Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosyid Abdul Majid
Abstrak :
Penelitian ini mengungkap akulturasi keturunan Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban di Magelang dari tahun 1813-1939. Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban adalah keturunan keluarga Basyaiban yang pertama kali bermigrasi ke wilayah Ngayogyakarta. Keturunan dari Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban berkembang di wilayah Magelang. Keluarga mereka banyak berakulturasi dengan Jawa. Penelitian ini membahas bagaimana genealogi lalu akulturasi keturunan Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban di Magelang dan bagaimana identitas keturunan Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban di Magelang? Tujuannya adalah untuk mengungkap silsilah Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban ke atas dan ke bawah serta menjelaskan identitas Basyaiban. Metode yang digunakan adalah metode historis yang terdiri dari empat tahapan, yaitu heuristic, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Adapun konsep yang digunakan adalah konsep akulturasi disamping itu teori genealogi Foucault dan Representasi dan Cultural Identity dari Hall digunakan untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian. Temuan dari penelitian ini adalah pertama: genealogi keturunan Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban di Magelang ke atas tersambung dengan kaum Alawiyyin Hadramaut. Genealogi keturunan Sayid Ahmad ibn Muhmmad Basyaiban ke bawah terakulturasi dan tersambung dengan keluarga keraton Ngayogyakarta. Kedua: identitas keturunan Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban sebagai seorang Arab Alawiyyin Hadramaut. Di sisi lain keturunan Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban juga mempunyai identitas sebagai keluarga Jawa dari keraton Ngayogyakarta. Identitas mereka dapat terlihat dalam aspek budaya dan sosial. Semua identitas itu merupakan akulturasi dari budaya Arab dan Jawa. ......Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban was the first member of the Basyaiban family to migrate to the Ngayogyakarta palace. The descendants of Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban grew up in the Magelang area and underwent significant acculturation with Javanese culture. This research aims to explore the process of acculturation experienced by the descendants of Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban in Magelang from 1813 to 1939. The primary focus of this study is to examine the genealogy of Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban's descendants in Magelang, tracing their lineage from top to bottom. Additionally, this research aims to investigate the identity of Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban's descendants in Magelang, specifically addressing the question of Basyaiban's identity. The historical method is employed in this research, consisting of four stages: heuristic, verification, interpretation, and historiography. The study utilizes Foucault's concept of genealogy and Hall's theory of representation and cultural identity. The findings of this research indicate the following: Firstly, the genealogy of Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban's descendants in Magelang is linked to the Alawiyyin Hadramaut people in their ancestral lineages. The genealogy of Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban's descendants downward shows acculturation and connection with the Ngayogyakarta royal family. Both the upward and downward genealogies have been verified by their lineage institution. Secondly, Sayid Ahmad ibn Muhammad Basyaiban's descendants identify themselves as Arab Alawiyyin Hadramaut. Moreover, they also possess an identity as a Javanese family originating from the Ngayogyakarta palace. Their identity is manifested in cultural and social aspects, enabling them to represent their Javanese Arab heritage and gain recognition from both the Javanese community and the Arabians in Magelang.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Anisah
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tradisi perkawinan endogami Bani Alawiyyin dalam keluarga Mulachela di Jakarta. Tradisi perkawinan endogami mengikat identitas Bani Alawiyyin sejak sebelum kedatangan Ahmad bin Isa ke Hadhramaut. Tradisi tersebut terus dijaga agar nasab yang bersambung dengan Nabi Muhammad SAW tidak terputus, khususnya untuk perempuan Alawiyyin. Keluarga Mulachela merupakan salah satu klen dari Bani Alawiyyin yang tergolong kecil, hanya ada dua keluarga yang tinggal di Jakarta, yaitu keluarga Mulachela yang nenek moyangnya berasal dari Palembang dan keluarga Mulachela yang nenek moyangnya berasal dari Solo. Keluarga Mulachela merupakan keluarga Bani Alawiyyin yang sudah modern dalam beberapa aspek kehidupannya, namun tetap ketat pada pelaksanaan tradisi perkawinan endogami baik untuk laki-laki maupun perempuan. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan alasan dipertahankannya perkawinan endogami di keluarga Mulachela. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik life history. Penelitan ini fokus pada pandangan dua syarifah dalam keluarga Mulachela mengenai tradisi yang diharuskan untuk dijalani oleh mereka. Hasil peneitian menyimpulkan bahwa perkawinan endogami tetap dipertahankan di keluarga Mulachela karena alasan ketakutan dibuang oleh keluarga dan juga kehilangan identitas eksklusif yang diyakini memudahkan mereka kelak di akhirat.
