Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Sumardiati
"ABSTRAK
Beberapa studi tentang nelayan pada umumnya selalu dikaitkan dengan masalah kemiskinan, artinya nelayan identik dengan kemiskinan. Kondisi ini nampak pada kehidupan nelayan, terutama pada masa sebelum adanya modernisasi. Pada masa itu tingkat pendapatan nelayan masih rendah, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila nelayan di Muncar mudah terjerat hutang kepada pengambak ataupun juragan darat guna memenuhi kebutuhan hidupnya maupun untuk bekal melaut. Kehidupan semacam itu diperparah dengan adanya sifat-sifat hidup boros. Keadaan ini disebabkan adanya image masyarakat nelayan yang percaya bahwa "esok pasti ada ikan". Artinya meskipun sekarang uang dihabiskan, tetapi dengan pergi melaut mereka pasti mendapatkan penghasilan lagi.
Para pengambak maupun juragan darat pemberi pinjaman umumnya terdiri dari orang-orang kaya pemilik modal. Mereka memberi pinjaman dan nelayan akan menjual hasil tangkapannya kepada mereka dengan harga yang ditentukan oleh para pemberi pinjaman tersebut. Karena merasa telah dibantu, yang berarti telah "berhutang budi" maka para nelayan menerima saja kenyataan tersebut. Dengan demikian maka para nelayan menjadi memiliki ketergantungan yang berkepanjangan, sehingga sulit bagi para. nelayan membebaskan diri dari lingkaran hutang piutang.
Pada masa tahun 1960-an hasil produksi per unit alat tangkap rata-rata mencapai 4 kwintal. Hal ini tentu saja sangat kecil, dibandingkan dengan potensi ikan diperairan Muncar yang melimpah.
Keadaan semacam itu telah mendorong timbulnya ide melakukan modernisasi alat tangkap, berupa unit jaring purse seine. Tahap awal diberikan oleh pihak Pemda Tingkat II Banyuwangi sebanyak 7 unit Kehadiran unit alat tangkap baru ternyata telah menimbulkan sifat-sifat iri hati dan kecemburuan sebagian para. pengambak dan juragan darat yang selama ini merupakan patron nelayan. Kemudian mereka melakukan provokasi kepada para nelayan untuk melakukan gerakan penolakan terhadap unit alat tangkap baru tersebut. Karena gerakan penolakan tersebut tidak diperhatikan, akhirya para nelayan tersebut melakukan kerusuhan-kerusuhan dengan melakukan pembakaran jaring dan kapal yang ada disepanjang pantai. Gerakan itu dilakukan pada tanggal 30 September 1974, pukul 06.00. Seorang penanggu.ng jawab unit alat tangkap bernama Mursid mengalami cedera.
Akibatnya muncul adanya spekulasi tentang penyebab atau pendorong timbulnya kerusuhan tersebut. Hal ini guna mendengar langsung faktor-faktor yang mendorong terjadinya kerusuhan.
Setelah dipahami bahwa kerusuhan yang terjadi disebabkan oleh perasaan iri hati dan kecemburuan sosial maka Gubernur Jawa Timur memberikan bantuan kredit sebanyak 50 unit alat tangkap purse seine, yang diberikan dalam tiga tahap. Tahap pertama 20 unit, tahap kedua 10 unit dan tahap ketiga 20 unit.
Adanya bantuan kredit telah meningkatkan produksi nelayan. Setiap unit alat tangkap purse seine dengan awak kapal sebanyak 15 orang menghasilkan tangkapan sebanyak 1,36 ton per hari. Alat tangkap tersebut juga mendorong ikan tetap segar sampai ke darat sehingga harga juga relatif naik.
Dari segi produksi terjadi peningkatan pendapatan, akan tetapi apabila di amati lebih lanjut, telah terjadi perbedaan pendapat yang cukup besar antara juragan darat dengan alat tangkap modern dengan juragan darat alat tradisional. juga terjadi kesenjangan pendapatan antara pandega dengan juragan darat. Hal ini telah menunjukkan bahwa adanya alat tangkap modern, akumulasi kekayaan menumpuk pada kelompok kecil masyarakat. Artinya modernisasi yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nelayan secara merata tidak terwujud.
Kelompok pemilik modal mengalami peningkatan pendapatan yang cukup besar, akan tetapi para nelayan pekerja (pandega) yang jumlahnya cukup besar justru tidak dapat menikmati manfaat modernisasi tersebut.

ABSTRACT
Some studies of fishermen are always connected with the poverty, this means that the fishermen indicates with the poverty. This condition appears in their life, mainly in the time where the modernization had not been occurred. At that time, the fishermen's income was low, the they could not fulfill their daily need. Therefore, no wonder that the Muncar fishermen was easy to have debts to "pengambak" or "juragan darat". This kind of life was getting worse because they were wasteful also. This was caused by their thinking that tomorrow, there were fish. This meant that even though they used all of their money, but by going to the sea, they could get additional income.
