Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rr. Triwurjani
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wanny Rahardjo Wahyudi
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Wanny Rahardjo Wahyudi
"ABSTRAK
Penelitian ini berupaya menjelaskan situs-situs perbengkelan yang terdapat di Jakarta. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat dikenali adanya 5 buah situs perbengkelan di Jakarta, yang seluruhnya terletak di DAS Ciliwung. Kelima situs itu adalah Kelapa Dua (KDU), Tanjung Barat (TBA), Condet Balekambang (CON), Kampung Kramat (KKR), dan Pejaten (PEJ).
Dari ciri-ciri peninggalannya diketahui bahwa situs Kelapa Dua dan Kampung Kramat merupakan perbengkelan alat batu. Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap alat produksi dan limbah yang yang terdapat di situs Kelapa Dua dan Kampung Kramat, dapat diketahui bahwa kedua situs tersebut merupakan perbengkalan tempat melanjutkan proses pembuatan beliung.
Sementara itu situs-situs Tanjung Barat Condet Balekambang dan Pejaten adalah merupakan perbengkelan alat logam. Dari analisis terhadap jenis alat-slat pertukangan logam yang ditemukan tidak menunjukkan adanya kegiatan pembuatan logam melainkan penggarapan alat logam. Dengan demikian bahan baku logam sangat besar kemungkinannyu tidak dibuat di kempat itu, melainkan di datangkan dari tempat lain."
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Vernika Hapri Witasari
"Pada beberapa prasasti batu di kawasan Indonesia dijumpai pahatan gambar. Pahatan gambar tersebut ada yang memiliki nilai lambang raja. Prasasti berlambang raja hanya dijumpai pada kawasan Indonesia dan India. Lambang raja ada yang dituliskan pada isi prasasti maupun dipahatkan pada prasasti batu berupa visualisasi dari pahatan gambar tersebut. Visualisasi tanda khusus pertama kali ditemukan pada masa pemerintahan Raja Airlaṅga yang kemudian berlanjut hingga sekitar abad XV Masehi pada masa pemerintahan Girīndrawardhana. Beberapa pahatan gambar ditemukan berbeda di hampir setiap raja yang memerintah. Hal itu membawa suatu persepsi bahwa pahatan gambar tersebut digunakan untuk membedakan seorang raja dengan raja lainnya, dengan kata lain sebagai lambang raja. Pahatan gambar yang dipilih untuk dijadikan lambang raja tentu ada maknanya. Penelitian ini mencoba untuk merekonstruksi makna lambang raja, selain memiliki makna yang tampak juga memiliki makna lain berdasarkan penggunaan dan fungsinya saat itu.
......In some stone inscriptions in the area of Indonesia has carved an image. Sculptured images have value as a symbol of the king. Inscription bearing the king?s only found in Indonesia and India region. King?s emblem there is an inscription written on the content and the inscription engraved on stone sculpture in the form of visualization of the image. Visualization special mark was first discovered in the reign of King Airlaṅga which continues until around the XV century A.D during the reign Girīndrawardhana. Some of the sculptured images found to differ in almost every king who ruled. It brings a perception that the sculptures were used to distinguish the image of a king with the other kings, in other word as a symbol of the kings. Sculptured images selected to be the king of meaningless symbols. This study attempts to reconstructed the meaning of the symbol of the king, beside having the meaning which seems also to have different meanings based on the use and function of the time."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
T29226
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Noerad AP
"Strategi subsistensi manusia Faktual dan sekitamya, cenderung mernperlihatkan penerapan teknologi tulang yang cukup dominan selain alat batu, Hal ini didukung oleh keadaan geografis daerah Pegunungan Seribu yang memungkinkan alat-alat tulang itu tetap utuh dalam jurnlah yang cukup banyak di beberapa lapisan strata. Walaupun alat alat tularg dominan urnumnya kebudayaan batunya tetap berkembang pesat. Sumber daya fauna yang digunakan sebagai alat tulang sangat bervariasi, baik dilihat dari jenis faunanya maupun dari bagian tulang yang dipergunakan. Proses pembertukan dan pemangkasan tulang sebagai alatpun bermacam-macam.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fauna-fauna apa yang dominan dan bagian-bagian fauna apa yang dominan dipergunakan sebagai bahan alat tulang serta pengaruhnya pada bentuk alat itu. Dengan demikian dapat dketahui keberadnan number daya fauna apa saja yang domimn merduktng akbfitas pembualan ulet tulang di situs Braholo, Disamping perlu untuk mengetahui bentuk-bentuk pemangkasan alat tulang itu. Hal ini dilakukan mengingat fenomena temuan alat tulang di Gua Braholo yang jenisnya bermacam-macam dan fauna yang beraneka ragam dalarn jumlah yang cukup besar yang setiap jenis alat diperkirakan mempunyai beberapa bentuk pangkasan yang berbeda-beda.