ABSTRACT
This study discusses the endogamy marriage tradition of the Ba rsquo Alwi in Mulachela family in Jakarta. The endogamy marriage tradition binds Ba rsquo Alwi identity since before the arrival of Ahmad ibn Isa to Hadhramaut, which is the forefather of the Ba rsquo Alwi. The tradition continues to be maintained so that the nasab that is descended from the Prophet Muhammad is unbroken, especially for the women. The Mulachela family is one of the little clan of the Ba rsquo Alwi, only two families live in Jakarta,. The Mulachela family is a modern Ba rsquo Alwi. But they remain strict on the implementation of the tradition for both sexes. The purpose of this study is to explain the reasons of the implementation of endogamous marriage in the Mulachela family. The research method used in this thesis is qualitative with life history technique. This research focuses on two syarifahs within the Mulachela family regarding their opinion of the traditions that they are required to live by. Through these two informants, it was found that the reason for endogamous marriage to be retained in the Mulachela family was the fear of being abandoned by the family and the loss of an exclusive identity believed to facilitate them later in the hereafter
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Ramadhani Putriditya
Abstrak :
Pada umumnya, terdapat sebuah sistem yang mengatur bahwa syarifah hanya boleh menikah dengan sayyid. Sistem ini merupakan sebuah konstruksi sosial yang dibangun sejak ratusan tahun yang lalu oleh kelompok Alawiyyin. Namun, pada kenyataannya ditemukan adanya fenomena perkawinan yang terjadi antara syarifah dengan non-sayyid. Perkawinan eksogami dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk perubahan pola perkawinan keturunan Arab di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan alasan syarifah menikah dengan non-sayyid dan menjelaskan kondisi hubungan antara syarifah dengan keluarganya akibat perkawinan ini. Artikel ini menganalisis alasan syarifah menikah dengan non-sayyid menggunakan teori pilihan rasional James Coleman. Artikel ini menggunakan metode kualitatif dengan studi lapangan dan teknik wawancara secara mendalam (indepth interview) untuk mengumpulkan data dari fenomena ini. Artikel ini menemukan alasan syarifah menikah dengan non-sayyid karena alasan cinta dan kecocokan, penolakan syarifah terhadap sistem perjodohan, ketidaklogisan doktrin yang ditanamkan oleh keluarga syarifah, pengalaman syarifah terdahulu yang merugi akibat mengikuti tradisi ini, dan faktor ekonomi. Artikel ini juga menemukan adanya hubungan putus kontak antara syarifah dengan keluarganya sebagai bentuk penolakan dari pernikahan ini, dan hubungan baik sebagai bentuk penerimaan dari keluarga syarifah atas pernikahan syarifah dengan non-sayyid. ......In general, there is a social system for the Arab descents in Indonesia which stipulates sharifah can only marry sayyid. This system is a social construction built hundreds of years ago by the Alawiyyin group. However, in fact, there were several phenomena of the marriage between sharifah and non-sayyid. Exogamy marriage can be categorized as a form of change in the marriages pattern of Arab descents in Indonesia. This article aims to explain the reasons for sharifah marrying a non-sayyid and to explain the condition of the relationship between sharifah and her family as the result of this marriage. This article analyzes exogamy marriages between sharifah and non-sayyid using James Coleman's rational choice theory. This article uses qualitative methods with field studies and in-depth interview techniques to find examples of exogamy marriages between sharifah and non-sayyid. This article found the reasons for syarifah marrying non-sayyid for reasons of love and compatibility, syarifah's rejection of the matchmaking system, the illogical doctrine instilled by syarifah's family, the other syarifah's previous experience of losing as the result of following this tradition, and economic factors. This article also found that there was a disconnection between syarifah and her family as a form of rejection of this marriage, and good relations as a form of acceptance from syarifah's family for syarifah's marriage to non-sayyid.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhtiar Hatta