"Pengambak" or "juragan darat" who lend money, generally were the rich who had capital. They would lend money and the fishermen had to sell their fish to them with the cost which they had had determined. Because the fishermen supposed that they had helped them, they received this fact. So the fishermen depended on them, and it was difficult to get free from this debt circle.
In 1960s, the production result per catching tool unit for average was 400 kg. This was surely little, comparing with the fish potential in the Muncar waters.
This condition encouraged the modernization in the catching tool, that was purse seine. The first step, the Pemda Banyuwangi gave 7 units. The "pangambak" and "juragan darat' were envy because of this. Then, they provoked the fishermen to refuse that new catching tool unit. Because the government ignored this movement, then they made some riot . This riot was burning seine and ships which were along the beach. This movement was done on September 30, 1974, at 06.00. Mursid one of the persons who was responsible for this tools was hurt.
Consequently, it emerged speculation concerning the cause of this riot _ This caused the Governor of East Java went to the location to know supporting factors of this mess.
After knowing that the mess was caused by the envy and social jealousy, the East Java Governor then gave loan assistance for about 50 units of purse seine catching tools, which were given in three steps. The first step was 20 units, the second step was 10 units and the last step was 20 units.
This loan assistance increased the fishermen production. Every purse seine catching tool with 15 fishermen could get 136 ton per day. This tool kept the fish still in the fresh condition until getting to the land so the price was getting higher.
From the production side, their income increased but if it was observed further, there was a great different opinion between .the 'juragan darat' with traditional tools and they with the modem ones. This showed that the richness accumulation was getting on this minor group of society. This meant that the modernization which was expected to be able to increase the fishermen income could not be developed.
The capital owners got improvement in their income, but the working fishermen who were big in numbers, could not taste the modernization.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Relin D.E
"Tari Gandrung merupakan kekayaan budaya lokal banyuwangi dan dijadikan maskot daerah Banyuwangi. Tari gandrung banyak dipentaskan diberbagai acara publik termasuk di dalam tradisi petik laut. Pementasan Tari Gandrung dalam tradisi petik laut memiliki makna tersendiri karena tradisi ini diyakini sebagai bentuk persembahan kepada Dewa Laut agar nelayan dianugrahkan ikan yang berlimpah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk Tari Gandrung dan makna filosofi Tari gandrung yang terkandung dalam tradisi Petik laut di pantai Muncar Banyuwangi. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan analisis deskriftip kualitatif Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi (data-data sekunder) Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa Setiap peragaan Gandrung Banyuwangi selalu berpola jejer paju dan seblang-seblang. Dalam pementasannya memasuki tiga babak yakni pertama jejer, gending terdiri dari lagu Padha Nonton yang terdiri dari delapan bait 32 baris setiap baitnya terbagi menjadi empat baris baru kemudian dilanjutkan dengan gending Padha Nonton pada bait-bait berikutnya dengan gerak tari yang sesuai warna lagu yang dibawakan. Kemudian babak kedua disebut Paju gending yang dibawakan bebas sesuai permintaan yang akan ikut menari (maju gandrung) dan ketiga Seblang-seblang yang selalu diawali dengan gending atau lagu yang berjudul Sebiang Lukito dan gending-gending lainnya. Pementasan tari gandrung dalam tradisi petik laut secara filosofis bila diamati dan lagu Padha nonton dengan svaimva berbentuk bebas dan pola yang berkembang ini merupakan gambaran filosofis hidup tentang manusia Filosofis yang diekspresikan dalam bentuk tari dan nyanyi sebagai simbol pesan tentang hidup dan kehidupan Terutama dalam adegan seblang-seblang memvisualisasikan perpaduan bentuk gerak dan nvanvian vang indah untuk menyampaikan pesan-pesan tentang hidup dan kehidupan segala suka dukanva sebagai manusia. Demikian juga ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan ini. Kemudian akhir dari manusia itu sendiri diaktualisasikan tentang keberadaan manusia secara hitam dan putih. Perjuangan dan nereulatan akhirnya dengan hentakan atau kelembutan dalam menjawab semua pertanyaan yang muncul, suatu pertanyaan yang tak pernah habis-habisnya, seperti memasuki dunia pengalaman sekaligus dunia kenyataan dalam satu rangkaian.