Dalam hal ini metode penelitian meliputi pengumpulan data yang terdiri atas data utama, yaitu temuan artefak-artefak alat tulang yang merupakan Hasil penggalian Puslitaskenas pada tahun 1997 (kotak D5, P4, 06, 39, dan 08) dan 1998 (kotak 08, 17, K8, L8, M8, dan N8), sedangan data tambahan diambil dari literatur-literatur pendukung dan laporan penelitian. Kemudian dilakukan pembandingan artefak berdasarkan sumberdaya fauna yang digunakan, sehingga dapat diketahui jenis -jenis fauna yang dominan dan bagian-bagtan tulang yang dominan digunakan sebagai alat tulang. Dapat diketahui pula variasi cara pembuatan alat oleh manusia pendukung budaya tersebut, yang pada satu jenis alat tulang dapat mengalami proses pemangkasan yang berbeda-beda.
Jenis fauna yang paling populer untuk dijadikan sebagai bahan alat adalah Macaca sp. atau monyet (merupakan sumber fauna yang paling besar pada lancipan, jarum, pangkasan, dan tajaman) sebanyak 44,9 % dari keseluruhan alat tulang. Hal ini dipergaruhi oleh keperluan akan bahan tulang yang berukuran kecil yang ideal untuk dijadikan alat yang kecil-kecil sehingga jenis lain juga banyak digunakan seperli Viveridae (16,8 %), Canidae (3,1 %), dan Chiropterdae (3,3 %) yang morfologi tulangnya juga sesuai untuk pergerjaan alat lancipan dan jarum Untuk keperluan alat yang lebih besar seperti spatula, bahan fauna yang urnum digunakan adalah Bovidae dan Cervidae. Kesenjangan persentasi jumlah alai dari bahan Botsdae dan Cervidae tersebut sangat terlhat karena secara kcselunrhan ate, pen gunaan tulang Bovidae dan Cervidae hanyalah 9,8 % dan 9,6 % dari keseluruhan alat Sedangkan khusus pada alat spatula, penggunaan bahan tulang Bovidae dan Cervidae masing-masing adalah 47,7 % dan 35,4 % dari keseluruhan jenis alat spatula.
Mengenai pemilihan jenis tulang yang akan diolah, maka tulang betis (fibula) rnenempati urutan paling atas. Dari keseluruhan jenis tulang yang ada, yaitu berjumlah 198 buah (41,2 % dari keseluruhan alat tulang), disusul kemudian oleh metatarsal berjumlah 64 buah (13,3 % dari keseluruhan alat tulang) dan tulang hasta (ulna) berjumlah 58 buah (12,1 % dari keseluruhan alas tulang). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemilihan bahan alat tulang di Gua Braholo didominasi oleh macaca sp. (secara jenis fauna) dan tulang betis (secara jenis tulang).
Pada segi bentuk pangkasan tulang di gua Braholo, spatula memiliki paling banyak variasi cara pengerjaan alat. Hal ini dimungkinkan karena spatula mampunyai ukuran yang cukup besar sehingga pangkasan-pangkasan dengan. rrudah dapat dilakukan. Pada alat tulang lancipan dan jarum, vaniasi Cara pengerjaan tidak banyak dilakukan karena bahan tulang yang digunakan urnumnya berukuran kecil dan jelas lebih rapuh sehingga dalam pembentukan alat hanya diutamakan pangkasan-pangkasan utama untuk membuat suatu tajaman dan hanya untuk menampilkan bentuk dasar alat. Dalam hal ini, lebilh ditekankan pada efektifitas alat daripada keindahan alat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S11966
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iis Sumiati