Abstrak :
Kajian ini memperbincangkan tentang masyarakat polietnik dalam memaknai dan menjalani sifat paradoks dari identitas dan kesukubangsaannya dalam jalinan sosial (sociality). Berbeda dengan pemaknaan kultural yang melihat hubungan antara sukubangsa yang bersifat polietnik dapat tetap berlangsung didasarkan pada refleksi prinsip saling membutuhkan atau simbiosis mutualis, dan menempatkan proses pertukaran yang kongkrit, seperti uang, prokreasi (perkawinan dan keluarga), perdagangan dan material lainnya memiliki bentuk sosial dalam mengkonstitusi kehidupan sosial; penelitian ini justeru melihat bahwa perbedaan identitas bahkan sampai pada kondisi paradoks identitas dan kesukubangsaan, tidak diatasi dengan menginternalisasi nilai dan kekuatan di luar dari identitas itu sendiri, tetapi justeru mengaktif sifat dasar dari identitas itu sendiri yakni perbedaan. Artinya perbedaan dimaknai bukan sebagai penghalang mewujudkan keberlangsungan kehidupan sosial, bakan menjadi utama dalam menjaga keberlangsungan sosial. Dengan keberadaan kategori-kategori sosial---baik yang baru dibentuk ataupun yang diinternalisasi dari nilai-nilai leluhur---sebagai identitas baru sebagai bagian dari identitas yang bersifat ascribed status dapat berfungsi mewadahi eksistensi aktor dalam praktek-praktek sosialnya. Bukan sebaliknya perbedaan identitas yang dipahami bersifat oposisional dan pemaknaannya bersifat menegasikan dan mutlak sebagai perbedaan. Kajian ini merupakan studi etnografi yang didukung dan mendapatkan pengayaan dari studi historis melalui penelusuran dokumen. Data yang diperoleh dengan menggunakan metode etnogafi menekankan observasi partisipasi (partisipan observation) dan wawancara mendalam (in-depth interview). Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa, perwujudan perbedaan yang integratif melalui kategori-kategori budaya bukan merupakan batas pembeda identitas ingroup atau outgroup, tetapi sebagai jarak ikatan sosial yang masih memiliki keterkaitan dengan identitas utama. Identitas aktor di dalam kategori-kategori budaya tersebut adalah alterity dari eksistensi, artinya merupakan cara aktor mengidentifikasi dirinya dengan mengambil jarak dari budaya dan identitas orang lain, tanpa harus menuntut kesamaan dengan penduduk lokal untuk dikatakan sebagai penduduk lokal. Aktor senantiasa memiliki kebebasan untuk menjauh, mendekat atau pun meninggalkan identitas itu. Di dalam memaknai jarak identitasnya di tengah eksistensi aktor dalam kehidupan sosial terefleksikan pada nilai akhlakukkharimah, berwujud praktek keramah-tamahan, ajaran memberikan tanpa mengharap balasan langsung, karomah. Dengan demikian akhlakulkharimah tidak hanya sebagai kesadaran historis dari Rasulullah tetapi bersifat intensional dalam menciptakan jalinan ikatan sosial yang berfungsi melanjutkan kehidupan sosial dan menjaga keterhubungannya sebagai bagian dari kaum Alawiyyin. ......This study discusses polyethnic society in interpreting and undergoing the paradoxical nature of their identity and nationality in social life (sociality). This is contrast to cultural meanings that see the relationship between ethnic groups that can be polyethical can continue to take place based on a reflection of the principle of mutual need or mutual symbiosis, and place a concrete process of exchange, such as money, procreation (marriage and family), trade and other material constituting a social process. This study actually sees that differences in identity even reach the condition of the identity and ethnicity paradox, not overcome by internalizing values and forces outside of the identity itself, but rather activating the basic nature of identity itself, namely the difference. This means that differences are interpreted not as a barrier to realizing the continuity of social life, but can be the main factor in maintaining social sustainability. With the existence of social categories --- both newly formed and internalized from ancestral values --- as new identities as part of identity which are ascribed status can function to accommodate the existence of actors in their social practices. It is not the opposite of differences in identity that are understood to be oppositional