Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Topik Gunawan
Abstrak :
Aktivitas pencucian uang merupakan modus tindak pidana yang semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Tindak pidana pencucian uang merupakan mata rantai dari suatu kejahatan dan memiliki dampak yang luar biasa. Salah satu kendala yang dihadapi adalah mengenai hukum acara, khususnya dalam hal pembuktian. Pembalikan beban pembuktian diatur di dalam UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, tetapi tidak jelas maksud pembuktian tersebut apakah dalam konteks untuk menghukum orang yang bersangkutan atau untuk menyita harta kekayaan yang bersangkutan. Tulisan dengan judul Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Proses Peradilan Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang, menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan empiris yang bersifat kualitatif. Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa dasar pemikiran penerapan pembalikan beban pembuktian pada proses peradilan perkara tindak pidana pencucian uang di Indonesia adalah untuk memecahkan kesulitan Halam membuktikan masalah yang hanya diketahui oleh si pelaku, karena modus pencucian semakin kompleks dan canggih. Penerapan asas ini juga berdasarkan asumsi jika predicate erime belum diadili, sementara penegak hukum akan memproses perkara pencucian uang, maka konsekuensinya digunakanakan mekanisme pembalikan beban pembuktian. Secara politis Indonesia mengadopsi pembalikan beban pembuktian dalam UU TPPU karena adanya desakan dari FATF (Financial Action Task Force). Kesimpulan berikutnya adalah bahwa dalam praktek peradilan perkara tindak pidana pencucian uang di Indonesia, Pembalikan beban pembuktian belum pernah digunakan. Oleh karena itu, dalam kenyataannya peran jaksa dalam pembuktian perkara tindak pidana pencucian uang secara umum sama saja dengan pembuktian dalam perkara pidana lain. Perbedaannya tampak dalam penyusunan surat dakwaan dan pengajuan alat-alat bukti untuk mendukung pembuktian di persidangan. Di masa depan, pengaturan pembalikan beban pembuktian dalam proses peradilan perkara tindak pidana pencucian uang harus berangkat dari pendekatan mengejar uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan (follow the money), dengan maksud memupus motivasi seseorang untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, kebijakan legislasi mengenai pengaturan pembalikan beban pembuktian tindak pidana pencucian uang hendaknya merupakan perpaduan antara criminal procedure (prosedur pidana) dan civil procedure (prosedur perdata). Di samping itu juga, dituntut peran hakim dalam menerapkan asas ini agar tujuan penegakan hukum anti pencucian uang dapat tercapai. ......Money laundering activity is crime modus that its increasingly complex by using technology and finance engineering that is complicated enough. Money laundering crime is link from a crime and has remarkable impact. One of constraint faced is criminal procedure, especially in the proof. Reversal burden of proof as arranged in Law No. 15/2002 as has been changed with Law No. 25/2003, but it doesn’t defined intended the proof in context to punish the persons or confiscate their properties. Article with title Application of Reversal Burden of Proof in juridical process of money laundering cases, applies research method of yuridis normatif and empiric having the character of qualitative. Applying rationale of reversal burden of proof at jurisdiction process of money laundering crime case in Indonesia is an effort to broke the difficulty to proving problem which only know by the criminal, because wash modus increasingly complex and sophisticated. Applying of this principle also based on assumption if predicate crime had not been judged, where as law enforcer will process money laundering case, so the consequence by using the reversal burden of proof mechanism. Politically Indonesia adopts reversal burden of proof in money laundering acts, caused by pressure from FATF (Financial Action Task Force). However, jurisdiction in action of money laundering crime case in Indonesia, reversal burden of proof have never been done. Therefore, the role of prosecutor in prove of money laundering crime case in general equal to prove in other criminal. The difference is seen in compilation of accusation and proffering of evidences to support verification in court. In the future, arrangement of reversal burden of proof in process of jurisdiction of money laundering crime case leaves from approach to pursue money or properties by obtained from result of crime (follow the money), extinctly motivated someone to do a crime. Therefore, policy of legislation about arrangement of reversal burden of proof in money laundering crime shall be solidarity between criminal procedure and civil procedure. Beside that, it is claimed the role of judge in applying this principle for the purpose of law enforcement on money laundering can be reached.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37124
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kus Rachmadi
1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Defid Tri Rizky
Abstrak :
Sistem pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi merupakan suatu penyimpangan tentang sistem pembebanan pembuktian sebagaimana yang telah diatur dalam KUHAP dan sistem pembalikan beban pembuktian ini belum dapat dilaksanakan secara optimal oleh penegak hukum. Dalam penulisan tesis ini terdapat tiga permasalahan yang dikaji yaitu : bagaimana pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia dan apakah yang menjadi hambatan dan kendala dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian pada tindak pidana korupsi serta bagaimana seharusnya pengaturan sistem pembalikan beban pembuktian dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi agar dapat diterapkan secara optimal. