melakukan ADL (p value=0.004), dimana kelompok intervensi lebih tinggi dari pada kelompok kontrol, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan VO2 maksimal (p value=0.220) dimana nilai VO2 maksimal kelompok intervensi menunjukan nilai yang lebih baik dari kelompok kontrol. Nilai tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, SpO2 dan frekuensi nadi pada kedua kelompok menunjukkan nilai yang hampir sama dan dalam batas toleransi normal. Kesimpulan menunjukkan rehabilitasi jantung fase I berpengaruh terhadap toleransi aktivitas pasien PJK. Oleh karena itu perawat sebagai bagian dari tim program rehabilitasi jantung diharapkan memfasilitasi pasien untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap toleransi aktivitas.

ABSTRACT
Phase 1 cardiac rehabilitation program is one of the efforts to achieve a functional level that allows the patient to perform early activity in preparation to carry out daily activities at home and to prevent unfavorable effects of prolonged bed rest.
The purpose of this study was to identify the effect of phase I cardiac rehabilitation toward activity tolerance in patients with Coronary Heart Disease (CHD). This research design was a quasi experimental research design with post test only non-equivalent control group. The total sample was 24 respondents.
The result shows a significant difference between the ability to perform ADL (p value=0.004), in which the intervention group was higher than the control group, but there is no significant difference on VO2 maximum (p value = 0.220), that the intervention group has a better value than the control group. The value of systolic blood pressure, diastolic blood pressure, SpO2 and pulse rate in both groups show similar values and in the tolerance limit of normal. It can be concluded that phase I cardiac rehabilitation exercise has an effect on the activity tolerance in patients with CHD. Therefore, nurses as part of a cardiac rehabilitation program team are expected to assist patients in improving their adaptability on activity tolerance.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oriana Zahira Putri
"Latar Belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang dapat melibatkan berbagai organ dan sistem tubuh. Pasien dengan LES tidak bisa disembuhkan, melainkan dikontrol dengan pendekatan terapi treat-to-target bertujuan mencapai low lupus disease activity state (LLDAS) atau remisi. Pemantauan dilakukan secara berkala setiap 3-6 bulan sekali untuk menghindari kerusakan organ lebih lanjut. Metode: Penelitian analitik observasional dengan desain kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien LES di RSCM. Didapatkan total 66 pasien yang telah berobat selama 6 bulan pada Mei 2021—Juni 2022. Respons yang dilihat yaitu status aktivitas penyakit berdasarkan skor SLEDAI-2K pada bulan pertama dan keenam serta luaran penyakit, meliputi remisi, perbaikan, persisten aktif, dan perburukan.
Hasil: Sebagian besar pasien LES adalah perempuan (95,5%), rerata usia 31,23 tahun, dan keterlibatan organ terbanyak muskuloskeletal (93,9%). Hidroksiklorokuin dan metilprednisolon merupakan terapi yang paling banyak didapatkan pasien. Setelah 6 bulan terapi, status aktivitas penyakit pasien membaik dengan luaran penyakit perbaikan (33,3%) dan remisi (10,6%).
Kesimpulan: Setelah menjalani pengobatan selama 6 bulan, status aktivitas penyakit pasien membaik dari kategori aktivitas penyakit sedang (37,9%) menjadi ringan (48,5%). Terdapat perbedaan yang bermakna signifikan secara statistik dan klinis antara skor SLEDAI-2K bulan pertama dengan bulan keenam (p = 0,000).
......Introduction: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a systemic autoimmune disease that involve various organs and body systems. Patients with SLE cannot be cured, but rather controlled with a treat-to-target therapy approach aimed at achieving low lupus disease activity state (LLDAS) or remission. Monitoring is carried out regularly every 3- 6 months to avoid further organ damage.
Method: Observational analytical study with retrospective cohort design using database from medical records of SLE patients at RSCM. There were a total of 66 patients who had received treatment for 6 months in May 2021—June 2022. The interests were disease activity based on the SLEDAI-2K score in the first and sixth months as well as disease outcomes, such as remission, improvement, persistently active, and flare.
Results: Most SLE patients were women (95.5%), the average age was 31.23 years, and the most organ involvement was musculoskeletal (93.9%). Hydroxychloroquine and methylprednisolone are the most common therapy received by patients. After 6 months of therapy, the overall patient's disease activity status improved with an outcome of improvement (33.3%) and remission (10.6%).
Conclusion: After undergoing treatment for 6 months, the patient's disease activity status improved from moderate (37.9%) to mild (48.5%) disease activity category. There was a statistically and clinically significant difference between the SLEDAI-2K score for the first month and the sixth month (p = 0.000)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwitya Elvira
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun
dengan penyebab multifaktorial. Ketidakseimbangan sitokin Th17 (Interleukin-17; IL-
17) dan T-regulator (Transforming Growth Factor-; TGF- and Interleukin-10; IL-10)
diduga terlibat dalam patogenesis LES yang mempengaruhi aktivitas penyakit.
Tujuan: Penelitian dilakukan untuk menguji perbedaan rerata IL-17, TGF- dan IL-10
dengan aktivitas penyakit LES dan menguji korelasi sitokin Th17/T-regulator.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang melibatkan 68 pasien LES
berdasarkan kriteria inklusi MEX-SLEDAI <2 untuk LES inaktif dan >=2 untuk LES
aktif. Kriteria eksklusi adalah pasien LES dengan riwayat autoimun lain, inflamasi
kronik; infeksi akut secara klinis; serta asma bronkial, dermatitis atopi dan urtikaria
didasarkan pada catatan rekam medis. Serum IL-17, TGF-, IL-10 diperiksa dengan
metode ELISA. Data dianalisis dengan perangkat lunak SPSS 20 menggunakan uji-T
independen untuk data berdistribusi normal dan uji Mann-Whitney untuk data tidak
normal.
Hasil: Rerata IL-17 serum adalah 19,67 (1,299) pg/ml. Median TGF- dan IL-10 adalah
175,02 (132-396) pg/ml dan 2,96 (0-11) pg/ml. Tidak terdapat perbedaan rerata yang
signifikan dari kadar IL-17, TGF- dan IL-10 serum pasien LES aktif dan tidak aktif.
Didapatkan korelasi positif sedang yang signifikan antara IL-17 dan IL-10 (p<0,005;
r=0,529) dan korelasi yang tidak signifikan antara IL-17 dan TGF- (p>0,005; r=-
0,142).
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan rerata yang signifikan sitokin Th17/Treg pasien
LES aktif dan inaktif. Terdapat korelasi positif signifikan sedang antara IL-17 dan IL-
10, sementara tidak terdapat korelasi signifikan antara IL-17 dan TGF-. Penelitian
lanjutan dengan disain kohort prospektif diperlukan untuk mengkonfirmasi peran
sitokin jalur Th17/Treg ini pada pasien LES aktif dan inaktif.
......"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library