"Teknologi pembuatan alat batu sudah dikenal sejak masa prasejarah, dari pembuatan yang sangat sederhana sampai dengan teknik pembuatan yang lebih maju. Kemampuan manusia prasejarah untuk memanfaatkan bahan batuan yang dijadikan alat membutuhkan seperangkat pengetahuan untuk mengelola bahan alam tersebut. Salah satu pengetahuan yang penting adalah mengetahui jenis batuan yang bisa digunakan sebagai alat. Salah satu bahan batuan yang bisa digunakan sebagai alat adalah bahan batuan obsidian. Batuan obsidian yang telah menjadi data arkeologi di temukan di Indonesia dengan lokasi dan jumlah yang terbatas. Maka dari itu artefak batu obsidian jarang ada yang membahasnya secara rinci Akan tetapi ada salah satu tempat penghasil artefak obsidian yang cukup kaya yaitu di daerah sekitar Dataran Tinggi Bandung. Daerah-daerah itu pernah di teliti oleh peneliti BeIanda yaitu Koenigswald (1931) dan Bandi (1951), akan tetapi sampai dengan sekarang belum ada penelitian di daerah tersebut baik untuk temuan artefak obsidian, maupun temuan arkeologis yang lainnya. Dengan alasan di atas penulis tertarik untuk mengkaji temuan di sekitar Dataran Tinggi Bandung, khususnya artefak obsidian, mengingat artefak obsidian yang telah dikumpulkan sampai sekarang telah bertambah. Di samping belum adanya tipologi dasar untuk pengelompokkan artefak obsidian itu sendiri. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana tipologi dasar artefak obsidian di Situs Dago, dengan tujuan bisa dijadikan acuan dalam penelitian artefak obsidian di Dataran Tinggi Bandung dan di Indonesia pada umumnya. Ruang lingkup data dalam penelitian ini hanya dibatasi untuk satu daerah penelitian. Hal ini dilakukan karena cakupan wilayah yang sangat luas dan temuan yang sangat banyak. Daerah yang dijadikan penelitian adalah Situs Dago. Situs ini cukup untuk mewakili penelitian karena temuan di Situs Dago lebih banyak dan lebih baik daripada daerah lainnya. Secara keseluruhan jumlah temuan artefak obsidian berjumlah 2285 buah. Kesimpulan yang dihasilkan pada penelitian ini pada dasarnya merupakan pengembangan yang telah dilakukan oleh Koenigswald dan Bandi. Dari 2285 buah artefak obsidian yang di temukan ini di terbagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok bahan baku, alat, perkakas, dan limbah. Kelompok bahan baku yang di temukan berupa bongkahan yang berjumlah satu buah. Kelompok alat yang di temukan terbagi dalam beberapa tipe yaitu Serpih pakai, Serut, Lancipan, Gurdi, Mata panali, Pisau dan Limas. Pada Tipe Serut terbagi dalam sub tipe, yaitu Serut samping, Serut Cekung, Serut Ujung, Serut gerigi dan Serut berpunggung tinggi. Tipe Gurdi juga terbagi dalam sub tipe yaitu Gurdi bertipe dan Gurdi non tipe. Pada kelompok limbah_ terdiri dari batu pukul yang berjumlah 2 buah. Sedangkan pada kelompok limbah terbagi kedalam 3 tipe yaitu batu inti, serpih, dan serpihan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S11804
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Salim
"Kereta kuda merupakan produk budaya yang telah digunakan sejak masa peradaban kuno. Bangsa Mesir, Yunani dan Roma telah menggunakannya sebagai alat perang. Pada abad pertengahan kereta kuda kemudian mengalami perubahan fungsi menjadi alat transportasi, kemudian negara Eropa membentuk kebudayaan baru yang menggunakan kereta kuda sebagai penanda status kebangsawanannya. Kereta kuda kemudian tidak lagi menjadi alat transportasi biasa melainkan menjadi artefak tersier bagi kalangan bangsawan di Eropa. Kaum bangsawan tidak sembarangan dalam menentukan kereta kudanya karena kereta kuda juga menunjukkan selera mereka sebagai bangsawan yang ingin dibedakan dengan bangsawan lainnya. Bordieau mengungkapkan bahwa dalam pilihan akan suatu produk budaya seorang bangsawan atau upper class mempunyai kecenderungan untuk membedakan dirinya dengan bangsawan lainnya. Dalam kacamata arkeologi teori ini juga berlaku dalam melihat kereta kuda sebagai produk budaya. Kesultanan Yogyakarta merupakan kesultanan dengan koleksi kereta kuda terbanyak, kereta-kereta tersebut kemudian dapat menwakili selera atau judgment of taste yang dimiliki oleh para sultan. 