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian yuridis normatif dan dalam pengolahan dan analisis data penelitian ini menggunakan metode yang bersifat kualitatif deskriptif dengan menguraikan persoalan dan fakta-fakta secara tertulis dari bahan kepustakaan dan akan dianalisa yang pada akhirnya akan ditarik sebuah kesimpulan dan didukung oleh penelitian lapangan sebagai penunjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a, Pasal 37 A dan Pasal 38 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum pernah diterapkan dalam penanganan tindak pidana korupsi dikarenakan terdapatnya kesalahan rumusan norma pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang termuat dalam Pasal 12 B sehingga rumusan tersebut meniadakan norma pembalikan beban pembuktian. Kemudian masih terdapatnya perbedaan persepsi antara penegak hukum terkait dengan konsep pembalikan beban pembuktian dan makna terhadap harta benda terdakwa yang belum didakwakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 B. Tidak adanya aturan yang jelas tentang proses beracara dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian membuat penegak hukum raguragu untuk menerapkan sistem ini. Oleh karena itu disarankan agar pembentuk undang-undang tindak pidana korupsi segera merevisi norma pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang termuat UU No. 20 tahun 2001 serta mengatur secara jelas mengenai petunjuk teknis/operasional dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian tersebut. ......The reversal of the burden of proof system as stipulated in Law No. 31 of 1999 Jo Act No. 20 of 2001 on corruption is a deviation of the loading system of proof as set out in the Code of Criminal Procedure (KUHAP) and the burden of proof reversal system has yet to be implemented optimally by law enforcement. In writing this thesis there are three issues that were examined are: how to setup a reversal of the burden of proof on the system of corruption according to the provisions in force in Indonesia and what are the barriers and obstacles in the application of the reversal of the burden of proof in corruption cases as well as How should the reversal of burden of proof system arrangement within the Criminal law can be applied to Corruption optimally. This research uses the juridical normative and research methodologies in the processing and analysis of data using a method that is both qualitative descriptive with outlines the issues and facts, in writing, from the material library and will be analyzed that will ultimately be drawn a conclusion with supported by research field as an ancillary. The results showed that the reversal of the burden of proof system as set forth in of Article 12 B paragraph (1) letter a, Article 37 A and Article 38B of Law No. 20 of 2001 on amendment of Law No. 31 of 1999 on the Eradication of Corruption has never been applied in the handling of corruption due to the presence of error norm formulation as the reversal of the burden of proof as contained in Article 12 B so that the formulation of the norm eliminate the reversal of the burden of proof. Later still the presence of differences in perception between law enforcement related to the reversal of the burden of proof concept and meaning to the defendant's property that has not been charged as provided in Article 38 B. The absences of clear rules on proceedings in the application of the reversal of the burden of proof create hesitant for law enforcement agencies to implement this system. It is therefore recommended that the legislators of corruption revise the norms of reversal of the burden of proof which contained on Law No. 20 of 2001 and set a clear technical guidelines / operational in the application of the reversal of the burden of proof.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30695
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Pramoti
Abstrak :
ABSTRAK
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan sebuah nuansa baru dalam perkembangan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi di Indonesia yaitu dengan dikenalnya pembalikan beban pembuktian terutama berkaitan dengan pembuktian tindak pidana gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a. Permasalahannyamasih jarang ditemui perkara yang menerapkan ketentuan tentang gratifikasi, padahal penggunaan pasal ini Penuntut Umum akan lebih diuntungkan karena kewajiban untuk membuktikan sudah ada pada pihak terdakwa. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana konsekuensi dari pembalikan beban pembuktian pada perkara gratifikasi terhadap proses pembuktian di muka persidangan oleh Penuntut Umum, penerapannya dalam kasus Dhana Widiatmika dan Gayus Tambunan, dan hal-hal apakah yang masih menjadi permasalahan dalam penerapannya. Hasil penelitian ini menunjukkan penerapan pembalikan beban pembuktian perkara Gratifikasi dalam Pasal 12 B terdapat kerancuan, karenapasal ini memuat dua unsur pasal yang masing-masing memiliki sistem pembuktian yang berbeda yaitu unsur “pemberian kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara” (sistem pembuktian konvensional) dan unsur “berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya” (sistem pembuktian terbalik). Dimana dalam proses pembuktian Pasal 12 Btetap mengacu pada KUHAP, sehingga menjadikan pembuktian terbalik mekanismenya tidak terlihat dalam pemeriksaan di persidangan, karena dengan tetap saja pola hakim digiring pada pola pemikirannya Jaksa Penuntut Umum.
ABSTRACT
Act No. 20 of 2001 on Amendments to Act No. 31 Year 1999 on Eradication of Corruption gives a new nuance in the development of law enforcement in the field of eradication of corruption in Indonesia, with the familiar reversal of the burden of proof is primarily concerned with proving the crime of gratification as provided for in Article 12 B of paragraph (1) letter a. The problem is rarely encountered cases that apply the provisions of gratification, whereas the use of this article Prosecutor will be benefited from the existing obligation to prove the defendant. This study intends to find out how the consequences of a reversal of the burden of proof on the graft case against the evidence in court by prosecution , its application in the case of Gayus Tambunan and Dhana Widiatmika, and if things are still a problem in its application. The results of this study demonstrate the applicability of the reversal of the burden of proof in the case of Article 12 B Gratuities are ambiguous, because this article contains two elements, each chapter has a different system that is an element of proof "gift to an official or state officials" (conventional verification system) and element "associated with his position and contrary to the obligations or duties"(reverse authentication system). Where in the process of proving Article 12 B still refer to the Criminal Code, making the reverse authentication mechanism is not visible in the examination in the trial, because the judge still herded the pattern of his thinking pattern Prosecution.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38999
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misnar Syam
Depok: Rajawali Press, 2023
347.06 MIS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library