and their meanings are negating and absolute as differences. This study is an ethnographic study supported and gained enrichment from historical studies through document searches. Data obtained using the ethnogafi method emphasizes observation of participation and in-depth interviews. The findings of this study indicate that, the embodiment of integrative differences through cultural categories is not a distinguishing limit of ingroup or outgroup identity, but as a distance between social ties that still have a connection with the main identity. The identity of the actors in these cultural categories is the alterity of existence, meaning that the way the actor identifies himself by taking distance from the culture and identity of others, without having to demand equality with the local population as local residents. Actors always have the freedom to stay away, approach or leave that identity. In interpreting the distance of his identity in the midst of the existence of actors in social life, it is reflected in the akhlakukkharimah value, in the form of the practice of hospitality, the teaching provides without expecting a direct reply, karomah. Thus akhlakulkharimah is not only a historical awareness of the Prophet but is intentional in creating a fabric of social bonds which functions to continue social life and maintain its connection as part of the Alawiyyin.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D2778
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasya Adlina
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai hubungan simultan antara tatanan gender Alawiyyin dengan pengekspresian seksualitas janda dimulai dari konsepsi perempuan ideal sebagai ‘syarifa’ lengkap dengan formulasi kolektif akan identitas tersebut hingga upaya yang dilakukan perempuan untuk menegosiasikan tatanan gender komunitas dengan memainkan subjektivitas dan agensi yang semakin luas ketika lepas dari perkawinan. Saya menggunakan pendekatan etnografi berupa wawancara mendalam dan observasi partisipasi terhadap lima janda Alawiyyin di Yayasan DR. Triangulasi data juga dilakukan terhadap pengurus Yayasan DR, anak-anak perempuan, relawan pengajar, hingga janda-janda lainnya untuk memperdalam analisa tulisan ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan fleksibilitas agensi yang terwujud pada reaktualisasi tindakan janda ketika menegosiasikan tatanan kolektif baik dalam menolak wacana dominan, mengadopsi posisi ‘subjek’ baru serta sebagai individu yang diberdayakan. Keberadaan Yayasan DR memicu subjektivitas kolektif untuk mengubah persepsi akan status janda sekaligus ikut mengintervensi seksualitas mereka dan mentranskripsikan struktur kolektif meski tidak menyentuh ranah pribadi. Dengan begitu, sensibilitas diri ataupun kolektif memperluas agensi janda namun bukan berarti membuat mereka berkehendak bebas di luar budaya ......This bachelor thesis discussed simultaneously relationship between the Alawiyyin gender order and the expression of widow sexuality starting from the conception of an ideal woman as a 'syarifa' complete with a collective formulation of that identity to the efforts of women to negotiate a community gender order by playing wider subjectivity and agency when released from marriage. I use an ethnographic approach in the form of in-depth interviews and participatory observation of five Janda Alawiyyin at Yayasan DR. Data triangulation was also carried out on the administrators of the Yayasan DR, daughters, teaching volunteers, and other widows to deepen the analysis of this paper. The results of this study indicate agency flexibility manifested in the actualization of widows' actions when negotiating a collective order both in rejecting dominant discourse, adopting new 'subject' positions as well as empowered individuals. The existence of Yayasan DR triggers collective subjectivity to change perceptions of the status of widows while at the same time intervening in their sexuality and transcribing the collective structure even though it does not touch the personal sphere. In this way, self or collective sensibility expands widows' agencies, but that does not mean that they will be free outside of culture
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library