"
Denpasar: Pusat Penerbitan LPPM Institut Seni Indonesia Denpasar, 2017
300 MUDRA 32:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
PATRA 3 (3-4) 2002
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dega Syamsu Nur Adhiyat
"ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai rekacipta kesenian Kuntulan di wilayah Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia, yang dilakukan oleh Kelompok Kesenian Tirto Arum. Pengertian rekacipta yang digunakan merujuk pada Hobsbawn 1987:1 , yakni sebuah upaya untuk memunculkan kembali suatu kesenian dengan wajah dan fungsi yang baru. Gambaran mengenai proses rekacipta yang terjadi pada kesenian Kuntulan di Banyuwangi ini diperoleh dengan menggunakan metode observasi dan wawancara secara mendalam. Proses observasi dilakukan dengan mengamati berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Kelompok Kesenian Kuntulan Tirto Arum dalam kurun waktu enam bulan, sedangkan wawancara secara mendalam dilakukan kepada dua informan kunci dan beberapa informan pendukung. Secara garis besar, proses rekacipta pada kesenian Kuntulan di Banyuwangi dilakukan agar kesenian Kuntulan dapat tetap bertahan dan diterima masyarakat, walaupun proses rekacipta ini ternyata juga mengakibatkan adanya fungsi kesenian Kuntulan yang awalnya digunakan sebagai media dakwah berubah menjadi fungsi hiburan.

ABSTRACT
This study is a qualitative research with ethnography approach that aims to describe about the reinvention of Kuntulan art in Banyuwangi, East Java, Indonesia, spesifically who conducted by Tirto Arum Kuntulan Art Group. The definition used is referred to Hobsbawn 1987 1 , an attempt to bring back an art with a new face and function. The description of Kuntulan art reinvention in Banyuwangi is obtained by using the method of observation and indepth interview. The observation process was done by observing various activities from Tirto Arum Kuntulan Arts Group within six months, while indepth interviews were conducted to two key informants and some supporting informants. In general, this study suggest that the process of Kuntulan art reinvention is done for get the accepted from society, so Kuntulan art can be survive, although the process of this invention of tradition also resulted in a Kuntulan art function that was originally used as a medium of da 39 wah turned into a function of entertainment."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
PATRA 5(3-4) 2004
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
PATRA 14 (1-4) 2013
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dahlan Iskan, 1951-
Jakarta: Mizan Publika, 2019
920.5 DAH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
I Nengah Duija
"ABSTRAK
Kabupaten Banyuwangi adalah kabupaten yang kaya akan seni tradisi, seperti, gandrung, ludruk, ketoprak, kebo-keboan dan lain sebagainya, namun tidak semua tradisi kesenian itu dapat dengan mudah diketahui apabila kurang informasi dan publikasi. Di dusun Kranjan, kelurahan Benculuk, kecamatan Cluring Banyu­wangi ini ada salah satu tradisi kesenian yang belum banyak di ketahui orang. Kesenian yang tergolong unik tersebut bernama "janger". Untuk itulah pada kesempatan ini akan dicoba meng­informasikan lewat sebuah penelitian awal·yang diberi judul : "janger" Bentuk Teater Rakyat di Banyuwangi. Lewat penelitian ini akan dibahas; bentuk kesenian "janger", asal-usul tarian "janger", unsur-unsur yang mendukung pementasan "janger" dan aspek sosial yang terkandung dalam "janger".
Penelitian ini merupakan penelitian awal yang bersifat studi lapangan yang telah berlangsung dari tanggal 9-11 Juni 1995. Mengingat keterbatasan waktu penelitian itu, maka kami menyajikan deskripsi selayang pandang sesuai dengan data-data yang diperoleh di lapangan. Penelitian terhadap "janger" ini berlangsung seat pementasan di Dusun Kranjan, Kelurahan Ben­culuk, kecamatan Cluring Dati II Banyuwangi tepatnya di rumah bapak H. Tasrifin, tanggal 10 Juni, malam minggu pada sebuah acara pernikahan putra H.Tasrifin. Pementasan berlangsung se­malam suntuk dari kelompok Janger Tumenggung Budoyo pimpinan bapak Isnaini Sanjaya yang berjudul "Sabdo Palen Dadi Ratu".
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi (pengamatan langsung),wawancara kepada pimpinan "janger" dan metode deskripsi. Untuk mengungkap unsur-unsur teater menggunakan teori-teater modern yang disesuaikan dengan data yang ada.
Dari penelitian yang dilakukan dapat sebuah gambaran tentang "janger"; bentuk kesenian ini adalah berbentuk teater rakyat tradisional sesuai dengan ciri-ciri yang umum pada sebuah bentuk teater rakyat, asal-usul teater ini belum jelas, kapan muncul di Banyuwangi dan mengapa disebut "janger". Hanya saja dalam bahasa Jawa ada kata "jenger" yang artinya terheran-heran, takjub, akan tetapi belum jelas konsteksnya. Unsur yang mendukung kesenian ini seperti; seni sastra (lakon), seni rupa (panggung dan dekorasinya), seni musik (gamelan (gong kebyar)), seni gerak (tari Bali-Jawa), seni suara (tembang, dialog), dan aspek sosialnya meliputi tingkat status sosial para pemain dan tingkat pendidikan yang rata-rata SLTP/SLTA, dengan pekerjaan jadi buruh, ibu rumah tangga, tukang becak. Seni ini merupakan perpaduan antara dua unsur budaya yang sama-sama kuat yaitu Jawa-Bali.
"
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>