......Horse Carriage is one of the oldest artefacts that has been used since ancient civilization. Egypt, Greece and Rome already used horse cart for war. In the middle ages there is a change in Europe to use carriage as a transportation wheel, later on the carriages also become as sign of aristocratic and wealth. Carriage then become a luxury artefacts for the noble to show their nobility. The Noble also got different taste to distinguish theirself from one to another. Bordieau also states that the upper class got tendency for distinguish to creat their identity. In the archaeological point of view, the theory also apply towards the horse carriages. Kesultanan Yogyakarta is the empire that has many horse carriages compares to other empire, the carriage then can represent the tastes that possessed by the sultans. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nikolas Dalle Bimo Natawiria
"Leang Burung 2 di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan sudah beberapa dekade menjadi salah satu situs yang penting dalam memahami kehidupan prasejarah manusia di Indonesia. Leang Burung 2 pertama kali diekskavasi oleh Ian Glover pada tahun 1975 dan Adam Brumm di tahun 2007 dan 2011-2013. Pada situs ini ditemukan banyak artefak batu, namun sejauh ini belum ada penelitian mendalam mengenai jejak pakai yang dapat menunjukkan fungsi alatalat tersebut. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini untuk mengetahui jejak pakai pada artefak batu agar dapat mengetahui fungsinya. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari dua lapisan tanah dan spit yang berbeda pada penggalian tahun 2011. Penelitian ini menggunakan analisis mikroskopis pembesaran rendah dan hasilnya dibandingkan dengan penelitian eksperimen etnografi yang dilakukan oleh L. Keeley dan J. Kamminga. Hasil analisis menunjukkan hanya ada lima artefak batu yang memiliki jejak pakai yang jelas. Jejak pakai tersebut memperlihatkan kegiatan pengolahan kayu antara 25.000-45.000 tahun yang lalu.
......Leang Burung 2 in Maros, South Sulawesi, for decades, has been a pivotal site for understanding prehistoric human life in Indonesia. Leang Burung 2 was first excavated by Ian Glover in 1975 and Adam Brumm in 2007 and 2011-2013. Many stone artifacts have been found at this site, but so far there has been no in-depth research on use-wear that can show the function of these artifacts. Therefore, the purpose of this research is to find out the use-wear on stone artifacts in order to know their function. The data used in this study came from two different layers of soil and spit from the 2011 excavation. This study used low magnification microscopic analysis and the results were compared with an ethnographic experimental study conducted by L. Keeley and J. Kamminga. The results of the analysis show that there are only five stone artifacts that have clear traces of use. The traces of use show wood processing activities between 25,000-45,000 years ago."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Merupakan sajian hasil penelitian satu situs arkeologi sebagai fenomena budaya, sejarah, dan kekayaan alam Nusantara"
Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, {s.a.}
900 BPA
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Utami Ferdinandus
"ABSTRAK
Tegel dinding dari masa lampau adalah artefak keramik yang merupakan data purbakala penting yang dapat dijadikan sumber bagi penelitian masa lampau di Indonesia. Keberadaan tegel-tegel dinding berlukisan adegan cerita Alkitab di Indonesia, khususnva di Jakarta dan Ceribon belum mendapat perhatian serius dari para ahli di Indonesia.
Di Jakarta dan Ceribon pada abad-abad yang lampau penggunaan tegel sebagai hiasan dinding nampaknya cukup digemari. Hal ini dibuktikan pada Gedung Arsip Nasionai, Museum Pusat Jakarta, dan perumahan penduduk Arab di Jakarta. Selanjut-nya di Keraton Kasepuhan dan Makam Sunan Gunung Jati di Ceribon.
Adegan cerita yang digambarkan pada tegel adalah adegan yang dikutib dari Alkitab Nasrani (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru). Keberadaan tegel-tegel pada tempat-tempat tersebut menimbulkan suatu masalah.
Dari hasil identifikasi diperoleh gambaran bahwa tegel-tegel yang ditemukan di Jawa Barat sejumlah kurang lebih 1904 tegel. Tegel-tegel tersebut menggambarkan adegan cerita Alkitab sejumlah 1 16 yang terdiri 38 dari Perjanjian Lama dan 58 dari Per janjian Baru.
Dari dokumen VOC diperoleh informasi bahwa tegel-tegel ini berasal dari Eropa. Hasil cipta semi kriya pada masa tersebut mendapat tempat di hati masyarakat di Belanda dan Indonesia. Tege1-tegel dinding diduga berasal dari Amsterdam dan bukan Delfi seperti dikirakan beberapa sarjana. Apabila diperhatikan dari kehadirannya yang m am pu menembus :jarak yang demikian jauh, dapat dipastikan bukanlah suatu hasil yang dalam perwujuuannya tanpa dilandasi oleh pemikiran mendalam dan perancangan yang mantap.
Seiring dengan perjaianan sejarah tegel dinding di Eropa memperlihatkan betapa besarnva andil para pelukis dalam mengembangkan tegel berwarna-warni (mayolica). Tidak dapat dihindari bahwa dalam peralanan hidup manusia selalu membutuhkan sarana fisik dan sarana nonfisik. Dengan adanya tuntutan tersebut berarti Pula adanya tuntutan peningkatan kualitas karya kriya. Oleh karena itu, karya tegel dinding pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia maka tidaklah mengherankan jika hasilnya digunakan untuk materi pardagangan."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>